Chapter 1
Posisi ku, Rento Seko di
kelas adalah sebagai orang yang di bully.
Dalam komunitas tertutup
seperti sekolah, secara alami tercipta sistem kasta.
Sejak masuk SMP, aku termasuk
dalam kelompok atas. Namun, bukan karena aku keren atau alasan serupa. Aku
hanya dibawa masuk sebagai mainan kelompok atas.
Kelompok atas selalu terlihat
glamor. Bahkan hanya dengan berbasa-basi, mereka terlihat memiliki daya tarik
yang cerah seolah mengatakan inilah masa muda. Mungkin tergabung di dalam, aku
juga tampakinar jika dilihat luar.
Namun hatiku buruk. Aku
diberi posisi yang tidak diinginkan dan diserap oleh atmosfir yang menganggap
itu sebagai hal wajar. Aku kehilangan pemahaman tentang tujuan eksistensiku
Namun, aku tidak kuat untuk mengubahnya. Itulah sebabnya aku masih di sini.
Meski kelas berubah dan terjadi pergantian kelas, hal itu terus
berlanjut. Saat menjadi siswa kelas tiga dan menuju kelas baru, seorang anak
laki-laki dari kelompok atas melambaikan tangan kepadaku, “Hei, ke sini”.
Itu bukan sinyal untuk
memanggil seorang teman. Namun aku mengikutinya.
“Dia ini jago tiru suara.
Ayo, tunjukkan. Tirukan adegan itu dari drama yang sedang hit!”
Anak laki-laki itu sudah satu
kelas denganku sejak tahun pertama, dan selalu membuat tantangan tidak masuk
akal ini, menyudutkanku yang memalukan untuk menjadi bahan tertawaan. Walaupun
aku tahu itu, aku masih mencoba untuk memenuhi permintaannya, sungguh bodoh.
Saat melirik ke grup, aku
melihat ada wajah yang tidak dikenal. Seorang gadis yang baru menjadi kelas
satu bersamaku setelah pergantian kelas. Sepertinya dia ingin menunjukkan
kekuatannya kepada gadis itu.
Tapi itu tidak penting.
Sekarang aku harus melakukan apa yang telah dikatakan.
“Kalian akan membayarnya dua
kali lipat!”
Aku mencoba menirukan satu
adegan dari drama yang hanya kulihat sekilas saat ibuku menonton di rumah.
Sebenarnya aku tidak pandai
meniru, dan aku tidak mengenal drama tersebut, jadi kualitas tiruanku sangat
buruk. Namun, inilah yang diinginkan si pembully.
“BUAHAHA! Apa ini, kamu jelek
sekali! Katanya kamu jago tiru suara, itu bohong ya?”
Setelah dia tertawa,
teman-teman sekelas di sekitarnya juga mulai tertawa. Aku juga hanya bisa
tertawa pahit sambil menundukkan kepala. Namun, ada satu orang yang tidak
tertawa sama sekali.
“Itu tidak lucu.”
Saat dia menyuarakan
pendapatnya, suasana seketika membeku. Siswa laki-laki yang membully ku
kebingungan dan yang lainnya tampak canggung menundukkan mata mereka.
“Ah, tidak lucu? Hei, Seko!
Kau membosankan dengan tiruanmu yang itu—”
“Kamu yang menyuruhnya
melakukan itu, kan? Mengapa kamu menyalahkan dia sekarang? Dan yang lainnya
juga hanya ikut-ikutan, tidak sepertinya ada yang merasa situasi ini salah.
...Orang-orang yang membosankan.”
Dia berkata dengan nada suara
kecewa. Teman-teman sekelasku yang mengolok-olokku terlihat makin menciut.
Detik berikutnya,
pandangannya bertemu dengan pandanganku. Aku nyaris terhipnotis oleh matanya
yang besar dan cantik.
“Kamu juga, tidak memiliki pendirian,
hanya tunduk pada omongan mereka. Membosankan.”
Setelah itu, dia berbalik dan
dengan rambut hitam panjangnya yang indah berayun dan meninggalkan kami.
Sejak itu, mereka tidak lagi
menggoda atau mengejekku. Akibatnya, aku kehilangan tempatku di kelompok atas
dan benar-benar menjadi sendiri.
Namun, kata-katanya terus
menggema di benakku, “Lelaki yang tidak memiliki pendirian sendiri itu
membosankan.”
Aku berpikir ini tidak bisa
berlanjut. Aku ingin berubah. Untuk itu, aku merasa harus mulai bergerak
sendiri untuk memecahkan situasi ini. Bergerak secara aktif.
“Ah, itu ...”
“hm ...?”
“... Ada apa?”
Waktu istirahat. Saat aku
mendekati dua anak laki-laki yang sedang berbicara di sudut kelas, mereka
melihat wajahku dengan ekspresi bingung.
Itu juga benar. Mereka juga
telah menyaksikan keseluruhan peristiwa itu. Mungkin mereka berpikir bahwa aku
mendekati mereka karena telah ditinggalkan oleh teman-temanku sebelumnya. Itu
adalah asumsi yang wajar.
Namun, aku tahu aku tidak
boleh lari dari situasi ini dan harus bertahan dengan segala cara.
“Maaf, seperti aku
mendengarkan percakapanmu. Aku mendengar kalian berbicara tentang Torupani
tadi, bolehkah aku ikut bergabung dalam diskusi...?”
Torupani, nama resminya
adalah “Tornado Panic,” adalah komik shounen yang mengisahkan tentang seorang
pemuda yang mengendalikan sihir angin dan menggunakan kekuatannya untuk
melindungi heroin dari makhluk-makhluk jahat, dan kadang-kala memasukkan
adegan-adegan sedikit nakal atau dewasa.
Mereka telah
berbincang-bincang tentang Torupani sejak tadi. Faktanya, aku juga merupakan
pembaca setia dari komik tersebut, dan itu membuatku ingin berbincang dengan
mereka.
Salah satu teman sekelasku
yang aku ajak bicara itu mengangkat kacamatanya dan matanya... tidak,
kacamatanya yang bercahaya.
“Siapa karakter favoritmu?”
“Ah, um... mungkin,
Fuu-chan?”
“Hmm. Fuu-chan, gadis muda
yang masih memiliki kepolosan pada wajahnya dan rambut pendeknya, yang energik
itu. Apa yang membuatmu tertarik?”
“Selalu ceria dan menjadi
pemberi semangat, namun sebenarnya dia perhatian dan sering merasa khawatir
sendirian, yang membuatnya tampak sangat kuat. Dan... bagaimana dia diam-diam
jatuh cinta pada si pahlawan utama.”
“Aku setuju!! Para pendatang
baru sering kali hanya menekankan energinya yang berlebihan atau sifatnya yang
baik, tapi kehebatan sejatinya ada di tempat lain! Kontras antara sifat terang
dan gelapnya, yaitu perbedaan antara sikapnya di depan dan di belakang, dan
rasa cinta rahasianya. Ah, indahnya. Engkau cukup memahaminya, bukan?”
“Er, terima kasih.”
Reaksi yang sangat antusias
dan tidak terduga membuatku sedikit mundur, tapi hatiku terasa lega. Seperti
kabut yang menyelimuti pandanganku telah tersingkap.
Aku belum pernah berdiskusi
tentang manga yang aku baca sebelumnya. Sepertinya, ini adalah pertama kalinya
aku berbicara tentang kesukaanku.
“Oleh karena itu, aku
mendukung Wind-chan. Payudaranya yang besar itu adalah yang terbaik.”
“Komentar yang sangat
representatif dari seorang pendatang baru.”
“Apa yang kamu katakan! Tanpa
payudara besar, kamu tidak bisa berbicara tentang Wind-chan!”
“Kamu masih hijau, Oda-kun.
Jadi, istrinya adalah Tatsumaki-chan. Kecil dan imut itu yang terbaik.”
“............”
“............hmm?”
“Tidak, tidak. Kamu tidak
akan melanjutkan pendapatmu? Kamu masih belum mengatakan apa-apa yang mendetail.”
“Untuk menyampaikan daya
tarik Tatsumaki-chan, tidak perlu banyak kata.”
“Semuanya soal cara
berbicara, ya?”
Saat berbicara dengan mereka,
aku tidak bisa tidak menambahkan interupsi. Interaksi tersebut terasa
menyenangkan. Mereka juga tertawa dengan senang hati.
Lingkaran mereka yang
melingkari semakin melebar, dan aku merasa bahwa aku telah disertakan di
dalamnya.
Kemudian saat aku sedang
berbicara sepele dengan mereka, Oda dan Maniwa, aku merasakan ada pandangan
tertuju padaku dan aku menoleh ke arah tersebut. Di sana, dia berdiri, gadis
yang memberiku kesempatan untuk berubah—Yosaki Misa.
Pandangan kami bertemu. Ini
adalah kedua kalinya. Sebelumnya, dia melihatku dengan pandangan penuh
kekecewaan. Namun kali ini—
“Hehe.”
Dia tersenyum.
Entah bagaimana, aku merasa
seolah telah diakui olehnya. Pada saat itu, aku merasakan jantungku berdetak
keras.
Setelah satu detak besar,
jantungku terus berdetak kencang.
Rasa ini berlanjut selama
kelas, bahkan setelah pulang sekolah dan aku sendirian di rumah. Sebelum tidur,
ketika aku menutup mata, aku bisa merasakan detak jantungku yang keras sambil
wajahnya yang tersenyum terbayang dalam pikiranku.
Aku yakin. Aku telah jatuh
cinta pada Yosaki Misa.
✧
₊ ✦ ₊ ✧
Beberapa minggu setelah naik
ke kelas tiga, aku menyadari bahwa langkah kakiku yang sebelumnya terasa sangat
berat saat berangkat sekolah, kini terasa ringan.
Aku mulai tidak merasakan
stres saat pergi ke sekolah.
Bahkan bisa dibilang aku
mulai menikmatinya. Yah, sebenarnya pelajaran masih menyebalkan, tapi
setidaknya berbincang dengan Oda-san dan yang lainnya itu menyenangkan. Dan
juga. Karena dia ada di kelas yang sama.
“Hei, Oda-san, Maniwa-san.
Kenapa tokoh utama Torupani bisa sepopuler itu?”
Di sudut kelas, di sekitar
tempat duduk Oda tempat kami biasa mengobrol, aku memulai topik percakapan
seperti itu.
“Apa-apaan itu, Seko?
Tiba-tiba aja kamu ngomong gitu.”
“......Ah, nggak, Cuma
tiba-tiba kepikiran. Maksudku, gimana bisa dia dikit-dikit didekati hampir
sepuluh heroine, keren banget sih itu.”
“Memang sih, aku juga paham
perasaan itu. Tapi itu kan Cuma fiksi, nggak bisa dianggap serius gitu aja,”
katanya padaku.
Meski aku ingin membantah,
Oda-san tiba-tiba berdiri dengan semangat.
“Maniwa! Itu salah! Meski itu
fiksi, kita, orang-orang yang menikmatinya, adalah manusia hidup. Pesona yang
membuat seorang heroine tertarik, itulah yang juga memikat kita para pembaca
pada tokoh utama! ...Tidak ada karya yang tidak relevan di dunia ini.”
Melihat Oda-san yang
berapi-api, Maniwa-san memandangnya dengan matanya berbinar.
“Oh, Oda-kun! Aku salah! Ya.
Buku pelajaran kita bukan hanya dari buku matematika atau ilmu pengetahuan alam
yang diberikan di sekolah. Manga dan novel juga adalah buku pelajaran kehidupan
yang sah!”
“Yah. Aku senang kau akhirnya
paham juga, Maniwa. Aku bahagia.”
Oda-san yang puas akhirnya
kembali ke tempat duduknya. Topik yang aku lemparkan berubah jadi diskusi seru
tak terduga oleh Oda-san dan Maniwa-san, tapi itu bukan topik utamanya.
“Jadi, menurut Oda-san
gimana?”
“Hmm, dalam karya itu, sang
tokoh utama seringkali membuat heroine jatuh hati setelah menyelamatkan mereka
dari krisis. Dari segi itu, bisa dibilang tokoh utamanya punya pesona heroik,”
kata Oda.
“Jadi, jenis orang yang bisa
datang dan menyelamatkan mereka di saat krisis ... begitu ya?”
“Krisis ...... krisis, hmm.”
Aku membayangkan. Bayangan
diriku yang datang secara heroik saat dia berada dalam kesulitan.
...... Sulit untuk
membayangkan dia dalam situasi seperti itu.
Melihat ekspresiku yang penuh
keraguan, Oda-san tersenyum dengan lembut.
“Jangan khawatir. Pesona yang
membuat orang tertarik tidak terbatas pada itu saja. Pikirkan lebih dalam.
Tidak semua orangtua kita punya cerita pertemuan yang romantis, kan?”
“Itu benar.”
“Aku juga tidak pernah
mendengar kisah seperti itu dari orangtua ku.”
“Benar. Yah, meski aku
sendiri pun belum punya pengalaman cinta nyata, tapi aku bisa bilang ini.
Pesona yang membuat seseorang tertarik pada orang lain itu terletak pada
tindakan keseharian orang tersebut.”
“Ooh. Oda memang keren ya.”
“Sungguh seorang master
cinta!”
Aku dan Maniwa-san berseru
sambil berdecak mengagumi Oda-san.
Lantas, Oda dengan bangga
mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan kemudian seperti malu-malu, “Ah, jangan
puji aku terlalu hebat,” katanya mencoba meredam pujian dari kami. Kami pun
tanpa sadar tertawa melihat tingkah Oda.
Oda sangat mencintai game
percintaan dan sudah memainkan berbagai judul. Mungkin karena itulah ia
kadang-kadang mengungkapkan pemikiran yang bijak tentang cinta. Entah itu
benar-benar berguna atau tidak, karena aku tidak memiliki pengalaman cinta, aku
tidak bisa memastikan, tapi kata-katanya memang menyentuh hati.
Tiba-tiba, aku tertarik pada
gerak-gerik seorang teman sekelas. Dia mengangkat tumpukan buku catatan yang
telah dikumpulkan di atas meja guru. Bukti catatan kami yang diminta guru untuk
diserahkan di akhir pelajaran.
Dia memegang begitu banyak
catatan sehingga kedua tangannya tak bisa melakukan apa-apa. Dalam keadaan
seperti itu tentu sulit baginya untuk membuka pintu kelas. Aku berpikir
demikian dan segera membuka pintu untuknya.
Dengan pintu sudah terbuka,
aku tidak perlu lagi khawatir dan kembali ke tempat duduk. Tapi saat aku
menoleh, pandangan kami bertemu.
“Seko.”
“Uh, apa?”
“......Tidak, tiba-tiba aku
berpikir. Aku rasa, ada satu daya tarik mutlak pada tokoh utama Torupani
lainnya. Itu adalah kebaikan. Sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap makhluk
hidup. Dia dapat memberikannya secara alami. Mungkin itulah mengapa para heroine
jatuh cinta padanya.”
“Terkesan mewah ya.”
“Hal yang terlihat mudah,
kadang bisa sangat sulit lho.”
“Aku paham. Saat ingin banget
dapetin Hadiah D favorit, eh malah dapet Hadiah A atau B dari karakter lain ya
kan.”
“Hahaha! Itu perumpamaan yang
pas. Kamu paham banget, Maniwa-san.”
Kali ini Oda-san memuji
Maniwa-san, dan Maniwa-san tampak malu-malu sambil menggaruk kepalanya. Perumpamaannya
tidak terlalu mengena padaku, tapi kurasa aku bisa mengerti maksudnya.
Bagiku, menjaga posisi yang
ada saja sudah sulit, meskipun orang lain mungkin bilang mudah. Ya, sesuatu
yang mudah bagi seseorang bisa jadi sulit bagi orang lain.
“Tapi, ada orang yang
kelihatannya bisa hidup sendirian. Misalnya, itu loh...”
Aku mengikuti pandangan Maniwa-san.
Tak perlu mengejar pandangannya, aku langsung tahu. Yang ada di sana adalah
tempat duduk Yosaki Misa.
Meskipun waktu istirahat, Yosaki-san
tetap duduk di tempatnya sambil asyik membaca novel yang dia bawa. Ini bukan
Cuma hari ini terjadi.
“Sebenarnya kami sudah satu
kelas dengan dia sejak kelas satu. Awalnya, banyak orang yang mendekatinya,
tapi tak seorang pun yang bisa akrab dengan dia, dan pada akhirnya selalu
berakhir seperti ini.”
“Dia seperti orang yang ada
di puncak piramida sosial. Puncak segitiga itu sangat sempit, dan mereka yang
berhasil mencapainya tidak memerlukan orang lain, mampu mengatasi segalanya
sendiri. Mungkin mereka hidup di dimensi yang berbeda dari kita.”
“Ia seperti putri yang
kesepian. Wah, keren sekali.”
“Ngomong-ngomong soal keren,
karakter favorit Maniwa-aan, Tatsumaki juga keren, kan?”
“Kamu terlalu polos, Seko-kun.
Mungkin Tatsumaki-chan terlihat dingin di awal, tapi karena dia bokukko dan
suka menambahkan ‘ssu’ di akhir kalimatnya, kekhasan manisnya itu juga menambah
kontras dengan ekspresi wajahnya yang datar dan itu memperkuat pesonanya—”
“Ah, ya. Aku bicara
sembarangan. Memang benar, karakternya Yosaki-san sangatlah berbeda.”
Ketika aku berkata begitu, Maniwa-san
mengangguk seolah mengerti. Maniwa-san yang biasanya tidak terlalu banyak
bicara tentang pesona Tatsumaki, kemana perginya? Rupanya ketika membahas
tentang karakter favorit, seseorang bisa jadi tidak bisa berhenti bicara.
“......Hmm?”
Aku merasakan ada pandangan
dari kejauhan. Arahnya adalah tempat yang baru saja ku arahkan pandanganku
sebelumnya.
Denyut nadiku meningkat. Jika
aku menoleh sekarang, aku rasakan mata kami akan bertemu. Untuk menghindarinya,
aku menahan leherku agar tidak bergerak.
......Mengapa?
Dia tampak menikmati waktu
sendirinya, dan aku tidak ingin mengganggunya.
......Kapan aku mendengar perasaannya?
Lagi pula, entah kenapa, dia
yang sedang melihat ke arahku. Sebenarnya, apa yang aku mau? Meskipun kita
berada di ruang yang sama atau tempat yang berbeda, aku selalu memikirkannya.
Aku menjadi penakut dan belum juga berbicara dengannya.
Bukankah itu sama saja dengan
aku yang dulu?
Aku bertekad dan menoleh.
Memang, mata kami bertemu. Matanya yang tajam dan indah mengunci pandangan ke
mataku. Aku bisa merasakan degup jantungku hingga ke ujung jari karena begitu
kencang.
“Oda-san. Maniwa-san. Aku mau
pergi sebentar.”
“Eh, mau ke mana?”
“Seko-kun. Semoga beruntung
ya.”
“Aah, terima kasih.”
“Eh. Kenapa Cuma aku yang gak
nyambung situasinya ya?”
Rupanya, Oda-san yang ahli
masalah asmara sudah bisa menebak, sementara Maniwa-san sama sekali kelihatan
bingung. Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Aku ingin
bertindak sebelum aku mengubah pikiranku.
Aku meninggalkan tempat Oda-san
dan yang lainnya dan berjalan lurus menuju tempat duduknya. Selama itu, mata
kami terus bertemu. Aku merasa malu. Tapi, matanya tidak membiarkan pandanganku
untuk berkelibat. Dia sangat mempesona hingga itu terjadi.
"Yo, Yojaki!"
Dan begitu aku berbicara
dengannya, aku langsung salah menyebut namanya dengan mencolok.
✧
₊ ✦ ₊ ✧
Meskipun hidupku belum
panjang, hanya sekitar empat belas tahun, aku tidak pernah merasa malu seperti
saat ini. Ingin rasanya menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya. Wajahku
pasti sudah sangat merah sekarang. Bayangkan saja apa yang dia pikirkan saat
melihatnya membuatku malu lagi.
“Heheh,”
Tertegun karena langsung
menyebut namanya, dia, Yosaki-san, membalas dengan senyuman. Melihat senyuman
itu untuk pertama kalinya sejak lama, aku kembali terpukau.
“Ada apa, Seko-kun?”
“Oh, kamu tahu namaku?”
“…Eh, ya. Kita satu kelas,
jadi sudah seharusnya, bukan?”
Kegembiraanku saat mengetahui
Yosaki-san mengenal namaku sekejap saja, sebelum aku sadar bahwa tidak ada yang
spesial tentang hal itu, dan perasaanku agak tenggelam. Tapi, tetap saja,
menyenangkan diketahui namaku.
“Jadi, aku… Aku ingin
berbicara denganmu, Yosaki-san.”
“Oh, betapa kebetulan. Aku
juga ingin berbicara denganmu, Seko-kun.”
“Eh, kenapa!?”
“Tadi… kamu tampak sedang
berbicara dengan mereka, apakah namaku sempat disebutkan?”
“Ah, ah—”
Ada masalah. Sepertinya dia
mendengar pembicaraan kami dengan Oda-san dan yang lainnya.
Bukan seolah kami
menggosipkan hal buruk, tapi jujur itu agak canggung. Aku tidak ingin Yosaki-san
tahu bahwa aku merupakan penggemar berat Torupani.
Tapi, aku juga tidak tahan
untuk berbohong, jadi aku memutuskan untuk menjawab dengan cara yang tidak
jelas.
“Maaf. Kita sedikit membahas
tentang imejmu.”
“Imejku? Dingin atau tidak
bersahabat, mungkin?”
“Tidak, bukan itu! Mungkin
awalnya Yosaki-san memberikan kesan seperti itu, tapi aku pikir dia memiliki
keyakinan yang kuat dan bertindak atas prinsip-prinsipnya, itu menunjukkan dia
memiliki semangat yang hangat, bukan? 'Tangan dingin, hati hangat,' begitu kan.
Mungkin orang yang tampak dingin di luar justru memiliki hati yang hangat di
dalam. Dan, mengabaikan ketidakadilan orang lain sebagai sesuatu yang tidak
penting juga menunjukkan bahwa dia memiliki keadilan yang sama untuk semua
orang,”
Dengan cepat aku berbicara
panjang lebar memujinya, lalu,
“…aku merasa diselamatkan
oleh cara hidup Yosaki-san yang keren itu. Terlambat memang, tapi terima kasih
untuk waktu itu.”
Aku mengucapkan terima kasih
dan menundukkan kepalaku pada Yosaki-san.
Sebelumnya, aku tertawa kecil
saat mendengar gairah Maniwa-san tentang Tatsumaki, tapi sekarang di depan Yosaki-san,
aku hanya berbicara tentang daya tariknya pada dirinya.
Aku malu. Aku tidak bisa
melihat wajah Yosaki-san. Aku ingin tetap menunduk dan kembali ke tempat Oda-san
dan yang lainnya.
Saat aku berpikir untuk
bertindak tidak wajar seperti itu, aku mendengar suara Yosaki-san,
“Seko-kun, angkat wajahmu.”
Suaranya sangat lembut, jauh
berbeda dengan imej yang dia miliki tentang dirinya sendiri.
Menurut suara itu, aku
mengangkat wajahku. Lalu di depanku, ada Yosaki-san dengan senyuman yang sangat
indah.
“Terima kasih, Seko-kun.”
Dan entah kenapa, sekarang
gilirannya Yosaki-san yang berterima kasih kepadaku.
Aku yang terpukau dengan
senyuman Yosaki-san, sekarang merasa bingung dengan ucapan terima kasihnya.
“Eh, kenapa? Yosaki-san?
Kenapa kamu berterima kasih padaku?”
“Karena Seko-kun telah
memujiku begitu banyak.”
“Itu karena aku pikir Yosaki-san
sudah sering mendengar pujian seperti itu.”
“...Tidak. Ini kali pertama
aku menerima kata-kata seperti itu. Jadi, terima kasih.”
Sejenak aku berpikir untuk
menjahit mulutku karena telah berbicara terlalu banyak, tapi jika dia bisa
mengatakan itu, aku bisa memaafkan mulutku yang sudah terburu-buru bicara.
“Lagipula, itu adalah sesuatu
yang aku lakukan karena aku ingin melakukannya. Seko-kun tidak perlu
memikirkannya.”
“Tapi tetap saja, aku memang
diselamatkan oleh Yosaki-san waktu itu.”
“…Baiklah. Kalau begitu, mari
kita lakukan ini,”
Yosaki mengangkat satu jari
telunjuk di masing-masing tangannya dan melanjutkan.
“Sebagai ucapan terima kasih,
dari sekarang juga kita bisa berbicara seperti hari ini. Atau, tanpa ucapan
terima kasih, hanya sebagai teman sekelas biasa untuk berbicara denganku... Aku
lebih merekomendasikan yang kedua, bagaimana menurutmu?”
Dua pilihan yang ditawarkan Yosaki-san
pada dasarnya adalah satu pilihan, dan bagaimanapun juga, itu adalah sesuatu
yang sangat aku inginkan.
Oda-san pernah berkata. “Yosaki-san
yang mendominasi di puncak kasta tidak membutuhkan orang lain.”Tapi, aku tidak
berpikir begitu.
Memang benar bahwa Yosaki-san
memiliki spesifikasi untuk bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Namun, aku
yakin tidak mungkin dia sama sekali tidak membutuhkan orang lain.
Tidak ada seorang pun di
sampingnya sebelumnya, bukan karena tidak ada orang yang benar-benar mengerti
dia. Hanya itu yang aku rasakan.
“Berhubung ada kesempatan,
mungkin aku harus memilih rekomendasi Yosaki-san.”
“Fufu, aku senang kamu
memilih itu.”
Menjadi orang yang
benar-benar mengerti dia. Itulah yang aku rasa akan menjadi cara untuk membalas
budi padanya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah hari itu, aku mulai
mengajak Yosaki-san ngobrol-ngobrol santai. Awalnya aku kesulitan menemukan
topik yang umum sehingga aku merasa bingung harus bicara tentang apa, dan aku
menjadi tidak berani untuk mengajaknya bicara.
Saat aku merasa ragu-ragu
seperti itu, aku merasakan pandangan Yosaki-san tertuju padaku. Aku tidak bisa
terus tidak melakukan apa-apa dan menunggu, jadi aku memutuskan untuk maju
tanpa rencana yang matang.
“Yosaki-san, apakah kamu
menonton drama di saluran 9 kemarin malam?”
“Maaf, aku tidak terlalu
sering menonton drama.”
“Oh, begitu ya. Eh, bagaimana
dengan ‘Berita Mengejutkan’ yang kemarin?”
“Maaf, aku juga tidak sering
menonton TV.”
Hatiku hampir patah karena
terasa semakin berantakan. Kami berdua masih belum tahu apa-apa satu sama lain.
Itulah mengapa menemukan topik bersama itu sulit.
Namun, kita memiliki kesamaan
sebagai siswa sekolah yang sama dan teman satu kelas. Tiba-tiba aku teringat
percakapan tentang tes yang harus kita jalani saat kenaikan kelas.
“… Bagaimana kalau kita
bicara tentang tes terakhir?”
“Aku tidak keberatan.”
“Berapa skor yang kamu dapat,
Yosaki-san?”
“Aku mendapatkan nilai
sempurna di semuanya.”
“Wow, kamu pasti punya banyak
cerita menarik ya! Eh, kenapa bisa belajar sebaik itu? Oh, tentu karena kamu
berusaha keras yah! Ah, aku juga ingin mendapatkan nilai sempurna di semua mata
pelajaran dan bisa mengatakannya...”
“Fufu, apa itu?”
Aku mencoba agak bercanda
dalam bicara dan Yosaki-san tertawa. Aku merasa lega karena mendapat respons
yang baik.
“Seko-kun.”
Yosaki-san memanggil namaku
dan menatap mataku langsung. Matanya tampak sedikit gelisah.
“Mengapa kamu tidak segera
datang mengajakku bicara?”
“Err, aku tidak tahu harus
bicara tentang apa.”
“Sekarang aku tahu. Apakah
kamu tidak mencoba menjadi teman bicara yang baik untuk yang lain, sambil
menunggu ide topik terlintas di pikiran?”
Yosaki-san tampak kesal.
Melihatnya membuat ekspresi seperti itu, aku menyadari ada sisi imut pada
dirinya yang membuat hatiku berdebar.
“Bukan itu, itu lebih
santai.”
“Kalau begitu, aku ingin kamu
lebih santai dalam berinteraksi denganku.”
“Aku akan berusaha lebih
baik. ...Tapi, aku takut gagal.”
“Apa salahnya gagal? Kita
masih belum saling kenal dengan baik, jadi kita seharusnya banyak berbicara dan
mengumpulkan pengalaman yang banyak. Dan suatu hari, aku juga ingin...”
Di situ, Yosaki-san melirik
ke arah Oda-san dan yang lainnya.
Mungkin aku terlalu
memperhatikan Yosaki-san secara berlebihan. Memang, karena dia adalah orang
yang aku suka, aku menjadi terlalu fokus padanya, tapi itu semacam gerakan
untuk menangani sesuatu yang halus. Yosaki-san sepertinya tidak membutuhkan hal
seperti itu.
Aku harus berani mencoba
tanpa takut gagal, kata-katanya itu kubawa di hati dan aku mencoba semua topik
yang terlintas di pikiranku dengan Yosaki-san.
Tentu saja ada topik yang Yosaki-san
tidak terlalu tertarik, tapi itu tidak terlihat mengganggunya, dan aku pun
segera alih ke topik lain.
Perlahan-lahan, kami menjadi
mudah menawarkan topik bersama, dan percakapan pun menjadi semakin seru.
Misalnya, ada percakapan
seperti ini.
“Pada tes tengah semester
kemarin, pas banget tahu, aku buka buku kumpulan soal sebelum ujian dan bagian
yang kubaca itu keluar persis di tes. Aku sampai merasa terkesan dengan
kebetulan seperti itu.”
“Wah, itu bagus ya. Tapi, aku
tidak percaya pada kebetulan.”
“Eh, tapi itu benar-benar halaman
yang aku buka secara acak loh.”
“Ngomong-ngomong, itu pertama
kali kamu membuka buku soal itu?”
“Tidak, sama sekali bukan.
Itu buku yang dibagikan di sekolah dan juga jadi tugas.”
“Jadi begitu. Kalau gitu,
pasti buku itu sudah punya kebiasaan terbukanya di halaman tertentu. Selain
itu, kamu pasti juga mempelajari buku soal itu sebelumnya di malam hari sebagai
persiapan ujian. Jadi, tanpa sadar kamu sudah tahu halaman mana yang harus kamu
buka.”
“Mmm, tidak bisa disangkal.
Memang, jika dikatakan seperti itu, terasa seolah-olah itu bukan sekedar
kebetulan.”
“Aku percaya bahwa semua
kejadian di dunia ini memiliki hubungan sebab akibat. Bahkan jika kita tidak
mengerti apa penyebabnya, itu hanya karena kita belum bisa mengamati penyebab
tersebut. Ngomong-ngomong, pemikiran seperti ini disebut hukum sebab akibat.”
“Kalau sudah bicara tentang
nama hukum, aku tak bisa membantah. Tapi, Yosaki-san itu tahu banyak hal, ya.”
“Mungkin karena pengaruh
ayahku. Di ruang kerja ayahku, ada banyak buku dan aku diberitahu bahwa aku
boleh membacanya sebebasnya.”
Itu adalah momen dimana aku
melihat sisi baik dari asuhan Yosaki-san.
Dan kemudian, pada hari yang
lain. Ada waktu dimana topik yang dibawa oleh Yosaki-san melahap seluruh waktu
istirahat siang kami.
“Seperti biasa, apa yang kamu
lakukan pada hari libur, Seko-kun?”
“Hmm, biar aku pikirkan.
Akhir-akhir ini aku sering keluar bersama dengan Oda-san dan yang lainnya.”
“Eh, maaf. Oda-san itu
orangnya seperti apa?”
“Ya kau tahu, salah satu dari
dua anak laki-laki yang sering bergaul denganku, yang badannya besar itu.
......Eh? Bukankah Yosaki-san mengenal semua nama teman sekelas kita?”
“......Aku hanya lupa untuk
sejenak saja.”
“Bahkan Yosaki-san bisa
seperti itu ya.”
“Kamu sepertinya mengira
bahwa aku ini manusia super sempurna, tapi aku juga hanya manusia biasa. Aku
juga memiliki kekurangan.”
“Kekurangan pada Yosaki-san?
Aku tidak bisa membayangkan.”
“Oh. Bahkan aku terkenal
dengan buruknya hubungan sosialku.”
“Itu juga bukan masalah yang
bisa kukomentari, mungkin hanya karena kamu belum bertemu dengan orang-orang
yang cocok denganmu sampai sekarang. Aku menikmati berbicara dengan Yosaki-san
seperti ini. Aku juga suka saat kamu tiba-tiba berdebat tentang pengetahuan
kecil, dan aku terkejut kamu bisa tertawa pada ceritaku yang tidak masuk akal
ini.”
“......Tidak perlu pakai kata
‘terkejut’. Tapi, terima kasih, Seko-kun. Aku senang.”
Yosaki-san tersenyum padaku
saat berterima kasih.
Sementara aku terpesona oleh
senyumnya, aku bisa merespon dengan suara yang lemah, “Sama-sama.”
Seperti ini, aku bisa
melakukan percakapan yang layak, sama seperti ketika aku berbicara dengan Oda-san
dan yang lainnya.
Dan, melihat keadaan kami
seperti itu, beberapa teman sekelas kami mulai mengejek kami.
Tidak seperti ejekan tidak
masuk akal dari masa lalu, ini adalah sesuatu yang terjadi karena tindakanku
sendiri, sehingga aku pribadi tidak memperdulikannya. Tapi, mungkin ini bisa
menjadi masalah bagi Yosaki-san.
Mungkin membaca pikiranku, Yosaki-san
menggebungkan pipinya sedikit dan berkata.
“Seko-kun. Kamu sedang
memikirkan apakah harus meninggalkanku karena peduli dengan orang di sekitar
kita, kan?”
“Ah... kamu tahu?”
“Tidak perlu memedulikan
orang lain. Yang seharusnya kita pedulikan hanya perasaan kita berdua yang
terlibat. Mungkin kamu merasa tidak suka?”
“Tidak mungkin! Bagiku, waktu
ketika berbicara dengan Yosaki-san adalah waktu yang tak ternilai, dan
sejujurnya aku tidak ingin kehilangan itu.”
“......Benarkah. Kalau
begitu, tidak apa-apa kan? Aku juga tidak peduli. Selama Seko-kun tidak merasa
tidak suka, tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang kita.”
Sekali lagi, aku merasa telah
diselamatkan olehnya. Sikapnya yang tidak peduli dengan orang sekitar dan tetap
bertindak sesuai kehendaknya sendiri adalah, tentu saja, keren.
Melihatnya lagi, aku menjadi
semakin yakin. Aku menyukai dia, Yosaki Misa.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Waktu berlalu, dan musim
dingin tiba, membawa udara yang dingin.
Keributan yang biasa terjadi
di dalam kelas telah mereda, dan topik pembicaraan yang masuk ke telinga
sekarang semuanya berkisar pada ujian masuk SMA.
Sama seperti yang lain, aku
dan Oda-san juga berbicara tentang ke mana kami ingin melanjutkan studi, dan
apakah kami seharusnya mengambil kelas khusus di musim dingin.
Kami tidak membuat
kesepakatan khusus, tapi ternyata aku dan Oda-san berharap untuk masuk ke SMA
yang sama di dekat rumah kami. Sementara itu, Miwa-san tampaknya ingin masuk ke
SMA terbaik prefektur kami, sayangnya, jika semua ujian masuk kami berjalan
dengan baik, kami semua akan terpisah saat melanjutkan ke SMA.
Saat itulah aku baru
menyadari. Mungkin aakujuga akan terpisah dengan Yosaki-san karena pilihan
sekolah kami.
Aku bergegas menemui Yosaki-san
untuk menanyakan tentang pilihan sekolahnya, tapi dia berkata,
"Maaf, aku tidak
berencana memberitahu siapa pun."
Dan dengan itu, aku tidak
bisa menanyakan lebih lanjut.
Aku telah mengasumsikan dia
akan menjawab, jadi jujur saja aku cukup terkejut dengan hasil ini.
Banyak orang selain diriku
yang ingin tahu SMA mana yang Yosaki-san inginkan, tapi kenyataannya, hanya aku
yang benar-benar bisa bertanya padanya, jadi tidak ada yang berhasil
mendapatkan informasi.
Akibatnya, aku melewati
masa-masa persiapan ujian dengan gelisah karena kehilangan kesempatan untuk
menanyakan tentang pilihan sekolah Yosaki-san.
"Kau punya info terbaru,
Oda-san?"
"Maaf, aku tidak
memiliki informasi apapun tentang Yosaki-san. Tidak peduli seberapa jauh kita
berusaha menjaga sumber informasi kita, tidak ada gunanya jika tidak ada orang
yang tahu."
"Yosaki-san itu orang
yang misterius ya."
"Kalo kamu berbicara
dengannya, kamu tidak akan merasa begitu."
Sebenarnya Yosaki-san bukanlah
orang yang suka rahasia, dan dia bahkan kadang-kadang tertawa terbahak-bahak
dalam percakapan.
Itulah sebabnya, kenapa dia
tidak mau memberitahu tentang pilihan sekolahnya sangat mengejutkan bagiku.
"Guru-guru mungkin tahu,
tapi karna masalah privasi, mereka tidak akan memberitahu kita begitu
saja."
"Jadi kita hanya perlu
fokus pada belajar untuk ujian, ya?"
"Itulah yang harus kita
lakukan! Seko-kun, mari tingkatkan kemampuan belajarmu agar bisa diterima di
SMA yang sama denganku! Aku akan membantumu!"
"Wah, jangan tinggalkan
aku sendiri, Seko-san!"
"Tidak, Miwa-san. SMA
pilihanmu rasanya terlalu sulit buatku secara realistis. Jadi, Oda-san, tolong
jangan lihat aku dengan mata memelas seperti itu. Itu membuat hatiku
sakit."
Mungkin Yosaki-san juga
mengincar SMA yang sama dengan Miwa-san. Sebenarnya, jika kita melihatnya
secara logis, kemungkinan itu lebih tinggi.
Meski aku berkata begitu pada
Oda-san, jika aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan Yosaki-san,
mungkin aku harus belajar untuk mencapai tingkat pendidikan yang dia targetkan.
Setelah itu, aku menjadi
lebih giat dalam belajar. Aku tidak mengikuti les atau kelas musim dingin, tapi
aku mengerjakan soal di buku latihan yang orang tuaku belikan sampai tuntas,
dan jika ada yang tidak aku mengerti, aku akan bertanya pada Miwa-san.
Akibatnya, aku bisa menjadi
cukup mahir untuk menyelesaikan kebanyakan dari soal-soal ujian dengan mudah. Dan
saat bertemu dengan wali kelas di tengah-tenhah siswa, pilihan sekolah yang
akan diambil diputuskan di sana.
“Aman bagi Seko-kun untuk bersekolah di SMA
yang selalu dia inginkan.”
Guru wali kelasku
menginformasikan itu kepadaku, tidak memungkinkan untuk mengubah pendapatku.
Tentu saja, aku bersikeras.
Namun demikian, wali kelas mengakui perkembangan terbaru pada kemampuanku namun
juga menjelaskan bahwa nilai raport itu penting ketika mendaftar di SMA negeri.
Sejauh ini, meskipun tidak
sepenuhnya tidak serius, sikapku terhadap pelajaran tidak terlalu antusias,
sehingga nilai-nilai yang aku dapatkan tidak terlalu bagus.
Dengan kata lain, sepertinya
aku terlambat menghidupkan mesin.
Hasilnya sungguh menyakitkan,
tapi setidaknya aku bisa yakin lulus dari SMA yang sejak awal aku minati, jadi
usahaku belakangan ini tidak sepenuhnya sia-sia.
Setelah itu, aku diberitahu
bahwa wawancara antara ibuku dan wali kelas akan segera dimulai, jadi aku
keluar kelas terlebih dahulu.
Tidak ada gunanya
mendengarkan pembicaraan orang dewasa tentang diriku sendiri, jadi sebaiknya
aku tidak bersikap kepo dan pergi dari kelas itu.
Saat aku berkeliaran di
sekitar sekolah, bertanya-tanya di mana aku bisa menghabiskan waktu, mata ku
tertuju ke seorang gadis yang berdiri di pintu masuk sekolah dan menatap
gerbang sekolah. Itu Yosaki-san.
“Ara, Seko-kun.”
Yosaki-san, yang menyadari
kehadiran ku, menyapa ku lebih dulu.
“Yosaki-san juga akan
memiliki pertemuan tiga pihak sebentar lagi?”
“Eh, iya. Aku sedang menunggu
ibuku.”
Aku mengerti alasan dia
menatap gerbang dan dalam hati aku merasa puas.
“Ya, tapi sepertinya dingin
di sana. Bukankah lebih baik kamu menunggu di dalam?”
“Itu juga benar. Aku akan
melakukannya.”
Yosaki-san menerima saran ku
dan berganti ke sepatu dalam, kemudian mendekati ku yang berdiri di sebelah
koridor yang menghadap pintu masuk. Sesaat, aku merasakan suhu tubuh ku naik.
“Hehe. Memang lebih hangat di
sini.”
“...Ya, begitu.”
Aku mencoba memberi jawaban
yang agak acak-acakan agar dia tidak bisa membaca perasaan ku.
Tapi sepertinya Yosaki-san
tidak keberatan dan terus melanjutkan pembicaraan.
“Seko-kun sudah selesai
dengan pertemuan tiga pihak itu?”
“Ya. Bagian yang melibatkan ku
baru saja selesai. Sekarang ibuku yang sedang berbicara empat mata.”
“Begitu. Aku ingin sekali
bertemu dengan ibumu, Seko-kun.”
“Tidak tahu apa yang kamu
harapkan, tapi dia bukan orang yang terlalu menarik lho.”
“Aku tidak berharap dia akan
jadi orang yang menarik kok...Aku ingin bertemu dengannya hanya karena dia
adalah ibumu, Seko-kun. Apakah itu alasan yang buruk?”
Tanpa menoleh ke arah ku, Yosaki-san
mengatakan itu sambil matanya tertuju ke pintu masuk.
Aku pun mengalihkan pandangan
ku dari Yosaki-san, dan sambil melihat ke kejauhan, aku berkata, “Itu bukan
alasan buruk.”
Kemudian, ada beberapa detik
keheningan antara kami. Keheningan itu dipecahkan oleh tawa Yosaki-san.
“Hehe. Lega aku. Aku pikir
mungkin kamu akan menolak.”
“Tidak mungkin aku
menolak...Ah, tunggu. Mungkin malah akan jadi malu.”
“Tidak bisa. Seko-kun sudah
memberikan izin. Kamu tidak bisa mengubah keputusan itu lagi.”
Dengan berkata demikian, Yosaki-san
tersenyum nakal.
Karena senyum itu, aku yang
mudah terpengaruh olehnya, memutuskan untuk menerima kenyataan yang tampaknya
sudah diputuskan. Yosaki-san kembali tersenyum sambil mengatakan bahwa dia
menantikan untuk bertemu dengan ibu ku, kemudian dia mengubah topik
pembicaraan.
“Ngomong-ngomong. Seko-kun,
apakah pilihan sekolahmu masih sama seperti sebelumnya?”
“Ah, ya. Kelihatannya tidak
ada masalah sepertinya.”
“Itu bagus sekali. Jika kamu
memiliki kepercayaan penuh, maka kamu bisa lebih rileks.”
“Ya, begitulah.”
Tanpa ada alasan untuk
membahas hal negatif, aku hanya berbicara tentang hasil yang positif. Yosaki-san
tampak senang mendengarnya, dan aku pun puas telah membagi cerita tersebut.
Omong-omong, aku pernah
membahas tentang pilihan sekolah ku kepada Yosaki-san hanya sekali, dan
meskipun Yosaki-san tampaknya mengingat pilihan sekolah ku, aku tidak pernah
mendengar pilihan sekolahnya sejak itu, dan aku masih belum tahu apa pilihan
sekolah Yosaki-san.
Ketika aku kembali mengingat
fakta yang membuat ku merasa sedih, tiba-tiba aku mendengar suara yang akrab
dari kejauhan.
“Rento, pembicaraan dengan
gurumu sudah selesai, jadi mari kita pulang.”
Tanpa perlu menoleh, aku tahu
itu adalah suara ibuku.
“Oh? Jangan-jangan itu ibu
Seko-kun?”
Benar saja, Yosaki-san dapat
langsung menyadari bahwa wanita yang memanggil nama saya itu adalah ibu ku.
Aku memang telah membuat janji agar Yosaki-san dapat bertemu dengan ibu ku, tapi tetap saja, rasanya malu memperkenalkan gadis yang aku sukai kepada ibu.
Lebih dari itu, aku tidak
tahu apa yang mungkin ibu katakan kepada adik perempuan ku.
Jadi, yang harus aku lakukan
selanjutnya hanyalah...melarikan diri.
“Ah, tampaknya pembicaraan
sudah berakhir ya. Karena ibu Yosaki-san juga akan datang, mungkin sudah
waktunya aku untuk permisi.”
Meski dengan akting yang
buruk, aku mencoba untuk meninggalkan tempat itu.
“Seko-kun?”
Aku merasakan tekanan dari
Yosaki-san, tapi aku harus tetap teguh dalam keputusan ku untuk tidak berbalik.
Jika aku bisa lewat dari
keadaan ini, aku bisa menghindar kali ini. Hingga kesempatan berikutnya datang,
aku bisa membujuk ibu untuk tidak membocorkan apa pun.
“Rento, siapa gadis di
sebelahmu itu?”
Namun, itu tidak sesuai
dengan rencana. Ibu yang datang dari depan menunjukkan minat pada Yosaki-san,
dan itu membuat kakiku berhenti. Dan Yosaki-san tidak melewatkan kesempatan
itu.
“Ibu, perkenalkan nama Saya
Yosaki Misa, teman sekelas Seko-kun.”
Yosaki-san melangkah maju dan
memberikan salam yang sopan pada ibuku. Ibu terlihat sedikit terkejut untuk beberapa
saat, tapi setelah mendengar nama Yosaki-san, dia bergumam “Ah,” dan tersenyum
dengan ramah.
“Jadi kamu. Terima kasih ya,
anak lelakiku ini sudah banyak merepotkanmu.”
“Tidak, tidak sama sekali.
Tidak merepotkan. Justru saya yang merasa ditemani oleh Seko-kun.”
“Tidak apa-apa, sayang. Silahkan
gunakan Rento sepuasnya. Itu juga seharusnya menjadi hadiah untuk Rento.”
“Hei, Ibu. Jangan mengajari Yosaki-san
hal-hal aneh, oke?”
Aku mencoba menghentikan
mereka sebelum percakapan melenceng lebih jauh, tapi ibu hanya menunjukkan
wajah nakal dan tidak menunjukkan sedikit pun indikasi bahwa dia akan berhenti.
Yosaki-san juga, tampak
tertarik dengan apa yang dikatakan ibu.
“Sebuah hadiah untuk Seko-kun?”
“Ya, ya. Dan betapa cantiknya
kamu. Kamu persis seperti yang Rento ceritakan.”
“Rento membicarakan tentang
saya di rumah?”
“Dia sudah membicarakan
begitu banyak tentangmu, sampai aku tidak mengerti mengapa dia bisa berada di
kelas yang sama denganmu, dan bagaimana dia cerdas, bagaimana dia dapat
mengungkapkan pendapatnya dengan berani dan keren, dan juga... bahwa kamu telah
menyelamatkannya. ...Misa-chan.”
Ekspresi ibu berubah menjadi
serius. Kemudian dia berkata,
“Terima kasih telah
menyelamatkan Rento, sungguh.”
Dia mengucapkan terima kasih
dan membungkuk.
Aku terkejut dengan tindakan
tiba-tiba itu, namun Yosaki-san, orang yang bersangkutan, mulai terlihat panik
dengan jelas. Ini adalah reaksi langka darinya.
“Ah, tolong angkat kepala
anda. Saya hanya mengutarakan apa yang ingin saya sampaikan, dan kenyataan
bahwa lingkungan di sekitar kami bisa berubah adalah hasil dari usaha Seko-kun
sendiri. Jadi, ibunda Seko-kun tidak perlu membungkuk di hadapan saya.”
“Misa-chan...”
Ibu mengangkat kepalanya
perlahan, dan setelah menatap Yosaki-san dengan mata yang bergetar, dia –
mendadak memeluknya.
“Kyaa!?”
“Ah, Misa-chan, kamu luar
biasa! Aku jadi ingin jatuh cinta padamu!”
“Ibu...”
“Hei hei hei hei. Ibu, itu
terlalu berlebihan. Dan sejak kapan Ibu memanggil Yosaki-san dengan namanya?!”
“Oh, apakah Misa-chan tidak
suka?”
“Tidak, tentu saja tidak.”
“Lihat, Misa-chan berkata
seperti itu. Ah, cemburu seorang pria itu tampak jelek ya.”
“Yosaki-san hanya mencoba
bersikap baik padamu!”
Aku berjalan mengelilingi ibu
dan mencoba melepaskan pegangannya dari Yosaki-san.
“Yosaki-san, kamu punya
pertemuan tiga pihak setelah ini, jadi kita harus pulang sekarang.”
“Aku ingin bertemu tiga pihak
dengan Misa-chan seperti ini.”
“Tolong hentikan!”
“...Fufu. Rento memang mirip
dengan ibunya.”
“Tunggu, Yosaki-san. Apa
maksudmu dengan itu?”
“Tapi... fufu.”
Yosaki-san hanya tertawa
jahil menanggapi pertanyaan ku dan tidak menjawab. Namun, karena dia terlihat
lucu, aku membiarkannya. Tapi tidak untuk ibu.
Setelah itu, aku hampir
secara agresif menarik ibu pergi, meninggalkan Yosaki-san di belakang, dan kami
pun pulang.
“Aku tahu ini akan terjadi,
itulah sebabnya aku tidak ingin ibu bertemu Yosaki-san...”
“Rento, lain kali, bawalah
Misa-chan ke rumah. Aku ingin berbicara lebih banyak dengannya.”
“Kata-kataku barusan nggak
kedengaran...?”
“Kenapa enggak, kan? Misa-chan
pasti bakal nerima semua kekuranganmu. Lagian, suatu hari nanti juga bakal
ketahuan, jadi mending kasih tahu sekarang,”
Walaupun itu urusan yang
nggak perlu diketahui orang lain, aku tahu akan sulit terus-terusan
menyembunyikan aibku. Ya, aku akan berusaha sih.
Dengan sengaja, aku mendesah
panjang.
“Kalau ada kesempatan, aku
bakal coba ajak dia.”
“Ibu Cuma bilang karena nggak
yakin kamu punya nyali segitu, jadi jangan berharap terlalu banyak ya.”
“Ya, ya, begitu kalo begitu.”
“...Rento.”
“Hm?”
“Syukurlah kamu bertemu
Misa-chan.”
“...Iya.”
Meskipun aku punya banyak
pikiran tentang komentar ibuku yang berkaitan dengan Yosaki-san, itu satu hal
yang bisa aku setujui dengan pasti.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Beberapa saat setelah musim
dingin mulai terasa benar-benar keras, tiba hari yang telah lama kami
tunggu-tunggu. Akhirnya, kami menghadapi ujian masuk yang sesungguhnya.
Kami bertemu di SMA yang akan
kami uji coba, berangkat langsung ke sana, dan bergabung dengan Oda-san yang
sudah datang lebih dulu.
Memang lebih nyaman memiliki
kenalan di sana, tapi nomor ujian Oda-san dan aku terdistribusi di kelas yang
berbeda, jadi kami harus terpisah. Sepertinya siswa dari sekolah yang sama
tidak selalu dikelompokkan bersama. Mungkin ini adalah tindakan yang wajar
untuk mencegah kecurangan.
Seketika, aku merasa
sendirian dan ada beberapa masalah kecil, tapi aku bisa mengatakan bahwa aku
telah melakukan yang terbaik. Dan kemudian waktu berlalu, seminggu kemudian.
Sekali lagi, aku menuju ke SMA
tempat kami mengikuti ujian. Bukan hanya aku, tapi juga siswa dari SMP ku dan
dari sekolah lain.
Ya, hari ini adalah hari
pengumuman hasil ujian masuk. Ketika waktunya tiba, nomor ujian para peserta
yang lulus akan terpampang di papan pengumuman di depan gedung sekolah.
“Uuh, deg-degan banget nih, Seko.”
“Tenang aja. Pasti kita lulus
kok.”
Aku menepuk bahu Oda-san yang
gemetar karena gugup, dan menunggu waktu itu tiba.
“Datang!”
Suara itu terdengar dari
mana-mana ketika dua guru dengan selembar kertas besar datang ke arah kami.
Beberapa orang berdoa.
Beberapa menolak untuk melihat kenyataan dan menutup mata mereka. Dan yang lainnya
hanya menatap kertas itu ditempelkan ke papan pengumuman. Ada berbagai reaksi
dari semua orang, dan akhirnya, hasilnya diumumkan...
“Yessss, berhasil!”
“Ada! Nomorku ada!”
“Ah, haha... nggak ada...”
“Pasti kelewat. Nomorku
harusnya ada. Cari, cari, cari!”
Di tengah sorak-sorai dan
jeritan dari para siswa yang berkumpul di depan papan pengumuman, aku memeriksa
nomor di tanganku dan mengangkat tinju dalam pose kemenangan.
“Seko! Nomor ujianku ada!
Ada!”
“Aku juga, Oda-san. Sampai
jumpa lagi di sekolah, ya.”
“Huuh... tentu saja. Kita
akan memulai serial Happy High School bersama Seko.”
“Apa itu jalannya kehidupan
SMA?”
“Jangan terlalu peduli dengan
detailnya... Ah, maaf. Aku harus memberi tahu ibuku tentang hasilnya. Aku akan
menelepon sebentar, jadi izinkan aku meninggalkan tempatku.”
“Silakan, santai saja.”
Oda-san pun pergi
meninggalkanku sendirian.
“...Fuu.”
Baiklah. Ujian yang panjang
namun singkat itu sudah selesai, aku bisa mengambil napas sejenak. Tapi
sekarang, aku harus memikirkan hal selanjutnya. Tentang Yosaki-san.
Kemungkinan, Yosaki-san dan
aku akan berakhir di SMA yang berbeda. Ketika menjadi bagian dari komunitas
yang berbeda, hubungan biasanya menjadi semakin renggang.
Jadi, mungkin ini adalah
waktu ketika hubungan kami paling erat. Maka dari itu, waktu yang terbaik untuk
menyatakan perasaanku hanyalah selama periode sebelum lulus SMP.
Bersiaplah, diriku. Hanya
perlu menyampaikan perasaanku. Apapun hasilnya, aku ingin Yosaki-san tahu
tentang perasaanku.
Aku sudah gugup. Gambaran Yosaki-san
mulai terlihat di depan mata.
“Seko-kun.”
Mendadak, hampir seperti
halusinasi. Apakah aku akan mampu bertahan hingga hari pengakuan?
“Seko-kun?”
Ah, Yosaki-san yang tampak
bingung itu memang manis sekali.
“...Jangan mengabaikanku, itu
menyedihkan, Seko-kun.”
“Eh!?”
Kembali tersadar, aku
mengedipkan mataku berkali-kali. Tapi sosok Yosaki-san tidak hilang. Yosaki-san
yang aku lihat di depan mata bukanlah ilusi, tapi memang Yosaki-san yang
sebenarnya.
Dia sedikit membusungkan
pipinya, memandangiku dengan tatapan sinis.
“Eh, Yosaki-san?”
“Seko-kun. Aku sudah
memanggilmu dari tadi, tapi kenapa kamu tidak merespons?”
“Ah, maaf, eh? Tunggu
sebentar. Kenapa Yosaki-san ada di sini?”
“Kenapa aku ada di sini?
Fufu. Belum sadar juga? Mungkin Seko-kun juga sangat gugup, ya?”
Yosaki-san tersenyum manis
lalu menunjukkan nomor ujian yang dipegangnya.
“Jelas karena aku juga
mengikuti ujian di sini.”
Di sana tertulis nama SMA
yang sama persis dengan yang aku masuki.
“Kamu tadi sempat membuat
pose kecil dengan tanganmu setelah melihat papan pengumuman, jadi kamu lulus
kan?”
“Eh, kamu melihatnya?
Memalukan... tidak, bukan itu maksudku. Maaf Yosaki-san, bisakah kamu ulangi
sekali lagi?”
“Seko-kun, kamu melakukan
pose kemenangan dengan tanganmu setelah melihat papan pengumuman...”
“Yang sebelum itu! Jangan
ulang kata yang memalukannya!”
“Fufu, maaf. Jadi... Aku juga
akan bersekolah di SMA yang sama dengan Seko-kun. Jadi, Seko-kun, mari kita tetap
bersama mulai dari sekarang ya.”
“....Eeeeeeeeeee!?”
Pada hari itu, di tempat itu, seseorang yang paling keras teriaknya pastilah aku. Begitu mengejutkannya fakta yang diungkapkan oleh Yosaki-san.
✧
₊ ✦ ₊ ✧
Sambil mengenakan seragam
baru, aku berangkat menuju gedung sekolah yang akan merawatku selama tiga tahun
ke depan.
Sekolah SMP tempatku lulus
juga cukup dekat untuk berjalan kaki, dan SMA tempatku akan bersekolah juga
bisa dicapai dengan berjalan kaki. Sungguh aku berterima kasih pada orang tuaku
yang telah memilih tempat tinggal di lokasi ini.
Setelah sampai di sekolah,
aku menuju ke kelas yang telah diberitahukan sebelumnya, dan tampaknya sebagian
besar teman sekelas sudah berkumpul di sana.
Di antara mereka, terlihat Oda-san
dan Yosaki-san.
Saat aku hendak menyapa kedua
orang tersebut, guru wali kelas kami yang tampaknya baru masuk bersamaan denganku,
berdiri di depan kelas.
"Hei, duduklah. Kita
akan segera melakukan absensi sebelum menuju ke tempat upacara masuk
sekolah."
Mengikuti instruksi dari guru
wanita yang berbicara tanpa terlihat bersemangat, aku menyerah untuk menyapa
kedua orang itu dan duduk di kursiku.
Setelah itu, kami mendapatkan
sedikit perkenalan dari Matsui-sensei yang akan menjadi wali kelas kami, lalu
kami dipandu ke aula olahraga tempat upacara masuk akan diadakan.
Selama perjalanan, aku bisa
mendengar percakapan teman sekelas.
"Hei, lihat, gadis itu
sangat cantik bukan?"
"Ah, kita beruntung
ya."
"Hei, lihat, kulitnya
sangat cantik."
"Rambutnya juga indah...
matanya besar, hidungnya lurus, benarkah dia manusia seperti kita ya?"
Semua itu adalah kata-kata
yang memuji Yosaki-san.
Aku sudah tahu, kecantikan Yosaki-san
tidak hanya berlaku di SMP, tapi tampaknya juga di SMA ini, teman sekelas
saling berbisik satu sama lain sambil sesekali melirik Yosaki-san.
Di sisi lain, orangnya
sendiri tampaknya tidak peduli sama sekali, sikap itu malah membuatnya
dikatakan keren. Benar-benar hebat.
Ini adalah sesuatu yang bisa
diprediksi sejak awal. Bahkan mungkin sekolah akan dipenuhi konflik mengenai Yosaki-san
suatu hari.
Makanya aku agak panik.
Sejenak aku merasa lega mengetahui bahwa aku bisa bersekolah di SMA yang sama
dengan Yosaki-san, namun segera setelah itu aku menyadari bahwa jumlah pesaing
telah meningkat secara drastis.
Itulah saat aku berpikir.
Lebih baik aku mengambil langkah terlebih dahulu. Aku sudah siap di hari
pengumuman kelulusan. Hanya saja timingnya yang sedikit mundur, tetapi apa yang
harus dilakukan tetap sama.
Setelah upacara masuk, kami
menerima penjelasan ringkas dari wali kelas tentang kehidupan sekolah, dan
setelah perkenalan singkat dari teman sekelas, hari pertama pun berakhir.
Mendengar kata "Oke,
hari ini sudah selesai" dari Matsui-sensei, aku langsung mendekati Yosaki-san
dan meminta dia untuk datang bersamaku ke belakang gedung sekolah sesudahnya.
Yosaki-san mengiyakan dengan
senang hati.
Kami berjalan melalui koridor
sekolah yang masih asing, menuju ke belakang gedung bersama Yosaki-san. Selama
itu, jantungku berdebar keras, sampai-sampai aku khawatir kalau-kalau akan
terlonjak keluar dari mulutku.
Setelah sampai di tempat sepi
di belakang gedung sekolah, aku menghentikan langkah dan berhadapan dengan Yosaki-san.
"Ada apa? Seko-kun"
Angin berhembus, rambutnya
yang bergoyang dan badai bunga sakura terlihat begitu fantastis. Sambil takjub
akan pandangan itu, aku menyampaikan perasaanku.
"Aku menyukai mu...
Tolong berpacaran dengan ku!"
Kata-kata pengakuan cinta
yang tanpa pesona sama sekali. "Pengakuan terkuatku" yang aku
pikirkan hingga larut malam lenyap dari benakku sejak aku melihatnya tadi.
Walaupun masih ada sedikit
dingin di awal musim semi ini, wajahku semakin panas dan rasanya seperti
telingaku juga ikut memanas.
Dia tampak terkejut sejenak
oleh pengakuanku. Matanya yang sudah besar itu terbuka lebar.
Aku menelan ludah. Aku ingin
mengalihkan pandanganku dari dia. Tapi aku tak bisa bergerak sampai mendapat
jawabannya. Mataku terpaku pada gerakannya. Lalu, di saat berikutnya, bibirnya
yang indah terbuka─
"Maafkan aku."
Dia menyatakan dengan
ekspresi sedih. Tapi dia mengatakan itu dengan tegas.
BAB SEBELUMNYA=DAFTAR ISI=BAB SELANJUTNYA
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.