Sukina ko no shinyu ni hisoka ni semararete iru Chapter 1

Ndrii
0

 Chapter 1

Cinta Rento Seko


Posisi ku, Rento Seko di kelas adalah sebagai orang yang di bully.

 

Dalam komunitas tertutup seperti sekolah, secara alami tercipta sistem kasta.

Sejak masuk SMP, aku termasuk dalam kelompok atas. Namun, bukan karena aku keren atau alasan serupa. Aku hanya dibawa masuk sebagai mainan kelompok atas.

 

Kelompok atas selalu terlihat glamor. Bahkan hanya dengan berbasa-basi, mereka terlihat memiliki daya tarik yang cerah seolah mengatakan inilah masa muda. Mungkin tergabung di dalam, aku juga tampakinar jika dilihat luar.

 

Namun hatiku buruk. Aku diberi posisi yang tidak diinginkan dan diserap oleh atmosfir yang menganggap itu sebagai hal wajar. Aku kehilangan pemahaman tentang tujuan eksistensiku Namun, aku tidak kuat untuk mengubahnya. Itulah sebabnya aku masih di sini.

 

Meski kelas berubah  dan terjadi pergantian kelas, hal itu terus berlanjut. Saat menjadi siswa kelas tiga dan menuju kelas baru, seorang anak laki-laki dari kelompok atas melambaikan tangan kepadaku, “Hei, ke sini”.

 

Itu bukan sinyal untuk memanggil seorang teman. Namun aku mengikutinya.

 

“Dia ini jago tiru suara. Ayo, tunjukkan. Tirukan adegan itu dari drama yang sedang hit!”

 

Anak laki-laki itu sudah satu kelas denganku sejak tahun pertama, dan selalu membuat tantangan tidak masuk akal ini, menyudutkanku yang memalukan untuk menjadi bahan tertawaan. Walaupun aku tahu itu, aku masih mencoba untuk memenuhi permintaannya, sungguh bodoh.

 

Saat melirik ke grup, aku melihat ada wajah yang tidak dikenal. Seorang gadis yang baru menjadi kelas satu bersamaku setelah pergantian kelas. Sepertinya dia ingin menunjukkan kekuatannya kepada gadis itu.

 

Tapi itu tidak penting. Sekarang aku harus melakukan apa yang telah dikatakan.

 

“Kalian akan membayarnya dua kali lipat!”

 

Aku mencoba menirukan satu adegan dari drama yang hanya kulihat sekilas saat ibuku menonton di rumah.

 

Sebenarnya aku tidak pandai meniru, dan aku tidak mengenal drama tersebut, jadi kualitas tiruanku sangat buruk. Namun, inilah yang diinginkan si pembully.

 

“BUAHAHA! Apa ini, kamu jelek sekali! Katanya kamu jago tiru suara, itu bohong ya?”

 

Setelah dia tertawa, teman-teman sekelas di sekitarnya juga mulai tertawa. Aku juga hanya bisa tertawa pahit sambil menundukkan kepala. Namun, ada satu orang yang tidak tertawa sama sekali.

 

“Itu tidak lucu.”

 

Saat dia menyuarakan pendapatnya, suasana seketika membeku. Siswa laki-laki yang membully ku kebingungan dan yang lainnya tampak canggung menundukkan mata mereka.

 

“Ah, tidak lucu? Hei, Seko! Kau membosankan dengan tiruanmu yang itu—”

 

“Kamu yang menyuruhnya melakukan itu, kan? Mengapa kamu menyalahkan dia sekarang? Dan yang lainnya juga hanya ikut-ikutan, tidak sepertinya ada yang merasa situasi ini salah. ...Orang-orang yang membosankan.”

 

Dia berkata dengan nada suara kecewa. Teman-teman sekelasku yang mengolok-olokku terlihat makin menciut.

 

Detik berikutnya, pandangannya bertemu dengan pandanganku. Aku nyaris terhipnotis oleh matanya yang besar dan cantik.

 

“Kamu juga, tidak memiliki pendirian, hanya tunduk pada omongan mereka. Membosankan.”

 

Setelah itu, dia berbalik dan dengan rambut hitam panjangnya yang indah berayun dan meninggalkan kami.

 

Sejak itu, mereka tidak lagi menggoda atau mengejekku. Akibatnya, aku kehilangan tempatku di kelompok atas dan benar-benar menjadi sendiri.

 

Namun, kata-katanya terus menggema di benakku, “Lelaki yang tidak memiliki pendirian sendiri itu membosankan.”

 

Aku berpikir ini tidak bisa berlanjut. Aku ingin berubah. Untuk itu, aku merasa harus mulai bergerak sendiri untuk memecahkan situasi ini. Bergerak secara aktif.

 

“Ah, itu ...”

 

“hm ...?”

 

“... Ada apa?”

 

Waktu istirahat. Saat aku mendekati dua anak laki-laki yang sedang berbicara di sudut kelas, mereka melihat wajahku dengan ekspresi bingung.

 

Itu juga benar. Mereka juga telah menyaksikan keseluruhan peristiwa itu. Mungkin mereka berpikir bahwa aku mendekati mereka karena telah ditinggalkan oleh teman-temanku sebelumnya. Itu adalah asumsi yang wajar.

 

Namun, aku tahu aku tidak boleh lari dari situasi ini dan harus bertahan dengan segala cara.

 

“Maaf, seperti aku mendengarkan percakapanmu. Aku mendengar kalian berbicara tentang Torupani tadi, bolehkah aku ikut bergabung dalam diskusi...?”

 

Torupani, nama resminya adalah “Tornado Panic,” adalah komik shounen yang mengisahkan tentang seorang pemuda yang mengendalikan sihir angin dan menggunakan kekuatannya untuk melindungi heroin dari makhluk-makhluk jahat, dan kadang-kala memasukkan adegan-adegan sedikit nakal atau dewasa.

 

Mereka telah berbincang-bincang tentang Torupani sejak tadi. Faktanya, aku juga merupakan pembaca setia dari komik tersebut, dan itu membuatku ingin berbincang dengan mereka.

 

Salah satu teman sekelasku yang aku ajak bicara itu mengangkat kacamatanya dan matanya... tidak, kacamatanya yang bercahaya.

 

“Siapa karakter favoritmu?”

 

“Ah, um... mungkin, Fuu-chan?”

 

“Hmm. Fuu-chan, gadis muda yang masih memiliki kepolosan pada wajahnya dan rambut pendeknya, yang energik itu. Apa yang membuatmu tertarik?”

 

“Selalu ceria dan menjadi pemberi semangat, namun sebenarnya dia perhatian dan sering merasa khawatir sendirian, yang membuatnya tampak sangat kuat. Dan... bagaimana dia diam-diam jatuh cinta pada si pahlawan utama.”

 

“Aku setuju!! Para pendatang baru sering kali hanya menekankan energinya yang berlebihan atau sifatnya yang baik, tapi kehebatan sejatinya ada di tempat lain! Kontras antara sifat terang dan gelapnya, yaitu perbedaan antara sikapnya di depan dan di belakang, dan rasa cinta rahasianya. Ah, indahnya. Engkau cukup memahaminya, bukan?”

 

“Er, terima kasih.”

 

Reaksi yang sangat antusias dan tidak terduga membuatku sedikit mundur, tapi hatiku terasa lega. Seperti kabut yang menyelimuti pandanganku telah tersingkap.

 

Aku belum pernah berdiskusi tentang manga yang aku baca sebelumnya. Sepertinya, ini adalah pertama kalinya aku berbicara tentang kesukaanku.

 

“Oleh karena itu, aku mendukung Wind-chan. Payudaranya yang besar itu adalah yang terbaik.”

 

“Komentar yang sangat representatif dari seorang pendatang baru.”

 

“Apa yang kamu katakan! Tanpa payudara besar, kamu tidak bisa berbicara tentang Wind-chan!”

 

“Kamu masih hijau, Oda-kun. Jadi, istrinya adalah Tatsumaki-chan. Kecil dan imut itu yang terbaik.”

 

“............”

 

“............hmm?”

 

“Tidak, tidak. Kamu tidak akan melanjutkan pendapatmu? Kamu masih belum mengatakan apa-apa yang mendetail.”

 

“Untuk menyampaikan daya tarik Tatsumaki-chan, tidak perlu banyak kata.”

 

“Semuanya soal cara berbicara, ya?”

 

Saat berbicara dengan mereka, aku tidak bisa tidak menambahkan interupsi. Interaksi tersebut terasa menyenangkan. Mereka juga tertawa dengan senang hati.

 

Lingkaran mereka yang melingkari semakin melebar, dan aku merasa bahwa aku telah disertakan di dalamnya.

 

Kemudian saat aku sedang berbicara sepele dengan mereka, Oda dan Maniwa, aku merasakan ada pandangan tertuju padaku dan aku menoleh ke arah tersebut. Di sana, dia berdiri, gadis yang memberiku kesempatan untuk berubah—Yosaki Misa.

 

Pandangan kami bertemu. Ini adalah kedua kalinya. Sebelumnya, dia melihatku dengan pandangan penuh kekecewaan. Namun kali ini—

 

“Hehe.”

 

Dia tersenyum.

 

Entah bagaimana, aku merasa seolah telah diakui olehnya. Pada saat itu, aku merasakan jantungku berdetak keras.

 

Setelah satu detak besar, jantungku terus berdetak kencang.

 

Rasa ini berlanjut selama kelas, bahkan setelah pulang sekolah dan aku sendirian di rumah. Sebelum tidur, ketika aku menutup mata, aku bisa merasakan detak jantungku yang keras sambil wajahnya yang tersenyum terbayang dalam pikiranku.

 

Aku yakin. Aku telah jatuh cinta pada Yosaki Misa.

 

✧ ₊ ✦ ₊ ✧

 

Beberapa minggu setelah naik ke kelas tiga, aku menyadari bahwa langkah kakiku yang sebelumnya terasa sangat berat saat berangkat sekolah, kini terasa ringan.

Aku mulai tidak merasakan stres saat pergi ke sekolah.

 

Bahkan bisa dibilang aku mulai menikmatinya. Yah, sebenarnya pelajaran masih menyebalkan, tapi setidaknya berbincang dengan Oda-san dan yang lainnya itu menyenangkan. Dan juga. Karena dia ada di kelas yang sama.

 

“Hei, Oda-san, Maniwa-san. Kenapa tokoh utama Torupani bisa sepopuler itu?”

 

Di sudut kelas, di sekitar tempat duduk Oda tempat kami biasa mengobrol, aku memulai topik percakapan seperti itu.

 

“Apa-apaan itu, Seko? Tiba-tiba aja kamu ngomong gitu.”

 

“......Ah, nggak, Cuma tiba-tiba kepikiran. Maksudku, gimana bisa dia dikit-dikit didekati hampir sepuluh heroine, keren banget sih itu.”

 

“Memang sih, aku juga paham perasaan itu. Tapi itu kan Cuma fiksi, nggak bisa dianggap serius gitu aja,” katanya padaku.

 

Meski aku ingin membantah, Oda-san tiba-tiba berdiri dengan semangat.

 

“Maniwa! Itu salah! Meski itu fiksi, kita, orang-orang yang menikmatinya, adalah manusia hidup. Pesona yang membuat seorang heroine tertarik, itulah yang juga memikat kita para pembaca pada tokoh utama! ...Tidak ada karya yang tidak relevan di dunia ini.”

 

Melihat Oda-san yang berapi-api, Maniwa-san memandangnya dengan matanya berbinar.

 

“Oh, Oda-kun! Aku salah! Ya. Buku pelajaran kita bukan hanya dari buku matematika atau ilmu pengetahuan alam yang diberikan di sekolah. Manga dan novel juga adalah buku pelajaran kehidupan yang sah!”

 

“Yah. Aku senang kau akhirnya paham juga, Maniwa. Aku bahagia.”

 

Oda-san yang puas akhirnya kembali ke tempat duduknya. Topik yang aku lemparkan berubah jadi diskusi seru tak terduga oleh Oda-san dan Maniwa-san, tapi itu bukan topik utamanya.

 

“Jadi, menurut Oda-san gimana?”

 

“Hmm, dalam karya itu, sang tokoh utama seringkali membuat heroine jatuh hati setelah menyelamatkan mereka dari krisis. Dari segi itu, bisa dibilang tokoh utamanya punya pesona heroik,” kata Oda.

 

“Jadi, jenis orang yang bisa datang dan menyelamatkan mereka di saat krisis ... begitu ya?”

 

“Krisis ...... krisis, hmm.”

 

Aku membayangkan. Bayangan diriku yang datang secara heroik saat dia berada dalam kesulitan.

 

...... Sulit untuk membayangkan dia dalam situasi seperti itu.

 

Melihat ekspresiku yang penuh keraguan, Oda-san tersenyum dengan lembut.

 

“Jangan khawatir. Pesona yang membuat orang tertarik tidak terbatas pada itu saja. Pikirkan lebih dalam. Tidak semua orangtua kita punya cerita pertemuan yang romantis, kan?”

 

“Itu benar.”

 

“Aku juga tidak pernah mendengar kisah seperti itu dari orangtua ku.”

 

“Benar. Yah, meski aku sendiri pun belum punya pengalaman cinta nyata, tapi aku bisa bilang ini. Pesona yang membuat seseorang tertarik pada orang lain itu terletak pada tindakan keseharian orang tersebut.”

 

“Ooh. Oda memang keren ya.”

 

“Sungguh seorang master cinta!”

 

Aku dan Maniwa-san berseru sambil berdecak mengagumi Oda-san.

 

Lantas, Oda dengan bangga mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan kemudian seperti malu-malu, “Ah, jangan puji aku terlalu hebat,” katanya mencoba meredam pujian dari kami. Kami pun tanpa sadar tertawa melihat tingkah Oda.

 

Oda sangat mencintai game percintaan dan sudah memainkan berbagai judul. Mungkin karena itulah ia kadang-kadang mengungkapkan pemikiran yang bijak tentang cinta. Entah itu benar-benar berguna atau tidak, karena aku tidak memiliki pengalaman cinta, aku tidak bisa memastikan, tapi kata-katanya memang menyentuh hati.

 

Tiba-tiba, aku tertarik pada gerak-gerik seorang teman sekelas. Dia mengangkat tumpukan buku catatan yang telah dikumpulkan di atas meja guru. Bukti catatan kami yang diminta guru untuk diserahkan di akhir pelajaran.

 

Dia memegang begitu banyak catatan sehingga kedua tangannya tak bisa melakukan apa-apa. Dalam keadaan seperti itu tentu sulit baginya untuk membuka pintu kelas. Aku berpikir demikian dan segera membuka pintu untuknya.

 

Dengan pintu sudah terbuka, aku tidak perlu lagi khawatir dan kembali ke tempat duduk. Tapi saat aku menoleh, pandangan kami bertemu.

 

“Seko.”

 

“Uh, apa?”

 

“......Tidak, tiba-tiba aku berpikir. Aku rasa, ada satu daya tarik mutlak pada tokoh utama Torupani lainnya. Itu adalah kebaikan. Sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup. Dia dapat memberikannya secara alami. Mungkin itulah mengapa para heroine jatuh cinta padanya.”

 

“Terkesan mewah ya.”


“Hal yang terlihat mudah, kadang bisa sangat sulit lho.”

 

“Aku paham. Saat ingin banget dapetin Hadiah D favorit, eh malah dapet Hadiah A atau B dari karakter lain ya kan.”

 

“Hahaha! Itu perumpamaan yang pas. Kamu paham banget, Maniwa-san.”

 

Kali ini Oda-san memuji Maniwa-san, dan Maniwa-san tampak malu-malu sambil menggaruk kepalanya. Perumpamaannya tidak terlalu mengena padaku, tapi kurasa aku bisa mengerti maksudnya.

 

Bagiku, menjaga posisi yang ada saja sudah sulit, meskipun orang lain mungkin bilang mudah. Ya, sesuatu yang mudah bagi seseorang bisa jadi sulit bagi orang lain.

 

“Tapi, ada orang yang kelihatannya bisa hidup sendirian. Misalnya, itu loh...”

 

Aku mengikuti pandangan Maniwa-san. Tak perlu mengejar pandangannya, aku langsung tahu. Yang ada di sana adalah tempat duduk Yosaki Misa.

 

Meskipun waktu istirahat, Yosaki-san tetap duduk di tempatnya sambil asyik membaca novel yang dia bawa. Ini bukan Cuma hari ini terjadi.

 

“Sebenarnya kami sudah satu kelas dengan dia sejak kelas satu. Awalnya, banyak orang yang mendekatinya, tapi tak seorang pun yang bisa akrab dengan dia, dan pada akhirnya selalu berakhir seperti ini.”

 

“Dia seperti orang yang ada di puncak piramida sosial. Puncak segitiga itu sangat sempit, dan mereka yang berhasil mencapainya tidak memerlukan orang lain, mampu mengatasi segalanya sendiri. Mungkin mereka hidup di dimensi yang berbeda dari kita.”

 

“Ia seperti putri yang kesepian. Wah, keren sekali.”

 

“Ngomong-ngomong soal keren, karakter favorit Maniwa-aan, Tatsumaki juga keren, kan?”

 

“Kamu terlalu polos, Seko-kun. Mungkin Tatsumaki-chan terlihat dingin di awal, tapi karena dia bokukko dan suka menambahkan ‘ssu’ di akhir kalimatnya, kekhasan manisnya itu juga menambah kontras dengan ekspresi wajahnya yang datar dan itu memperkuat pesonanya—”

 

“Ah, ya. Aku bicara sembarangan. Memang benar, karakternya Yosaki-san sangatlah berbeda.”

 

Ketika aku berkata begitu, Maniwa-san mengangguk seolah mengerti. Maniwa-san yang biasanya tidak terlalu banyak bicara tentang pesona Tatsumaki, kemana perginya? Rupanya ketika membahas tentang karakter favorit, seseorang bisa jadi tidak bisa berhenti bicara.

 

“......Hmm?”

 

Aku merasakan ada pandangan dari kejauhan. Arahnya adalah tempat yang baru saja ku arahkan pandanganku sebelumnya.

 

Denyut nadiku meningkat. Jika aku menoleh sekarang, aku rasakan mata kami akan bertemu. Untuk menghindarinya, aku menahan leherku agar tidak bergerak.

 

......Mengapa?

 

Dia tampak menikmati waktu sendirinya, dan aku tidak ingin mengganggunya.

 

 ......Kapan aku mendengar perasaannya?

 

Lagi pula, entah kenapa, dia yang sedang melihat ke arahku. Sebenarnya, apa yang aku mau? Meskipun kita berada di ruang yang sama atau tempat yang berbeda, aku selalu memikirkannya. Aku menjadi penakut dan belum juga berbicara dengannya.

 

Bukankah itu sama saja dengan aku yang dulu?

 

Aku bertekad dan menoleh. Memang, mata kami bertemu. Matanya yang tajam dan indah mengunci pandangan ke mataku. Aku bisa merasakan degup jantungku hingga ke ujung jari karena begitu kencang.

 

“Oda-san. Maniwa-san. Aku mau pergi sebentar.”

 

“Eh, mau ke mana?”

 

“Seko-kun. Semoga beruntung ya.”

 

“Aah, terima kasih.”

 

“Eh. Kenapa Cuma aku yang gak nyambung situasinya ya?”

 

Rupanya, Oda-san yang ahli masalah asmara sudah bisa menebak, sementara Maniwa-san sama sekali kelihatan bingung. Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Aku ingin bertindak sebelum aku mengubah pikiranku.

 

Aku meninggalkan tempat Oda-san dan yang lainnya dan berjalan lurus menuju tempat duduknya. Selama itu, mata kami terus bertemu. Aku merasa malu. Tapi, matanya tidak membiarkan pandanganku untuk berkelibat. Dia sangat mempesona hingga itu terjadi.

 

"Yo, Yojaki!"

Dan begitu aku berbicara dengannya, aku langsung salah menyebut namanya dengan mencolok.

 

✧ ₊ ✦ ₊ ✧

 

Meskipun hidupku belum panjang, hanya sekitar empat belas tahun, aku tidak pernah merasa malu seperti saat ini. Ingin rasanya menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya. Wajahku pasti sudah sangat merah sekarang. Bayangkan saja apa yang dia pikirkan saat melihatnya membuatku malu lagi.

 

“Heheh,”

 

Tertegun karena langsung menyebut namanya, dia, Yosaki-san, membalas dengan senyuman. Melihat senyuman itu untuk pertama kalinya sejak lama, aku kembali terpukau.

 

“Ada apa, Seko-kun?”

 

“Oh, kamu tahu namaku?”

 

“…Eh, ya. Kita satu kelas, jadi sudah seharusnya, bukan?”

 

Kegembiraanku saat mengetahui Yosaki-san mengenal namaku sekejap saja, sebelum aku sadar bahwa tidak ada yang spesial tentang hal itu, dan perasaanku agak tenggelam. Tapi, tetap saja, menyenangkan diketahui namaku.

 

“Jadi, aku… Aku ingin berbicara denganmu, Yosaki-san.”

 

“Oh, betapa kebetulan. Aku juga ingin berbicara denganmu, Seko-kun.”

 

“Eh, kenapa!?”

 

“Tadi… kamu tampak sedang berbicara dengan mereka, apakah namaku sempat disebutkan?”

 

“Ah, ah—”

 

Ada masalah. Sepertinya dia mendengar pembicaraan kami dengan Oda-san dan yang lainnya.

 

Bukan seolah kami menggosipkan hal buruk, tapi jujur itu agak canggung. Aku tidak ingin Yosaki-san tahu bahwa aku merupakan penggemar berat Torupani.

 

Tapi, aku juga tidak tahan untuk berbohong, jadi aku memutuskan untuk menjawab dengan cara yang tidak jelas.

 

“Maaf. Kita sedikit membahas tentang imejmu.”

 

“Imejku? Dingin atau tidak bersahabat, mungkin?”

 

“Tidak, bukan itu! Mungkin awalnya Yosaki-san memberikan kesan seperti itu, tapi aku pikir dia memiliki keyakinan yang kuat dan bertindak atas prinsip-prinsipnya, itu menunjukkan dia memiliki semangat yang hangat, bukan? 'Tangan dingin, hati hangat,' begitu kan. Mungkin orang yang tampak dingin di luar justru memiliki hati yang hangat di dalam. Dan, mengabaikan ketidakadilan orang lain sebagai sesuatu yang tidak penting juga menunjukkan bahwa dia memiliki keadilan yang sama untuk semua orang,”

 

Dengan cepat aku berbicara panjang lebar memujinya, lalu,

 

“…aku merasa diselamatkan oleh cara hidup Yosaki-san yang keren itu. Terlambat memang, tapi terima kasih untuk waktu itu.”

 

Aku mengucapkan terima kasih dan menundukkan kepalaku pada Yosaki-san.

 

Sebelumnya, aku tertawa kecil saat mendengar gairah Maniwa-san tentang Tatsumaki, tapi sekarang di depan Yosaki-san, aku hanya berbicara tentang daya tariknya pada dirinya.

 

Aku malu. Aku tidak bisa melihat wajah Yosaki-san. Aku ingin tetap menunduk dan kembali ke tempat Oda-san dan yang lainnya.

 

Saat aku berpikir untuk bertindak tidak wajar seperti itu, aku mendengar suara Yosaki-san,

 

“Seko-kun, angkat wajahmu.”

 

Suaranya sangat lembut, jauh berbeda dengan imej yang dia miliki tentang dirinya sendiri.

 

Menurut suara itu, aku mengangkat wajahku. Lalu di depanku, ada Yosaki-san dengan senyuman yang sangat indah.

 

“Terima kasih, Seko-kun.”

 

Dan entah kenapa, sekarang gilirannya Yosaki-san yang berterima kasih kepadaku.

 

Aku yang terpukau dengan senyuman Yosaki-san, sekarang merasa bingung dengan ucapan terima kasihnya.

 

“Eh, kenapa? Yosaki-san? Kenapa kamu berterima kasih padaku?”

 

“Karena Seko-kun telah memujiku begitu banyak.”

 

“Itu karena aku pikir Yosaki-san sudah sering mendengar pujian seperti itu.”

 

“...Tidak. Ini kali pertama aku menerima kata-kata seperti itu. Jadi, terima kasih.”

 

Sejenak aku berpikir untuk menjahit mulutku karena telah berbicara terlalu banyak, tapi jika dia bisa mengatakan itu, aku bisa memaafkan mulutku yang sudah terburu-buru bicara.

 

“Lagipula, itu adalah sesuatu yang aku lakukan karena aku ingin melakukannya. Seko-kun tidak perlu memikirkannya.”

 

“Tapi tetap saja, aku memang diselamatkan oleh Yosaki-san waktu itu.”

 

“…Baiklah. Kalau begitu, mari kita lakukan ini,”

 

Yosaki mengangkat satu jari telunjuk di masing-masing tangannya dan melanjutkan.

 

“Sebagai ucapan terima kasih, dari sekarang juga kita bisa berbicara seperti hari ini. Atau, tanpa ucapan terima kasih, hanya sebagai teman sekelas biasa untuk berbicara denganku... Aku lebih merekomendasikan yang kedua, bagaimana menurutmu?”

 

Dua pilihan yang ditawarkan Yosaki-san pada dasarnya adalah satu pilihan, dan bagaimanapun juga, itu adalah sesuatu yang sangat aku inginkan.

 

Oda-san pernah berkata. “Yosaki-san yang mendominasi di puncak kasta tidak membutuhkan orang lain.”Tapi, aku tidak berpikir begitu.

 

Memang benar bahwa Yosaki-san memiliki spesifikasi untuk bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Namun, aku yakin tidak mungkin dia sama sekali tidak membutuhkan orang lain.

 

Tidak ada seorang pun di sampingnya sebelumnya, bukan karena tidak ada orang yang benar-benar mengerti dia. Hanya itu yang aku rasakan.

 

“Berhubung ada kesempatan, mungkin aku harus memilih rekomendasi Yosaki-san.”

 

“Fufu, aku senang kamu memilih itu.”

 

Menjadi orang yang benar-benar mengerti dia. Itulah yang aku rasa akan menjadi cara untuk membalas budi padanya.

 

 

 

Setelah hari itu, aku mulai mengajak Yosaki-san ngobrol-ngobrol santai. Awalnya aku kesulitan menemukan topik yang umum sehingga aku merasa bingung harus bicara tentang apa, dan aku menjadi tidak berani untuk mengajaknya bicara.

 

Saat aku merasa ragu-ragu seperti itu, aku merasakan pandangan Yosaki-san tertuju padaku. Aku tidak bisa terus tidak melakukan apa-apa dan menunggu, jadi aku memutuskan untuk maju tanpa rencana yang matang.

 

“Yosaki-san, apakah kamu menonton drama di saluran 9 kemarin malam?”

 

“Maaf, aku tidak terlalu sering menonton drama.”

 

“Oh, begitu ya. Eh, bagaimana dengan ‘Berita Mengejutkan’ yang kemarin?”

 

“Maaf, aku juga tidak sering menonton TV.”

 

Hatiku hampir patah karena terasa semakin berantakan. Kami berdua masih belum tahu apa-apa satu sama lain. Itulah mengapa menemukan topik bersama itu sulit.

 

Namun, kita memiliki kesamaan sebagai siswa sekolah yang sama dan teman satu kelas. Tiba-tiba aku teringat percakapan tentang tes yang harus kita jalani saat kenaikan kelas.

 

“… Bagaimana kalau kita bicara tentang tes terakhir?”

 

“Aku tidak keberatan.”

 

“Berapa skor yang kamu dapat, Yosaki-san?”

 

“Aku mendapatkan nilai sempurna di semuanya.”

 

“Wow, kamu pasti punya banyak cerita menarik ya! Eh, kenapa bisa belajar sebaik itu? Oh, tentu karena kamu berusaha keras yah! Ah, aku juga ingin mendapatkan nilai sempurna di semua mata pelajaran dan bisa mengatakannya...”

 

“Fufu, apa itu?”

 

Aku mencoba agak bercanda dalam bicara dan Yosaki-san tertawa. Aku merasa lega karena mendapat respons yang baik.

 

“Seko-kun.”

 

Yosaki-san memanggil namaku dan menatap mataku langsung. Matanya tampak sedikit gelisah.

 

“Mengapa kamu tidak segera datang mengajakku bicara?”

 

“Err, aku tidak tahu harus bicara tentang apa.”

 

“Sekarang aku tahu. Apakah kamu tidak mencoba menjadi teman bicara yang baik untuk yang lain, sambil menunggu ide topik terlintas di pikiran?”

 

Yosaki-san tampak kesal. Melihatnya membuat ekspresi seperti itu, aku menyadari ada sisi imut pada dirinya yang membuat hatiku berdebar.

 

“Bukan itu, itu lebih santai.”

 

“Kalau begitu, aku ingin kamu lebih santai dalam berinteraksi denganku.”

 

“Aku akan berusaha lebih baik. ...Tapi, aku takut gagal.”

 

“Apa salahnya gagal? Kita masih belum saling kenal dengan baik, jadi kita seharusnya banyak berbicara dan mengumpulkan pengalaman yang banyak. Dan suatu hari, aku juga ingin...”

 

Di situ, Yosaki-san melirik ke arah Oda-san dan yang lainnya.

 

Mungkin aku terlalu memperhatikan Yosaki-san secara berlebihan. Memang, karena dia adalah orang yang aku suka, aku menjadi terlalu fokus padanya, tapi itu semacam gerakan untuk menangani sesuatu yang halus. Yosaki-san sepertinya tidak membutuhkan hal seperti itu.

 

Aku harus berani mencoba tanpa takut gagal, kata-katanya itu kubawa di hati dan aku mencoba semua topik yang terlintas di pikiranku dengan Yosaki-san.

 

Tentu saja ada topik yang Yosaki-san tidak terlalu tertarik, tapi itu tidak terlihat mengganggunya, dan aku pun segera alih ke topik lain.

 

Perlahan-lahan, kami menjadi mudah menawarkan topik bersama, dan percakapan pun menjadi semakin seru.

 

Misalnya, ada percakapan seperti ini.

 

“Pada tes tengah semester kemarin, pas banget tahu, aku buka buku kumpulan soal sebelum ujian dan bagian yang kubaca itu keluar persis di tes. Aku sampai merasa terkesan dengan kebetulan seperti itu.”

 

“Wah, itu bagus ya. Tapi, aku tidak percaya pada kebetulan.”

 

“Eh, tapi itu benar-benar halaman yang aku buka secara acak loh.”

 

“Ngomong-ngomong, itu pertama kali kamu membuka buku soal itu?”

 

“Tidak, sama sekali bukan. Itu buku yang dibagikan di sekolah dan juga jadi tugas.”

 

“Jadi begitu. Kalau gitu, pasti buku itu sudah punya kebiasaan terbukanya di halaman tertentu. Selain itu, kamu pasti juga mempelajari buku soal itu sebelumnya di malam hari sebagai persiapan ujian. Jadi, tanpa sadar kamu sudah tahu halaman mana yang harus kamu buka.”

 

“Mmm, tidak bisa disangkal. Memang, jika dikatakan seperti itu, terasa seolah-olah itu bukan sekedar kebetulan.”

 

“Aku percaya bahwa semua kejadian di dunia ini memiliki hubungan sebab akibat. Bahkan jika kita tidak mengerti apa penyebabnya, itu hanya karena kita belum bisa mengamati penyebab tersebut. Ngomong-ngomong, pemikiran seperti ini disebut hukum sebab akibat.”

 

“Kalau sudah bicara tentang nama hukum, aku tak bisa membantah. Tapi, Yosaki-san itu tahu banyak hal, ya.”

 

“Mungkin karena pengaruh ayahku. Di ruang kerja ayahku, ada banyak buku dan aku diberitahu bahwa aku boleh membacanya sebebasnya.”

 

Itu adalah momen dimana aku melihat sisi baik dari asuhan Yosaki-san.

 

Dan kemudian, pada hari yang lain. Ada waktu dimana topik yang dibawa oleh Yosaki-san melahap seluruh waktu istirahat siang kami.

 

“Seperti biasa, apa yang kamu lakukan pada hari libur, Seko-kun?”

 

“Hmm, biar aku pikirkan. Akhir-akhir ini aku sering keluar bersama dengan Oda-san dan yang lainnya.”

 

“Eh, maaf. Oda-san itu orangnya seperti apa?”

 

“Ya kau tahu, salah satu dari dua anak laki-laki yang sering bergaul denganku, yang badannya besar itu. ......Eh? Bukankah Yosaki-san mengenal semua nama teman sekelas kita?”

 

“......Aku hanya lupa untuk sejenak saja.”

 

“Bahkan Yosaki-san bisa seperti itu ya.”

 

“Kamu sepertinya mengira bahwa aku ini manusia super sempurna, tapi aku juga hanya manusia biasa. Aku juga memiliki kekurangan.”

 

“Kekurangan pada Yosaki-san? Aku tidak bisa membayangkan.”

 

“Oh. Bahkan aku terkenal dengan buruknya hubungan sosialku.”

 

“Itu juga bukan masalah yang bisa kukomentari, mungkin hanya karena kamu belum bertemu dengan orang-orang yang cocok denganmu sampai sekarang. Aku menikmati berbicara dengan Yosaki-san seperti ini. Aku juga suka saat kamu tiba-tiba berdebat tentang pengetahuan kecil, dan aku terkejut kamu bisa tertawa pada ceritaku yang tidak masuk akal ini.”

 

“......Tidak perlu pakai kata ‘terkejut’. Tapi, terima kasih, Seko-kun. Aku senang.”

 

Yosaki-san tersenyum padaku saat berterima kasih.

 

Sementara aku terpesona oleh senyumnya, aku bisa merespon dengan suara yang lemah, “Sama-sama.”

 

Seperti ini, aku bisa melakukan percakapan yang layak, sama seperti ketika aku berbicara dengan Oda-san dan yang lainnya.

 

Dan, melihat keadaan kami seperti itu, beberapa teman sekelas kami mulai mengejek kami.

 

Tidak seperti ejekan tidak masuk akal dari masa lalu, ini adalah sesuatu yang terjadi karena tindakanku sendiri, sehingga aku pribadi tidak memperdulikannya. Tapi, mungkin ini bisa menjadi masalah bagi Yosaki-san.

 

Mungkin membaca pikiranku, Yosaki-san menggebungkan pipinya sedikit dan berkata.

 

“Seko-kun. Kamu sedang memikirkan apakah harus meninggalkanku karena peduli dengan orang di sekitar kita, kan?”

 

“Ah... kamu tahu?”

 

“Tidak perlu memedulikan orang lain. Yang seharusnya kita pedulikan hanya perasaan kita berdua yang terlibat. Mungkin kamu merasa tidak suka?”

 

“Tidak mungkin! Bagiku, waktu ketika berbicara dengan Yosaki-san adalah waktu yang tak ternilai, dan sejujurnya aku tidak ingin kehilangan itu.”

 

“......Benarkah. Kalau begitu, tidak apa-apa kan? Aku juga tidak peduli. Selama Seko-kun tidak merasa tidak suka, tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang kita.”

 

Sekali lagi, aku merasa telah diselamatkan olehnya. Sikapnya yang tidak peduli dengan orang sekitar dan tetap bertindak sesuai kehendaknya sendiri adalah, tentu saja, keren.

 

Melihatnya lagi, aku menjadi semakin yakin. Aku menyukai dia, Yosaki Misa.

 

 

Waktu berlalu, dan musim dingin tiba, membawa udara yang dingin.

 

Keributan yang biasa terjadi di dalam kelas telah mereda, dan topik pembicaraan yang masuk ke telinga sekarang semuanya berkisar pada ujian masuk SMA.

 

Sama seperti yang lain, aku dan Oda-san juga berbicara tentang ke mana kami ingin melanjutkan studi, dan apakah kami seharusnya mengambil kelas khusus di musim dingin.

 

Kami tidak membuat kesepakatan khusus, tapi ternyata aku dan Oda-san berharap untuk masuk ke SMA yang sama di dekat rumah kami. Sementara itu, Miwa-san tampaknya ingin masuk ke SMA terbaik prefektur kami, sayangnya, jika semua ujian masuk kami berjalan dengan baik, kami semua akan terpisah saat melanjutkan ke SMA.

 

Saat itulah aku baru menyadari. Mungkin aakujuga akan terpisah dengan Yosaki-san karena pilihan sekolah kami.

 

Aku bergegas menemui Yosaki-san untuk menanyakan tentang pilihan sekolahnya, tapi dia berkata,

 

"Maaf, aku tidak berencana memberitahu siapa pun."

 

Dan dengan itu, aku tidak bisa menanyakan lebih lanjut.

 

Aku telah mengasumsikan dia akan menjawab, jadi jujur saja aku cukup terkejut dengan hasil ini.

 

Banyak orang selain diriku yang ingin tahu SMA mana yang Yosaki-san inginkan, tapi kenyataannya, hanya aku yang benar-benar bisa bertanya padanya, jadi tidak ada yang berhasil mendapatkan informasi.

 

Akibatnya, aku melewati masa-masa persiapan ujian dengan gelisah karena kehilangan kesempatan untuk menanyakan tentang pilihan sekolah Yosaki-san.

 

"Kau punya info terbaru, Oda-san?"

 

"Maaf, aku tidak memiliki informasi apapun tentang Yosaki-san. Tidak peduli seberapa jauh kita berusaha menjaga sumber informasi kita, tidak ada gunanya jika tidak ada orang yang tahu."

 

"Yosaki-san itu orang yang misterius ya."

 

"Kalo kamu berbicara dengannya, kamu tidak akan merasa begitu."

 

Sebenarnya Yosaki-san bukanlah orang yang suka rahasia, dan dia bahkan kadang-kadang tertawa terbahak-bahak dalam percakapan.

 

Itulah sebabnya, kenapa dia tidak mau memberitahu tentang pilihan sekolahnya sangat mengejutkan bagiku.

 

"Guru-guru mungkin tahu, tapi karna masalah privasi, mereka tidak akan memberitahu kita begitu saja."

 

"Jadi kita hanya perlu fokus pada belajar untuk ujian, ya?"

 

"Itulah yang harus kita lakukan! Seko-kun, mari tingkatkan kemampuan belajarmu agar bisa diterima di SMA yang sama denganku! Aku akan membantumu!"

 

"Wah, jangan tinggalkan aku sendiri, Seko-san!"

 

"Tidak, Miwa-san. SMA pilihanmu rasanya terlalu sulit buatku secara realistis. Jadi, Oda-san, tolong jangan lihat aku dengan mata memelas seperti itu. Itu membuat hatiku sakit."

 

Mungkin Yosaki-san juga mengincar SMA yang sama dengan Miwa-san. Sebenarnya, jika kita melihatnya secara logis, kemungkinan itu lebih tinggi.

 

Meski aku berkata begitu pada Oda-san, jika aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan Yosaki-san, mungkin aku harus belajar untuk mencapai tingkat pendidikan yang dia targetkan.

 

Setelah itu, aku menjadi lebih giat dalam belajar. Aku tidak mengikuti les atau kelas musim dingin, tapi aku mengerjakan soal di buku latihan yang orang tuaku belikan sampai tuntas, dan jika ada yang tidak aku mengerti, aku akan bertanya pada Miwa-san.

 

Akibatnya, aku bisa menjadi cukup mahir untuk menyelesaikan kebanyakan dari soal-soal ujian dengan mudah. Dan saat bertemu dengan wali kelas di tengah-tenhah siswa, pilihan sekolah yang akan diambil diputuskan di sana.

 

 “Aman bagi Seko-kun untuk bersekolah di SMA yang selalu dia inginkan.”

 

Guru wali kelasku menginformasikan itu kepadaku, tidak memungkinkan untuk mengubah pendapatku.

 

Tentu saja, aku bersikeras. Namun demikian, wali kelas mengakui perkembangan terbaru pada kemampuanku namun juga menjelaskan bahwa nilai raport itu penting ketika mendaftar di SMA negeri.

 

Sejauh ini, meskipun tidak sepenuhnya tidak serius, sikapku terhadap pelajaran tidak terlalu antusias, sehingga nilai-nilai yang aku dapatkan tidak terlalu bagus.

 

Dengan kata lain, sepertinya aku terlambat menghidupkan mesin.

 

Hasilnya sungguh menyakitkan, tapi setidaknya aku bisa yakin lulus dari SMA yang sejak awal aku minati, jadi usahaku belakangan ini tidak sepenuhnya sia-sia.

 

Setelah itu, aku diberitahu bahwa wawancara antara ibuku dan wali kelas akan segera dimulai, jadi aku keluar kelas terlebih dahulu.

 

Tidak ada gunanya mendengarkan pembicaraan orang dewasa tentang diriku sendiri, jadi sebaiknya aku tidak bersikap kepo dan pergi dari kelas itu.

 

Saat aku berkeliaran di sekitar sekolah, bertanya-tanya di mana aku bisa menghabiskan waktu, mata ku tertuju ke seorang gadis yang berdiri di pintu masuk sekolah dan menatap gerbang sekolah. Itu Yosaki-san.

 

“Ara, Seko-kun.”

 

Yosaki-san, yang menyadari kehadiran ku, menyapa ku lebih dulu.

 

“Yosaki-san juga akan memiliki pertemuan tiga pihak sebentar lagi?”

 

“Eh, iya. Aku sedang menunggu ibuku.”

 

Aku mengerti alasan dia menatap gerbang dan dalam hati aku merasa puas.

 

“Ya, tapi sepertinya dingin di sana. Bukankah lebih baik kamu menunggu di dalam?”

 

“Itu juga benar. Aku akan melakukannya.”

 

Yosaki-san menerima saran ku dan berganti ke sepatu dalam, kemudian mendekati ku yang berdiri di sebelah koridor yang menghadap pintu masuk. Sesaat, aku merasakan suhu tubuh ku naik.

 

“Hehe. Memang lebih hangat di sini.”

 

“...Ya, begitu.”

 

Aku mencoba memberi jawaban yang agak acak-acakan agar dia tidak bisa membaca perasaan ku.

 

Tapi sepertinya Yosaki-san tidak keberatan dan terus melanjutkan pembicaraan.

 

“Seko-kun sudah selesai dengan pertemuan tiga pihak itu?”

 

“Ya. Bagian yang melibatkan ku baru saja selesai. Sekarang ibuku yang sedang berbicara empat mata.”

 

“Begitu. Aku ingin sekali bertemu dengan ibumu, Seko-kun.”

 

“Tidak tahu apa yang kamu harapkan, tapi dia bukan orang yang terlalu menarik lho.”

 

“Aku tidak berharap dia akan jadi orang yang menarik kok...Aku ingin bertemu dengannya hanya karena dia adalah ibumu, Seko-kun. Apakah itu alasan yang buruk?”

 

Tanpa menoleh ke arah ku, Yosaki-san mengatakan itu sambil matanya tertuju ke pintu masuk.

 

Aku pun mengalihkan pandangan ku dari Yosaki-san, dan sambil melihat ke kejauhan, aku berkata, “Itu bukan alasan buruk.”

 

Kemudian, ada beberapa detik keheningan antara kami. Keheningan itu dipecahkan oleh tawa Yosaki-san.

 

“Hehe. Lega aku. Aku pikir mungkin kamu akan menolak.”

 

“Tidak mungkin aku menolak...Ah, tunggu. Mungkin malah akan jadi malu.”

 

“Tidak bisa. Seko-kun sudah memberikan izin. Kamu tidak bisa mengubah keputusan itu lagi.”

 

Dengan berkata demikian, Yosaki-san tersenyum nakal.

 

Karena senyum itu, aku yang mudah terpengaruh olehnya, memutuskan untuk menerima kenyataan yang tampaknya sudah diputuskan. Yosaki-san kembali tersenyum sambil mengatakan bahwa dia menantikan untuk bertemu dengan ibu ku, kemudian dia mengubah topik pembicaraan.

 

“Ngomong-ngomong. Seko-kun, apakah pilihan sekolahmu masih sama seperti sebelumnya?”

 

“Ah, ya. Kelihatannya tidak ada masalah sepertinya.”

 

“Itu bagus sekali. Jika kamu memiliki kepercayaan penuh, maka kamu bisa lebih rileks.”

 

“Ya, begitulah.”

 

Tanpa ada alasan untuk membahas hal negatif, aku hanya berbicara tentang hasil yang positif. Yosaki-san tampak senang mendengarnya, dan aku pun puas telah membagi cerita tersebut.

 

Omong-omong, aku pernah membahas tentang pilihan sekolah ku kepada Yosaki-san hanya sekali, dan meskipun Yosaki-san tampaknya mengingat pilihan sekolah ku, aku tidak pernah mendengar pilihan sekolahnya sejak itu, dan aku masih belum tahu apa pilihan sekolah Yosaki-san.

 

Ketika aku kembali mengingat fakta yang membuat ku merasa sedih, tiba-tiba aku mendengar suara yang akrab dari kejauhan.

 

“Rento, pembicaraan dengan gurumu sudah selesai, jadi mari kita pulang.”

 

Tanpa perlu menoleh, aku tahu itu adalah suara ibuku.

 

“Oh? Jangan-jangan itu ibu Seko-kun?”

 

Benar saja, Yosaki-san dapat langsung menyadari bahwa wanita yang memanggil nama saya itu adalah ibu ku.

 

Aku memang telah membuat janji agar Yosaki-san dapat bertemu dengan ibu ku, tapi tetap saja, rasanya malu memperkenalkan gadis yang aku sukai kepada ibu.


Lebih dari itu, aku tidak tahu apa yang mungkin ibu katakan kepada adik perempuan ku.

 

Jadi, yang harus aku lakukan selanjutnya hanyalah...melarikan diri.

 

“Ah, tampaknya pembicaraan sudah berakhir ya. Karena ibu Yosaki-san juga akan datang, mungkin sudah waktunya aku untuk permisi.”

 

Meski dengan akting yang buruk, aku mencoba untuk meninggalkan tempat itu.

 

“Seko-kun?”

 

Aku merasakan tekanan dari Yosaki-san, tapi aku harus tetap teguh dalam keputusan ku untuk tidak berbalik.

 

Jika aku bisa lewat dari keadaan ini, aku bisa menghindar kali ini. Hingga kesempatan berikutnya datang, aku bisa membujuk ibu untuk tidak membocorkan apa pun.

 

“Rento, siapa gadis di sebelahmu itu?”

 

Namun, itu tidak sesuai dengan rencana. Ibu yang datang dari depan menunjukkan minat pada Yosaki-san, dan itu membuat kakiku berhenti. Dan Yosaki-san tidak melewatkan kesempatan itu.

 

“Ibu, perkenalkan nama Saya Yosaki Misa, teman sekelas Seko-kun.”

 

Yosaki-san melangkah maju dan memberikan salam yang sopan pada ibuku. Ibu terlihat sedikit terkejut untuk beberapa saat, tapi setelah mendengar nama Yosaki-san, dia bergumam “Ah,” dan tersenyum dengan ramah.

 

“Jadi kamu. Terima kasih ya, anak lelakiku ini sudah banyak merepotkanmu.”

 

“Tidak, tidak sama sekali. Tidak merepotkan. Justru saya yang merasa ditemani oleh Seko-kun.”

 

“Tidak apa-apa, sayang. Silahkan gunakan Rento sepuasnya. Itu juga seharusnya menjadi hadiah untuk Rento.”

 

“Hei, Ibu. Jangan mengajari Yosaki-san hal-hal aneh, oke?”

 

Aku mencoba menghentikan mereka sebelum percakapan melenceng lebih jauh, tapi ibu hanya menunjukkan wajah nakal dan tidak menunjukkan sedikit pun indikasi bahwa dia akan berhenti.

 

Yosaki-san juga, tampak tertarik dengan apa yang dikatakan ibu.

 

“Sebuah hadiah untuk Seko-kun?”

 

“Ya, ya. Dan betapa cantiknya kamu. Kamu persis seperti yang Rento ceritakan.”

 

“Rento membicarakan tentang saya di rumah?”

 

“Dia sudah membicarakan begitu banyak tentangmu, sampai aku tidak mengerti mengapa dia bisa berada di kelas yang sama denganmu, dan bagaimana dia cerdas, bagaimana dia dapat mengungkapkan pendapatnya dengan berani dan keren, dan juga... bahwa kamu telah menyelamatkannya. ...Misa-chan.”

 

Ekspresi ibu berubah menjadi serius. Kemudian dia berkata,

 

“Terima kasih telah menyelamatkan Rento, sungguh.”

 

Dia mengucapkan terima kasih dan membungkuk.

 

Aku terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu, namun Yosaki-san, orang yang bersangkutan, mulai terlihat panik dengan jelas. Ini adalah reaksi langka darinya.

 

“Ah, tolong angkat kepala anda. Saya hanya mengutarakan apa yang ingin saya sampaikan, dan kenyataan bahwa lingkungan di sekitar kami bisa berubah adalah hasil dari usaha Seko-kun sendiri. Jadi, ibunda Seko-kun tidak perlu membungkuk di hadapan saya.”

 

“Misa-chan...”

 

Ibu mengangkat kepalanya perlahan, dan setelah menatap Yosaki-san dengan mata yang bergetar, dia – mendadak memeluknya.

 

“Kyaa!?”

 

“Ah, Misa-chan, kamu luar biasa! Aku jadi ingin jatuh cinta padamu!”

 

“Ibu...”

 

“Hei hei hei hei. Ibu, itu terlalu berlebihan. Dan sejak kapan Ibu memanggil Yosaki-san dengan namanya?!”

 

“Oh, apakah Misa-chan tidak suka?”

 

“Tidak, tentu saja tidak.”

 

“Lihat, Misa-chan berkata seperti itu. Ah, cemburu seorang pria itu tampak jelek ya.”

 

“Yosaki-san hanya mencoba bersikap baik padamu!”

 

Aku berjalan mengelilingi ibu dan mencoba melepaskan pegangannya dari Yosaki-san.

 

“Yosaki-san, kamu punya pertemuan tiga pihak setelah ini, jadi kita harus pulang sekarang.”

 

“Aku ingin bertemu tiga pihak dengan Misa-chan seperti ini.”

 

“Tolong hentikan!”

 

“...Fufu. Rento memang mirip dengan ibunya.”

 

“Tunggu, Yosaki-san. Apa maksudmu dengan itu?”

 

“Tapi... fufu.”

 

Yosaki-san hanya tertawa jahil menanggapi pertanyaan ku dan tidak menjawab. Namun, karena dia terlihat lucu, aku membiarkannya. Tapi tidak untuk ibu.

 

Setelah itu, aku hampir secara agresif menarik ibu pergi, meninggalkan Yosaki-san di belakang, dan kami pun pulang.

 

“Aku tahu ini akan terjadi, itulah sebabnya aku tidak ingin ibu bertemu Yosaki-san...”

 

“Rento, lain kali, bawalah Misa-chan ke rumah. Aku ingin berbicara lebih banyak dengannya.”

“Kata-kataku barusan nggak kedengaran...?”

 

“Kenapa enggak, kan? Misa-chan pasti bakal nerima semua kekuranganmu. Lagian, suatu hari nanti juga bakal ketahuan, jadi mending kasih tahu sekarang,”

 

Walaupun itu urusan yang nggak perlu diketahui orang lain, aku tahu akan sulit terus-terusan menyembunyikan aibku. Ya, aku akan berusaha sih.

 

Dengan sengaja, aku mendesah panjang.

 

“Kalau ada kesempatan, aku bakal coba ajak dia.”

 

“Ibu Cuma bilang karena nggak yakin kamu punya nyali segitu, jadi jangan berharap terlalu banyak ya.”

 

“Ya, ya, begitu kalo begitu.”

 

“...Rento.”

 

“Hm?”

 

“Syukurlah kamu bertemu Misa-chan.”

 

 

“...Iya.”

 

Meskipun aku punya banyak pikiran tentang komentar ibuku yang berkaitan dengan Yosaki-san, itu satu hal yang bisa aku setujui dengan pasti.

 

 

Beberapa saat setelah musim dingin mulai terasa benar-benar keras, tiba hari yang telah lama kami tunggu-tunggu. Akhirnya, kami menghadapi ujian masuk yang sesungguhnya.

 

Kami bertemu di SMA yang akan kami uji coba, berangkat langsung ke sana, dan bergabung dengan Oda-san yang sudah datang lebih dulu.

 

Memang lebih nyaman memiliki kenalan di sana, tapi nomor ujian Oda-san dan aku terdistribusi di kelas yang berbeda, jadi kami harus terpisah. Sepertinya siswa dari sekolah yang sama tidak selalu dikelompokkan bersama. Mungkin ini adalah tindakan yang wajar untuk mencegah kecurangan.

 

Seketika, aku merasa sendirian dan ada beberapa masalah kecil, tapi aku bisa mengatakan bahwa aku telah melakukan yang terbaik. Dan kemudian waktu berlalu, seminggu kemudian.

 

Sekali lagi, aku menuju ke SMA tempat kami mengikuti ujian. Bukan hanya aku, tapi juga siswa dari SMP ku dan dari sekolah lain.

 

Ya, hari ini adalah hari pengumuman hasil ujian masuk. Ketika waktunya tiba, nomor ujian para peserta yang lulus akan terpampang di papan pengumuman di depan gedung sekolah.

 

“Uuh, deg-degan banget nih, Seko.”

 

“Tenang aja. Pasti kita lulus kok.”

 

Aku menepuk bahu Oda-san yang gemetar karena gugup, dan menunggu waktu itu tiba.

 

“Datang!”

 

Suara itu terdengar dari mana-mana ketika dua guru dengan selembar kertas besar datang ke arah kami.

 

Beberapa orang berdoa. Beberapa menolak untuk melihat kenyataan dan menutup mata mereka. Dan yang lainnya hanya menatap kertas itu ditempelkan ke papan pengumuman. Ada berbagai reaksi dari semua orang, dan akhirnya, hasilnya diumumkan...

 

“Yessss, berhasil!”

 

“Ada! Nomorku ada!”

 

“Ah, haha... nggak ada...”

 

“Pasti kelewat. Nomorku harusnya ada. Cari, cari, cari!”

 

Di tengah sorak-sorai dan jeritan dari para siswa yang berkumpul di depan papan pengumuman, aku memeriksa nomor di tanganku dan mengangkat tinju dalam pose kemenangan.

 

“Seko! Nomor ujianku ada! Ada!”

 

“Aku juga, Oda-san. Sampai jumpa lagi di sekolah, ya.”

 

“Huuh... tentu saja. Kita akan memulai serial Happy High School bersama Seko.”

 

“Apa itu jalannya kehidupan SMA?”

 

“Jangan terlalu peduli dengan detailnya... Ah, maaf. Aku harus memberi tahu ibuku tentang hasilnya. Aku akan menelepon sebentar, jadi izinkan aku meninggalkan tempatku.”

 

“Silakan, santai saja.”

 

Oda-san pun pergi meninggalkanku sendirian.

 

“...Fuu.”

 

Baiklah. Ujian yang panjang namun singkat itu sudah selesai, aku bisa mengambil napas sejenak. Tapi sekarang, aku harus memikirkan hal selanjutnya. Tentang Yosaki-san.

 

Kemungkinan, Yosaki-san dan aku akan berakhir di SMA yang berbeda. Ketika menjadi bagian dari komunitas yang berbeda, hubungan biasanya menjadi semakin renggang.

 

Jadi, mungkin ini adalah waktu ketika hubungan kami paling erat. Maka dari itu, waktu yang terbaik untuk menyatakan perasaanku hanyalah selama periode sebelum lulus SMP.

 

Bersiaplah, diriku. Hanya perlu menyampaikan perasaanku. Apapun hasilnya, aku ingin Yosaki-san tahu tentang perasaanku.

 

Aku sudah gugup. Gambaran Yosaki-san mulai terlihat di depan mata.

 

“Seko-kun.”

 

Mendadak, hampir seperti halusinasi. Apakah aku akan mampu bertahan hingga hari pengakuan?

 

“Seko-kun?”

 

Ah, Yosaki-san yang tampak bingung itu memang manis sekali.

 

“...Jangan mengabaikanku, itu menyedihkan, Seko-kun.”

 

“Eh!?”

 

Kembali tersadar, aku mengedipkan mataku berkali-kali. Tapi sosok Yosaki-san tidak hilang. Yosaki-san yang aku lihat di depan mata bukanlah ilusi, tapi memang Yosaki-san yang sebenarnya.

 

Dia sedikit membusungkan pipinya, memandangiku dengan tatapan sinis.

 

“Eh, Yosaki-san?”

 

“Seko-kun. Aku sudah memanggilmu dari tadi, tapi kenapa kamu tidak merespons?”

 

“Ah, maaf, eh? Tunggu sebentar. Kenapa Yosaki-san ada di sini?”

 

“Kenapa aku ada di sini? Fufu. Belum sadar juga? Mungkin Seko-kun juga sangat gugup, ya?”

 

Yosaki-san tersenyum manis lalu menunjukkan nomor ujian yang dipegangnya.

 

“Jelas karena aku juga mengikuti ujian di sini.”

 

Di sana tertulis nama SMA yang sama persis dengan yang aku masuki.

 

“Kamu tadi sempat membuat pose kecil dengan tanganmu setelah melihat papan pengumuman, jadi kamu lulus kan?”

 

“Eh, kamu melihatnya? Memalukan... tidak, bukan itu maksudku. Maaf Yosaki-san, bisakah kamu ulangi sekali lagi?”

 

“Seko-kun, kamu melakukan pose kemenangan dengan tanganmu setelah melihat papan pengumuman...”

 

“Yang sebelum itu! Jangan ulang kata yang memalukannya!”

 

“Fufu, maaf. Jadi... Aku juga akan bersekolah di SMA yang sama dengan Seko-kun. Jadi, Seko-kun, mari kita tetap bersama mulai dari sekarang ya.”

 

“....Eeeeeeeeeee!?”

 

Pada hari itu, di tempat itu, seseorang yang paling keras teriaknya pastilah aku. Begitu mengejutkannya fakta yang diungkapkan oleh Yosaki-san.


✧ ₊ ✦ ₊ ✧

 

Sambil mengenakan seragam baru, aku berangkat menuju gedung sekolah yang akan merawatku selama tiga tahun ke depan.

 

Sekolah SMP tempatku lulus juga cukup dekat untuk berjalan kaki, dan SMA tempatku akan bersekolah juga bisa dicapai dengan berjalan kaki. Sungguh aku berterima kasih pada orang tuaku yang telah memilih tempat tinggal di lokasi ini.

 

Setelah sampai di sekolah, aku menuju ke kelas yang telah diberitahukan sebelumnya, dan tampaknya sebagian besar teman sekelas sudah berkumpul di sana.

 

Di antara mereka, terlihat Oda-san dan Yosaki-san.

 

Saat aku hendak menyapa kedua orang tersebut, guru wali kelas kami yang tampaknya baru masuk bersamaan denganku, berdiri di depan kelas.

 

"Hei, duduklah. Kita akan segera melakukan absensi sebelum menuju ke tempat upacara masuk sekolah."

 

Mengikuti instruksi dari guru wanita yang berbicara tanpa terlihat bersemangat, aku menyerah untuk menyapa kedua orang itu dan duduk di kursiku.

 

Setelah itu, kami mendapatkan sedikit perkenalan dari Matsui-sensei yang akan menjadi wali kelas kami, lalu kami dipandu ke aula olahraga tempat upacara masuk akan diadakan.

 

Selama perjalanan, aku bisa mendengar percakapan teman sekelas.

 

"Hei, lihat, gadis itu sangat cantik bukan?"

 

"Ah, kita beruntung ya."

 

"Hei, lihat, kulitnya sangat cantik."

 

"Rambutnya juga indah... matanya besar, hidungnya lurus, benarkah dia manusia seperti kita ya?"

 

Semua itu adalah kata-kata yang memuji Yosaki-san.

 

Aku sudah tahu, kecantikan Yosaki-san tidak hanya berlaku di SMP, tapi tampaknya juga di SMA ini, teman sekelas saling berbisik satu sama lain sambil sesekali melirik Yosaki-san.

 

Di sisi lain, orangnya sendiri tampaknya tidak peduli sama sekali, sikap itu malah membuatnya dikatakan keren. Benar-benar hebat.

 

Ini adalah sesuatu yang bisa diprediksi sejak awal. Bahkan mungkin sekolah akan dipenuhi konflik mengenai Yosaki-san suatu hari.

 

Makanya aku agak panik. Sejenak aku merasa lega mengetahui bahwa aku bisa bersekolah di SMA yang sama dengan Yosaki-san, namun segera setelah itu aku menyadari bahwa jumlah pesaing telah meningkat secara drastis.

 

Itulah saat aku berpikir. Lebih baik aku mengambil langkah terlebih dahulu. Aku sudah siap di hari pengumuman kelulusan. Hanya saja timingnya yang sedikit mundur, tetapi apa yang harus dilakukan tetap sama.

 

Setelah upacara masuk, kami menerima penjelasan ringkas dari wali kelas tentang kehidupan sekolah, dan setelah perkenalan singkat dari teman sekelas, hari pertama pun berakhir.

 

Mendengar kata "Oke, hari ini sudah selesai" dari Matsui-sensei, aku langsung mendekati Yosaki-san dan meminta dia untuk datang bersamaku ke belakang gedung sekolah sesudahnya.

 

Yosaki-san mengiyakan dengan senang hati.

 

Kami berjalan melalui koridor sekolah yang masih asing, menuju ke belakang gedung bersama Yosaki-san. Selama itu, jantungku berdebar keras, sampai-sampai aku khawatir kalau-kalau akan terlonjak keluar dari mulutku.

 

Setelah sampai di tempat sepi di belakang gedung sekolah, aku menghentikan langkah dan berhadapan dengan Yosaki-san.

 

"Ada apa? Seko-kun"

 

Angin berhembus, rambutnya yang bergoyang dan badai bunga sakura terlihat begitu fantastis. Sambil takjub akan pandangan itu, aku menyampaikan perasaanku.

"Aku menyukai mu... Tolong berpacaran dengan ku!"

 

Kata-kata pengakuan cinta yang tanpa pesona sama sekali. "Pengakuan terkuatku" yang aku pikirkan hingga larut malam lenyap dari benakku sejak aku melihatnya tadi.

 

Walaupun masih ada sedikit dingin di awal musim semi ini, wajahku semakin panas dan rasanya seperti telingaku juga ikut memanas.

 

Dia tampak terkejut sejenak oleh pengakuanku. Matanya yang sudah besar itu terbuka lebar.

 

Aku menelan ludah. Aku ingin mengalihkan pandanganku dari dia. Tapi aku tak bisa bergerak sampai mendapat jawabannya. Mataku terpaku pada gerakannya. Lalu, di saat berikutnya, bibirnya yang indah terbuka─

 

"Maafkan aku."

 

Dia menyatakan dengan ekspresi sedih. Tapi dia mengatakan itu dengan tegas.



BAB SEBELUMNYA=DAFTAR ISI=BAB SELANJUTNYA

 

Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !