Prolog
Kehidupan SMA Adalah
Tempat Untuk **
Menurut teman masa kecilku, SMA bukanlah tempat untuk
belajar, beraktivitas di klub, ataupun menikmati masa muda.
“ketika aku masuk SMA, telah memutuskan untuk hidup dalam
balas dendam.”
Iwasato Oriha yang berdiri di depanku mengatakan ini dengan
nada ringan mirip dengan cuaca yang cerah.
Aku tidak tau apa yang harus kukatakan sebagai tanggapan atas
ucapan tulusnya yang tidak akan dihargai oleh kebanyakan orang.
Sambil memikirkan hal ini, aku mengingat kembali hari ini.
“Amehara-kun, sungguh
menakjubkan kau diterima di sekolah sebagai murid terbaik! Ah, namaku Iibashi”
“Tidak, Sungguh,
Itu hanyalah kebetulan saja....”
“Kenapa kau ngga mendaftar di sekolah tokyo? Bahkan sekolah
terkenalpun akan mudah”
“Um, baiklah, uh, sepertinya aku tidak begitu tertarik”
Ryosuke Amehara, dia mungkin jago dalam belajar, tapi
masalahnya adalah kemampuan komunikasi bukan? Coba bayangkan bagaimana rasanya
menjadi orang yang diberitahu bahwa mereka secara kebetulan menjadi peringkat
pertama? Lebih dari itu, kau tidak bisa berteman hanya bermodalkan otak, kan?
Setiap kali aku menerima banyak pujian dari teman sekelasku,
aku menambahkan beberapa tsukkomi pada diriku sendiri. Ini seperti masakan
Perancis. Sesuatu seperti ``Berbagai
macam pujian ~ Disajikan
dengan saus mencela diri sendiri ~.'' Apa itu saus
masokisme?
Pada hari upacara penerimaan SMA Fukushu, kami disambut oleh
bunga sakura yang bunganya tinggal sedikit. Meski langit cerah, bagaimana pun,
aku berhasil memberikan sambutan atas nama siswa baru, dan upacara berakhir
tanpa hambatan. Ketika aku kembali ke
ruang kelas untuk pembelajaran, teman-teman sekelasku mengelilingiku.
“Hei, bagaimana cara mereka
memberi tahu jika mereka ingin aku memberikan pidato perwakilan? Melalui surat
atau bagaimana?”
“hmm, ya. .. Aku ingin tahu apakah bisa lewat email?”
“oh begitu, luar biasa ya. Kamu peringat satu kan?”
“Bukan, bukan begitu. ..”
Sambil memeriksa apakah ada pesan di ponsel, aku melihat ke
cermin kecil di layar ponsel. Tercermin di dalamnya adalah rambut hitam agak
panjang yang memanjang sampai ke titik di mana sedikit dahi terlihat, dan mata
yang tidak hanya terlihat lembut, tapi juga kurang percaya diri.
Dan kemudian aku menghela nafas panjang. Jadi, ini sebagian
disebabkan oleh interpretasi ku sendiri, tetapi orang-orang hanya tertarik pada
kemampuan akademis mu, bukan karena daya tarik pribadimu sendiri . Ibarat timun
yang disukai banyak orang karena teksturnya yang renyah, padahal tidak memiliki
nilai gizi. Halo, aku si siswa terbaik, Mentimun.
Ini tidak bagus, aku sudah lelah sejak hari pertama sekolah.
Tidak, aku tahu, aku tahu, belajar adalah bakat yang luar biasa. Tapi bagaimana
di SMP? Sekalipun kemampuan akademismu
meningkat, bukankah jumlah temanmu bertambah?
Itu masalahnya. "Orang yang bermain dalam sebuah band" dapat
terhubung dengan teman sekelasnya dengan merekomendasikan artis, dan
"orang yang bermain sepak bola" dapat terhubung dengan membicarakan
tentang pertandingan yang representatif. Lalu bagaimana dengan "orang yang
bisa belajar"? Jika kau mencoba
berbicara tentang matematika, jumlah orang yang berbicara denganmu akan
langsung berkurang dari sembilan menjadi tiga. Cara penurunannya sangat
radikal.
“Nee, Amehara-kun, tolong bantu aku belajar kalau aku punya
masalah”
“ah, iya. ..”
Lihat, kalau kemampuan akademisku turun, semua orang akan meninggalkanku. Lalu, apa artinya keberadaanku...? Oh tidak, aku sudah memasuki mode filsafat. Pikiranku menjadi lembap. Seseorang tolong berikan aku sedikit silika gel untuk pikiranku. Apa sebenarnya “silika gel untuk pikiran itu?”
Saat aku terlarut dalam kesedihan, kelaspun dimulai.
“Baiklah, mari kita mulai perkenalan dirinya sekarang juga.
Pertama, kita mulai dari Akamoto-san”
Kashima-sensei, yang telah merias wajahnya untuk upacara
tersebut, memanggil idiom empat karakter iblis “perkenalan diri” dari awal.
Meskipun kemarin aku sudah bekerja keras memikirkan apa yang harus aku katakan,
sekarang aku terus-menerus bolak-balik antara “haruskah aku memasukkan
setidaknya satu poin untuk diolok-olok” dan “bagaimana jika itu tidak berjalan
dengan baik”.
Saat aku sedikit kesal dengan kurangnya waktu berpikirku,
menyalahkan namaku yang dimulai dengan ``A,’’ namaku dipanggil
``Amehara-kun.’’ Baiklah, aku sudah
memutuskan, aku akan menambahkan beberapa tsukkomi...!
[Asumsi] Melihat buku ensiklopedia→ eh, buku ensiklopedia apa yang lagi
kamu lihat? Amehara-kun itu menarik sekali ya!
【Realita】Lihat
buku ensiklopedia → Ngebaca buku ensiklopedia di
hari libur ya... Wah... Mantap banget sih seperti yang diharapkan dari
peringkat pertama...
Aku yakin semua orang juga berada dalam kondisi seperti ini.
Tidak, aku juga biasa menonton film dan mendengarkan musik, baca buku referensi
dan ensiklopedia yang aku dapatkan dari kakek dan nenek, sangat menyenangkan
untuk dibaca, jadi aku mencoba memasukkannya ke dalam percakapan... Aku tidak
menyangka ini akan menjadi masalah seperti ini...
Dari kursi belakang, Iibashi yang enerjik memanggilku dengan,
“Hei, hei!
“Kamu baca buku apa sih? Buku matematika?”
“Gak lah, baca buku tentang tumbuhan atau makhluk laut gitu
deh, haha...”
Gak ada buku gambar fungsi kuadrat, lah. Tebel pula, full
color lagi. Mau nunjukin apa sih?
“hah...”
Aku menghela nafas penuh kesedihan ke dalam lengan blazerku
dan merenungkan masa laluku.
“Jika ada sesuatu yang salah di suatu tempat, mungkin
kehidupanku sekarang akan berbeda.”
Segalanya baik-baik saja sampai aku bergabung dengan klub
sains di tahun pertama SMP. Segera setelah bergabung dengan klub, aku
bersenang-senang bereksperimen dengan baterai buah, bekerja hingga tengah malam
untuk menyusun laporan, dan mengirimkannya ke kompetisi sains.
Titik balik terjadi tak lama setelah itu, pada bulan Juli,
tepat sebelum liburan musim panas. Karena pekerjaan orang tuaku, aku memutuskan
untuk pindah ke sekolah di Tokyo. Aku pindah ke sekolah lain setelah liburan
musim panas, tetapi sudah ada kelompok di kelas, dan tidak ada klub sains, jadi
tidak ada klub lain yang ingin aku ikuti, jadi aku tidak dapat menemukan
tempatku . Di kelas, aku diejek ringan
dengan ``anak desa dari prefektur yang berjarak dua jam perjalanan dengan
mobil.’’
Pada akhirnya, aku tidak bisa mendapatkan teman. Aku terus
melakukan sesi refleksi diri di kepalaku, berpikir “Itu karena lingkungan
baruku yang buruk” atau “itu karena aku tidak bisa merespon dengan baik
terhadap godaan”. Sebagai akibatnya, aku mulai khawatir secara berlebihan
sampai pada titik di mana aku merasa ada bagian hatiku yang bocor.
Tanpa teman, aku tidak punya kegiatan lain selain
belajar. Meski begitu, aku punya waktu
luang, jadi aku membenamkan diriku dengan membaca banyak sekali buku pemberian
kakek dan nenekku. Akibatnya, meskipun
nilai ku terus meningkat, harga diri ku semakin merosot, aku berpikir bahwa
``yang bisa aku lakukan hanyalah belajar.’’
Mentalitas yang tidak nyaman.
Kemudian, saat naik ke SMA, aku pindah sekolah lagi dan
kembali ke kampung halaman. Akhirnya, aku berhasil diterima di sekolah swasta
terbaik di daerah ini yang memiliki nilai siswa tertinggi. Guru pembimbing ku
bahkan berkali-kali mengatakan, “kau bisa mengincar sekolah swasta di Tokyo
yang lebih tinggi levelnya.” Tapi aku tidak memiliki keyakinan bahwa aku bisa
lulus, dan aku tidak memiliki semangat untuk mendaftar karena takut citra ku
sebagai orang desa akan terus berlanjut.
Aku bertanya-tanya apakah keadaan akan berbeda jika aku tidak
pindah, jika sekolah tempat ku pindah memiliki klub sains, jika aku mampu
membalas ejekan mereka, apakah segalanya akan berbeda? Tidak, mungkin tidak
begitu berbeda. Ini tentang diriku sendiri. Pasti di suatu tempat lain, aku
akan tersandung pada masalah lain dan
akan berakhir seperti ini.
“Oke deh, selanjutnya....”
Kashima-sensei sibuk menatap daftar nama. Ngomongngomong, di
pagi hari dia sibuk mempersiapkan sambutan perwakilan, terlalu tegang sampai
dia mengatakan pada dirinya sendiri, “Meskipun gagal, nyawa tidak akan
diambil.” Dia juga merasa sedih karena tidak bisa membaca naskah dengan baik
karena menggigit lidahnya dua kali. Aku menghabiskan waktu dengan perasaan
tertekan, jadi aku tidak tahu tentang teman sekelas ku di Kelas 5-1 selama
setahun ini. Saat ini adalah momen yang tepat untuk benar-benar mengingat mereka.
Saat itulah, tepat setelah aku berpikir begitu, sebuah
kejadian tak terduga terjadi.
“Iwasato-san”
Tubuhku bereaksi terhadap nama itu, aku mendongakan
kepala. pandanganku tertuju pada sosok
perempuan yang berjalan melewatiku dari
belakang dan menuju meja guru. Dia lebih
tinggi dari rata-rata, dan terlihat bagus dengan rok abu-abu kotak-kotak dan
pita merah anggur, yang merupakan warna sekolah.
Saat dia berjalan maju, teman sekelas lainnya juga menatapnya dengan kagum. Rambut panjangnya berwarna cokelat gelap yang hampir hitam mencapai
siku dan punggung, dahinya yang sedikit terlihat melalui
celah di antara rambut depannya. Wajahnya berkulit putih dengan mata sipit yang
memberikan kesan kucing, hidung kecil, dan bibir yang sedikit berisi.
Sepertinya dia masih seperti dulu, tetapi sekarang dia memiliki kecantikan
dewasa yang mempesona. Di kelas, tidak,
bukankah dia gadis tercantik di sekolah. Tidak salah lagi, dia adalah
Oriha. Aku terpaku, tidak bisa mempercayai kebetulan yang luar biasa ini.
“Ehmm... Aku Iwasato Oriha. Aku cenderung lebih suka di dalam
ruangan. Mohon bantuannya.”
Setelah dia cepat-cepat memperkenalkan diri, dia kembali ke
kursi di belakang. Aku memperhatikan dengan seksama saat dia duduk di kursi,
sambil berpikir bahwa dia telah berubah menjadi lebih pendiam dibanding
sebelumnya.
Tanpa ragu, aku berlari ke belakang dan menghampiri Oriha
yang sedang bersiap untuk pulang. Aku memutuskan untuk mengajaknya berbicara,
karena meskipun sulit untuk berbicara dengan orang lain, aku merasa nyaman
dengan wajah yang sudah aku kenal.
"Hai, lama tidak bertemu."
Kemudian, dia menatapku
dengan wajah yang kaku.
“Ah, ya... Siapa sangka kita bisa bertemu lagi di SMA seperti
ini.”
“Iya, sungguh mengejutkan.”
Aku merasa terkejut karena percakapan kami tidak berlanjut
seperti yang kuduga. Ekspresi Oriha juga tidak penuh kejutan atau kegembiraan,
tapi terasa agak datar, seolah-olah sedang berbicara dengan “kenalan”
“Baiklah, aku pulang ya.”
Seolah-olah mengakhiri pembicaraan, dia mulai berdiri.
Tingginya 173 sentimeter, sedikit lebih tinggi dari ratarata, sedangkan aku
lebih tinggi sepuluh sentimeter darinya. Dulu, saat masih di sekolah
dasar, kami memiliki tinggi yang hampir
sama, tetapi sekarang aku menyadari betapa banyak waktu yang telah berlalu.
“Sampai jumpa.”
"Ah, ya... Sampai jumpa lagi."
Tanpa berbalik, dia keluar dari ruang kelas.
Akhirnya, aku menyadari bahwa hubungan ku yang dulu begitu
erat dengannya telah hampir benar-benar di reset.
Saat pulang, aku berjalan sambil berusaha agar tidak keluar
dari garis putih di jalan kecil, dan aku teringat saat pertama kali bertemu
dengan Oriha.
Pada saat musim panas, kami bertukar tempat duduk dan
akhirnya duduk bersebelahan, dan karena rumah kami dekat, kami dengan cepat
menjadi akrab. Kami memiliki minat yang sama dalam anime dan game, dan dalam
waktu kurang dari seminggu, kami sepenuhnya menyatu. Sebagai kebetulan, kami
berada di kelas yang sama selama enam setengah tahun hingga aku pindah sekolah
pada musim panas tahun pertama SMP. Sekarang ketika aku memikirkannya, kami
benar-benar seperti teman masa kecil.
Aku masih ingat kejadian saat aku berada di kelas empat.
Ketika aku bertengkar dengan teman karena alasan sepele, Oriha yang duduk di
dekat kami ikut campur dan kami bisa berbaikan berkat perantaraannya. Seminggu
setelah itu, saat ada perselisihan kecil di antara oriha dan grup gadis
lainnya, kali ini aku yang berperan sebagai penengah. Kami berdua berjanji,
"Kita akan saling membantu ketika kita berada dalam kesulitan."
Ketika matahari terbenam, aku masih teringat saat dia mengucapkan "terima
kasih" sambil menangis dan berpegangan tangan. Setiap kali aku melihat
matahari terbenam merah jambu, itu membuat aku teringat akan momen itu.
Sudah dua setengah tahun sejak aku pindah dan keluar di tahun
pertama SMP. Selama waktu itu, dia mungkin menemukan teman lain dan menjaga
jarak dari ku, teman lamanya.
Itulah yang aku pikirkan, namun aku segera mengetahui bahwa
itu sebenarnya tidak benar.
“Ori..... ha....”
Pada minggu pertama, saat istirahat pada tanggal 10 April.
Aku pergi ke kursi di dekat jendela dan duduk di kursi kedua dari belakang
dengan niat untuk mengobrol dengannya. Tapi, dia lagi tidur dengan kepala
bersender di meja. Dia pake earphone di telinga, sambil mengetukngetuk jari
sesuai dengan ritme musik. Teman sekelas yang lain asyik ngobrolin fashion dan
musik, tapi dia keliatannya enggak tertarik buat ikut serta dan ya jelas dong,
enggak ada yang berani ngomong sama dia dalam kondisi kayak gitu.
Eh... ini kan itu ya? Pola yang sering muncul di manga
tentang “orang yang nggak punya teman”, kan? Waktu aku di SMP juga nggak
separah ini sih. Aku berusaha masuk ke dalam lingkaran teman dengan susah
payah, tapi tiba-tiba sadar kalau aku udah terlepas dari lingkaran itu. Kayak
permainan cakar-cakar yang dilakukan oleh orang jenius.
Tunggu dulu, mungkin dia
hanya merasa kurang sehat. Aku akan menahan diri
sejenak dan
tidak mengganggunya sekarang.
Segera setelah berakhirnya pelajaran, aku langsung pergi ke
tempat Oriha.
“eh.. Cepatnya?”
Dia sudah mengenakan earphone
dan tidur di meja nya. Kecepatannya luar biasa. Sepertinya sulit dilakukan
tanpa mengucapkan "selamat tinggal"
sambil membungkukkan badan dan
memasang earphone secara berurutan seperti itu.
Aku mendekatinya dan bertanya dengan suara pelan,
“Oriha, kamu belum tidur kan...?”
Ketika aku berkata demikian, dia mengangkat wajahnya sedikit
sambil menopangkan kedua lengan di atas meja dan melepas earphone-nya.
“Ada apa, Amesuke?”
Amehara Ryousuke, atau yang biasa dipanggil Amesuke. Nama
panggilan ini terdengar begitu menyenangkan dan penuh kenangan.
“Kamu lagi dengerin apa?”
“ Ngga lagi denger apa-apa. Kalo lagi pake earphone, nggak
bakal digangguin kan?”
“Kamu bisa pake cara itu”
Pertahanannya terlalu kuat.
“Eh, tapi kamu mengikuti iramanya dengan jarimu, kan?”
“ngga, aku pikir kalau mereka akan salah paham dan berpikir
bahwa aku sedang mendengarkan musik dan mungkin saja mereka tidak akan
meremehkan aku kan?.”
Ini... uh... sepertinya benar-benar mirip dengan diriku...?
Aku, melihat teman sekelas pulang begitu cepat tanpa ada
kegiatan klub, memilih momen yang tepat dan dengan berani aku bertanya padanya.
“Oriha, mungkinkah, kamu sudah menjadi penyediri dari
SMP?”
“Amesuke, bukankah kamu terlalu jujur?”
Dia terkekeh dan menunjukan giginya, kelihatannya sedikit
menyakitkan, tetapi itu adalah senyuman pertama yang aku lihat darinya setelah
sekian lama.
“Tapi ya, aku memang seorang yang penyendiri. Aku berniat
untuk tetap seperti ini di SMA juga.”
Ternyata sama saja. Aku juga tidak memiliki kepercayaan diri
dan tidak tahu cara berinteraksi dengan baik. Aku tidak tahu cara menjaga
jarak. Hanya dalam dua hari, aku terlihat seperti “siswa pria yang tidak bisa
berbaur”. Tapi ketika melihat sikap Oriha, sepertinya dia memang tidak memiliki
niat untuk berinteraksi dari awal.
Lalu, dengan sikap tegap dan senyum ringan di bibirnya, dia
berbicara dengan menyegarkan.
“Aku, ketika masuk SMA, telah memutuskan untuk hidup dalam balas dendam.”
Menyerah pada masa muda
"Balas dendam...?"
“Tepat, itu adalah balas dendam.”
Aku merasa bingung dengan pernyataan misterius yang diucapkan
olehnya dengan begitu santai. Sebenarnya, sebelum itu, ada satu pertanyaan yang
terus mengganggu pikiranku. Jadi, aku memutuskan untuk menghadapinya dan
menanyakannya kepadanya terlebih dahulu.
"Oriha, apakah kamu tidak memiliki banyak teman saat
SMP? Mengapa kamu menjadi seperti ini sekarang? Oh, mungkin kamu pindah sekolah
atau ada sesuatu yang terjadi yang membuatmu berubah..."
“Bukan begitu.”
Dia menurunkan alisnya sedikit, mengerucutkan bibirnya dan
menghela nafas panjang.
“Ketika aku masuk SMP, aku dengan cepat mendapatkan teman
yang suka membaca novel dan manga. Kamu tahu, seperti Aoki-san dan Onuma-san.
Lalu, kami berempat bergabung dengan klub sastra.”
“Ah, aku merasa ada gadis seperti itu. Aku masih mengingatnya
dengan sedikit-sedikit.”
Aku ingat kita saling menunjukkan formulir pendaftaran klub
saat itu. Aku bergabung dengan klub sains, sementara dia bergabung dengan klub
sastra.
“Jadi, akan ada acara event doujin di bulan juni. Karena
berhasil mendaftar tepat waktu, aku memutuskan untuk membuat sebuah doujinshi
yang berisi rekomendasi novel dan manga yang bagus, serta cerita pendek asli.
Namun, salah satu dari tiga orang lainnya memasukkan karakter dengan nama yang
sama persis seperti namaku dalam cerita pendeknya. Karakternya sombong dan pada
akhirnya ditolak sama orang lain. Semua orang sangat suka dengan ceritanya.”
“Itu... tidak mungkin, kan?”
Mungkin dia berharap bisa mengatasinya dengan menganggapnya
sebagai “lelucon”. Namun, aku tidak merasa nyaman dengan ide bahwa nama Oriha
digunakan seperti itu. Jika cerita itu dibaca oleh teman sekelas, aku khawatir
akan menjadi bahan ejekan.
“..... Kapan itu terjadi?”
Ketika aku bertanya, dia hanya sejenak memalingkan
pandangannya, lalu dengan tegang menjawab sambil menggeliatkan tubuhnya.
“"Itu bulan Juni, sih. Jadi pada akhirnya, sebelum acara
doujin, aku keluar dari klub aktivitas. Tapi, waktu itu kan udah ada kelompok
cewek di kelas yang udah terbentuk gitu kan? Terus, katanya tiga orang yang
tetap di klub sastra itu ngegossipin tentang aku, bilang
'dia kaku dan gak bisa baca suasana'. Jadi aku jadi aneh di
kelas. Yah, mereka tiga juga cepet bosen sih, akhirnya mereka keluar dari klub
sastra dan mulai bikin konten video. Sekarang kalo dipikir-pikir, kayaknya aku
cuma pengen bilang kalo aku suka buku aja, padahal sebenernya aku orang yang
lebih suka bersosialisasi.”
“Oh, begitu ya.”
“Walau sudah masuk kelas dua dan pergantian kelompok,
gosip-gosip masih beredar dan aku masih terbawa-bawa olehnya. Aku gak tahu
gimana caranya mempererat hubungan dengan mereka, jadi akhirnya aku
menghabiskan tiga tahun sendirian.”
Maaf ya, cerita yang membosankan. Dia mengakhiri pembicaraan
dan pergi lebih dulu. Tanpa bisa menahannya, aku hanya terdiam dan berdiri di
tempat itu dengan kebingungan.
Di dalam kelas yang sepi, aku duduk di meja sendirian, tanpa
melakukan apapun dan hanya menghabiskan waktu dengan hampa. Jarum panjang pada
jam pun tak terasa telah berputar satu putaran tanpa kusadari.
Yang muncul dalam pikiranku hanyalah penyesalan yang tak
terhingga.
Aku bisa mengerti mengapa dia tadi mengalihkan pandangannya.
Cerita yang dia bicarakan tentang klub sastra adalah kisah saat aku masih
berada di kelas yang sama sebelum pindah sekolah.
Aku tidak bisa melihat keindahan matahari terbenam yang masuk
melalui jendela hari ini. Itu membuat ku merasa seperti aku tidak memenuhi
janji kami saat kami masih di sekolah dasar, yaitu untuk saling membantu ketika
kita sedang dalam kesulitan.
Hari ini adalah hari Jumat, yang merupakan akhir dari minggu
yang panjang sejak awal pelajaran pada hari Senin setelah empat hari sejak
pengakuan yang mengejutkan.
Selama istirahat siang, aku memeriksa apakah tugas untuk
pelajaran berikutnya sudah selesai.
“Wah, Amehara-kun, catatanmu sangat bagus!”
“Beneran, kayak contoh aja!”
Saat melewati, teman sekelas laki-laki dan perempuan melihat
catatanku dan mereka menyapaku. Tanpa sadar, aku langsung melambaikan tangan
dengan cepat ke kiri dan kanan.
“Enggak, beneran, enggak ada
apa-apa kok. Biasa aja.” Mendengar jawabanku yang tidak
menunjukkan setuju atau tidak setuju, mereka menganggukkan kepala dengan samar
sambil pergi.
Tanpa berlama-lama, aku langsung memulai refleksi diri di
dalam pikiranku. Aku memberikan ceramah kepada diriku sendiri.
Pertama-tama, hal apa yang muncul di pikiranmu? “Terima kasih
sudah peduli dan mengajak berbicara tentang catatan.” “Tapi maaf, aku hanya
bisa memberikan topik pembicaraan sebatas catatan.” Setelah itu, dengan maksud
merendahkan diri, kamu mengatakan “biasa aja.” Tapi, bagi orang yang memuji,
mereka mungkin berpikir, “Jika ini dianggap biasa, lalu bagaimana punya
kami...?” Sebaiknya, pikirkan dengan lebih dalam sebelum berbicara, ya?
Aku kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan lancar. Di
kursi belakang sedikit di belakangku, Oriha masih tetap menggunakan earphone
dan tiduran seperti biasa. Aku belum berbicara dengannya sejak hari Senin.
Kedua orang itu merasa terasingkan. Aku yakin bahwa hanya ada
satu orang di kelas ini yang benar-benar memahamiku, dan aku ingin menjadi
orang yang memahami Oriha. Itulah yang aku pikirkan.
"Yo, Oriha!"
"Amesuke, ada apa?"
“Duduk sebentar di sini ya.”
Setelah pulang sekolah, aku memanggilnya untuk pertama
kalinya dalam waktu yang lama. Tanpa mengatakan apa pun sampai semua orang
pulang, aku berdiri di sampingnya saat dia duduk.
Dan kemudian, aku membungkukkan kepala dengan tulus.
“Maaf ya, waktu kita masih kelas 7 SMP, aku nggak sadar dan
nggak bisa bantu kamu.”
Oriha terkejut dan sedikit terguncang saat dia bangkit
berdiri.
“Dari hari Senin aku merasa menyesal, aku benar-benar
merenungkan dan ingin minta maaf dengan baik. Waktu kita kelas 7 SMP,
seharusnya aku berada di dekat Oriha dan kita juga sering ngobrol saat
istirahat. Tapi sampai aku diberitahu baru-baru ini, aku nggak tahu kalau Oriha
sedang menderita. Aku terlalu asyik dengan klub sains dan nggak sadar akan
perubahan. Pasti ada tanda-tanda yang seharusnya aku perhatikan, tapi aku
lewatkan begitu saja. Jadi, sungguh maaf ya.”
Setelah mendengar sampai situ, dia mengambil napas
dalam-dalam dan tersenyum dengan lembut.
“Gak perlu dipikirin. Sebenernya bukan karena kamu alasan
utamanya. Santai aja, aku bakal tetep jadi penyendiri di SMA. Maaf udah bikin
kamu minta maaf lagi, tapi aku senang kok.”
Dengan tas panjang berwarna navy di bahunya, Oriha berjalan
cepat menuju pintu keluar. Ini sudah kali ketiga dia pulang lebih dulu seperti
ini. Tapi, hari ini berbeda dari sebelumnya. Prisma cahaya matahari yang
terpantul di mejanya bergetar seolah memberikan dukungan padaku.
“Aku akan membantumu membalas dendam.”
Dia berhenti di depan pintu dan berbalik. Ekspresinya sudah
terlihat lebih dewasa, tapi wajahnya masih sama seperti dulu.
“Aku sedang memikirkan kompensasi seperti apa yang bisa
kuberikan, tapi hanya ini yang terpikir olehku. Apapun itu, aku akan
membantumu. Jika kamu ingin mendapatkan kembali masa mudamu, aku akan bekerja
sama sepenuhnya denganmu.”
Aku ingin membangun hubungan dengan Oriha dari awal lagi. Aku
sama sekali tidak tahu apa tujuannya, tapi jika dia sedang dalam kesulitan, aku
ingin membantunya, aku ingin menjaga janjiku. Itulah perasaan tulusku saat ini.
Oriha diam sejenak sambil menatapku dengan tulus, lalu
akhirnya ia membuka mulutnya.
“Beneran, apa pun itu?”
Aku tidak memiliki petunjuk apa yang diminta dariku, dan
sejenak aku sempat terkejut. Namun, aku tidak ragu dengan jawabanku.
“Tentu saja!”
Lalu, dia tersenyum seperti waktu kami berdua sedang berpikir
tentang kejahilan saat kami masih di sekolah dasar.
“Oke, mari kita melakukan balas dendam bersamasama.”
“O-oke.”
Sepertinya aku bisa bekerja sama dengannya untuk saat ini.
Sambil merasa lega, aku mencoba mengajukan pertanyaan yang sangat ingin aku
pastikan.
“Nah, tentang itu, Oriha. Sebenarnya, balas dendam itu
dilakukan dengan cara apa sih? Oh, mungkin saja, orangorang dari klub sastra
itu masih ada di sekolah ini?”
“Tidak ada. Hanya aku yang pindah dari SMP itu ke sekolah
ini. Karena butuh waktu sekitar satu jam naik kereta.”
“Benar, jaraknya sangat jauh”
Ketika aku kembali dari Tokyo, aku pindah ke kota lain yang
berbeda dari saat aku masih di SMP, jadi cukup dekat tapi seharusnya jauh dari
daerah rumahku dulu.
“Aku ingin menjauh dari anggota-anggota itu dan memulai
segalanya dari awal.”
Dengan kata-katanya, aku mengerti semuanya.
“Oh, gitu ya, ngerti. Jadi balas dendam itu tentang debut di
SMA! Trus menikmati masa muda dan ngebales semua orang yang menghina ku pas
SMP.”
“Jawabannya ngaco banget deh.”
Dia membentuk tanda silang dengan kedua tangannya, lalu
perlahan mendekat ke arahku.
“Belum ada yang diputuskan.”
“Hah? Belum diputuskan?”
Aku membayangkan sesuatu seperti dalam manga remaja, di mana
setiap orang yang pernah melakukan intimidasi akan dibalas satu per satu.
“Tapi, mengenai menikmati masa muda, itu beda banget. Aku
udah nyerah soal masa muda.”
Saat aku mengulangi kata-kata “aku sudah menyerah”, dia
tersenyum dengan penuh kegetiran.
"Iya. Jadi kesepian ini semua gara-gara anak populer
yang sok-sok jadi anggota klub sastra. Tapi, anak populer di kelas juga percaya
gosip dan nge-bully aku, jadi sama-sama bersalah lah. Terus setelah pindah
kelas pun, masih ada anak populer yang nyaris ngelakuin hal yang sama. Di SMA
bener-bener gak ada yang baik-baik aja. Makanya aku udah capek sama masa muda
ini. Di SMA cuma kenal sisi-sisi buruk manusia, jadi sekarang udah gak bisa
semurni dulu lagi. Tapi..."
"Tapi...?"
"Orang-orang yang masih menikmati masa muda itu
curang!"
"Wow!"
Mau tak mau aku terkejut saat melihat Oriha menjulurkan
wajahnya dan tiba-tiba mendekat ke arahku.
Matanya yang seperti kucing terlihat lebih tajam, dan ekspresinya
dipenuhi amarah dan kekecewaan.
“Aku juga bisa jadi seperti itu jika ada yang berubah.
Orang-orang yang bisa menikmati klub dan hobi mereka itu curang! Aku mengalami
kesulitan di sekolah setiap hari dan mentalku terkikis, jadi nggak bisa mulai
hobi baru. Semuanya curang!”
“...Ya, emang sih.”
Aku benar-benar bisa merasakan empati yang mendalam
terhadapnya. Ah, ternyata Oriha dan aku sama-sama mengalami hal serupa. Hanya
karena kebetulan kecil, baik aku maupun dia bisa saja memiliki pengalaman SMA
yang benar-benar berbeda. Akibatnya, rasa percaya diriku menurun, sementara dia
meningkatkan voltase kemarahannya.
“Aku gak perlu naik ke atas. Itu sebabnya aku akan
menjatuhkan mereka ke posisiku! Aku memutuskan untuk menjadikan kehidupan SMA
ku sebagai panggung balas dendam!”
“Oh, begitu ya.”
Oriha tidak mendapatkan keunggulan dengan bertarung secara
fisik atau meningkatkan kasta di dalam kelas. Dia berusaha untuk menghalangi
dan merampas masa muda mereka.
“Jadi, aku harus seenggaknya nge-bongkar siapa mereka
sebenarnya.”
“Siapa mereka secara spesifik?”
“seenggaknya mereka yang terkenal dan populer.”
“Eh, kok kayak serangan ngga jelas gitu?”
Keterangan yang diberikan sangatlah terbatas.
"Ada orang yang pendiam
tapi tetap mengalami masa muda, itu memang membuatku marah. Tapi orang populer
lah yang mendapat prioritas tertinggi.”
“Nah, kalau begitu, maksudnya kamu pengen apa akhirnya?
Ngerepotin orang-orang yang ceria dan mencuri waktu masa muda mereka, terus
pengen hasilnya gimana? Nggak mungkin kan pengen semua orang berhenti dari klub
kegiatan?”
Setelah mendengar itu, Oriha menghela nafas dengan ekspresi
yang terkesan dibuat-buat, lalu berkata, “Ini terlalu ekstrem, ya.”
“Kamu bisa terus melakukan aktivitas klub yang kamu lakukan
sekarang.”
“Begitu, benar, maaf.”
“Citra dunia yang aku
cita-citakan dirangkum dalam sebuah esai karya Oriha.”
“lah kok. ”
Oriha sudah menyiapkan esainya meskipun belum tahu apakah
akan mempersembahkannya atau tidak.
“Idealnya sih, semua orang bisa menghabiskan waktu tanpa
terlalu banyak ribut. Pada dasarnya, lebih suka sendirian tapi kadang-kadang
ngobrol juga gitu.”
Setelah mengatakan itu, dia mengulurkan tangan kanannya dan
mulai mengangkat jari-jarinya satu per satu.
“Ini adalah dunia yang aku harapkan!
O → Saat istirahat siang, tidak
ada yang menyatukan meja dengan siapa pun.
Ri → Cewek gal ngga perlu
bertanya ke salon kecantikan ketika mengubah gaya rambut.
Ha → Tidak mengusulkan untuk
pergi berdoa awal tahun dan melewati tahun baru.
Bagaimana menurutmu? Keren, kan?”
“Apakah dunia seperti itu bagus?”
“Keinginanku menjadi kenyataan.”
Oriha mengencangkan kekuatan pada tangan kanannya dan
menahannya di depan wajahku. Kau dapat melihat antusiasmenya saat tangan
tersebut berubah menjadi merah saat dia meremasnya dengan sekuat tenaga.
“Amesuke, ini balas dendam yang kotor dan penuh niat jahat,
tapi maukah kamu membantuku, tuan peringkat pertama?”
Oriha menekankan pada “tuan peringkat pertama” dengan penuh
semangat. Namun, nada bicaranya yang agak riang terdengar seperti provokasi.
Jika saja itu permintaan dari orang lain, aku pasti akan
menolaknya tanpa ragu. Namun, kali ini aku tidak bisa begitu saja
mengabaikannya. Tentu saja, ada penyesalan karena aku tidak bisa membantunya
saat di SMA dulu. Selain itu, meskipun aku sendiri telah menerima banyak hal
dengan berkata “tidak bisa dihindari” atau “kesalahan ku sendiri”, tetapi
semangatnya yang masih berkobar-kobar dan mencoba merencanakan sesuatu, itu
benar-benar menyala di dalam hati ku.
“Tentu saja. Biarkan aku membantumu, Oriha.”
“Terima kasih! Mohon
bantuannya, Amesuke.”
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.