Episode
5
(POV Ritsuka)
"Wortel, mentimun,
zucchini, pare, lobak, terus pisang..."
"Oh, hari ini...
Kamu mau masak apa dengan semua itu?"
Rou-kun bertanya dengan
penuh rasa ingin tahu saat aku menata bahan makanan yang baru dibeli dari
supermarket di atas meja.
Memang, dengan melihat
bahan-bahan ini saja, sulit membayangkan resep apa yang akan dibuat.
Itu wajar, karena aku
sendiri belum memikirkan akan membuat apa dengan semua ini.
"Bukan untuk
masak."
"Hah? Bukan untuk
masak? Maksudmu... mau dibuat acar? Ah, acar juga termasuk masakan..."
"Aku lagi mikirin
sesuatu."
"Mikirin?
Apa?"
"Mana yang paling
mirip dengan penis Rou-kun?"
"HieeEEEeeeeeeeeeeeee!!!"
Rou-kun langsung
terduduk di lantai seperti seorang komedian. Aku merasa tidak perlu terkejut
separah itu, tapi mungkin memang wajar.
Aku sendiri juga merasa
aneh karena mengatakan hal seperti itu pada Rou-kun.
"J-jangan
main-main dengan makanan!"
"Aku tidak
main-main kok."
"Jangan main-main
dengan... ah, sudahlah."
Tentu saja, aku berniat
untuk memakan semuanya nanti, jadi aku tidak akan membuang-buang makanan. Jadi,
aku tidak mengerti maksud Rou-kun dengan 'bermain-main'. Aku serius!
"Jelaskan
padaku... kenapa kamu bisa berpikir seperti itu...?"
"Kan Aki-chan-san
juga bilang, aku cuma belum terbiasa."
"Dia memang bilang
begitu... Tapi, apa perlu sampai seperti ini?"
"Makanya kemarin
aku tanya Aki-chan-san harus gimana. Lalu dia bilang... apa ya? Nnn, namanya
apa? Seperti... membiasakan diri, begitu?"
Aku lupa kata yang
diucapkan Aki-chan-san di pesan.
Kata itu agak aneh,
jadi aku tidak terlalu ingat. Aku memang kurang bagus dalam bahasa.
Sementara itu, Rou-kun
mengangguk saat mendengar kata 'membiasakan diri'.
"Maksudnya
'desensitisasi'?"
Note:
'desensitisasi' adalah terapi yang
menggabungkan teknik relaksasi dengan paparan bertahap terhadap pemicu fobia.
TLN: Iya, Ritsuka
fobia sama tytyd Roushi wkwkwk.
"Iya, itu dia!
Rou-kun hebat!"
"Itu konsep dalam
psikologi. Maksudnya adalah reaksi terhadap rangsangan yang berulang akan
semakin berkurang."
"Kira-kira
begitu!"
Aku tidak terlalu paham
penjelasan detailnya. Aki-chan-san juga sudah menjelaskan bagaimana cara
melakukan 'desensitisasi' itu.
"Kalau kamu takut
dengan penis Rou-kun, dengan sering menyentuh benda yang mirip dengan penis
Rou-kun, lama-lama kamu akan terbiasa dan tidak takut lagi!"
Jadi intinya, kita akan
mencoba membiasakan diri secara bertahap.
"Tidak menyangka
aku akan sering mendengar kata 'penis' di rumah ini. Sungguh hari yang
bersejarah."
"Mau kita jadikan
hari peringatan?"
"Baiklah. Akan
kutandai di kalender."
Saat aku mengatakannya
sambil bercanda, Rou-kun benar-benar menandai tanggal hari ini di kalender
dinding dan menulis 'Hari Peringatan Mengucapkan Penis Berulang Kali'. Hmm...
itu tidak sopan. Bahkan tanpa berpikir panjang pun aku tahu itu.
"...Jangan
bertingkah seperti anak SMA. Itu kan cuma bercanda."
"Hehe ☆"
‘Fshaaaa!!’
"Tidak apa-apa,
kan, sesekali?!"
Saat Rou-kun
menjulurkan lidahnya dan bertingkah imut, Nyan-kichi marah dan bulu-bulunya
berdiri. Apa dia bilang 'Tidak cocok untukmu!'? Sepertinya begitu.
"Jadi, itulah
kenapa aku sedang mencari benda yang mirip dengan penis Rou-kun."
"Kata-katamu
terlalu vulgar..."
"Sosis itu--pasti
salah. Bukan seperti ini, kan."
Sebenarnya, kalau
seukuran sosis, mungkin akan imut. Tapi, waktu aku mandi bersama kakakku saat
kecil, aku ingat milik kakakku seukuran sosis.
Yah, aku tidak terlalu
ingat, tapi setidaknya tidak seperti penis Rou-kun.
"Timun
itu--terlalu kurus dan panjang. Diameternya... lebih besar, kan?"
"Wah... Apa kamu
akan mengomentari semuanya satu per satu...?"
Waktu itu, kamarnya
agak gelap, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas.
Meski begitu, aku tidak
bisa melupakan siluetnya yang terlihat jelas bahkan di ruangan yang gelap itu.
"...Lobak..."
Bukan yang sudah
dipotong, tapi lobak utuh yang besar dan tebal. Sedang musimnya di musim
dingin. Aku jadi ingin membuat oden.
Aku mengangkatnya dan
menggosokkannya ke pipiku.
"Salah, salah,
salah!! Terlalu besar!!"
"Tapi di kepalaku,
ukurannya memang sebesar ini..."
"Memangnya aku
gajah!?"
"Apa memang begitu
ya, secara tidak sadar membayangkannya...?"
"Kalau begitu, mau
melihat aslinya sekarang...?"
"Tentu saja
tidak."
Aku belum terbiasa.
Kalau aku melihat aslinya, mungkin aku akan takut lagi. Meskipun itu cuma
bercanda, Rou-kun terlihat sedikit kecewa. Eh? Memangnya pria suka memamerkan
miliknya?
"Pare itu... mirip
tapi tidak sama. Tidak seberduri ini, kan?"
"Tidak,
tidak."
"Yakan. Dan ini
bukan musimnya."
"Apa itu ada
hubungannya?"
Kalau begitu, tinggal
dua yang tersisa. Yang secara intuitif aku rasa mirip.
"Zucchini juga
bukan musimnya. Tapi, ini lumayan... mirip, kan?"
"Mirip?"
"Mirip sama punyanya
Rou-kun."
"Nanti kesannya
aku punya wajah seperti zucchini, lho..."
Seperti apa sih wajah
zucchini? Aku tidak bisa membayangkannya.
Aku memegang zucchini
dengan kedua tanganku dan menciumnya. Agak kenyal dan sedikit berbau seperti
rumput. Kalau tidak salah, zucchini itu bentuknya seperti timun, tapi
sebenarnya dia masih keluarga labu, kan? Sayuran memang tidak bisa dinilai dari
penampilannya saja.
"Tapi mulai hari
ini, kamu teman Rou-kun..."
"Jangan seenaknya
menambah teman."
"Iya. Zucchini
lulus! Sangat mirip! Rou-kun juga setuju kan?"
"Yah, mungkin...
Aku tidak bisa bilang benar atau salah..."
"Tapi kalau salah,
kamu pasti bilang salah? Karena kamu tidak bilang apa-apa, berarti benar?"
"........."
Rou-kun tidak menjawab.
Kalau begitu, berarti benar.
Sekarang, yang
terakhir—pisang. Ini juga bukan musimnya, tapi selalu dijual sepanjang tahun.
Karena ini buah yang
merakyat, harganya dan rasanya dianggap tidak jauh berbeda, tapi pisang yang
mahal itu teksturnya sangat lembut dan rasanya manis legit. Yang dijual satuan.
"Jadi aku beli
ini. Pisang mahal."
"Aku tidak tahu
apa maksud 'jadi'-nya... Tapi bukannya membeli satu pisang saja itu tidak
hemat? Keuntungan pisang itu kan bisa dimakan beberapa kali karena ada banyak
dalam satu sisir."
"Kali ini bukan
soal hemat atau tidak!"
"Yah, memang
sih..."
Pisang mahal itu
panjang, tebal, dan kulitnya berkilau. Bahkan, setiap pisang dibungkus satu per
satu dengan jaring seperti yang dipakai untuk melon. Ini seperti rajanya
pisang.
Rou-kun mengambil raja
pisang itu dan mengamatinya dengan saksama.
"Terlepas dari
apakah ini mirip denganku atau tidak... kalau tidak segera dimakan, akan busuk,
lho."
"Ya. Jadi kupikir
aku akan memotongnya menjadi dua dan menyajikannya besok pagi."
"--Tidak, ayo kita
makan sekarang."
"Eh? Tidak terlalu
cepat? Kamu lapar?"
Pisang kaya akan
kalium, yang baik untuk mencegah tekanan darah tinggi. Pisang juga mengandung
banyak serat dan pasti baik untuk tubuh, jadi kami selalu menyediakannya untuk
dimakan di pagi hari. Rou-kun juga suka pisang, tapi memakannya sekarang...
mungkin dia lapar setelah melihat raja pisang ini.
"Bukan itu. Yang
makan duluan itu Ritsuka."
"Aku?
Kenapa?"
"Sudah, jangan
banyak tanya. Ayo, buka mulutmu."
"Ah. Aku tidak
akan makan semuanya."
Saat kulitnya yang
kuning cerah dikupas, terlihat daging pisang yang putih bersih. Dagingnya
memang lebih tebal dan besar daripada pisang biasa. Mungkin bisa dibilang lebih
mengenyangkan.
Rou-kun perlahan
mendekatkannya ke mulutku. Aku harus membuka mulut lebar-lebar untuk bisa
memakannya. Aku membuka mulutku selebar mungkin.
"Nyam..."
Potongannya sangat
besar, dan aku langsung merasa cukup kenyang setelah makan satu gigitan.
Setelah aku berhasil
menelannya, Rou-kun juga menggigit pisang yang sama.
Kami berbagi satu
pisang berdua. Padahal tidak perlu seperti itu.
"Memang enak,
sesuai harganya. Ini, Ritsuka."
"Ke-kenapa kita
berciuman tidak langsung seperti ini..."
"Entahlah.
Kira-kira kenapa?"
Mata Rou-kun saat
mengatakan itu--seperti binatang buas. Seperti karnivora yang akan menerkam
mangsanya.
Tajam, dingin, tenang,
tapi tidak bisa menyembunyikan naluri yang membara di matanya.
Entah kenapa. Aku
merasa merinding.
Aku menggigit pisang
yang disodorkan padaku tanpa sepatah kata pun.
Kemudian, dia juga
memasukkan sedikit pisang ke dalam mulutnya.
"Ritsuka."
"...Apa?"
Sambil memasukkan
pisang ke mulutnya, Rou-kun memanggilku dengan isyarat tangan.
Aku mendekatinya dengan
curiga, lalu dia mengangkat daguku dan mencium bibirku.
Kemudian, sesuatu yang
besar dan lengket masuk ke dalam mulutku. Ah, ini pasti.
"Berbagi."
"Ish... bodoh."
Aku menepuk dadanya
dengan ringan. Rasanya seperti menepuk pohon besar, tidak ada efek sama sekali.
... Bukannya aku
berharap ada efek.
"Kita lakukan ini
setiap hari, ya? Untuk 'desensitisasi'."
Kedengarannya seperti
saran, tapi sebenarnya bukan. Ini lebih seperti konfirmasi.
Aku tidak bisa
mengatakan 'iya' atau 'tidak'. Melihat itu, Rou-kun tersenyum tipis.
"Ayo, aku yang
akan memasak. Kamu istirahat saja, Ritsuka."
Wajahnya terlihat
lembut seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa. Itulah wajah asli Rou-kun.
Tapi, wajah manusia itu
tidak hanya satu.
Aku terkulai di sofa.
Tubuhku terasa lemas. Aku ingin menyiramkan air dingin ke kepalaku.
Ada satu hal yang
pasti. Rou-kun itu kuat, baik hati, lucu, dan sedikit kekanak-kanakan.
... Dan dia juga sangat
sadis.
*
"Jadi... sampai
sekarang kamu masih makan pisang setiap hari?"
"Iya. Lebih
tepatnya, kami makan satu pisang bersamaan..."
"Begitu ya."
Beberapa hari kemudian,
aku diundang ke rumah Aki-chan-san saat hari libur.
Aku terkejut karena rumahnya
ternyata tidak jauh dari rumahku, hanya satu stasiun. Memang, di kota besar
biaya sewa sangat mahal, jadi banyak orang yang tinggal di daerah pinggiran.
Ketika aku menceritakan
tentang situasi aku dan Rou-kun, dia tidak terlalu terkejut.
"Kamu tidak
terlalu terkejut? Kalau aku cerita ke teman-temanku, mereka pasti akan bilang,
'Kalian sedang memainkan peran apa sih...' dan langsung mundur ketakutan."
"Mungkin 'sedikit'
mundur ketakutan itu ada... Tapi, menurutku itu cara yang cukup masuk akal
untuk 'desensitisasi'. Karena, pisang itu kan sering diibaratkan
dengan..."
"Penis?"
"Kenapa kamu harus
mengatakannya? Padahal aku sudah berusaha tidak menyebutnya."
"Harus jujur kalau
ada yang harus dijelaskan!"
"Rasanya seperti
sedang mengobrol tengah malam..."
Meskipun masih siang,
tapi karena hanya ada aku dan Aki-chan-san di sini, aku merasa tidak apa-apa
mengatakannya. Ngomong-ngomong, Rou-san
sepertinya sedang pergi.
'Kyuin kyuin kyuin!
Selamat! Selamat!'
"Ah. Kaku-kaku sedang
bicara."
"Kami sudah
memberinya makan, tapi Youtarou mengajarinya banyak kata-kata aneh, jadi dia
hanya mengatakan hal-hal seperti itu bahkan saat ingin diperhatikan."
"Hee~. Jadi burung
juga punya waktu minta perhatian?"
"Iya. Dia gampang
kesepian, jadi kalau tidak diajak bicara setiap hari, dia akan sakit."
Sambil berkata begitu,
Aki-chan-san membuka sangkar dan dengan lembut mengulurkan tangannya. Kemudian,
Kaku-kaku-chan melompat ke lengannya dan bertengger di bahu Aki-chan-san.
Sepertinya dia tidak akan terbang dan melarikan diri.
"Cuma, kukunya
yang tajam itu agak sakit sih."
‘Kau Aki! Kau Aki! Aku
Kaku-kaku!’
"Iya, iya. Aku
akan senang kalau kau bisa sedikit lebih tenang."
Aki-chan dengan lembut
mengelus bagian bawah leher Kaku-kaku-chan dengan jarinya. Nyan-kichi juga
terkadang ingin dimanja, dan saat seperti itu dia akan mendekatiku sambil
mendengkur, atau berguling-guling di kakiku sambil menunjukkan perutnya. Baik
manusia maupun hewan, semuanya suka dimanja.
"Enak ya~.
Kira-kira dia bisa mengingat namaku juga tidak ya?"
"Entahlah... Yang
mengajarinya kata-kata kan Youtarou, aku belum pernah mengajarinya."
"Kalau begitu, ayo
kita coba! Kaku-kaku-chan! Aku, Ri-tsu-ka!"
‘Siapa kau...’
"!?"
Eh... Dia membalas
dengan nada yang sangat santai....
Aku melirik Aki-chan-san,
dan dia tertawa terbahak-bahak.
"Kaku-kaku akan
bereaksi seperti itu kalau dia tidak mengerti kata-katanya. Lucu, kan?"
"Aku
kaget..."
‘Karakter emas! Judul
emas! Dapat! Dapat!’
"Aku akan senang
kalau dia bisa mengingat kata-kata yang lebih baik..."
Sepertinya ada
kata-kata yang mudah diingat dan ada yang sulit diingat, ada yang dia sukai dan
ada yang tidak, dan Kaku-kaku-chan memilih kata-kata yang ingin dia ucapkan
dari situ. Karena itu, Aki-chan bilang 'ini bukan percakapan', tapi aku tidak
setuju.
"Kurasa sebenarnya
dia ingin mengatakan sesuatu. Hanya saja, dia tidak punya kata-kata untuk
mengungkapkannya. Tapi aku yakin Kaku-kaku-chan memperhatikan kalian."
"Semoga saja
begitu. Lagipula, secara naluriah, kicauan burung adalah bentuk komunikasi.
Tapi, meskipun kata-katanya tidak lengkap, kita bisa mengerti apa yang mereka
pikirkan."
‘Aaah! Aku
berkeringat!! Aku... berkeringat!!’
"Sekarang
apa...?"
"...Mungkin dia
berkeringat..."
Aki-chan-san
menyimpulkan dengan nada tidak yakin.
"Aku pulang, Aki.
...Hah?"
"Wah. Youtarou, kamu
pulang cepat sekali?"
"Ah, Iba
Youtarou-san. Selamat siang!"
"Istri Saigawa,
ya. Kenapa kamu tidak bilang kalau ada tamu?"
"Karena aku tidak
menyangka kamu akan pulang secepat ini."
Ibano Youtarou-san,
yang sepertinya sedang keluar, pulang dengan malas. Dia masih memakai kacamata
hitam dan baju olahraga, jadi mungkin dia selalu memakai pakaian ini ke mana
pun dia pergi.
Aki-chan-san tampaknya
sedang berpikir, karena kepulangan pria ini tidak terduga.
"Bagaimana ya, Ritsuka-chan.
Mau pergi ke kafe terdekat? Ini pasti mengganggu, kan."
"Jangan panggil
aku 'ini'..."
"Tidak apa-apa~.
Ayo kita mengobrol bertiga!"
"Tidak perlu
mengajakku juga. Hei, Aki, aku sudah mengambil obatmu. Minum nanti."
Youtarou-san
menunjukkan kantong obat yang dipegangnya kepada Aki-chan.
Jangan-jangan, dia
mengambil obat itu untuk Aki-chan? Berarti, apa Aki-chan sakit?
"Anu, Aki-chan.
Kalau kamu sakit, aku hari ini—"
"Tidak perlu
khawatir, istri Saigawa. Ini cuma obat asma, penyakitku."
"Betul. Aku tidak
sakit kok, jadi jangan khawatir."
"Kalau begitu,
syukurlah..."
Sekarang musim dingin,
dan udaranya kering, jadi mudah batuk. Pasti susah ya punya penyakit....
"Hei, istri Saigawa.
Suamimu sedang apa hari ini?"
"Rou-kun? Dia di
rumah, jaga Nyan-kichi."
"Seperti anak
kecil saja.... Kalau begitu, pas sekali. Beri tahu aku nomornya."
Nomor yang dimaksud
pasti nomor ponselnya. Apa Youtarou-san ada perlu dengan Rou-kun?
Karena tidak ada alasan
untuk menolak, aku memberi tahu nomor ponsel Rou-kun kepada Youtarou-san. Dia
langsung meneleponnya. Dia tipe orang yang tidak ragu-ragu, ya.
[...Halo. Siapa ini?]
"Oh, Saigawa. Ini
aku. Kau sibuk?"
[Penipuan telepon itu
termasuk dalam Pasal 246 Ayat 1 KUHP tentang penipuan, dan jika terbukti
bersalah, akan dihukum penjara—]
"Ini bukan
penipuan telepon!!"
[Oh ya? Penampilanmu
seperti penipu kelas teri, jadi kukira begitu.]
"Jangan menilai
orang dari penampilannya!! Aku tidak pernah jadi penipu!!"
[Kau harusnya
menyangkal kalau kau kelas teri dulu. Jadi, ada apa, Iba? Bukannya Ritsuka
sedang main ke tempatmu?]
"Saigawa-san itu
lucu. Dia sudah tahu cara menghadapi Youtarou."
"Iya, kan~"
Youtarou-san sepertinya
suka menimpali, jadi mungkin Rou-kun juga tahu itu dan sengaja memancingnya.
Tapi aku jadi sedikit khawatir, bagaimana kalau dia benar-benar tidak tahu
siapa yang menelepon.
"Ah, tidak ada
gunanya pria ikut campur dalam obrolan wanita. Ayo kita pergi main."
[Memukul orang?]
"Tentu saja tidak,
bodoh!! Pachinko! Kau pasti sedang tidak ada kerjaan, kan!?"
[Memang sedang tidak
ada kerjaan, sih... Tapi Ritsuka tidak mendengar percakapan ini, kan?]
Karena dia menyalakan
speaker, tentu saja aku bisa mendengarnya. Saat menikah, kami membuat
perjanjian 'pada dasarnya tidak boleh berjudi'. Sepertinya Rou-kun
mengingatnya.
Youtarou-san melirik ke
arahku.
".........Tidak."
[Hmm. Ada jeda, ya. Ritsukaaaa!!
Aku harus bagaimanaa!?]
"Brengsek."
"Tidak apa-apa
kalau kau tidak boros!"
[Baiklaa!! ...Katanya
begitu, jadi ayo kita pergi.]
"Dasar payah...
Nanti aku minta kontak pesanmu dari istrimu, jadi aku akan kirimkan tempat
berkumpulnya ke sana. Dan kita main patungan, ya! Kumohon, bos!"
[Oke. Sampaikan salamku
untuk Hagusa-san. Sampai jumpa.]
Klik. Panggilan
berakhir, dan Youtarou-san memasukkan ponselnya kembali ke sakunya.
"Maaf ya... Aku
seperti memaksa suamimu untuk ikut."
"Tidak apa-apa!
Rou-kun itu, meskipun terlihat seperti itu, waktu kuliah dia lumayan sering
berjudi."
"Begitu ya. Kalian
berdua pacaran sejak kuliah?"
"Iya! Itu seperti
pertemuan yang ditakdirkan--kami bertemu di kencan buta yang ditakdirkan♡"
"Eh... Kencan
buta, ya..."
"Lagipula,
biasanya orang tidak menambahkan kata 'ditakdirkan' di depan kencan
buta..."
Ceritanya panjang, jadi
aku tidak akan menceritakannya, tapi memang benar kami bertemu lagi di kencan
buta.
Youtarou-san langsung
meminta kontak Rou-kun dariku dan mengetik pesan. Sepertinya dia akan segera
pergi.
"Oke. Kalau
begitu, aku pergi--sebelum itu. Aki!"
"Hm?"
"Beri aku
uang!!"
Uwaa. Ini seperti yang
sering kulihat di manga. Suami yang suka melakukan KDRT meminta uang dari
istrinya yang baik hati. Ternyata hal seperti ini benar-benar ada....
Youtarou-san
mengulurkan tangannya tanpa rasa malu sedikit pun. Aki-chan-san... terlihat
kesal.
"Hei. Bukannya
sudah kubilang, bulan ini aku tidak akan memberimu uang lagi. Gunakan saja uang
yang ada."
"Uang yang ada itu
sudah habis. Jangan macam-macam denganku."
(Kalau begitu, bukankah
lebih baik tidak usah main pachinko...)
"Kita yang
seharusnya bilang jangan macam-macam..."
"Tidak ada pilihan lain, aku pinjam saja dari Saigawa."
"Jangan pinjam
uang dari suamiku!!"
"Dasar sampah!! Tch,
sudah cukup belum!?"
Aki-chan-san mengambil
beberapa lembar uang dari dompetnya dan memberikannya kepada Youtarou-san.
"Terima kasih," katanya sambil memasukkan uang itu ke dompetnya
sendiri.
"Jangan-jangan,
kau mengajak Rou-kun berjudi untuk..."
"Ah! Untuk
mendapatkan uang main!?"
"Aku tidak tahu
apa yang kau bicarakan~. Yah, bersenang-senanglah. Kau juga santai saja, istri
Saigawa!"
"Sampai
jumpa!" katanya sambil melompat-lompat keluar.
...Dia... luar biasa.
Sudah lama aku tidak melihat orang yang sepayah itu.
"Maaf ya, Ritsuka-chan...
Kamu pasti jijik, kan..."
"Yah... sedikit.
Tapi, kakakku juga sering melakukan hal yang mirip, jadi aku tahu ada orang
seperti itu. Memang menyebalkan~"
Kakakku dulu adalah
tipe orang payah yang berbeda dengan Youtarou-san. Dia lebih sering menumpang
hidup pada banyak wanita. Aku jadi penasaran, mana yang lebih parah,
Youtarou-san yang hanya menumpang pada Aki-chan-san, atau kakakku. Mungkin sama
saja....
"Youtarou itu
sebenarnya bukan orang jahat. Tapi sayangnya, aku tidak tahu bagaimana caranya
menunjukkan sisi baiknya... Dia bukan orang jahat, sungguh..."
"Ah, aku mengerti.
Memang ada orang seperti itu yang sulit dijelaskan. Kakakku juga begitu,
sebelum animasinya laku keras, sulit untuk memperkenalkannya pada orang
lain."
"Anime? Kakak
Ritsuka-chan bekerja di perusahaan animasi?"
"Mmm... bukan
perusahaan sih. Dia membuat 'Nendonguri', jadi lebih tepatnya dia adalah
penulisnya?"
"Hah!?
'Nendonguri'? Maksudmu Kurei Toraji-san!?"
"Iya, betul. Nama
aslinya adalah Nagira Toraji, tapi dia kakakku."
"......!!"
Mata Aki-chan-san
bersinar. Kakakku akhir-akhir ini sering muncul di media, dan sambil
mempromosikan 'Nendonguri', dia juga ikut tenar. Karena dia memang tipe orang
yang suka diperhatikan, dia menerima semua wawancara, baik itu di TV, radio,
internet, majalah, dan sebagainya. Berkat itu, sekarang dia sedikit terkenal. Aki-chan-san
juga mengetahuinya.
"Aku sangat suka
'Nendonguri'! Aku sudah menonton season pertama berulang kali, dan aku sudah
memesan versi DVD dengan bonus barang terbatas. Selain itu, aku juga sudah
memesan merchandise resmi yang akan dirilis tahun depan..."
"Oh,
barang-barangnya lagi dibuat keras sama Rou-kun. Kakakku menyuruh perusahaan
Rou-kun untuk membuat merchandise, jadi dia sibuk dengan proyek itu."
"Hah, kenapa bisa
begitu!?"
"Kenapa bisa
begitu, katanya...?"
Rou-kun dan aku tidak
terlalu tertarik dengan 'Nendonguri', jadi kami hanya menganggapnya sebagai
pekerjaan biasa. Tapi, setelah melihat langsung penggemarnya, aku baru
menyadari betapa populernya konten itu. Ternyata kakakku hebat juga...
"Ah, bagaimana ya.
Kalau aku meminta tanda tangan Kurei-san, nanti terlihat seperti aku mendekati
Ritsuka-chan karena 'Nendonguri'. Itu tidak sopan..."
"Tidak apa-apa
kok? Kakakku juga suka sekali memberi tanda tangan. Aku akan menghubunginya
sekarang."
"Eh!? Tunggu!
Jangan! Maksudku, kalau boleh, tuliskan saja 'Untuk Aki-san' karena nama
belakang Kurei itu sulit dibaca, dan kalau bisa tambahkan gambar karakter
'Nendonguri', aku akan sangat senang, tapi tunggu! Jangan dulu!"
"Kamu sudah bilang
semua. Oh, dia sudah membaca pesanku. Dia bilang akan membawakan tanda
tangannya nanti!"
"Cepat
sekali!"
"Kakakku selalu
cepat membalas pesanku."
Dulu Rou-kun pernah
mengeluh karena kakakku hanya membalas pesan pekerjaan dengan santai.
Aki-chan-san terlihat
sangat senang sampai-sampai bingung harus berbuat apa.
"Uuu, maaf ya...
Ritsuka-chan, maaf sekali..."
"Tidak apa-apa
kok. Aku tidak perlu melakukan apa-apa, dan aku juga senang kalau Aki-chan-san senang!"
"Ritsuka-chan...
kamu terlalu baik!!"
Aki-chan-san memelukku
erat. Ugh, lembut. Wanginya harum. Dan kalau dipikir-pikir, tubuh Aki-chan-san bagus
sekali ya. Aku iri.
"Kalau ada yang
bisa kubantu, jangan ragu untuk bilang!"
"... Apa
saja?"
"Iya, apa
saja!"
"Kalau begitu,
ceritakan saja bagaimana biasanya kalian melakukan hal yang
menyenangkan..."
"Kenapa
begitu!?"
"Kenapa begitu, maksudnya...?"
Aku bertanya karena dia
bilang kenapa begitu. Tidak mungkin aku menanyakan hal seperti ini kepada orang
lain, lagipula. Selain itu... aku sangat ingin tahu.
"Kamu seperti anak
SMP yang baru mulai tertarik dengan seks..."
"Tidak sopan! Ini
bukan karena tertarik, tapi karena belajar! Untuk... ke-ke-biasaan!"
"'Pembiasaan',
ya... Tapi, aku tidak yakin ini akan berguna."
"Aku yang akan
menilainya."
"Haa... Meskipun
kutanya bagaimana, pasti biasa saja. Bagaimana ya, aku tidak terlalu pandai
dalam hal seperti itu... Biasanya, Youtarou yang lebih agresif..."
"Bagaimana
caranya?"
"Sentuhan fisiknya
bertambah, menatap wajahku terus... Intinya, dia berbeda dari biasanya, dan itu
mudah diketahui. Jadi, mungkin itu 'tandanya'."
"Seperti
apa?"
"Hentikan kata
ajaib itu!! Itu kata jahat yang akan mengorek habis rasa maluku!?"
Kukira dia akan
langsung bercerita kalau aku mengatakan itu, tapi dia malah marah.
Begitu ya. 'Tanda', ya.
Memang, terkadang tatapan Rou-kun juga terlihat sangat intens. Saat seperti
itu, dia tidak hanya menyentuhku, tapi memelukku atau memintaku memangku
kepalanya.
Saat aku mengatakannya
kepada Aki-chan-san, sepertinya dia mengerti.
"Hasrat seksual
itu ada naik turunnya. Kalau sedang lelah atau sedih, gairah itu tidak akan
muncul. Sebaliknya, waktu lagi sangat rileks atau bersemangat, itu tidak
berlaku. Saat itu, suamimu mau menyentuh dan disentuh olehmu, Ritsuka-chan."
"Seperti Nyan-kichi
dan Kaku-kaku-chan?"
"Tingkat
'menyentuh'-nya agak berbeda..."
"Jadi, itu 'tanda'
dari Rou-kun?"
"Mungkin begitu.
Mungkin dia berharap lebih dari sekadar sentuhan fisik."
"Oh,
begitu..."
Berarti, selama ini aku
mengabaikan 'tanda' dari Rou-kun.
Mungkin aku tidak
menyadarinya, atau mungkin aku menghindarinya secara naluriah. Tapi, Rou-kun
itu baik, jadi dia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Aki-chan mengangguk.
"Roushi-san memang
orang yang sangat baik. Kalau Youtarou itu, dia setengah memaksa, haha..."
"Tapi--bukankah
itu... menggairahkan?"
Aku bertanya dengan
suara pelan. Aki-chan mengalihkan pandangannya dan wajahnya memerah.
"...Iya..."
"Iya, kan, iya
kan!? Apa itu sebenarnya!?"
"A-aku tidak tahu!
Meskipun aku tahu, aku tidak boleh mengatakannya... Mungkin kita punya 'fetish'
yang sama! Begitulah!"
"Fetish,"
Mungkin aku bisa
langsung akrab dengan Aki-chan karena 'fetish' kami sama. Karena titik rangsang
kami sama, jadi kami mudah bersimpati.
"Jadi, Roushi-san
yang menyuapimu pisang tadi itu juga termasuk 'tanda'--dia menunggu Ritsuka-chan
membalasnya setiap hari. Mungkin dia sudah di ambang batas."
"Rou-kun sudah
mencapai batasnya..."
"Faktanya, fakta
bahwa kalian merasa puas hanya dengan pisang menunjukkan kalau mental kalian
kuat, dan kalian benar-benar peduli satu sama lain. Youtarou sama sekali tidak
menahan diri..."
Itu juga yang pernah
dikatakan Yoshino. Dia bilang Rou-kun punya mental baja.
Pria normal pasti akan
melakukan hal itu, apalagi jika sudah menikah. Dia tidak akan melakukannya
karena takut membuat istrinya tidak nyaman atau karena takut ditolak. Padahal,
sebenarnya dia ingin melakukannya.
"Aku harus
bagaimana? Apa yang harus kulakukan untuk Rou-kun?"
"Itu... mungkin...
kamu bisa menggunakan tangan atau mulutmu..."
"Hah? Maaf, aku
tidak dengar."
"Menggunakan
tangan atau mulut... maksudku, melayani dia. Kalau tidak bisa melakukan yang
sebenarnya, setidaknya..."
"......???????????"
"Kenapa kamu
bingung begitu? Jangan bicara aneh-aneh!"
Aku menggelengkan
kepala. Menggunakan tangan atau mulut. Maksudnya, hmm... singkatnya.
"Berciuman? Waktu
makan pisang, kita pasti melakukannya."
"Bukan itu
maksudku. Maksudku, semacam foreplay... Kamu pasti tahu, kan?"
"Hah...? Bukannya
itu cuman ada di video porno...?"
"Bukan begitu.
Tergantung orangnya, tapi menurutku banyak orang yang melakukannya..."
"... Aki-chan-san
juga?"
"…………Kadang-kadang…………"
Be-benar. Bukankah itu seperti adegan di film yang bertuliskan 'Mereka telah menjalani pelatihan khusus'? Itu kan hanya fiksi, bukan sesuatu yang boleh dilakukan di dunia nyata? Itu kan seperti dandelion yang tidak boleh dimakan, bukan? Apakah semua orang benar-benar melakukannya? Serius?
"Maksudmu, sebelum
melakukan hal yang sebenarnya, kita harus melakukan itu...? Gila!"
"Sssttt!
Ritsuka-chan pasti tahu, kan! Menyenangkan dan membuat pasangan senang itu
penting! Itu adalah kelanjutannya! Hal seperti itu!"
"Jadi begitu...
aku tidak tahu."
"Kamu anak orang
kaya? Polos sekali..."
Aku bukan anak orang
kaya kok. Tapi memang tidak ada yang mengajariku hal seperti itu.
Sekolah pasti tidak
akan mengajarkannya, dan TV juga tidak akan menayangkannya.
Lalu, dari mana semua
orang mendapatkan pengetahuan itu? Misteri sekali...
"Tapi, aku belum
terbiasa. Aku bisa melakukannya?"
"Bukan berarti
kamu harus melakukannya sekarang. Hanya saja, kamu harus tahu kalau hal seperti
itu ada. Mungkin kamu bisa mencoba melawan Rou-kun? Dia selalu mendominasi kamu
kan?"
"Melawan..."
Aku cukup suka kata
itu. Aku tidak suka terus-menerus didominasi oleh Rou-kun. Ketika aku
menyampaikannya, Aki-chan-san terlihat ragu sebentar, lalu dia berkata,
"Sebagai ucapan terima kasih atas tanda tangannya..." sambil
mengambil sesuatu.
"Ah. Pisang."
"......Aku hanya
akan melakukannya sekali. Jadi, kira-kira seperti ini..."
"………….〜〜〜〜〜〜〜"
"Mesum!
Mesum!"
Itu... luar biasa. Itu
saja yang bisa kukatakan...
*
"Ayo, Ritsuka. Mari mulai pelatihan 'desensitisasi' kita."
"U-un."
Malam itu, Rou-kun tersenyum sambil memegang pisang. Aku bertanya-tanya
kenapa dia harus tersenyum sambil memegang pisang. Apakah dia benar-benar
senang?
"Ritsuka, kamu makan dulu."
"Seperti ini?"
Rou-kun mendekatkan pisang yang sudah dikupas setengah ke mulutku. Aku
membungkus tangannya dengan kedua tanganku, dan bukannya langsung menggigit,
aku menjilatnya seperti makan es krim.
(Sepertinya, Aki-chan-san melakukannya seperti ini...)
"Eh, Ritsuka?"
Aku ingat bagaimana lidahnya bergerak-gerak seperti makhluk hidup lain,
penuh gairah. Gerakkannya sangat berlebihan. Selain itu, dia juga mengeluarkan
suara seperti air saat menggigit, menatapku dengan mata terbelalak, dan semua
gerakannya sangat... menggoda. Sampai-sampai tertanam kuat di ingatanku.
Aku mencoba menirukannya. Karena sudah sering diberi makan pisang, aku
sudah terbiasa.
"Ri-Ritsuka... darimana kamu belajar..."
"Hihifu♡"
Aku tahu tidak boleh berbicara dengan mulut penuh, tapi aku sengaja
melanggarnya. Aku menatap mata Rou-kun dan tersenyum sambil menyipitkan mata.
Aku mencoba membuatnya merasa aneh. Karena katanya itu bagus.
"Uwaaaaaaaaaaa!!!"
Lalu, Rou-kun berlari ke kamarnya sambil berteriak. Sepertinya dia bukannya
marah. Wajahnya memerah dan dia terlihat senang. Mungkin dia hanya terkejut.
Hanya saja, malam itu Rou-kun tidak tidur di tempat tidur yang sama
denganku, dia terus berada di kamarnya. Keesokan paginya ketika aku bertanya
alasannya, dia hanya bilang, "Ritsuka akan mengalami sesuatu yang luar
biasa." Kenapa aku?
Pria itu benar-benar penuh misteri, kadang membuatku penasaran, kadang
membuatku takut, tapi tetap saja... aku menyayanginya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.