Story About Buying My Classmate Chapter 10 V6

Ndrii
0

Chapter 10

Ingin Lebih Dekat Lagi dengan Sendai-san 




Ujian sudah dekat, tapi aku sama sekali tidak bisa fokus belajar. 

 

Aku cuma duduk di depan meja, pikiranku melayang ke arah Sendai-san yang belum pulang karena masih kerja part-time sebagai tutor. 

 

Saat melihat jam, aku sadar waktu makan malam sudah lama berlalu. Aku pun keluar dari kamar menuju ruang bersama. 

 

Sebenarnya, aku tidak terlalu lapar, tapi aku memutuskan untuk memasak sup krim. Aku mengeluarkan pisau dan talenan, lalu menyiapkan wortel, kentang, dan bawang. Sambil mengupas kulitnya, aku berpikir. 

 

Tahun lalu, aku pasti lebih memilih sup instan daripada repot-repot memasak sendiri. Tapi sekarang, semuanya berbeda. Sejak tinggal bersama Sendai-san, aku merasa tidak masalah memasak makanan sederhana. Selain itu, memasak lebih baik daripada terus-menerus memikirkan hal yang tidak perlu. 

 

Sup krim juga tidak sulit dibuat—cukup potong bahan, tumis, lalu rebus. 

 

Tidak perlu pusing soal bumbu, jadi kemungkinan rasanya gagal pun kecil. 

 

Di atas talenan, aku mulai memotong sayuran menjadi ukuran sekali suap. 

 

Aku sudah terbiasa sendirian, tapi tetap saja rasanya membosankan. Dan saat Sendai-san kerja part-time, bahkan setelah dia pulang pun suasana tetap membosankan. Itu karena dia sering membicarakan murid-murid yang bahkan belum pernah kulihat. Mendengar cerita tentang orang yang tidak kukenal jelas tidak menarik. 

 

Selain itu, biasanya dia selalu ada, jadi saat ada hari di mana dia tidak ada, rasanya ada yang janggal. Karena dia pulang terlambat, aku sampai kehilangan fokus dan hampir melukai jariku saat memotong kentang. 

 

Aku menghentikan tanganku. 

 

Bagaimana kalau yang kuiris bukan kentang, tapi jariku sendiri? 

 

Bagaimana kalau aku terluka cukup dalam sampai darahnya sulit berhenti? 

 

──Apa yang akan dilakukan Sendai-san? 

 

Aku menghela napas. 

 

Kalau hanya luka kecil di jari, Sendai-san tidak akan sampai berhenti kerja part-time. Aku tahu bahwa apapun yang dia lakukan dan di mana pun dia berada, itu bukan urusanku. Tapi sejak Maika datang berkunjung, aku jadi semakin ingin ikut campur dalam hidup Sendai-san. 

 

"Harusnya tadi aku pakai sup instan aja," gumamku. 

 

Aku memasak untuk mengalihkan pikiranku dari hal-hal tidak penting, tapi justru malah makin banyak memikirkannya. Tapi sekarang sudah terlambat untuk mengganti rencana, jadi aku menyelesaikan potongan sayur dan daging ayam, lalu menumisnya. 

 

Saat merebusnya dengan air, aku dengan malas mengangkat busa yang muncul di permukaan. 

 

Setelah mematikan api, aku memasukkan blok roux ke dalam panci, lalu menyalakan api lagi sambil terus mengaduk agar tidak gosong. 

 

Aku menambahkan susu dan menatap panci dengan kosong. 

 

Sup seperti ini seharusnya tidak dimakan sendirian. Meski aku tidak mau memikirkannya, bayangan Sendai-san kembali muncul di pikiranku. Aku menyesal tidak memilih sup instan saja. 

 

Di saat itu, dia akhirnya pulang, mungkin siap untuk menceritakan kejadian-kejadian di tempat kerja yang tidak menarik. 

 

"Aku pulang," katanya. 

 

Masih berdiri di depan panci, aku menjawab, "Selamat datang." 

 

Sendai-san langsung mengendus-ngendus seperti anjing, lalu mendekat. 

 

"Ada aroma enak dari Miyagi," katanya. 

 

"Itu bukan aku, tapi dari pancinya." 

 

"Kamu masak sup krim?" 

 

Dia berdiri di sampingku. 

 

Jarak kami cukup dekat untuk bisa berciuman, dan aku tanpa sadar menatap wajahnya. 

 

Biasanya, kalau suasana seperti ini, Sendai-san yang akan menciumku lebih dulu. Tapi seharusnya aku juga bisa melakukannya. 

 

Tidak ada aturan tentang siapa yang harus memulai atau kapan waktu yang tepat. Jadi, kalau aku mau, aku bisa menciumnya kapan saja. 

 

"Miyagi?" 

 

Sendai-san memanggil namaku, membuatku mengalihkan pandangan ke panci sup. 

 

Kalau kupikir lagi, mencium tanpa alasan mungkin akan membuatnya bertanya-tanya. Aku juga bukan ingin mencium karena ada alasan tertentu—hanya saja, rasanya momen ini cocok untuk itu. 

 

Mungkin aku hanya terlalu terpengaruh sejak Maika datang. 

 

"Kalau hanya ingin tahu aku masak apa, kamu nggak perlu sedekat ini. Aromanya saja sudah cukup menjelaskan," kataku sambil mendorong perutnya. 

 

"Aku cuma mau tahu, aku dapat bagian atau nggak." 

 

Dia mundur dua langkah dan tersenyum. 

 

"Aku nggak mungkin masak cuma untuk satu orang." 

 

"Begitu ya. Udah hampir matang?" 

 

Nada suaranya ceria. 

 

"Udah." 

 

"Kalau gitu, aku taruh tas dulu. Tunggu sebentar, ya." 

 

Dia menunjukkan tasnya padaku sebelum masuk ke kamarnya. 

 

Aku mematikan api, mengeluarkan dua piring, dan menuangkan sup di atas nasi. Tak lama kemudian, dia kembali dan membantu membawa piring serta sendok ke meja. 

 

"Itadakimasu," kami mengucapkannya bersamaan, lalu mulai makan. 

 

Bahan dan roux yang kupakai sama seperti yang biasa dipakai Sendai-san, tapi rasanya tidak seenak buatannya. 

 

Bagaimanapun juga, lebih baik makan makanan yang enak. 

 

"Miyagi makin jago masak ya. Enak," katanya. 

 

"...Makasih," jawabku singkat. 

 

Tapi aku tahu, Sendai-san selalu bilang enak, entah benar atau tidak. 

 

Bahkan kalau rasanya tidak terlalu enak, dia tetap akan mengatakan itu. Bahkan kalau aku gagal, dia pasti tetap akan menghabiskannya. 

 

Aku tidak membenci sifatnya yang seperti itu, tapi aku ingin tahu kebenarannya. 

 

Aku tidak meminta kejujuran setiap saat, tapi ada beberapa hal yang tidak ingin kudengar sebagai kebohongan. 

 

──Seperti hari saat Maika datang. 

 

Aku sudah menanyakan apa yang mereka bicarakan, tapi ada satu hal lain yang terus mengganggu pikiranku. 

 

Hari itu, saat Maika bertanya apakah ada orang yang disukai, hanya Sendai-san yang tidak menjawab. 

 

Karena dia satu-satunya yang tidak menjawab, pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. 

 

Biasanya, aku tidak akan membicarakan hal semacam itu dengannya, jadi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertanya lagi. 

 

Mungkin ini bukan hal yang perlu dipermasalahkan, tapi tetap saja, aku merasa tidak adil. 

 

Aku sudah menjawab, jadi seharusnya dia juga menjawab. 

 

Tapi kalau dia tidak menjawab, berarti mungkin dia memang menyukai seseorang. 

 

"Sendai-san." 

 

Aku tidak peduli siapa yang dia sukai. 

 

Tapi aku tidak mau ada hal lain seperti kerja part-time yang lebih dia prioritaskan dibanding aku. 

 

Meski aku tidak begitu penting baginya, dia tetaplah penting bagiku. 

 

Dan kalau dia benar-benar punya seseorang yang dia sukai, aku ingin tahu siapa orang itu. 

 

"Ada apa?”

 

Saat menelan suapan terakhir dari sup krimnya, Sendai menatapku. 

 

Topik tentang orang yang disukai sebenarnya adalah hal yang bisa dibicarakan dengan siapa saja—aku membahasnya dengan Maika, dan juga dengan Ami. Itu seharusnya bukan sesuatu yang sulit untuk diucapkan, tapi kata-kata yang ingin keluar dari tenggorokanku malah terasa tersangkut, seperti saat harus membahas sesuatu yang benar-benar rumit. 

 

"Besok, giliran kamu yang masak sup krim, ya," ucapku. 

 

Kata-kata yang keluar justru berbeda dari yang kupikirkan. 

 

"Siap," jawabnya ringan. 

 

Lagian, ini bukan sesuatu yang harus dibahas sekarang juga. 

 

Aku hanya terpengaruh karena Maika mengangkat topik yang biasanya tidak kami bicarakan, membuat segalanya jadi terasa aneh. 

 

Aku menghela napas pelan, memastikan agar tidak terdengar olehnya. 

 

--- 

 

Di atas meja, ada sepotong cheesecake dan segelas es teh. 

 

Kadang ada makanan penutup setelah makan, kadang tidak. Kali ini, yang membelinya adalah Sendai. Ia duduk di depanku, bersandar pada tempat tidurnya. 

 

"Kenapa tiba-tiba beli kue?" tanyaku sambil mengusap kepala boneka platipus yang selalu ada di kamarnya. Sebenarnya, kami bisa saja makan di kamarku, tapi aku keburu terbawa suasana setelah makan malam dan akhirnya ikut masuk ke kamarnya. 

 

"Untuk merayakan selesainya ujian," jawabnya, lalu dengan cepat menambahkan, "Selamat makan," sebelum mengambil garpu dan menyuap potongan pertama cheesecake itu. 

 

"Ujian memang sudah selesai, tapi apa sampai harus dirayakan dengan kue?" 

 

"Rasanya lebih enak kalau ada alasan untuk merayakan sesuatu, kan?" 

 

"Jangan-jangan, kamu cuma kepengin makan kue, ya?" 

 

"Yah, memang sih," katanya sambil tersenyum. "Tapi ini enak, lho. Makan, deh." 

 

Melihat senyumnya, aku pun mengikutinya, mengambil garpu dan menyuap sepotong cheesecake. 

 

Teksturnya lembut dan krim kejunya terasa halus di lidah, berpadu dengan lapisan biskuit di bagian bawahnya. 

 

Cheesecake ini berasal dari toko yang pernah dibelinya sebelumnya. Rasanya sedikit asam dan segar, tidak terlalu manis—aku bisa makan dua atau tiga potong sekaligus tanpa merasa enek. 

 

"Kamu suka cheesecake, ya?" tanyaku. 

 

Hari ini, dia hanya membeli dua potong cheesecake. 

 

Sebelumnya, ia membeli empat jenis kue: cheesecake panggang, strawberry tart, shortcake, dan cheesecake lembut. Waktu itu, dia memberiku cheesecake lembut dan shortcake, sementara dia sendiri makan cheesecake panggang dan strawberry tart. 

 

"Suka," jawabnya. 

 

"Kalau disuruh pilih antara cheesecake panggang dan cheesecake lembut, mana yang lebih kamu suka?" 

 

"Dua-duanya." 

 

"Kamu lebih suka cheesecake lembut, kan?" 

 

"Aku suka dua-duanya," jawabnya lagi. 

 

Waktu itu, dia bilang lebih suka strawberry tart dan cheesecake panggang, tapi hari ini dia membeli dua potong cheesecake lembut. Kalau begitu, mungkin sebenarnya dia lebih suka cheesecake lembut, tapi tidak mau mengakuinya. 

 

"Apart dari cheesecake, kue apa yang kamu suka?" tanyanya, seolah ingin mengalihkan pembicaraan. 

 

Ia mencoba menghindar, seperti biasanya. 

 

Jawaban yang sebenarnya apa, sih? 

 

Aku tahu kalau aku bertanya balik, dia pasti akan menjawab "dua-duanya" lagi. 

 

Aku ingin tahu kue apa yang benar-benar dia suka, tapi menanyakan hal ini terlalu berlebihan. 

 

"Aku suka yang nggak terlalu manis." 

 

Aku menelan pertanyaan yang tak akan membuahkan hasil dan memilih menjawab saja. 

 

"Benar juga, kalau terlalu manis jadi cepat bosan," katanya, sebelum meneguk es tehnya. 

 

Segala hal tentangnya terasa sulit bagiku. 

 

Bahkan, hanya untuk mengetahui apakah dia lebih suka cheesecake panggang atau lembut saja rasanya sulit. 

 

Aku juga masih tidak tahu apakah dia menyukai seseorang. 

 

Keinginanku untuk tahu semakin membesar, seperti balon yang terus mengembang. Tapi aku tidak bisa menyerahkan balon itu kepadanya—tidak bisa begitu saja bertanya langsung. 

 

"Oh iya, Miyagi," panggilnya tiba-tiba, seakan baru mengingat sesuatu. Ia menepukkan tangannya sebelum melanjutkan, "Liburan musim panas nanti, kamu nggak pulang, kan?" 

 

"Nggak, tapi aku belum punya rencana apa pun." 

 

Sekarang ujian sudah selesai, artinya liburan musim panas akan dimulai. Tapi aku sama sekali belum punya rencana. 

 

Liburan kuliah lebih panjang daripada saat sekolah, tapi aku tidak tahu harus melakukan apa. 

 

"Kalau gitu, ayo pergi jalan-jalan bareng! Kamu nggak bakal pergi dengan Utsunomiya, kan?" 

 

Sendai menyebut nama Maika begitu saja. 

 

Sejak hari itu, mereka kelihatannya semakin akrab. Saat ngobrol dengan Maika, kadang-kadang dia menyebut nama Sendai, dan sebaliknya. 

 

"Kenapa kamu yakin aku nggak bakal pergi sama Maika?" 

 

"Soalnya aku dengar dari Utsunomiya kalau dia bakal pulang ke kampung halamannya selama liburan. Katanya, dia akan tinggal di sana cukup lama. Apa ada perubahan rencana?" 

 

"…Nggak ada. Dia nggak bakal balik sampai September." 

 

Saat mereka mengobrol di kamarku waktu itu, mereka terlihat sangat akrab, seolah sudah lama berteman. Aku pikir tidak masalah kalau mereka berteman, tapi aku tidak menyangka mereka cukup dekat sampai saling tahu rencana liburan masing-masing. 

 

"Kalau gitu, kamu bakal punya banyak waktu, kan?" katanya sambil tersenyum. 

 

Memang benar, aku punya banyak waktu luang. 

 

Pergi bersamanya saat liburan musim panas mungkin tidak masalah, tapi aku tidak mau langsung mengiyakan. 

 

Itu karena aku masih kepikiran soal Maika. 

 

Sendai tahu jadwal liburan temanku dengan begitu santainya, dan itu memberiku perasaan aneh, seperti setelah makan sesuatu yang terlalu manis hingga terasa berat di perut. 

 

Aku ingin tahu. 

 

Seberapa dekat mereka? Apa saja yang mereka bicarakan? 

 

Aku ingin tahu apakah mereka pernah bertemu hanya berdua. 

 

Aku ingin tahu, tapi aku tidak bisa bertanya. 

 

Aku tidak punya hak untuk ikut campur dalam pertemanannya, dan menanyakan itu pun akan terdengar aneh. 

 

Aku memotong cheesecake-ku lebih besar dari sebelumnya dan memakannya dalam satu suapan. Rasa asam yang segar memenuhi mulutku. 

 

Tapi, meskipun biasanya terasa ringan, kali ini cheesecake itu terasa berat dan membuat perutku sedikit mual. 

 

"Miyagi, liburan musim panas ini ayo jalan-jalan bareng, ya!" 

 

Maika tetap temanku, dan tidak masalah jika dia berteman dengan Sendai juga. 

 

Tapi ada bagian dari diriku yang tidak suka melihat mereka semakin akrab. 

 

"Aku memang nggak ada rencana, tapi aku juga nggak pengin ke mana-mana," jawabku. 

 

"Yah, jangan jadi anak rumahan gitu, dong." 

 

"Panas banget, ngapain repot-repot keluar?”

Bukan ini yang ingin aku katakan. 

 

Karena Sendai semakin dekat dengan Maika, semuanya jadi terasa salah dan tidak berjalan dengan baik. Hal-hal yang ingin aku tanyakan hanya berputar-putar di kepalaku tanpa bisa kuutarakan dengan kata-kata yang benar. 

 

Semuanya ini salah Sendai. 

 

Karena dia terlalu akrab membicarakan Maika, aku jadi seperti ini. 

 

Maika adalah sahabatku, teman yang sangat berarti. Aku tidak ingin Sendai terlalu dekat dengannya. Aku benci perasaan ini, seolah-olah Maika akan direbut dariku oleh Sendai. 

 

Tapi, bukan itu... 

 

Sebelumnya, aku tidak pernah peduli Maika bergaul dengan siapa pun. 

 

Tapi begitu Sendai masuk di antara kami, pikiranku jadi kacau. 

 

Aku— 

 

Aku takut Sendai yang akan diambil oleh Maika. 

 

Aku tidak ingin mereka semakin dekat. 

 

Namun, seberapa pun dekatnya mereka, tidak akan ada sentuhan atau ciuman di antara mereka. Aku dan Maika itu berbeda. Aku yang tinggal satu atap dengan Sendai, hanya aku yang bisa berbagi ruangan dengannya. Aku sadar akan hal itu, tetapi tetap saja, hanya karena perhatiannya sedikit beralih, aku jadi merasa cemas. 

 

— 

 

"Kalau memang segitu nggak mau ke luar, kita nonton film di dalam aja, gimana?" 

 

Suara Sendai tiba-tiba menyela pikiranku. 

 

Aku menghindari menatapnya langsung dan malah melihat ke arah piringnya—kue keju yang tadi ada di sana sudah habis. 

 

Aku juga memakan kueku, sedikit demi sedikit, lalu menelannya. 

 

Tapi entah kenapa, rasanya seperti menelan tanah. 

 

"Ada film yang mau kamu tonton?" 

 

Suara Sendai terdengar lembut, seolah dia sedang mencoba menenangkanku. 

 

Aku tahu ekspresiku pasti sedang buruk saat ini. Mungkin dahiku berkerut, mungkin juga mataku terlihat tajam. 

 

"Kamu aja yang pilih," jawabku datar, lalu meneguk es tehku. 

 

Aku sebaiknya kembali ke kamarku saja. 

 

Aku menghabiskan sisa kueku, meletakkan garpu, lalu bersiap untuk berdiri. 

 

Tapi sebelum sempat melakukannya, Sendai menggenggam tanganku di atas meja. 

 

"Miyagi, kuenya nggak enak?" 

 

Pertanyaannya tidak cocok dengan tindakannya. Tidak ada alasan baginya untuk menggenggam tanganku sekarang, tapi dia tetap melakukannya. 

 

Sendai selalu melakukan hal-hal yang tidak perlu. 

 

Tapi, entah ada alasan atau tidak, tubuhnya selalu terasa lembut dan hangat. Saat menyentuhnya, aku merasa yakin bahwa perhatiannya masih tertuju padaku, dan aku bisa berhenti memikirkan Maika. 

 

Aku ingin terus menyentuhnya. 

 

Aku tidak ingin ada orang lain. 

 

Tapi, aku juga tidak ingin menganggapnya sebagai seseorang yang spesial. 

 

Cukup sebagai teman sekamar. 

 

Kami tinggal bersama dengan kesepakatan sampai lulus kuliah—hanya kami berdua, tidak ada orang lain. Tapi, meskipun ini juga perjanjian seperti saat SMA dulu, kali ini rasanya berbeda. Kalau aku sampai menganggap Sendai lebih dari itu, aku takut tidak akan bisa lulus. 

 

Janji itu untuk ditepati, bukan untuk dilanggar. Tidak ada yang abadi, dan semuanya pasti akan berakhir suatu saat nanti. 

 

Jadi, aku harus tetap menjaga batasan ini. 

 

"Aku mau balik ke kamarku." 

 

Aku mencoba menarik tanganku, tapi genggamannya tetap erat. Saat aku menatapnya tajam, dia malah tersenyum. 

 

"Udah ujian selesai, santai aja dulu. Temenin aku sebentar lagi, ya?" 

 

"Udah bilang mau balik, kan? Lepasin." 

 

"Aku lepas kalau kamu bilang mau tetap di sini sebentar lagi." 

 

Sendai memang suka bercanda seperti ini, tapi hari ini aku tidak ingin menghadapinya. 

 

Kalau terus seperti ini, aku merasa aku akan kehilangan kendali atas diriku sendiri. 

 

"Nggak mau." 

 

Aku menarik tanganku lebih kuat. 

 

"Miyagi, hati-hati, gelasnya bisa jatuh." 

 

Meskipun mengatakan itu, dia tetap tidak melepas genggamannya. Justru semakin erat, membuat kehangatannya terasa lebih jelas. Dan karena itu, aku ingin menyentuhnya lebih lagi. 

 

"Sendai..." 

 

Aku memanggil namanya, tapi genggamannya tetap tidak terlepas. 

 

Kalau begitu— 

 

Aku naik ke lututku. 

 

Karena dia menggenggam tanganku tanpa alasan, aku juga boleh melakukan sesuatu tanpa alasan. 

 

Aku menempelkan bibirku ke bibirnya. 

 

Sentuhan ringan itu terasa hangat, lebih lembut dibandingkan genggaman tangannya. 

 

Tapi hanya dalam hitungan detik, Sendai menekan bibirnya lebih erat ke bibirku. Aku buru-buru menjauh, dan seketika genggamannya pun terlepas. 

 

"Ciuman itu... maksudnya biar aku melepas tanganmu, ya?" 

 

Sendai bertanya tanpa ragu. 

 

Ciuman tadi bukanlah semacam barter, tapi aku tidak merasa perlu menjelaskan. Jika dia ingin menganggapnya seperti itu, biarkan saja. 

 

"Ya... tapi juga bukan itu." 

 

"Apa maksudnya?" 

 

Aku menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. Aku tidak bisa terus menatapnya saat berbicara. 

 

"Kamu pernah minta sesuatu di kamar ini sebelumnya, kan?" 

 

"Minta sesuatu?" 

 

Dia terlihat bingung. 

 

"Kamu pernah bilang, ‘Aku ingin kamu membiarkan aku melakukan ini,’ ingat?" 

 

Kejadian itu adalah alasan kenapa Maika tahu aku tinggal bersama Sendai. Aku tahu dia tidak mungkin lupa. Aku sendiri masih mengingatnya dengan jelas—dan mungkin tidak akan pernah lupa. 

 

"...Aku ingat, tapi..." 

 

Kali ini, suara Sendai terdengar lebih pelan. 

 

"Aku belum mendapat balasannya." 

 

Aku memang tidak bisa mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku tentang Sendai, tapi setidaknya, aku bisa menyentuhnya. Itu adalah sesuatu yang kami berdua sudah terbiasa lakukan. 

 

"Apa maksudnya balasan?" 

 

Aku mengalihkan pandangan, menarik napas dalam-dalam. 

 

"Waktu itu, aku menuruti permintaanmu. Sekarang, gantian kamu yang menuruti permintaanku." 

 

Keinginan untuk tahu tentangnya telah membawaku ke titik yang tidak aku sangka sebelumnya. 

 

Tapi yang menyambungkan jalur ini adalah Sendai sendiri. 

 

Kalau dia tidak menggenggam tanganku, kalau dia melepasnya lebih cepat, mungkin ini tidak akan terjadi. 

 

"Jadi kamu mau aku melakukan hal yang sama?" 

 

"Bukan." 

 

Aku menoleh dan menatapnya langsung. 

 

"Kali ini, aku yang ingin melakukannya ke kamu. Aku ingin tahu bagaimana reaksimu. Tunjukkan padaku.”

 

Kalau aku menyentuh Sendai seperti dia menyentuhku... 

 

Kalau aku bisa mendengar suara yang hanya dia perlihatkan padaku dan bukan orang lain... 

 

Mungkin, aku nggak akan merasa se-tidak tenang ini, bahkan jika dia dekat dengan orang lain atau punya sesuatu yang lebih penting daripada aku. 

 

Aku tahu seharusnya aku nggak menyentuhnya dengan perasaan seperti ini, tapi aku nggak bisa menghentikan diri sendiri. 

 

“...Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?” 

 

Sendai bertanya, suaranya terdengar seperti sedang mencari tahu. 

 

“Kayak yang aku bilang tadi, aku cuma pengen tahu bagaimana reaksimu. Kalau nggak mau, ya tolak aja. Tapi kalau nolak, aku nggak akan pernah ngelakuin hal itu lagi, jadi jangan harap.” 

 

Sendai sudah terlalu dalam di pikiranku, seolah dia berdiam di pusat pusaran perasaanku, menarik semuanya ke arahnya. Aku nggak bisa mengusirnya, nggak bisa keluar dari pusaran ini. Jadi setidaknya, biarkan aku menyentuhnya, mendengar suaranya, mewujudkan keinginan sederhana ini. 

 

Aku menatap Sendai. 

 

Dia juga menatapku, wajahnya terlihat serius. 

 

Aku nggak akan memberinya kesempatan untuk menolak. 

 

Dan aku tahu, dia nggak akan menolak. Tapi tetap saja, aku masih kepikiran bagaimana kalau dia benar-benar bilang nggak. Dia diam cukup lama, nggak juga menjawab, bikin tanganku hampir gemetar. 

 

“Sendai, jawab.” 

 

Aku mendesaknya. 

 

Dia menghela napas ringan sebelum akhirnya menyebut namaku. 

 

“Kalau dari cara ngomongmu tadi, kalau aku nggak nolak, berarti kamu nggak keberatan kalau aku melakukan itu lagi ke kamu, kan?” 

 

“...Iya.” 

 

Aku tahu betul apa yang baru saja aku katakan. 

 

Aku nggak akan menarik kembali kata-kata itu. 

 

Kalau aku bisa mendapatkan Sendai malam ini, aku rela mempertaruhkan masa depanku sebagai gantinya. 

 

“Kalau gitu, ya udah.” 

 

Suaranya lembut, tapi ada sesuatu yang tegas di dalamnya. 

 

Dia masih menatapku, tanpa berkedip. Aku ingin mengalihkan pandangan, tapi aku merasa kalau aku memalingkan wajah sekarang, ini semua akan berubah jadi sesuatu yang salah. Jadi aku tetap menatapnya. 

 

“Jadi... Aku boleh?” 

 

Aku memastikan sekali lagi. 

 

“Kayaknya sih begitu.” 

 

Jawaban Sendai terasa santai, tapi dia nggak tersenyum seperti biasanya. Wajahnya tetap serius, seakan yang akan terjadi ini adalah sesuatu yang sangat besar. Aku berharap dia bersikap biasa aja, seperti biasanya. Bukan dengan wajah penuh keseriusan kayak gini. 

 

“Kalau gitu, aku punya satu syarat. Ambilin dua handuk.” 

 

Aku berkata dengan suara yang datar, nggak terlalu tinggi atau rendah. 

 

“Eh? Tunggu, tadi waktu aku tanya soal ciuman, kamu bilang itu bukan syarat buat ngelepas tangan, kan? Jadi aku pikir, yang sekarang ini yang jadi syarat. Tapi ternyata bukan?” 

 

“Yang ini bukan syarat. Ini balasan karena waktu itu aku nurutin permintaanmu. Syaratnya cuma handuk itu.” 

 

“...Oke. Terus, buat apa handuknya?” 

 

“Bawa aja dulu.” 

 

“Kamu mesum.” 

 

Nada suara Sendai masih santai seperti biasa, tapi ekspresinya masih tetap serius. Aku nggak bisa membaca apa yang ada di pikirannya. 

 

“Aku bahkan belum ngomong atau ngelakuin apa-apa.” 

 

Aku mencoba membela diri, tapi suaraku terasa lebih tegang dari yang seharusnya. 

 

“Biasanya handuk cuma dipakai buat ngiket tangan atau nutup mata.” 

 

“Kalau udah tahu, kenapa masih nanya?” 

 

Kalau Sendai mau bersikap serius, aku tinggal menutup matanya supaya aku nggak perlu melihat ekspresinya. Kalau aku mengikat tangannya, mungkin itu bakal terasa lebih berat, tapi setidaknya dia bakal nurut sama keinginanku. 

 

“Ya udah, aku ambil.” 

 

Dia berdiri dan berjalan menuju lemari. 

 

Langkahnya panjang, terlihat santai seperti biasa. 

 

Dia mengenakan celana jeans, bukan rok. Lengan tangannya terlihat karena dia memakai kaos lengan pendek. 

 

Nggak pakai seragam, nggak pakai rok, tapi aku merasa aku melihat dunia dari sudut pandangnya sekarang. Aku nggak akan melakukan hal yang sama seperti yang pernah dia lakukan ke aku, tapi tetap saja, rasanya agak aneh. 

 

“Ini.” 

 

Dia kembali, melemparkan handuk putih ke atas kepalaku sebelum duduk di tempat tidur. 

 

Aku menangkap handuk yang hampir jatuh ke lantai, tapi cuma ada satu. 

 

“Yang satunya mana?” 

 

“Satu ciuman, satu handuk. Pakai sesuka kamu.” 

 

“Itu curang.” 

 

“Kamu lebih curang.” 

 

Sendai menendang pinggangku pelan. 

 

Biasanya, dia yang duduk di bawah dan aku yang di atas tempat tidur. Tapi hari ini, posisi kami terbalik. 

 

Aku meraih pergelangan kakinya. 

 

Dia memakai celana panjang, hampir nggak ada bagian kulit yang terlihat. Aku mengangkat pandangan, melihat lengannya yang terbuka. 

 

Biasanya, saat ini, dia yang duduk di atas kasur dan aku di bawahnya. Tapi sekarang, aku melihat pemandangan yang berbeda. Aku nggak akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan ke aku, tapi tetap saja, ada perasaan aneh yang nggak bisa aku jelaskan. 

 

“Kamu udah mutusin mau ngapain? Kalau belum, kita bisa berhenti sekarang.” 

 

Sendai menatapku dari atas. 

 

Aku menjawab tanpa ragu. 

 

“Tutup matamu. Aku mau ikat.” 

 

“Terus, kenapa tadi mau ngiket tanganku?” 

 

“Biar kamu nggak bisa ngelakuin hal aneh.” 

 

“Aku nggak akan ngapa-ngapain, santai aja. Terus, buat nutup mata?” 

 

“Karena aku nggak mau dilihatin.” 

 

“Biasanya yang bilang gitu tuh yang ada di posisi aku sekarang.” 

 

“Ya udah, nggak masalah.” 

 

“Terus, kenapa nggak mau dilihat?” 

 

“Sendai, kamu bawel.” 

 

Dia memang selalu banyak ngomong, tapi malam ini dia benar-benar bikin aku bingung. 

 

Aku berdiri, mencoba menutup matanya dengan handuk. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, dia menahan pergelangan tanganku. 

 

“Aku nggak masalah ditutupin matanya, tapi senyum dulu.” 

 

Dia berkata lembut sambil tersenyum padaku, seolah meminta aku melakukan hal yang sama. 

 

“Nggak mau.” 

 

“Kalau nggak mau senyum, cium aku.”

Sepertinya dia tidak menyangka aku akan benar-benar tersenyum, karena kata-kata berikutnya langsung meluncur tanpa jeda. 

 

Aku tidak punya alasan untuk menolak. 

 

Perlahan, aku mendekatkan wajahku, dan begitu melihat mata Sendai-san terpejam, aku memperhatikannya sejenak sebelum menyentuhkan bibirku padanya—lebih lembut daripada handuk yang masih kugenggam. Tapi sebelum sempat merasakan kelembutan dan kehangatannya, aku segera menarik diri dan menutupi matanya dengan handuk. 

 

"Aku tidak bisa melihat apa-apa." 

 

"Memang seharusnya begitu." 

 

Saat aku menyentuh bahunya perlahan, Sendai-san berbaring di tempat tidur. Aku duduk di sampingnya, mematikan lampu, lalu meletakkan remote di atas kasur. 

 

"…Sendai-san, menghadap ke sana." 

 

"Ke sana?" 

 

"Ke arah dinding." 

 

Mata Sendai-san sudah tertutup, lampu pun sudah dimatikan. Jadi, tidak peduli ke arah mana dia menghadap, aku tetap tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, begitu juga sebaliknya. Aku tahu itu, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman jika dia terus menghadap ke arahku. 

 

"Kamu terlalu hati-hati." 

 

"Sudahlah, cepat balik badan." 

 

Aku mendorong bahunya ke arah dinding. 

 

"…Kalau begitu, kita tidak bisa berciuman, tidak apa-apa?" 

 

"Tidak apa-apa." 

 

Begitu aku menjawab singkat, Sendai-san menyerah dan berbalik menghadap dinding. Aku merasa sedikit bersalah karena dia begitu mudah menuruti permintaanku. 

 

Menyentuh Sendai-san hanya untuk menghilangkan kecemasan terasa sangat egois. Aku selalu mendahulukan perasaanku sendiri. Dia sering memikirkan perasaanku, sementara aku bahkan tidak bisa melakukan setengah dari apa yang dia lakukan untukku. 

 

Aku tidak pernah benar-benar melakukan hal yang benar. 

 

Hubunganku dengan Sendai-san pun sejak awal tidak pernah bisa disebut benar. Dan bahkan sekarang pun, aku mendekatinya dengan alasan yang salah. 

 

Tapi setidaknya, aku tahu perasaanku ini bukan kesalahan. 

 

Aku hanya tahu bahwa satu-satunya cara agar aku bisa dekat dengannya adalah dengan cara seperti ini. Keinginanku untuk menyentuhnya juga bukan hal yang salah. 

 

Mungkin bukan tindakan yang benar sebagai seorang teman sekamar, tapi tetap saja, kami memang teman sekamar. 

 

Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menahan diri. 

 

Aku meyakinkan diriku sendiri sebelum akhirnya berbaring di belakangnya dan memeluknya dari belakang. Tubuh kami bersentuhan, terasa hangat melalui kain kaus yang dia kenakan. Rasanya seperti pertama kalinya aku yang lebih dulu memeluknya. 

 

"Miyagi, ini terlalu dekat." 

 

"Terus kenapa?" 

 

"Bukan apa-apa, kalau kamu nyaman, aku juga tidak keberatan." 

 

Dia terdengar ragu, lalu terdiam. 

 

Aku sadar, mungkin aku memang terlalu menempel padanya. Tapi semakin besar bagian tubuhku yang bersentuhan dengannya, semakin berkurang kecemasanku. 

 

Tanganku perlahan menyelinap ke balik kausnya, menyentuh perutnya dengan telapak tangan agar bisa merasakan kehangatannya lebih jelas. Begitu kulit kami bersentuhan, tubuh Sendai-san sedikit bergetar. 

 

Aku menempelkan dahiku di punggungnya, tepat di bawah tengkuknya. 

 

Saat telapak tanganku mulai bergerak naik dari perut ke pinggang, aku memanggil namanya. 

 

"Sendai-san." 

 

Dia menjawab dengan suara lirih, "Apa?" 

 

Suara itu membuat jantungku berdegup semakin kencang. Takut dia bisa mendengarnya, aku buru-buru menjauhkan dahiku dari punggungnya. 

 

Setelah menarik napas dalam, tanganku yang semula berada di pinggang bergerak perlahan ke punggungnya. Jari-jariku mengikuti garis tulang belakangnya, berhenti di bagian belakang dadanya. Aku menekan telapak tanganku di sana, tapi tidak bisa merasakan detak jantungnya. 

 

Yang bisa kurasakan hanyalah kehangatan tubuhnya. 

 

Aku menempelkan bibirku di bahunya, yang masih tertutup kain. Sendai-san sedikit menggeliat. 

 

Tanganku turun ke pinggangnya, lalu kukeratkan jemariku. 

 

Aku mendengar suara napasnya terhembus pelan. 

 

Aku membiarkan tanganku merayap lebih ke atas, menyentuh dadanya dari luar pakaian dalamnya. Aku hanya bisa merasakan tekstur kain, bukan kulitnya. Tidak seperti saat menyentuh perutnya tadi—aku tidak bisa merasakan suhu tubuhnya atau kelembutannya secara langsung. 

 

Yang ingin kusentuh bukanlah pakaian yang membungkus tubuhnya. 

 

Aku ingin menyentuh Sendai-san sendiri. 

 

Tanganku berpindah ke tulang selangkanya, lalu mengusap punggungnya, berhenti tepat di pengait bra-nya. 

 

"…Boleh aku melepasnya?" 

 

"Asalkan aku bisa melakukan hal yang sama padamu." 

 

Dia menjawab dengan suara pelan. 

 

"Aku tidak akan membiarkanmu, tapi aku tetap ingin melepasnya." 

 

Jari-jariku menyelinap di bawah pengaitnya, menyusuri garis tulang belakangnya. Sendai-san tidak mengizinkan, tapi juga tidak menolak. 

 

Karena dia tidak berkata apa-apa, aku mendesaknya dengan menggigit bahunya dari balik kaus. 

 

Tubuhnya menegang. 

 

Tapi dia tetap tidak mengatakan apa-apa. 

 

Jadi, aku melepaskan pengaitnya. 

 

"Miyagi mesum." 

 

Dia bergumam pelan, tapi aku mengabaikannya. 

 

Tanganku bergerak dari punggung ke depan, langsung menyentuh dadanya. Tanganku membentuk lembut di sekelilingnya, mengusap perlahan. Kali ini, aku bisa merasakan kelembutan kulitnya secara langsung. 

 

Lalu, sesuatu yang kecil dan keras menyentuh telapak tanganku. 

 

Sesuatu di tengah kelembutan itu. 

 

Itu adalah reaksi tubuhnya terhadap sentuhanku, dan menyadarinya membuat napasku tercekat sejenak. 

 

"Sendai-san." 

 

Aku memanggilnya sambil menekan sedikit lebih kuat. 

 

Dia tidak menjawab. 

 

Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang mengeras di telapak tanganku. 

 

Saat aku mengusapnya dengan ujung jariku, tubuhnya bergerak sedikit. 

 

Tidak aneh mengingat apa yang sedang kami lakukan. 

 

Tapi tetap saja, dadaku terasa sesak. 

 

Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. 

 

Jantungku berdegup kencang, begitu keras sampai aku ingin menutup telinga. 

 

Tapi jika aku melakukannya, aku tidak akan bisa mendengar suara Sendai-san. 

 

Dan aku juga tidak akan bisa menyentuhnya. 

 

"Sendai-san." 

 

"Mm…?"

 

Terdengar jawaban yang tidak jauh berbeda dari biasanya, namun kali ini bercampur dengan desahan napas.

 

Suara itu membuat jantung saya berdebar kencang.

 

Aku ingin lebih menyentuh Sendai-san.

 

Aku ingin mengubah suara yang membelai gendang telingaku menjadi sesuatu yang berbeda.

 

Ku ingin merasakan Sendai-san dengan tangan dan telinga ini.

 

Setelah perlahan memastikan tekstur bagian tengah dadanya dengan ujung jari, saya menutupinya dengan telapak tangan.

 

Kelembutan dadanya tidak berubah, namun bagian tengahnya terasa semakin keras. Sambil terus merasakan kelembutan tubuhnya dan tekstur bagian tengahnya dengan gerakan jari dan tangan yang lembut dan perlahan, punggung Sendai-san melengkung seiring dengan gerakan ku.

 

Aku merasa dia sangat manis, dan ingin segera melepas pakaiannya dan melihat tubuhnya.

 

Ku ingin menyalakan lampu dan melihat tubuhnya, meninggalkan jejak ku di dadanya, di tulang selangkanya.

 

Ku ingin menggigitnya dengan kuat, dan menyentuh bekas gigitan itu sepuasnya.

 

Saat aku mencoba menggulung ujung kausnya, tangannya mencengkeram tangan ku dengan kuat.

 

Itu adalah tanda penolakan, dan dari kekuatan cengkeramannya, aku tahu bahwa ini berbeda dari saat aku membuka kancingnya. Dulu saya juga mengatakan jangan melepas pakaian ku, jadi ini tidak bisa dihindari. Jika ku memaksanya, sepertinya dia akan mengatakan tidak akan membiarkan saya melakukan apa pun lagi.

 

"Aku tidak akan melepas pakaianmu, jadi lepaskan tangan saya."

 

Aku berkata dengan tenang, dan tangannya pun terlepas.

 

Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyentuhnya sekarang.

 

Ku masih belum mengetahui semua tentang dirinya.

 

Aku menempelkan tubuh ku ke punggung Sendai-san yang melengkung. Aku merayapkan ujung jari ku ke bagian tengah dadanya, dan mencium bahunya di atas pakaiannya. Ku membelai permukaan kulitnya, dan terus menyentuh dadanya yang lembut perlahan-lahan.

 

"Sampai kapan kamu akan terus menyentuhku?"

 

Suara Sendai-san terdengar terputus-putus di tempat yang tidak wajar. Suaranya jelas berbeda dari sebelumnya, dengan warna yang lebih lembut.

 

Ku ingin mendengar suaranya lebih banyak, jadi ku menutupi dadanya dengan telapak tangan. Meskipun itu adalah sesuatu yang juga ada di tubuhku, rasanya sangat menyenangkan hanya dengan menyentuhnya, dan aku tidak ingin melepaskan tangan ku.

 

"Miya, gi."

 

Sendai-san memanggil namaku dengan suara yang kuat, dan meraih pergelangan tangan saya.

 

Punggungnya bergerak, dan aku mendengar suara napasnya yang masuk dan keluar.

 

"Sudah cukup, kan?"

 

Ku menjawab "tidak mau" pada suara yang belum pernah aku dengar sebelumnya.

 

"Terlalu banyak menyentuh."

 

Bersamaan dengan suara kecil itu, Sendai-san memindahkan tangan saya ke sekitar bawah tulang rusuknya.

 

Tempat lembut tanpa tulang.

 

Aku membelai perutnya sebagai ganti dadanya, dan mencubit pinggangnya.

 

"Sakit."

 

Sendai-san berkata dengan nada menyalahkan.

 

Aku menggigit bahunya, dan menekan tangan ku dengan kuat ke pinggangnya, sehingga tangan ku menempel pada tubuhnya yang berkeringat. Ku baru menyadari bahwa tubuh ku juga menjadi panas seperti orang bodoh karena suhu tubuh yang merambat dari tangannya yang menempel tanpa celah.

 

ku menjauhkan tubuhku sedikit dari punggungnya.

 

Namun, panasnya tidak hilang dan tetap ada padaku.

 

Ku membelai tubuh Sendai-san, seolah-olah untuk memastikannya.

 

Aku meraba tulang rusuknya dari pinggangnya, dan meletakkan tangan ku di ulu hatinya.

 

Panas.

 

Punggungnya dan tulang belikatnya juga panas. Kulitnya yang lembut dan halus tidak menolak tangan saya, meskipun saya menekannya dengan kuat atau mencubitnya. Panas tubuhnya yang seolah-olah meleleh merambat ke aku, dan aku merasa seperti akan terengah-engah. ku ingin lebih merasakannya, jadi ku mengulurkan tanganku ke bawah pusarnya dan terus membelainya, menyentuh kancing celana jinnya.

 

Jika saya melepas ini, saya bisa lebih mengetahui Sendai-san.

 

Ketika aku berpikir begitu, ku merasa sedikit gugup, dan apa yang terjadi pada ku saat itu muncul di kepalaku, dan Sendai-san tumpang tindih dengan saya saat itu.

 

Di tempat tidur ini, aku—.

 

Aku mengingat dengan jelas apa yang terjadi padaku, dan kesadaran ku terfokus pada bagian tengah perutku. Pada tubuhku yang hampir bereaksi, aku menyadari dengan jelas apa yang akan saya lakukan pada Sendai-san.

 

Bagian yang belum pernah saya sentuh.

 

Tempat yang tidak diketahui di dalam Sendai-san.

 

aku menyentuh tempat itu.

 

Aku dan Sendai-san dalam ingatan saya bercampur menjadi satu. Tubuh saya diseret oleh ingatan, dan saya tidak bisa melepas kancingnya dengan baik.

 

"…Sendai-san, tolong lepaskan ini."

 

"Lepaskan sendiri saja."

 

"Aku tidak bisa melakukannya dengan baik. Tolong lakukan."

 

Aku meletakkan telapak tangan ku di perutnya.

 

Meskipun aku menekannya dengan kuat, Sendai-san tidak bergerak. Ketika ku menempelkan dahiku ke bahunya dan meminta "tolong lakukan", dia menjawab "…itu memalukan".

 

Tangan yang ku letakkan di perutnya dicengkeram dengan kuat.

 

Namun, karena apa yang terjadi di tempat tidur ini terus menghantuiku, saya tidak bisa melakukan hal yang mudah seperti melepas kancing hari ini. Sendai-san yang memberi saya ingatan yang membuat saya mengingat hal-hal seperti ini pada saat seperti ini yang bersalah, jadi tidak peduli seberapa malunya dia, dia harus melepas kancingnya.

 

"Sendai-san."

 

Ku mencium bahunya di atas kausnya.

 

"Itu curang."

 

Ketika aku berkata dengan suara kecil, Sendai-san mencengkeram tangan saya sekali lagi dengan kuat, lalu melepas kancing celana jinnya.

 

"…Sisanya, Miyagi, lakukan sendiri."

 

Mendengar suara Sendai-san, saya menurunkan ritsletingnya.

 

Aku merayapkan tanganku ke dalam celana jin dan menyentuh pakaian dalamnya.

 

Bukannya aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan selanjutnya.

 

Namun, ku merasa tidak yakin.

 

Tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan ku, dan aku bisa membayangkan seperti apa bagian dalam pakaian dalamnya, tetapi itu tidak selalu sesuai dengan harapan ku.

 

"…Miyagi?”

 

Dipanggil pelan, aku menarik napas, mengeluarkannya perlahan, lalu memasukkan tanganku ke dalam pakaian dalam.

 

Jari-jariku bergerak maju, didorong oleh bahan celana jin yang keras.

 

Mencapai bagian yang belum pernah kusentuh sebelumnya, ujung jariku tertutup sesuatu yang licin.

 

Sesuatu yang lengket, berbeda dari keringat.

 

Menempel di ujung jariku lebih dari yang kubayangkan.

 

Itu membuatku lega, dan juga terguncang.

 

—Sendai-san bisa jadi seperti ini.

 

Aku tidak merasa melakukannya dengan baik, tapi Sendai-san menjadi seperti aku di masa lalu karena sentuhanku, aku sangat terkejut sampai rasanya semua darahku menguap.

 

Aku menggerakkan ujung jariku.

 

Punggung Sendai-san bergerak, cukup untuk menunjukkan bahwa dia menarik napas dalam-dalam.

 

Sebagian dari emosinya menempel di ujung jariku, mencoba menyatu denganku.

 

Itu wajar, karena itulah yang sedang kami lakukan. Aku juga menjadi seperti itu saat disentuh Sendai-san, jadi aku akan kesulitan jika dia tidak menjadi seperti itu juga. Tapi aku tidak percaya bahwa dia menjadi seperti itu karena sentuhanku.

 

Perlahan, aku membelai tempat yang basah itu, memastikan Sendai-san.

 

Ujung jariku lebih panas dari sebelumnya.

 

Punggungnya lebih panas dari sebelumnya.

 

Saat aku menempelkan tubuhku ke Sendai-san, dia sangat panas sampai kausku terasa seperti akan terbakar, dan napasku menjadi tidak teratur. Aku memberikan sedikit tekanan pada ujung jariku, dan mencium telinga Sendai-san. Suara teredam terdengar dari dirinya. Aku ingin mendengar suara yang lebih jelas, jadi aku menggigit bahunya.

 

"Ngh."

 

Sendai-san mengeluarkan suara serak yang menyakitkan.

 

Suara itu mirip dengan suara yang dia keluarkan saat pilek, tapi lebih hidup dari suara yang kudengar saat itu, dan membuatku merasa sakit juga.

 

"…Enak?"

 

Aku tahu jawabannya bahkan tanpa bertanya, tapi suara yang dikeluarkan saat merasa enak dan suara yang dikeluarkan saat merasa sakit sangat mirip, jadi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

 

"Enak kok."

 

Sendai-san mengeluarkan suara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya, lebih manis dari kue keju yang kumakan tadi.

 

"Seberapa enak?"

 

"Apa biasanya orang nanya gitu?"

 

Sendai-san berkata terputus-putus, tapi cukup jelas untuk kudengar.

 

"Aku nggak tahu gimana biasanya, tapi jawab aja."

 

Suaraku juga terbawa oleh Sendai-san, dan menjadi berbeda dari biasanya.

 

"Enak banget."

 

"Enak banget itu seberapa enak?"

 

"Enak banget, ya, enak banget."

 

"Kasih tahu aku dengan jelas."

 

Mendengar suaraku, Sendai-san menghela napas panjang. Lalu, dia melengkungkan punggungnya dan mencoba menjauh dariku. Jadi, aku menarik kausnya dan bertanya sekali lagi, "Kasih tahu aku," dan dia menempelkan punggungnya ke punggungku seolah menyerah, dan berkata dengan suara kecil.

 

"…Lebih enak dari…sendiri."

 

"Hah?…Hah?"

 

"Punya Miyagi…lebih enak."

 

Suaranya hampir tidak terdengar, volume yang hampir tidak menggetarkan gendang telinga. Tapi itu terdengar jelas di telingaku, atau lebih tepatnya, di kepalaku.

 

Aku tidak menyangka jawaban seperti itu, dan aku tidak menginginkan jawaban seperti itu, jadi aku bingung. Aku memanggil Sendai-san, dan memeluknya.

 

Pikiranku menjadi kacau, dan aku tidak bisa mengatur pikiranku.

 

Sendai-san di kamar ini, di tempat tidur ini.

 

Apa yang dia pikirkan, bagaimana, sendirian.

 

Tapi, sendirian, benarkah?

 

Kesadaranku tertuju pada ujung jariku yang menyentuh Sendai-san.

 

Emosi yang berlumpur terus meluap, dan jantungku terasa seperti akan berhenti. Aku menggerakkan jariku dengan lembut, dan tubuh Sendai-san menegang. Meski begitu, dia tetap diam, dan ketika aku memanggil "Sendai-san," suara yang tidak bisa kudengar biasanya terdengar.

 

"Miyagi, diam…dan lakuin aja."

 

Napas terengah-engah bercampur dengan suara yang menyakitkan, dan napasku menjadi tidak teratur seiring dengan napasnya.

 

Aku tidak bisa bernapas dengan baik.

 

Suara napas tidak teraturku dan Sendai-san bergema dalam kegelapan.

 

Aku tidak bisa mengatur napas kasarku, dan aku menekan jariku ke tubuh Sendai-san dan membelainya.

 

Ujung jariku hampir tenggelam dalam apa yang meluap darinya.

 

Hanya dengan menyentuh sebagian kecil tubuhnya, bagian yang bisa dilakukan dengan ujung jari, dia bisa berubah seperti ini. Mungkin dia akan menjadi seperti ini jika disentuh oleh orang lain, tapi aku tidak ingin berpikir bahwa orang lain bisa mengubah Sendai-san seperti ini. Tubuh ini hanya milikku, dan hanya aku yang boleh tahu Sendai-san yang seperti ini.

 

"Aku nggak bisa lihat, jadi setidaknya biarkan aku dengar suaramu."

 

Sendai-san, yang tadi menyuruhku diam, meraih lenganku dan berkata.

 

"Suara apa?"

 

"Panggil namaku."

 

"Sendai-san."

 

Aku memanggil namanya, menanggapi suara kecilnya.

 

Aku tidak ingin dia mendengar suara yang tidak terdengar seperti suaraku, tapi aku merasa nyaman memanggil namanya. Tapi Sendai-san sepertinya tidak puas, dan menjawab, "Bukan."

 

"Hazuki."

 

Nama itu.

 

Panggilan itu.

 

Ada sesuatu yang harus ditukar.

 

"Nggak mau. Aku nggak mau panggil."

 

Aku tidak mau memanggilnya karena aku tidak bisa membuatnya hanya milikku.

 

"Pelit banget, Miyagi."

 

Mendengar itu, Sendai-san memanggil namaku berulang kali.

 

Miyagi.

 

Mi, yagi.

 

Saat aku melakukannya di tempat tidur ini, hal yang sama terjadi. Sendai-san memanggil namaku berulang kali.

 

Suaranya tetap menyenangkan.

 

Mendengarkannya, aku merasa seperti dibungkus oleh Sendai-san, tenggelam ke tempat yang dalam dan dalam.

 

"Diam."

 

Aku membenturkan dahiku ke punggung Sendai-san.

 

"Miyagi."

 

"Jangan panggil."

 

"Kalau gitu, tutup mulutku."

 

Mendengar suara yang lemah tapi memberontak, aku membelai bibirnya dengan jariku, dan dia menggigitnya. Tidak sakit, tapi lidahnya menyentuh ujung jariku, dan tempat itu terasa panas seperti terbakar. Saat aku menarik jariku, Sendai-san segera memanggil namaku.

 

Miyagi, Miyagi, Miyagi.

 

Namaku, dipanggil dengan suara serak yang bercampur dengan napas, hancur berkeping-keping, memasuki tubuhku, dan mengisi celah-celah. Pecahan nama yang mengalir ke seluruh tubuhku menusukku dari dalam. Sakit, tapi nyaman.

 

Hazuki.

 

Sebagai ganti nama yang tidak bisa kupanggil, aku menggerakkan jariku, membelainya dengan kuat dan lemah.

 

"…Ngh…ah."

 

Suara yang bocor menggelitik telingaku, jatuh ke dalam lubuk hatiku.

 

Perasaan itu terhubung kuat dengan hari Minggu itu. Tubuhku mencoba bereaksi seperti saat aku merasa nyaman disentuh olehnya, dan aku menghela napas.

 

Ujung jariku sangat panas sampai rasanya akan meleleh.

 

Saat aku menghentikan jariku yang bergerak perlahan, tangan yang menggenggam lenganku mengencang, dan dia memanggil namaku seolah memohon.

 

Aku tidak mengenal Sendai-san yang seperti ini.

 

Tangannya menggenggamku begitu kuat sampai aku hanya bisa berpikir bahwa dia menginginkanku.

 

Tubuhnya lebih panas dari sebelumnya.

 

Panasnya menular, dan inti tubuhku menjadi panas. Sesuatu yang meluap seolah-olah melelehkanku membuatku gila.

 

Benar, aku seharusnya tidak mematikan lampu.

 

Aku seharusnya tidak menutupi mataku dengan handuk.

 

Aku menyesal.

 

Aku ingin melihat wajah Sendai-san yang hanya ada di depanku sekarang.

 

Aku tidak ingin wajahku dilihat, tapi aku ingin tahu ekspresi wajahnya saat dia memanggilku. Aku ingin melihat wajahnya yang hanya bisa kulihat, dan aku ingin dia melihat mataku dan memanggil namaku. Kecemasan yang memenuhi sebagian besar diriku meleleh dan menghilang, terfokus pada keinginan untuk tahu. Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan, saat dia memanggil namaku. Aku ingin tahu semua tentang Sendai-san yang belum kuketahui, baik masa lalu maupun masa depannya. Aku ingin dia memberitahuku segalanya, tanpa memberitahu siapa pun.

 

Semuanya, bahkan yang tidak kutanyakan, yang tidak bisa kutanyakan.

 

Aku ingin dia memberitahuku, tidak harus hari ini.

 

"Sendai-san."

 

Aku tidak ingin bersuara sekarang.

 

Pasti ada suara yang tidak boleh kudengar. Meski begitu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memanggilnya, dan saat aku membenamkan wajahku di lehernya dan memanggilnya lagi, dia menjawab, "Shi, ori." Nama yang dipanggil itu diisi dengan panas yang belum pernah ada sebelumnya,

 

Suaranya menghantamku, jatuh ke dalam lubuk hatiku dan menyatu.

 

Warna suaranya begitu pekat, membuatku ingin mendengarnya lebih banyak.

 

Aku ingin dia merasa lebih nyaman, lebih dari aku.

 

Sesuatu yang licin dan lengket melilitku, mencoba menarikku, jadi aku menekan jariku dengan kuat. Tangan yang menempel di lenganku mencengkeram dengan kuat, kukunya menancap. Saat aku menggigit lehernya dan menekan gigiku dengan kuat, kuku yang menancap di lenganku semakin kuat, lalu terlepas. Meski begitu, saat aku menggerakkan jariku perlahan, dia memanggil "Miyagi" dengan napas kasar.

 

"Tunggu, stop sebentar."

 

Sendai-san berkata dengan suara terputus-putus, dan memukul lenganku.

 

"Kenapa?"

 

"Kenapa, ya—"

 

Sendai-san menghentikan kata-katanya di sana, dan menarik napas dalam-dalam. Lalu, dia mengeluarkannya perlahan dan berkata dengan bingung.

 

"Kamu pasti tahu, kan? Aku udah nggak kuat."

 

Mendengar itu, aku baru mengerti bahwa aku tidak boleh melanjutkan lebih jauh.

 

"Maaf."

 

Aku melepaskan tanganku, dan menariknya keluar dari pakaian dalamnya. Saat aku menyalakan lampu, Sendai-san meringkuk. Aku menatapnya lekat-lekat, tapi yang kulihat hanya punggungnya, aku tidak bisa melihat ekspresinya.

 

Bahu kecilnya yang naik turun membuatku khawatir, dan aku ingin menyentuhnya.

 

Saat aku hendak mengulurkan tanganku, aku mengalihkan pandanganku ke jariku sendiri.

 

Jari-jariku lebih basah dari yang kukira dengan apa yang meluap dari Sendai-san.

 

Saat aku menggosokkan jari-jariku, terasa licin.

 

Panasnya sudah hilang, tapi sebagian dari apa yang melelehkan dan menghilangkan kecemasanku masih tersisa dalam bentuk yang terlihat. Saat aku membuka tanganku dan menatapnya lekat-lekat, sensasi dan suara Sendai-san muncul kembali.

 

Apa yang tersisa di jariku ini adalah sisa dari apa yang dirasakan Sendai-san, dan kata-kata "enak" itu pasti benar. Dan ketika aku berpikir bahwa hal yang sama mengotori jarinya pada hari Minggu itu, wajahku menjadi panas.

 

"Miyagi?"

 

Mungkin karena aku terlalu lama diam, Sendai-san memanggil namaku. Saat aku menatap jariku yang masih diliputi oleh apa yang dia tinggalkan, Sendai-san bangun dan mulai melakukan sesuatu. Karena penasaran, aku mengalihkan pandanganku, dan Sendai-san, yang telah melepas handuknya, sedang menatapku.

 

"Miyagi, tunggu sebentar. Kamu ngapain?"

 

Sendai-san berkata dengan suara tidak senang, meski tidak sampai marah, dan turun dari tempat tidur. Lalu, dia segera kembali sambil memeluk platipus.

 

"Kamu selalu langsung membersihkan ini, jadi bersihkan juga hari ini."

 

Sendai-san duduk di tempat tidur dan bergumam, lalu meraih lenganku dan menyeka jariku. Sisa-sisa dirinya dengan cepat diserap oleh tisu dan menghilang, lalu dibuang ke tempat sampah.

 

"Aku pikir Miyagi nggak suka tangannya kotor, tapi ternyata salah?"

 

Mendengar suara Sendai-san yang terdengar heran, aku menatap wajahnya lekat-lekat, dan pipinya sedikit memerah. Pakaiannya juga berantakan, membuatku menyadari kembali apa yang baru saja kami lakukan.

 

Aku tidak menjawab pertanyaan Sendai-san, dan malah menutup bibirnya.

 

Aku tidak tahu kenapa aku ingin menciumnya.

 

Tapi aku ingin menyentuh bibir Sendai-san.

 

Saat aku menjauhkan wajahku setelah hanya menyentuhnya sedikit, Sendai-san balas menciumku. Bibirnya menyentuhku dengan kuat, dan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Dia menelusuri deretan gigiku, bergerak seolah menangkap lidahku. Setelah berciuman perlahan dan lama, Sendai-san mendorongku hingga berbaring.

 

"Aku juga akan membuat Miyagi merasa nyaman."

 

Dia berbisik saat punggungku menyentuh tempat tidur, dan menciumku lagi.

 

Saat aku menyentuh bahunya, panas yang tadi masih tersisa.

 

Lidahnya yang mencoba membuka bibirku juga panas.

 

Bukan hanya Sendai-san, aku juga sama. Tubuhku sudah panas sejak tadi, dan aku merasa jika Sendai-san menyentuhku seperti ini, aku akan menjadi lebih bingung dari sebelumnya. Aku mendorong lidahnya yang mencoba melilit lidahku, dan menepuk bahunya. Bibirnya menjauh, dan Sendai-san memanggil "Miyagi" seolah mengundangku.

 

"Nggak usah."

 

Mendengar jawabanku yang jelas, Sendai-san mengeluarkan suara tidak puas.

 

"Kenapa? Aku juga mau menyentuhmu."

 

"Aku nggak mau sekarang."

 

"Kapan kamu mau?"

 

"Aku nggak tahu, tapi aku nggak bisa sekarang, jadi minggir."

 

Jika aku disentuh lebih dari ini sekarang, aku merasa aku akan membiarkan segalanya, jadi aku mendorong Sendai-san dan memaksakan diri untuk bangun.

 

"Miyagi."

 

Aku berdiri dari tempat tidur seolah mengabaikan suara yang kudengar, dan ujung kausku ditarik.

 

"Kamu mau ke mana?"

 

Sendai-san bertanya tanpa mencoba merapikan pakaiannya yang berantakan, dan aku menatapnya. Tapi, tidak seperti biasanya, dia mengalihkan pandangannya dariku, dan menatapku lagi.

 

"…Kembali ke kamar."

 

"Oh, gitu."

 

Suara kecil terdengar, dan keheningan menguasai ruangan. Aku hendak memunggunginya, tapi ujung kausku masih ditarik, jadi aku tidak bisa bergerak.

 

"Eh, Miyagi. Aku—"

 

Kata-katanya terputus, dan aku menunggu kata-kata selanjutnya.

 

Tapi, Sendai-san tidak mengatakan apa-apa lagi. 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !