Story About Buying My Classmate Chapter 4 V6

Ndrii
0

Chapter 4

Jarak yang Dipilih oleh Sendai-san 




 Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu di ruang bersama. 

 

Lebih tepatnya, aku secara sadar meningkatkan waktu yang kuhabiskan bersama Sendai-san. 

 

Kebiasaan itu tetap berlanjut hingga memasuki bulan Juni. 

 

"Setelah selesai makan, kamu mau ngapain?" tanya Sendai-san sambil menggulung pasta mentaiko di garpunya. 

 

"Aku pengen minum sesuatu." 

 

"Kalau gitu, aku buat teh." 

 

Sejak saat itu—sejak melakukan sesuatu yang tidak bisa disebut sebagai hal wajar antara teman sekamar—aku jadi merasa canggung untuk pergi ke kamar Sendai-san. Begitu juga sebaliknya, dia tidak pernah mengundangku untuk datang. Karena dia memilih untuk tidak langsung kembali ke kamarnya, aku pun jadi otomatis menghabiskan lebih banyak waktu di ruang bersama. 

 

Aku menggulung pasta di garpu dan memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut. 

 

Aku tidak ingin mengubah cara hidupku di tempat ini secara drastis. 

 

Aku ingin terus tinggal bersama Sendai-san seperti ini, sebagai teman sekamar. 

 

Kalau aku ingin mewujudkan harapan itu, aku tidak bisa terus menghindarinya. Walaupun agak canggung, kalau kami terus menghabiskan waktu bersama, aku yakin segalanya akan kembali seperti dulu. Lagi pula, meski berada di dekatnya membuatku gelisah, berada jauh darinya pun tidak membuatku tenang. Jadi, aku tidak punya pilihan selain tetap berada di sisinya. 

 

"Biarkan aku yang mencuci piring," kataku begitu melihat piring Sendai-san sudah kosong, lalu berdiri. 

 

"Terima kasih. Aku serahkan padamu," jawabnya santai. 

 

Aku membawa piring kami ke wastafel dan menyalakan keran. 

 

Andaikan kenangan tentang hari Minggu itu bisa hanyut begitu saja seperti air yang mengalir dari keran, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tapi aku tahu, hal yang terjadi di antara kami tidak akan semudah itu hilang. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin jelas bayangan itu muncul di benakku. 

 

Bagaimana dia menyentuhku, bagaimana dia membisikkan kata-katanya. 

 

Semua kenangan itu kembali hadir. 

 

Sensasi dari tangan dan bibirnya masih bisa dengan mudah kuingat, mungkin karena dia sudah berkali-kali menyentuhku dan menciumku di masa lalu. 

 

Aku tahu, Sendai-san juga memikirkan hari Minggu itu, meski mungkin tidak seintens aku. Kalau kami terus terjebak dalam perasaan ini, mustahil bagi kami untuk hidup sebagai teman sekamar selama empat tahun ke depan. 

 

Aku ingin semuanya segera kembali seperti semula. 

 

Hari Minggu itu sudah berlalu. 

 

Aku pun mencuci piring satu per satu. 

 

Piring menjadi bersih, begitu juga dengan panci. 

 

Setelah mencuci semua peralatan makan yang kami gunakan untuk makan malam, aku duduk kembali di kursiku. 

 

"Sendai-san, aku sudah selesai." 

 

"Kalau begitu, aku buat tehnya." 

 

Sendai-san berdiri setelah mengatakan itu. 

 

Tidak ada aturan yang mengharuskan kami minum teh setelah makan. Terkadang, kami menggunakan ketel listrik yang dibeli bersama untuk membuat teh, tapi ada kalanya kami memilih minum jus jeruk atau teh barley. Kemarin, kami makan es krim. Apa yang kami minum atau makan tidak terlalu penting. 

 

Yang penting adalah duduk di sini bersama. 

 

"Maaf lama," katanya, meletakkan cangkir di depanku. 

 

"Terima kasih." 

 

Aku menyesap teh hangatku, lalu menatap Sendai-san yang duduk di seberang. 

 

Wajahnya terlihat sama seperti kemarin, lusa, dan hari-hari sebelumnya. 

 

Mungkin dia berusaha untuk tetap terlihat seperti biasa. 

 

Untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami, satu-satunya cara adalah bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin itulah alasan dia tetap memperlakukanku seperti biasa. Namun, yang mengganjal bagiku adalah—berbeda dari sebelumnya—kadang-kadang aku merasakan jarak di antara kami. 

 

Padahal dulu, dia selalu mendekat tanpa ragu. Tapi sekarang, dia tidak melakukannya. 

 

Aku menatapnya, ingin tahu apa yang ada di pikirannya. 

 

Tapi seperti biasa, aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan. 

 

Apa yang bisa kulihat dari ekspresinya sangat terbatas. 

 

Kalau aku ingin tahu sesuatu, aku harus bertanya langsung. 

 

Aku sadar akan hal itu, tapi sulit rasanya untuk bertanya. Jadi, aku hanya bisa menatapnya. 

 

Aku ingin tahu alasan dia bersikap seolah segalanya sama, tapi ada sesuatu yang jelas berbeda. 

 

Tapi kalau aku bertanya, aku pasti harus membahas kejadian hari itu. 

 

"Sendai-san, kapan ulang tahunmu? Setahuku, kamu lahir di bulan Agustus, kan?" 

 

Alih-alih bertanya tentang hal yang sebenarnya ingin kuketahui, aku memilih untuk menanyakan sesuatu yang belum pernah kutahu sebelumnya. 

 

Meskipun sudah cukup lama tinggal bersama, aku bahkan tidak tahu tanggal lahirnya. Ulang tahun bukanlah informasi penting, tapi kalau dengan mengetahui hal kecil seperti ini aku bisa lebih mengenal Sendai-san, mungkin aku juga bisa memahami sebagian kecil dari hal yang sebenarnya ingin kutahu. 

 

"Iya, tapi kenapa tiba-tiba tanya?" 

 

"Sebentar lagi sudah masuk bulan Agustus, jadi aku penasaran." 

 

Aku tahu dia lahir di bulan Agustus karena saat aku memberikan kalung sebagai tanda keterikatannya denganku, dia sempat menyebutkan hal itu. Aku masih mengingatnya karena saat itu dia berkata, ‘Aku lahir di bulan Agustus, makanya namaku Hazuki.’ Informasi yang tidak perlu, tapi tetap melekat di ingatanku. 

 

"Agustus dua puluh tiga. Hampir di akhir bulan, jadi belum bisa dibilang sebentar lagi. Kalau kamu?" 

 

"September dua puluh lima." 

 

Aku sudah lama tidak memberitahunya, tapi hari ini aku menjawabnya tanpa ragu. 

 

Kalau aku tidak harus menjawab pertanyaannya, aku sebenarnya ingin bertanya tentang keluarganya. 

 

Aku tidak bermaksud mencampuri urusan keluarganya, tapi aku memang penasaran. 

 

Meski begitu, aku memilih untuk tidak bertanya, karena aku masih ingat betul bagaimana dia langsung berubah sikap ketika aku menyinggung soal keluarganya saat liburan musim panas tahun lalu. Lagipula, kalau aku bertanya tentang keluarganya, dia pasti akan balik bertanya, dan aku tidak bisa menghindari untuk memberikan jawaban. Kalau hanya tentang ulang tahun, aku masih bisa menjawabnya. Tapi kalau soal keluarga, aku tidak ingin membahasnya. 

 

"Yang lahir tanggal dua puluh lima itu Libra, kan?" 

 

"Iya." 

 

Aku menjawab singkat, dan Sendai-san menatapku dengan tatapan penuh arti. 

 

"Begitu ya. Katanya Libra itu orangnya supel..." 

 

"Apa?" 

 

"Nggak, cuma lagi mikirin makna dari kata 'supel' aja," katanya sambil tertawa kecil. 

 

Dari ekspresinya, aku tahu dia menganggapku tidak supel. 

 

Ramalan zodiak itu memang omong kosong. 

 

Kalau semua orang harus sesuai dengan sifat zodiaknya, maka hanya akan ada dua belas tipe kepribadian di dunia ini. Kalau berdasarkan golongan darah, malah cuma ada empat. 

 

"Sendai-san, kamu percaya ramalan?" 

 

"Nggak juga. Tapi kalau ramalannya bagus, boleh aja percaya," katanya sambil tersenyum, lalu menyeruput tehnya. 

 

Kami terus mengobrol santai, hingga isi cangkir kami kosong. Aku mengisi cangkirku sekali lagi, lalu setelah beberapa saat, aku pun berdiri. 

 

"Aku mau balik ke kamar." 

 

Setelah membereskan cangkirku, aku mengatakan itu. 

 

Tapi saat aku hendak melangkah pergi, Sendai-san mendekat dan berkata, 

 

"Miyagi…”

 

Dengan suara lembut, dia memanggilku dan menggenggam tanganku. 

 

Lalu, dia menempelkan bibirnya ke ujung jariku. 

 

Sejak pertama kali aku membiarkannya melakukan itu, sekarang setiap kali aku hendak kembali ke kamar setelah makan malam, dia selalu mencium tanganku. Kadang hanya sekadar menyentuh dengan bibirnya, tapi ada juga saat dia menjilat jari atau punggung tanganku. Bagaimanapun caranya, aku tidak pernah mengatakan bahwa dia boleh terus melakukannya selamanya. Tapi aku juga tidak punya alasan untuk melarangnya, jadi aku biarkan saja. 

 

Ini bukan masalah besar. 

 

Lagi pula, dia sudah sering melakukannya sebelumnya. Bedanya, sekarang dia melakukannya tanpa perlu diperintah. 

 

Aku merasakan sesuatu yang basah menekan sendi pertamaku. 

 

Sepertinya hari ini dia tidak hanya ingin mencium saja. 

 

Lidahnya, yang lebih hangat dari bibirnya, menempel di jariku dan perlahan bergerak ke arah sendi kedua. Rasa lembap yang menjalar di jariku langsung membangkitkan kenangan tentang hari Minggu. 

 

Aku baik-baik saja. 

 

Tidak apa-apa. 

 

Di antara sendi pertama dan kedua, terdengar suara kecil saat dia kembali mencium jariku. 

 

Ujung lidahnya kembali menyentuh jariku. 

 

Tanganku mulai terasa lebih panas dibanding suhu tubuhnya. Aku pun menarik rambut poninya dengan lembut. 

 

"Cukup." 

 

Begitu aku berkata begitu, dia mencium punggung tanganku sekali lagi sebelum akhirnya mendongak. 

 

Di saat seperti ini, aku merasa ada jarak di antara kami. 

 

Aku yang pertama kali menciptakan jarak itu, karena aku yang memilih untuk menjauh darinya. 

 

Sebelum aku sempat memperkecil jarak itu sendiri, dia malah lebih dulu datang mendekat. Aku sudah mencoba menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya agar bisa lebih dekat lagi, tapi aku tidak yakin apakah itu cara yang benar. Kadang rasanya justru membuat jarak di antara kami semakin terasa. 

 

Biasanya, kalau dia sudah mulai mencium tanganku, dia tidak akan berhenti sampai di situ. Tapi belakangan, dia jadi berhenti di tengah jalan. Perubahan kecil ini membuatku bertanya-tanya. Jika dia ingin segalanya kembali seperti biasa, kenapa tidak bertindak seperti dulu saja? 

 

Sejak kami pulang dari rumah Maika, dia jadi lebih berbelit-belit. 

 

Aku berbalik dan kembali ke kamarku. 

 

Di depan rak buku tempat boneka kucing hitamku berada, aku menatap tanganku sendiri. 

 

Hanya karena disentuh olehnya, tidak berarti ada sesuatu yang berubah. 

 

Ini tetap tanganku. 

 

Aku menempelkan bibirku ke jariku. 

 

Rasanya berbeda dibanding saat dia yang menyentuhnya. 

 

Aku menarik selembar tisu dari tempat tisu berbentuk buaya dan mengusap jariku, lalu berbaring di atas tempat tidur. 

 

 

 

"Shiori, Minggu nanti ada waktu nggak? Aku mau nonton film, nih." 

 

Di seberang meja, Maika menatapku setelah menghabiskan makanannya. 

 

──Kenapa harus hari Minggu, sih? 

 

Aku menghela napas dalam hati. 

 

Aku tidak ingin menjelaskannya, tapi juga tidak bisa diam saja. 

 

"Maaf… Aku sudah ada janji sama Sendai. Minggu depan boleh?" 

 

Di dalam restoran keluarga yang cukup ramai ini, aku sengaja menjawab dengan suara pelan, seolah menyamarkan ucapanku di antara suara-suara lain. 

 

Sebenarnya aku tidak ingin menyebut nama Sendai. Takutnya, Maika malah jadi menyinggung soal datang ke apartemenku. Tapi, aku juga tidak ingin terus-menerus berbohong padanya. 

 

"Ya udah, sih. Kalian mau ke mana?" 

 

"Belanja." 

 

Aku berhenti menyuapkan ayam goreng ke mulut dan menjawab jujur. 

 

"Oh… Jadi kalian juga belanja bareng, ya?" 

 

Maika tersenyum, entah senyum ceria atau ada sesuatu di baliknya. 

 

"Kadang-kadang." 

 

"Kalian mau beli apa?" 

 

"Anting. Sendai yang bakal milihin buatku." 

 

Minggu nanti, aku akhirnya harus menepati janji yang dibuat sejak perjalanan pulang dari rumah Maika. Itu adalah janji yang dibuat sebagai hukuman, tapi sampai sekarang masih tertunda. Aku tidak bisa menghindarinya selamanya, jadi aku putuskan untuk melakukannya akhir pekan ini. 

 

"Oh iya, kamu kan sudah pakai anting lebih dari sebulan, ya? Tapi tetap aja aneh rasanya mendengar kamu minta Sendai buat pilih sesuatu buat kamu." 

 

Maika menatap ke arah telingaku, yang tertutup rambut, lalu tiba-tiba mengingat sesuatu. 

 

"Oh iya! Soal main ke rumahmu, gimana?" 

 

Sepertinya aku tidak bisa menghindari topik ini. 

 

Aku menelan kembali napas yang hampir keluar sebagai helaan, tapi tetap merasa kurang. Jadi aku mengambil gelas tehnya dan meneguk sedikit sebelum menjawab. 

 

"Ah… Iya. Sendai bilang boleh." 

 

Aku tahu Maika tidak menanyakannya lagi belakangan ini, jadi aku sudah cukup lama mengabaikan jawaban yang seharusnya aku berikan. 

 

"Baguslah! Aku sudah lama penasaran sama kamarmu. Kapan aku bisa main?" 

 

"Bulan depan boleh?" 

 

"Kenapa lama banget?" 

 

"Kamu maunya lebih cepat?" 

 

Sebenarnya, aku hanya ingin sedikit lebih banyak waktu sebelum Maika datang. 

 

Memang, aku dan Sendai sudah kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Tapi, itu bukan berarti semuanya sudah sepenuhnya kembali normal. Meski bulan depan pun tidak menjamin segalanya akan seperti dulu, setidaknya aku berharap semuanya akan terasa lebih baik dibanding sekarang. 

 

"Ya udah, bulan depan aja." 

 

Ternyata Maika tidak terlalu terburu-buru ingin datang, jadi dia setuju dengan usulku. 

 

"Baiklah, nanti aku tanyakan ke Sendai juga, ya." 

 

"Oke. Aku sih kapan aja boleh." 

 

Karena jawabannya begitu santai, aku pun merasa sedikit lega. Sambil tersenyum tipis, aku menggigit potongan terakhir ayam gorengku. 

 

Ayam goreng buatan Sendai-san lebih enak. 

 

Dengan pemikiran itu, aku menelan suapan terakhir. 

 

"Shiori, kamu minum apa, sih?" 

 

Saat aku baru saja menghabiskan makan malam, Maika menunjuk gelasku. 

 

"Teh oolong." 

 

"Kasih aku sedikit, dong." 

 

"Boleh aja, sih." 

 

"Ah, nggak jadi deh.”

 

Maika yang tadi bilang ingin oolong tea langsung menarik kembali ucapannya. Dia berdiri dari kursinya sambil membawa gelas, lalu berjalan ke arah drink bar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan segelas ginger ale di tangan. 

 

“Kamu tadi bilang mau oolong tea, tapi yang diambil malah ginger ale.” 

 

“Aku bukan benar-benar pengin minum oolong tea, kok.” 

 

“Terus, tadi bilang ‘minta satu teguk’ itu maksudnya apa?” 

 

“Kamu kan nggak terlalu suka minum dari gelas orang lain.” 

 

Maika tersenyum padaku. 

 

“Bukan berarti aku bener-bener nggak suka, sih.” 

 

“Masa? Dari zaman SMA, kamu jarang banget ikutan kalau ada yang bilang ‘mau coba sedikit?’ atau ‘nih, buat kamu.’” 

 

Maika ada benarnya. 

 

Memang, aku kurang nyaman berbagi minuman dengan orang lain. Tapi sejak sadar kalau selalu menolak bikin suasana jadi canggung, aku berusaha untuk nggak menolak terus. 

 

“Aku sih nggak masalah, jadi kalau kamu kurang suka, ya nggak usah dipaksa.” 

 

Maika berkata santai sambil menyesap ginger ale-nya. 

 

“Bukan yang paling nyaman buatku, tapi bukan juga sesuatu yang aku bener-bener nggak suka.” 

 

“Kalau sama Sendai gimana?” 

 

“Hah?” 

 

“Soalnya waktu Sendai datang ke rumahku kemarin, dia santai aja minum jus punyamu, terus kamu juga minum lagi dari gelas yang sama.” 

 

Aku baru ingat. Waktu di rumah Maika, Sendai tiba-tiba mengambil jus jeruk yang sudah kuminum, lalu aku menghabiskan sisanya sebelum pulang. 

 

Bukan kejadian yang harus dihapus dari ingatan Maika, tapi juga bukan sesuatu yang perlu diperlihatkan. Karena itu, sepertinya Maika jadi berpikir kalau Sendai itu sedikit berbeda buatku. 

 

Padahal, dia bukan orang yang spesial. 

 

Aku cuma nggak keberatan berbagi minuman dengannya karena di antara kami ada sesuatu yang disebut perintah. Setelah semua yang sudah terjadi, berbagi minuman bukanlah hal besar. 

 

“Kemarin dia datang tiba-tiba, jadi aku nggak sempat mikir.” 

 

Alasanku terdengar kurang meyakinkan, tapi aku tetap mengatakannya. Aku nggak mau berbohong, tapi juga nggak bisa jujur sepenuhnya. 

 

“Oh gitu.” 

 

Nada suara Maika terdengar seperti dia belum sepenuhnya percaya. 

 

“Oh iya, Maika. Setelah itu, kamu masih kontak-kontakan sama Sendai-san?” 

 

 

 

Aku mengganti topik pembicaraan sebelum ini berlanjut terlalu jauh. 

 

“Beberapa kali sih, dia sempat ngirimin pesan. Ngucapin terima kasih soal kamu dan lain-lain. Sendai orangnya sopan banget, ya.” 

 

Sendai nggak pernah bilang apa-apa soal ini padaku. 

 

Dia nggak wajib memberi tahuku, tapi aku tetap nggak suka mengetahuinya dari orang lain. Aku ingin dengar langsung darinya. 

 

Tapi, berpikir seperti ini bukan hal yang baik. 

 

Aku ingin tahu apa saja yang dia lakukan saat aku nggak ada, bahkan ingin membatasinya kalau bisa. Sejak SMA aku sadar punya kecenderungan seperti ini, tapi belakangan semakin jelas. 

 

Aku menyeruput sedikit oolong tea. 

 

Maika melanjutkan ceritanya, tapi kali ini bukan tentang berbagi minuman atau Sendai, melainkan soal kampus. 

 

Kami ngobrol santai selama beberapa puluh menit sebelum akhirnya berpisah. 

 

Di perjalanan pulang naik kereta, aku masih terus memikirkan Sendai. 

 

Hari ini dia kerja paruh waktu, jadi pulangnya bakal telat. 

 

Kupikir menghabiskan waktu bersama Maika bakal mengalihkan pikiranku dari Sendai, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku terus bertanya-tanya, dia ngobrol apa dengan para siswa, dia tersenyum seperti apa saat bekerja, dan berbagai hal lain tentangnya. 

 

Ini bukan yang kuinginkan. 

 

Sampai di apartemen, aku naik ke lantai tiga, membuka pintu, dan melepas sepatu. 

 

Sendai-san belum pulang. 

 

Aku masuk ke kamar, mengambil tiga buku komik dari rak, lalu duduk di tempat tidur sambil membacanya. 

 

Karena semuanya sudah pernah kubaca, aku cepat sampai di halaman terakhir. Aku mengambil buku baru, lalu yang lain lagi, sampai akhirnya membaca buku keenam. 

 

Saat itu, terdengar ketukan di pintu. 

 

Aku meletakkan komik dan membukanya. 

 

Sendai-san berdiri di sana. 

 

“Aku pulang.” 

 

“Selamat datang. Kamu mau teh?” 

 

“Mau. Tapi kamu sendiri udah makan?” 

 

“Aku sempat makan sedikit sebelum kerja, jadi nggak usah.” 

 

Setelah berkata begitu, dia langsung menuju dapur untuk membuat teh. Aku keluar kamar dan duduk di tempat biasa di ruang bersama. Tak lama, dia datang membawa dua cangkir teh dan duduk di depanku. 

 

“Makasih.” 

 

Aku mengambil cangkirku, lalu berkata, 

 

“Oh iya, Maika bakal main ke sini bulan depan.” 

 

“Bulan depan? Kayaknya masih lama.” 

 

Aku langsung menatapnya tajam karena kalimatnya terdengar mirip dengan yang dikatakan Maika tadi di restoran. 

 

“Enggak lama. Sebulan itu sebentar. Kapan kamu ada waktu?” 

 

“Asal bukan hari kerja, kapan aja boleh. Terserah kamu mau pilih hari yang mana.”

 

Tanpa mengecek jadwalnya, Sendai-san dengan santai berkata lalu menyesap tehnya. 

 

Karena omongan Maika yang aneh, aku jadi memperhatikan cangkir Sendai-san. 

 

Bibirnya menyentuh tepi cangkir, tenggorokannya bergerak, lalu bibirnya menjauh. 

 

Setelah itu, cangkirnya diletakkan di atas meja. 

 

Kalau itu milik orang lain, aku pasti tidak akan ingin meminumnya. Tapi kalau itu Sendai-san, aku tidak keberatan. Selama ini pun aku tidak pernah memikirkannya. Sekarang, aku sendiri tidak tahu kenapa aku malah memperhatikan cangkirnya seolah sedang mencari jawaban. Ada perasaan aneh yang bergejolak di dalam dadaku. 

 

── Lebih baik jangan dipikirkan terlalu dalam. 

 

Aku dan Sendai-san awalnya tidak punya hubungan apa-apa. Kalau aku tidak melihatnya di toko buku, kalau dia tidak lupa membawa dompetnya waktu itu, mungkin kami tidak akan seperti sekarang. Awal yang tidak biasa itulah yang membuatnya terasa berbeda dari orang lain. Hanya itu saja. 

 

"Kamu lihat apa? Ada sesuatu yang menarik tertulis di situ?" 

 

Sendai-san memegang pegangan cangkirnya dan memutarnya di atas meja. 

 

"Cuma kepikiran kalau tehnya enak," jawabku santai, lalu menyesap tehnya sampai habis sebelum berdiri. 

 

"Miyagi?" 

 

"Aku capek, mau balik ke kamar." 

 

"Tunggu," katanya sambil berdiri, lalu meraih tanganku. 

 

Aku langsung bicara sebelum bibirnya sempat menyentuh ujung jariku. 

 

"Sendai-san." 

 

"Apa?" 

 

Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun balas menatapnya. 

 

Rambut panjangnya masih ditata dengan gaya half-up seperti saat SMA dulu, dikepang di kedua sisi dan dijepit di belakang. Warna rambutnya yang lebih kecokelatan daripada hitam, dulu terasa kurang cocok untuk lingkungan sekolah, tapi sekarang, sebagai mahasiswa, warna itu terlihat pas untuknya. 

 

Rok seragamnya yang dulu agak pendek kini sudah berubah menjadi rok panjang sejak dia mulai memakai baju kasual. Kancing blusnya jarang tertutup sampai atas, seperti dulu. Tapi sekarang, dia juga sering memakai baju lain selain blus. 

 

Sendai-san masih terlihat sama seperti dulu, tapi juga berbeda dalam beberapa hal. 

 

"Kasih tanganmu," kataku sambil menatap tangannya yang masih menggenggam tanganku. 

 

"Suruh lepas maksudnya?" tanyanya dengan nada kurang puas. 

 

"Lepaskan tanganku, lalu kasih tanganmu." 

 

"…Ya sudah." 

 

Dia melepas genggamannya, lalu meletakkan tangannya di telapak tanganku. 

 

Hal-hal seperti ini memang tidak berubah sejak SMA. 

 

Meskipun aku tidak memberi perintah, dia tetap menurut. 

 

Aku mendekatkan bibirku ke punggung tangannya. 

 

Begitu menyentuhnya, tangannya bergetar cukup keras hingga membuatku kaget. Aku tidak yakin dia menolak, tapi entah kenapa aku merasa seperti ditolak, jadi aku langsung melepaskannya. 

 

Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin menyentuhnya. 

 

Aku hanya ingin mencoba sedikit lebih dekat dengannya. 

 

"Maaf, aku cuma kaget," kata Sendai-san buru-buru, lalu mengulurkan tangannya lagi ke arahku. Tapi aku masih ragu untuk menyentuhnya, sampai akhirnya dia menambahkan, "Tidak apa-apa kok." 

 

Aku meraih tangannya, lalu menggigit ujung jarinya dengan pelan. 

 

Sendai-san tidak bergerak. 

 

Saat aku menekan gigitanku sedikit lebih kuat, dia ikut menggenggam tanganku dengan lebih erat. Aku menggigitnya cukup keras hingga bisa merasakan tulang jarinya, lalu melepaskannya. 

 

"Sakit, tahu," katanya pelan. 

 

Saat aku melihat jarinya, ada bekas gigitan di sana. Aku mengusap bekas itu dengan ujung jariku, tapi tiba-tiba tanganku malah digenggam erat olehnya. 

 

"Miyagi, kamu ingat hari Minggu?" 

 

"Ingat. Jangan pilih anting yang aneh-aneh," jawabku. 

 

"Aku bakal pilih yang lucu." 

 

Dia berkata begitu, lalu tersenyum kecil. 

 

◇◇◇ 

 

Buatku, bulan Juni bukan musim semi, juga bukan musim panas. 

 

Terlalu telat untuk pakai baju musim semi, tapi juga terlalu cepat untuk pakai baju musim panas. 

 

Aku selalu bingung harus pakai apa, tapi yang jelas, rok warna pastel yang kubeli setelah wisuda sudah tidak cocok lagi untuk musim ini. Akhirnya, aku memilih pakaian yang tidak jauh berbeda dari biasanya—kaus dan celana jeans. 

 

Tidak ada alasan untuk memakai rok pada hari Minggu ini, apalagi kalau itu hanya akan mengingatkanku pada hari itu. Jadi, pakaian ini sudah cukup. 

 

"Miyagi, ada yang kamu suka?" 

 

Sendai-san bertanya dengan santai di depan deretan anting-anting. 

 

Toko ini lebih banyak menjual barang impor daripada aksesori, tapi pilihan antingnya juga lumayan banyak. 

 

Tadi dia bilang, "Kalau ada yang kamu suka, kita ambil itu aja. Jadi, coba lihat-lihat dulu." 

 

Tapi setelah melihat-lihat, aku tetap tidak bisa memilih satu pun. 

 

Lagipula, sejak awal dia sendiri yang ingin memilihkan anting untukku, jadi dia saja yang harusnya memilih. 

 

"Apa saja boleh, kamu saja yang pilih," kataku. 

 

"Benar-benar apa saja?" 

 

"Iya." 

 

Kalau dia membawaku ke toko mahal, aku tinggal pergi saja. Tapi anting-anting di sini masih dalam harga yang wajar, jadi aku tidak merasa terlalu terbebani kalau dia membelikannya untukku. 

 

"Kalau begitu, ini?" 

 

Sendai-san dengan cepat mengambil sepasang anting perak dan menyerahkannya padaku. 

 

"…Yang lain saja," jawabku. 

 

Mungkin aku mengerutkan kening tanpa sadar. 

 

Anting itu tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah. 

 

Tapi masalahnya bukan harga, melainkan desainnya. 

 

"Kamu tidak suka?" tanyanya. 

 

"Bukan tidak suka, tapi menurutku terlalu imut." 

 

Anting yang ada di tanganku berbentuk bunga kecil. 

 

Aku melihat tempatnya tadi, dan ada label kecil bertuliskan Plumeria, yang sepertinya adalah nama bunga yang menjadi motif anting ini. 

 

Kalau dipakai, pasti terlihat seperti ada bunga kecil yang mekar di telinga—memang imut, tapi menurutku tidak cocok untukku. 

 

"Begitu ya? Menurutku ini cukup simpel, tidak terlalu imut kok," kata Sendai-san. 

 

"Aku mau yang lain saja." 

 

"Baiklah. Kalau yang ini?" 

 

Dia menunjuk sepasang anting emas. 

 

Tapi ukurannya terlalu besar, desainnya terlalu mencolok, dan harganya juga tidak masuk akal. 

 

"Aku tidak suka yang terlalu mencolok. Kamu sengaja pilih yang aku pasti tidak mau, kan?" 

 

"Kan kamu yang bilang pilih saja yang mana saja." 

 

"Aku sudah memilih dengan benar. Sekarang, kamu pilih salah satu dari dua ini," katanya dengan nada senang. 

 

Memang, aku yang meminta dia memilih, dan aku juga sudah bilang apa saja boleh. 

 

Mungkin kalau aku bersikeras menolak, dia akan memilih yang lain. Tapi aku tidak mau ribut di toko seperti ini, apalagi sudah mahasiswa. 

 

"…Yang ini." 

 

Aku menyerahkan anting berbentuk bunga padanya. 

 

"Oke, tunggu di sini. Aku beli dulu.”

 

Tanpa mengecek jadwalnya, Sendai-san dengan santai berkata lalu menyesap tehnya. 

 

Karena omongan Maika yang aneh, aku jadi memperhatikan cangkir Sendai-san. 

 

Bibirnya menyentuh tepi cangkir, tenggorokannya bergerak, lalu bibirnya menjauh. 

 

Setelah itu, cangkirnya diletakkan di atas meja. 

 

Kalau itu milik orang lain, aku pasti tidak akan ingin meminumnya. Tapi kalau itu Sendai-san, aku tidak keberatan. Selama ini pun aku tidak pernah memikirkannya. Sekarang, aku sendiri tidak tahu kenapa aku malah memperhatikan cangkirnya seolah sedang mencari jawaban. Ada perasaan aneh yang bergejolak di dalam dadaku. 

 

── Lebih baik jangan dipikirkan terlalu dalam. 

 

Aku dan Sendai-san awalnya tidak punya hubungan apa-apa. Kalau aku tidak melihatnya di toko buku, kalau dia tidak lupa membawa dompetnya waktu itu, mungkin kami tidak akan seperti sekarang. Awal yang tidak biasa itulah yang membuatnya terasa berbeda dari orang lain. Hanya itu saja. 

 

"Kamu lihat apa? Ada sesuatu yang menarik tertulis di situ?" 

 

Sendai-san memegang pegangan cangkirnya dan memutarnya di atas meja. 

 

"Cuma kepikiran kalau tehnya enak," jawabku santai, lalu menyesap tehnya sampai habis sebelum berdiri. 

 

"Miyagi?" 

 

"Aku capek, mau balik ke kamar." 

 

"Tunggu," katanya sambil berdiri, lalu meraih tanganku. 

 

Aku langsung bicara sebelum bibirnya sempat menyentuh ujung jariku. 

 

"Sendai-san." 

 

"Apa?" 

 

Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun balas menatapnya. 

 

Rambut panjangnya masih ditata dengan gaya half-up seperti saat SMA dulu, dikepang di kedua sisi dan dijepit di belakang. Warna rambutnya yang lebih kecokelatan daripada hitam, dulu terasa kurang cocok untuk lingkungan sekolah, tapi sekarang, sebagai mahasiswa, warna itu terlihat pas untuknya. 

 

Rok seragamnya yang dulu agak pendek kini sudah berubah menjadi rok panjang sejak dia mulai memakai baju kasual. Kancing blusnya jarang tertutup sampai atas, seperti dulu. Tapi sekarang, dia juga sering memakai baju lain selain blus. 

 

Sendai-san masih terlihat sama seperti dulu, tapi juga berbeda dalam beberapa hal. 

 

"Kasih tanganmu," kataku sambil menatap tangannya yang masih menggenggam tanganku. 

 

"Suruh lepas maksudnya?" tanyanya dengan nada kurang puas. 

 

"Lepaskan tanganku, lalu kasih tanganmu." 

 

"…Ya sudah." 

 

Dia melepas genggamannya, lalu meletakkan tangannya di telapak tanganku. 

 

Hal-hal seperti ini memang tidak berubah sejak SMA. 

 

Meskipun aku tidak memberi perintah, dia tetap menurut. 

 

Aku mendekatkan bibirku ke punggung tangannya. 

 

Begitu menyentuhnya, tangannya bergetar cukup keras hingga membuatku kaget. Aku tidak yakin dia menolak, tapi entah kenapa aku merasa seperti ditolak, jadi aku langsung melepaskannya. 

 

Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin menyentuhnya. 

 

Aku hanya ingin mencoba sedikit lebih dekat dengannya. 

 

"Maaf, aku cuma kaget," kata Sendai-san buru-buru, lalu mengulurkan tangannya lagi ke arahku. Tapi aku masih ragu untuk menyentuhnya, sampai akhirnya dia menambahkan, "Tidak apa-apa kok." 

 

Aku meraih tangannya, lalu menggigit ujung jarinya dengan pelan. 

 

Sendai-san tidak bergerak. 

 

Saat aku menekan gigitanku sedikit lebih kuat, dia ikut menggenggam tanganku dengan lebih erat. Aku menggigitnya cukup keras hingga bisa merasakan tulang jarinya, lalu melepaskannya. 

 

"Sakit, tahu," katanya pelan. 

 

Saat aku melihat jarinya, ada bekas gigitan di sana. Aku mengusap bekas itu dengan ujung jariku, tapi tiba-tiba tanganku malah digenggam erat olehnya. 

 

"Miyagi, kamu ingat hari Minggu?" 

 

"Ingat. Jangan pilih anting yang aneh-aneh," jawabku. 

 

"Aku bakal pilih yang lucu." 

 

Dia berkata begitu, lalu tersenyum kecil. 

 

◇◇◇ 

 

Buatku, bulan Juni bukan musim semi, juga bukan musim panas. 

 

Terlalu telat untuk pakai baju musim semi, tapi juga terlalu cepat untuk pakai baju musim panas. 

 

Aku selalu bingung harus pakai apa, tapi yang jelas, rok warna pastel yang kubeli setelah wisuda sudah tidak cocok lagi untuk musim ini. Akhirnya, aku memilih pakaian yang tidak jauh berbeda dari biasanya—kaus dan celana jeans. 

 

Tidak ada alasan untuk memakai rok pada hari Minggu ini, apalagi kalau itu hanya akan mengingatkanku pada hari itu. Jadi, pakaian ini sudah cukup. 

 

"Miyagi, ada yang kamu suka?" 

 

Sendai-san bertanya dengan santai di depan deretan anting-anting. 

 

Toko ini lebih banyak menjual barang impor daripada aksesori, tapi pilihan antingnya juga lumayan banyak. 

 

Tadi dia bilang, "Kalau ada yang kamu suka, kita ambil itu aja. Jadi, coba lihat-lihat dulu." 

 

Tapi setelah melihat-lihat, aku tetap tidak bisa memilih satu pun. 

 

Lagipula, sejak awal dia sendiri yang ingin memilihkan anting untukku, jadi dia saja yang harusnya memilih. 

 

"Apa saja boleh, kamu saja yang pilih," kataku. 

 

"Benar-benar apa saja?" 

 

"Iya." 

 

Kalau dia membawaku ke toko mahal, aku tinggal pergi saja. Tapi anting-anting di sini masih dalam harga yang wajar, jadi aku tidak merasa terlalu terbebani kalau dia membelikannya untukku. 

 

"Kalau begitu, ini?" 

 

Sendai-san dengan cepat mengambil sepasang anting perak dan menyerahkannya padaku. 

 

"…Yang lain saja," jawabku. 

 

Mungkin aku mengerutkan kening tanpa sadar. 

 

Anting itu tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah. 

 

Tapi masalahnya bukan harga, melainkan desainnya. 

 

"Kamu tidak suka?" tanyanya. 

 

"Bukan tidak suka, tapi menurutku terlalu imut." 

 

Anting yang ada di tanganku berbentuk bunga kecil. 

 

Aku melihat tempatnya tadi, dan ada label kecil bertuliskan Plumeria, yang sepertinya adalah nama bunga yang menjadi motif anting ini. 

 

Kalau dipakai, pasti terlihat seperti ada bunga kecil yang mekar di telinga—memang imut, tapi menurutku tidak cocok untukku. 

 

"Begitu ya? Menurutku ini cukup simpel, tidak terlalu imut kok," kata Sendai-san. 

 

"Aku mau yang lain saja." 

 

"Baiklah. Kalau yang ini?" 

 

Dia menunjuk sepasang anting emas. 

 

Tapi ukurannya terlalu besar, desainnya terlalu mencolok, dan harganya juga tidak masuk akal. 

 

"Aku tidak suka yang terlalu mencolok. Kamu sengaja pilih yang aku pasti tidak mau, kan?" 

 

"Kan kamu yang bilang pilih saja yang mana saja." 

 

"Aku sudah memilih dengan benar. Sekarang, kamu pilih salah satu dari dua ini," katanya dengan nada senang. 

 

Memang, aku yang meminta dia memilih, dan aku juga sudah bilang apa saja boleh. 

 

Mungkin kalau aku bersikeras menolak, dia akan memilih yang lain. Tapi aku tidak mau ribut di toko seperti ini, apalagi sudah mahasiswa. 

 

"…Yang ini." 

 

Aku menyerahkan anting berbentuk bunga padanya. 

 

"Oke, tunggu di sini. Aku beli dulu.”

 

Dengan langkah ringan, Sendai berjalan menuju kasir. 

 

Aku hanya bisa mengawasi punggungnya sebelum tanganku tanpa sadar menyentuh telinga. 

 

Jari-jariku menyentuh anting yang berbeda dari yang baru saja dipilih di toko tadi. Anting ini adalah yang pertama kali dipakaikan Sendai padaku. Memikirkan bahwa aku akan menggantinya dengan yang baru membuatku merasa sedikit sedih. 

 

Sambil menatap deretan anting yang dipajang, aku berpikir. 

 

Sebenarnya, aku tidak terlalu tertarik pada anting. Jadi, mungkin memang lebih baik jika Sendai yang memilihkannya. 

 

"Maaf ya, lama nunggu?" 

 

Saat aku sedang melamun, Sendai menepuk bahuku. 

 

"Antingnya mana?" 

 

Sendai yang tampak sedang dalam suasana hati yang baik tidak memegang anting yang baru saja dibelinya. Mungkin sudah dimasukkan ke dalam tasnya, tapi aku pikir dia akan langsung memberikannya. 

 

"Aku kasih pas kita sampai rumah. Lagipula, mau mampir ke suatu tempat dulu?" 

 

"Nggak perlu." 

 

"Kalau makan? Tapi masih kepagian buat makan malam, ya." 

 

Biasanya, Sendai akan mulai menyebutkan beberapa tempat yang bisa kami singgahi sebelum pulang. Tapi kali ini, dia hanya berkata, "Yaudah, pulang aja, yuk," lalu berjalan mendahuluiku. Kami pulang tanpa mampir ke mana pun dan sampai di rumah sebelum sore benar-benar berakhir. 

 

Aku membuka kulkas dan menuangkan teh barley serta soda ke dalam gelas. 

 

"Aku bawa ke kamarmu, ya," kata Sendai seolah itu sudah jadi hal yang wajar. 

 

Karena dia bilang begitu, aku menaruh gelas-gelas itu di atas nampan. 

 

"Ke kamarmu?" tanyaku memastikan. 

 

"Iya. Aku kasih antingnya di sana." 

 

"Nggak bisa di sini aja?" 

 

"Kenapa? Nggak mau ke kamarku?" 

 

Aku tidak keberatan, tapi sejak hari Minggu itu, aku memang belum pernah masuk ke kamarnya lagi. 

 

Karena ruangan itu terlalu erat kaitannya dengan kejadian hari itu, jantungku mulai berdegup lebih cepat. 

 

Aku tidak ingin melupakan apa yang terjadi, aku juga sudah menerima semuanya. Tapi rasa malu itu tetap ada. Kalau aku terus menghindari kamarnya, aku yakin Sendai akan sadar kalau aku masih belum sepenuhnya tenang soal kejadian hari itu. 

 

"…Yaudah, boleh." 

 

Aku menjawab pelan, lalu melihatnya tersenyum kecil sebelum membawa nampan itu ke kamarnya. 

 

Karena tangannya sibuk, aku membukakan pintu dan ikut masuk. 

 

Begitu melihat tempat tidur, langkahku langsung terhenti. 

 

Sendai itu curang. 

 

Dia yang menyentuhku duluan waktu itu, jadi pasti dia nggak merasa malu seperti aku sekarang. 

 

Mungkin lebih baik kalau tadi aku menerima antingnya di ruang tengah saja. 

 

"Duduk, deh," katanya sambil menepuk bahuku. 

 

Tapi aku enggan duduk. 

 

"Antingnya mana?" tanyaku, menghindari perintahnya. 

 

"Aku pakaikan, ya." 

 

Sendai menarikku dengan paksa ke depan meja dan membuatku duduk. Lalu, dia ikut duduk di sampingku. 

 

"Biar aku sendiri aja." 

 

"Masa orang yang beli anting nggak boleh masangin? Lagian, ada alasan kenapa kamu nggak mau aku yang pasangin?" 

 

"Kayaknya… nggak enak aja." 

 

Sebenarnya, aku cuma takut bakal mengingat kejadian hari Minggu itu kalau dia menyentuhku lagi. 

 

Tapi kalau aku mengatakannya, berarti aku benar-benar terlihat masih kepikiran tentang hari itu. 

 

"Kalau cuma segitu alesannya, biarin aku yang masangin, ya?" 

 

Seperti yang sudah kuduga, dia mengulurkan tangan ke arahku. Aku buru-buru menepisnya. 

 

"Kalau gitu, aku lepas dulu antingnya sendiri." 

 

Sebelum dia sempat menyentuhku lagi, aku melepas antingku dan meletakkannya di atas meja. Saat jemariku menyentuh daun telinga yang kini kosong, rasanya sedikit aneh. 

 

"Boleh aku pakaikan?" tanyanya sambil mengeluarkan kantong kecil dari tasnya. 

 

"Boleh." 

 

"Mau ambil sendiri dari kantongnya?" 

 

"Biar kamu aja yang urus semuanya." 

 

"Baiklah." 

 

Dengan nada ceria, Sendai mengeluarkan anting dari dalam kantong. 

 

Tangannya menyentuh rambutku, menyibakkannya ke belakang telinga. 

 

Jantungku berdegup kecil. 

 

Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan diri. 

 

Tatapannya seolah menelanjangi telingaku yang kini tak lagi dihiasi apa pun. Aku sudah sering melihat telingaku sendiri tanpa anting, tapi karena ini pertama kalinya dia melihatnya, aku jadi merasa gugup. 

 

Rasanya seperti memperlihatkan sesuatu yang sangat spesial, padahal ini cuma telinga. 

 

Tangan yang menyibak rambutku kini bergerak, jemarinya menyentuh bagian belakang telingaku. 

 

Dia meraba bagian yang biasanya tertutup oleh pengunci anting, seperti sedang memastikannya. 

 

Aku langsung menggenggam lengannya. 

 

"Bukannya mau pasangin anting?" tanyaku. 

 

"Iya, sih. Tapi aku jadi kepikiran sesuatu." 

 

"Apa?" 

 

"Ternyata kalau nggak pakai anting, telingamu kayak gini, ya? Aku baru sadar, lubang yang aku buat waktu itu jadi begini bentuknya," katanya santai, seperti sedang mengagumi sesuatu. 

 

Setelah mengatakannya, dia akhirnya melepaskan tangannya dari telingaku. 

 

"Kamu kan pasti udah sering lihat lubang anting orang lain." 

 

Dulu, waktu SMA, teman-teman kami seperti Ibaraki juga pakai anting. Jadi, ini bukan pemandangan yang aneh buatnya. 

 

"Iya, sih. Tapi ini pertama kalinya aku lihat punyamu." 

 

"Nggak usah dilihatin, buruan pasangin." 

 

"Iya, iya." 

 

Sendai mengambil antingnya dan memasangkannya dengan hati-hati. 

 

Sentuhan ringan di pipiku, jemarinya yang bergerak di belakang telinga, rasanya sedikit menggelitik hingga aku hampir bergerak refleks. 

 

Aku berusaha bertahan, lalu akhirnya terdengar bunyi klik kecil sebanyak dua kali. 

 

Sendai menarik tangannya kembali. 

 

"Udah, selesai."

 

"Ini," kata Sendai sambil menyerahkan cermin tangan padaku. 

 

Saat aku melihat pantulan diriku, kulihat bunga kecil bermekaran di telingaku. Anting perak itu ternyata tidak semencolok yang kubayangkan. Aku sedikit lega. 

 

Menurutku, ini masih terlalu imut untukku. Tapi setidaknya, masih dalam batas yang bisa kuterima. 

 

"Cocok, kok," kata Sendai sambil dengan lembut membelai anting itu. 

 

Aku tidak menanggapi ucapannya dan malah mengatakan sesuatu yang sejak tadi tertahan di tenggorokanku. 

 

"…Makasih buat antingnya." 

 

"Sama-sama." 

 

"Tapi, kenapa kamu sendiri nggak pakai anting?" 

 

Aku menepis tangannya yang masih ingin menyentuh telingaku, lalu menanyakan hal yang sejak dulu ingin kutahu. 

 

Waktu SMA dulu, dia tidak mau menindik telinganya karena melanggar peraturan sekolah. Tapi sekarang, aturan itu sudah tidak ada lagi. 

 

"Nggak ada alasan khusus, sih. Tapi kalau ada sesuatu yang benar-benar spesial, mungkin aku bakal bikin tindik juga." 

 

Jawabannya kali ini berbeda dari waktu itu. Sambil mengatakannya, Sendai menatapku lekat-lekat. 

 

"Boleh aku mendekat sedikit?" 

 

Aku diam, tapi dia tetap bergerak lebih dekat ke arahku. 

 

"Mau lihat antingnya lebih jelas." 

 

Tanpa menunggu jawabanku, tangannya sudah menyentuh telingaku lagi. Jemarinya membelai anting yang baru saja dia pasangkan, lalu menarik perlahan daun telingaku. 

 

Bagian yang disentuhnya terasa panas. 

 

Punggungku menegang, bahuku menjadi kaku. 

 

Aku sedikit menggeser tubuhku ke belakang, tapi dia justru lebih mendekat. 

 

Dan sebelum aku menyadarinya, bibirnya sudah menyentuh telingaku. 

 

"Miyagi," panggilnya pelan. 

 

Aku tidak menjawab. 

 

Dia memanggil namaku sekali lagi, lebih lembut, lebih manis. 

 

Bisikan itu membuat telingaku terasa geli. 

 

Lalu, dia mengecup telingaku lagi, seolah ingin mengikatku dalam kenangan hari Minggu itu. 

 

Tangannya menggenggam jemariku, jari-jarinya dengan mudah menyelip di antara jariku.



Giginya menyentuh daun telingaku, lalu menggigitnya pelan. 

 

Tubuh Sendai semakin menempel padaku, lebih dari yang seharusnya. Nafasnya yang hangat menyapu telingaku, dan dia kembali memanggil namaku. 

 

"Sendai, tunggu…" 

 

Aku mencoba mendorong bahunya. 

 

Tapi dia tidak mundur. 

 

Jemarinya bergerak perlahan di sepanjang leherku, diikuti oleh bibirnya yang menelusuri jalur yang sama. Sensasi hangat yang bergerak di kulitku terasa begitu nyaman, membuat nafasku hampir berantakan. 

 

Ketika dia menjilat lembut di batas antara leher dan bahuku, aku mendorong bahunya lebih kuat. 

 

"Nggak suka?" tanyanya lirih. 

 

"Kamu kebablasan." 

 

Aku melepaskan jemari yang masih saling bertautan dan menempelkan telapak tangan ke leherku. 

 

"Miyagi." 

 

"Apa?" 

 

"Antingnya cocok banget sama kamu. Pakai terus, ya?" 

 

Jarinya terulur lagi, seakan masih ingin menyentuhku. Aku refleks menarik tubuhku ke belakang. Kali ini, jarak di antara kami tetap ada. Tegang yang tadi sempat muncul perlahan menghilang. 

 

"Aku juga nggak punya anting lain yang pengin kupakai, jadi tanpa kamu bilang pun, aku memang berencana pakai ini terus." 

 

Aku menyentuh telingaku sendiri, lalu meneguk soda dari gelasku.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !