Chapter
4
Jarak yang Dipilih oleh Sendai-san
Lebih tepatnya, aku secara sadar meningkatkan waktu yang
kuhabiskan bersama Sendai-san.
Kebiasaan itu tetap berlanjut hingga memasuki bulan Juni.
"Setelah selesai makan, kamu mau ngapain?" tanya
Sendai-san sambil menggulung pasta mentaiko di garpunya.
"Aku pengen minum sesuatu."
"Kalau gitu, aku buat teh."
Sejak saat itu—sejak melakukan sesuatu yang tidak bisa disebut
sebagai hal wajar antara teman sekamar—aku jadi merasa canggung untuk pergi ke
kamar Sendai-san. Begitu juga sebaliknya, dia tidak pernah mengundangku untuk
datang. Karena dia memilih untuk tidak langsung kembali ke kamarnya, aku pun
jadi otomatis menghabiskan lebih banyak waktu di ruang bersama.
Aku menggulung pasta di garpu dan memasukkan suapan terakhir
ke dalam mulut.
Aku tidak ingin mengubah cara hidupku di tempat ini secara
drastis.
Aku ingin terus tinggal bersama Sendai-san seperti ini,
sebagai teman sekamar.
Kalau aku ingin mewujudkan harapan itu, aku tidak bisa terus
menghindarinya. Walaupun agak canggung, kalau kami terus menghabiskan waktu
bersama, aku yakin segalanya akan kembali seperti dulu. Lagi pula, meski berada
di dekatnya membuatku gelisah, berada jauh darinya pun tidak membuatku tenang.
Jadi, aku tidak punya pilihan selain tetap berada di sisinya.
"Biarkan aku yang mencuci piring," kataku begitu
melihat piring Sendai-san sudah kosong, lalu berdiri.
"Terima kasih. Aku serahkan padamu," jawabnya
santai.
Aku membawa piring kami ke wastafel dan menyalakan keran.
Andaikan kenangan tentang hari Minggu itu bisa hanyut begitu
saja seperti air yang mengalir dari keran, mungkin semuanya akan lebih mudah.
Tapi aku tahu, hal yang terjadi di antara kami tidak akan semudah itu hilang.
Semakin aku berusaha melupakannya, semakin jelas bayangan itu muncul di
benakku.
Bagaimana dia menyentuhku, bagaimana dia membisikkan
kata-katanya.
Semua kenangan itu kembali hadir.
Sensasi dari tangan dan bibirnya masih bisa dengan mudah
kuingat, mungkin karena dia sudah berkali-kali menyentuhku dan menciumku di
masa lalu.
Aku tahu, Sendai-san juga memikirkan hari Minggu itu, meski
mungkin tidak seintens aku. Kalau kami terus terjebak dalam perasaan ini,
mustahil bagi kami untuk hidup sebagai teman sekamar selama empat tahun ke
depan.
Aku ingin semuanya segera kembali seperti semula.
Hari Minggu itu sudah berlalu.
Aku pun mencuci piring satu per satu.
Piring menjadi bersih, begitu juga dengan panci.
Setelah mencuci semua peralatan makan yang kami gunakan untuk
makan malam, aku duduk kembali di kursiku.
"Sendai-san, aku sudah selesai."
"Kalau begitu, aku buat tehnya."
Sendai-san berdiri setelah mengatakan itu.
Tidak ada aturan yang mengharuskan kami minum teh setelah
makan. Terkadang, kami menggunakan ketel listrik yang dibeli bersama untuk
membuat teh, tapi ada kalanya kami memilih minum jus jeruk atau teh barley.
Kemarin, kami makan es krim. Apa yang kami minum atau makan tidak terlalu
penting.
Yang penting adalah duduk di sini bersama.
"Maaf lama," katanya, meletakkan cangkir di
depanku.
"Terima kasih."
Aku menyesap teh hangatku, lalu menatap Sendai-san yang duduk
di seberang.
Wajahnya terlihat sama seperti kemarin, lusa, dan hari-hari
sebelumnya.
Mungkin dia berusaha untuk tetap terlihat seperti biasa.
Untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami, satu-satunya
cara adalah bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin itulah alasan dia
tetap memperlakukanku seperti biasa. Namun, yang mengganjal bagiku
adalah—berbeda dari sebelumnya—kadang-kadang aku merasakan jarak di antara
kami.
Padahal dulu, dia selalu mendekat tanpa ragu. Tapi sekarang,
dia tidak melakukannya.
Aku menatapnya, ingin tahu apa yang ada di pikirannya.
Tapi seperti biasa, aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia
pikirkan.
Apa yang bisa kulihat dari ekspresinya sangat terbatas.
Kalau aku ingin tahu sesuatu, aku harus bertanya
langsung.
Aku sadar akan hal itu, tapi sulit rasanya untuk bertanya.
Jadi, aku hanya bisa menatapnya.
Aku ingin tahu alasan dia bersikap seolah segalanya sama, tapi
ada sesuatu yang jelas berbeda.
Tapi kalau aku bertanya, aku pasti harus membahas kejadian
hari itu.
"Sendai-san, kapan ulang tahunmu? Setahuku, kamu lahir di
bulan Agustus, kan?"
Alih-alih bertanya tentang hal yang sebenarnya ingin
kuketahui, aku memilih untuk menanyakan sesuatu yang belum pernah kutahu
sebelumnya.
Meskipun sudah cukup lama tinggal bersama, aku bahkan tidak
tahu tanggal lahirnya. Ulang tahun bukanlah informasi penting, tapi kalau
dengan mengetahui hal kecil seperti ini aku bisa lebih mengenal Sendai-san,
mungkin aku juga bisa memahami sebagian kecil dari hal yang sebenarnya ingin
kutahu.
"Iya, tapi kenapa tiba-tiba tanya?"
"Sebentar lagi sudah masuk bulan Agustus, jadi aku
penasaran."
Aku tahu dia lahir di bulan Agustus karena saat aku memberikan
kalung sebagai tanda keterikatannya denganku, dia sempat menyebutkan hal itu.
Aku masih mengingatnya karena saat itu dia berkata, ‘Aku lahir di bulan
Agustus, makanya namaku Hazuki.’ Informasi yang tidak perlu, tapi tetap melekat
di ingatanku.
"Agustus dua puluh tiga. Hampir di akhir bulan, jadi
belum bisa dibilang sebentar lagi. Kalau kamu?"
"September dua puluh lima."
Aku sudah lama tidak memberitahunya, tapi hari ini aku
menjawabnya tanpa ragu.
Kalau aku tidak harus menjawab pertanyaannya, aku sebenarnya
ingin bertanya tentang keluarganya.
Aku tidak bermaksud mencampuri urusan keluarganya, tapi aku
memang penasaran.
Meski begitu, aku memilih untuk tidak bertanya, karena aku
masih ingat betul bagaimana dia langsung berubah sikap ketika aku menyinggung
soal keluarganya saat liburan musim panas tahun lalu. Lagipula, kalau aku
bertanya tentang keluarganya, dia pasti akan balik bertanya, dan aku tidak bisa
menghindari untuk memberikan jawaban. Kalau hanya tentang ulang tahun, aku
masih bisa menjawabnya. Tapi kalau soal keluarga, aku tidak ingin
membahasnya.
"Yang lahir tanggal dua puluh lima itu Libra,
kan?"
"Iya."
Aku menjawab singkat, dan Sendai-san menatapku dengan tatapan
penuh arti.
"Begitu ya. Katanya Libra itu orangnya
supel..."
"Apa?"
"Nggak, cuma lagi mikirin makna dari kata 'supel'
aja," katanya sambil tertawa kecil.
Dari ekspresinya, aku tahu dia menganggapku tidak supel.
Ramalan zodiak itu memang omong kosong.
Kalau semua orang harus sesuai dengan sifat zodiaknya, maka
hanya akan ada dua belas tipe kepribadian di dunia ini. Kalau berdasarkan
golongan darah, malah cuma ada empat.
"Sendai-san, kamu percaya ramalan?"
"Nggak juga. Tapi kalau ramalannya bagus, boleh aja
percaya," katanya sambil tersenyum, lalu menyeruput tehnya.
Kami terus mengobrol santai, hingga isi cangkir kami kosong.
Aku mengisi cangkirku sekali lagi, lalu setelah beberapa saat, aku pun
berdiri.
"Aku mau balik ke kamar."
Setelah membereskan cangkirku, aku mengatakan itu.
Tapi saat aku hendak melangkah pergi, Sendai-san mendekat dan
berkata,
"Miyagi…”
Dengan suara lembut, dia memanggilku dan menggenggam
tanganku.
Lalu, dia menempelkan bibirnya ke ujung jariku.
Sejak pertama kali aku membiarkannya melakukan itu, sekarang
setiap kali aku hendak kembali ke kamar setelah makan malam, dia selalu mencium
tanganku. Kadang hanya sekadar menyentuh dengan bibirnya, tapi ada juga saat
dia menjilat jari atau punggung tanganku. Bagaimanapun caranya, aku tidak
pernah mengatakan bahwa dia boleh terus melakukannya selamanya. Tapi aku juga
tidak punya alasan untuk melarangnya, jadi aku biarkan saja.
Ini bukan masalah besar.
Lagi pula, dia sudah sering melakukannya sebelumnya. Bedanya,
sekarang dia melakukannya tanpa perlu diperintah.
Aku merasakan sesuatu yang basah menekan sendi pertamaku.
Sepertinya hari ini dia tidak hanya ingin mencium saja.
Lidahnya, yang lebih hangat dari bibirnya, menempel di jariku
dan perlahan bergerak ke arah sendi kedua. Rasa lembap yang menjalar di jariku
langsung membangkitkan kenangan tentang hari Minggu.
Aku baik-baik saja.
Tidak apa-apa.
Di antara sendi pertama dan kedua, terdengar suara kecil saat
dia kembali mencium jariku.
Ujung lidahnya kembali menyentuh jariku.
Tanganku mulai terasa lebih panas dibanding suhu tubuhnya. Aku
pun menarik rambut poninya dengan lembut.
"Cukup."
Begitu aku berkata begitu, dia mencium punggung tanganku
sekali lagi sebelum akhirnya mendongak.
Di saat seperti ini, aku merasa ada jarak di antara kami.
Aku yang pertama kali menciptakan jarak itu, karena aku yang
memilih untuk menjauh darinya.
Sebelum aku sempat memperkecil jarak itu sendiri, dia malah
lebih dulu datang mendekat. Aku sudah mencoba menghabiskan lebih banyak waktu
bersamanya agar bisa lebih dekat lagi, tapi aku tidak yakin apakah itu cara
yang benar. Kadang rasanya justru membuat jarak di antara kami semakin
terasa.
Biasanya, kalau dia sudah mulai mencium tanganku, dia tidak
akan berhenti sampai di situ. Tapi belakangan, dia jadi berhenti di tengah
jalan. Perubahan kecil ini membuatku bertanya-tanya. Jika dia ingin segalanya
kembali seperti biasa, kenapa tidak bertindak seperti dulu saja?
Sejak kami pulang dari rumah Maika, dia jadi lebih
berbelit-belit.
Aku berbalik dan kembali ke kamarku.
Di depan rak buku tempat boneka kucing hitamku berada, aku
menatap tanganku sendiri.
Hanya karena disentuh olehnya, tidak berarti ada sesuatu yang
berubah.
Ini tetap tanganku.
Aku menempelkan bibirku ke jariku.
Rasanya berbeda dibanding saat dia yang menyentuhnya.
Aku menarik selembar tisu dari tempat tisu berbentuk buaya dan
mengusap jariku, lalu berbaring di atas tempat tidur.
"Shiori, Minggu nanti ada waktu nggak? Aku mau nonton
film, nih."
Di seberang meja, Maika menatapku setelah menghabiskan
makanannya.
Aku menghela napas dalam hati.
Aku tidak ingin menjelaskannya, tapi juga tidak bisa diam
saja.
"Maaf… Aku sudah ada janji sama Sendai. Minggu depan
boleh?"
Di dalam restoran keluarga yang cukup ramai ini, aku sengaja
menjawab dengan suara pelan, seolah menyamarkan ucapanku di antara suara-suara
lain.
Sebenarnya aku tidak ingin menyebut nama Sendai. Takutnya,
Maika malah jadi menyinggung soal datang ke apartemenku. Tapi, aku juga tidak
ingin terus-menerus berbohong padanya.
"Ya udah, sih. Kalian mau ke mana?"
"Belanja."
Aku berhenti menyuapkan ayam goreng ke mulut dan menjawab
jujur.
"Oh… Jadi kalian juga belanja bareng, ya?"
Maika tersenyum, entah senyum ceria atau ada sesuatu di
baliknya.
"Kadang-kadang."
"Kalian mau beli apa?"
"Anting. Sendai yang bakal milihin buatku."
Minggu nanti, aku akhirnya harus menepati janji yang dibuat
sejak perjalanan pulang dari rumah Maika. Itu adalah janji yang dibuat sebagai
hukuman, tapi sampai sekarang masih tertunda. Aku tidak bisa menghindarinya
selamanya, jadi aku putuskan untuk melakukannya akhir pekan ini.
"Oh iya, kamu kan sudah pakai anting lebih dari sebulan,
ya? Tapi tetap aja aneh rasanya mendengar kamu minta Sendai buat pilih sesuatu
buat kamu."
Maika menatap ke arah telingaku, yang tertutup rambut, lalu
tiba-tiba mengingat sesuatu.
"Oh iya! Soal main ke rumahmu, gimana?"
Sepertinya aku tidak bisa menghindari topik ini.
Aku menelan kembali napas yang hampir keluar sebagai helaan,
tapi tetap merasa kurang. Jadi aku mengambil gelas tehnya dan meneguk sedikit
sebelum menjawab.
"Ah… Iya. Sendai bilang boleh."
Aku tahu Maika tidak menanyakannya lagi belakangan ini, jadi
aku sudah cukup lama mengabaikan jawaban yang seharusnya aku berikan.
"Baguslah! Aku sudah lama penasaran sama kamarmu. Kapan
aku bisa main?"
"Bulan depan boleh?"
"Kenapa lama banget?"
"Kamu maunya lebih cepat?"
Sebenarnya, aku hanya ingin sedikit lebih banyak waktu sebelum
Maika datang.
Memang, aku dan Sendai sudah kembali menjalani kehidupan
seperti biasa. Tapi, itu bukan berarti semuanya sudah sepenuhnya kembali
normal. Meski bulan depan pun tidak menjamin segalanya akan seperti dulu,
setidaknya aku berharap semuanya akan terasa lebih baik dibanding
sekarang.
"Ya udah, bulan depan aja."
Ternyata Maika tidak terlalu terburu-buru ingin datang, jadi
dia setuju dengan usulku.
"Baiklah, nanti aku tanyakan ke Sendai juga,
ya."
"Oke. Aku sih kapan aja boleh."
Karena jawabannya begitu santai, aku pun merasa sedikit lega.
Sambil tersenyum tipis, aku menggigit potongan terakhir ayam gorengku.
Ayam goreng buatan Sendai-san lebih enak.
Dengan pemikiran itu, aku menelan suapan terakhir.
"Shiori, kamu minum apa, sih?"
Saat aku baru saja menghabiskan makan malam, Maika menunjuk
gelasku.
"Teh oolong."
"Kasih aku sedikit, dong."
"Boleh aja, sih."
"Ah, nggak jadi deh.”
Maika yang tadi bilang ingin oolong tea langsung menarik
kembali ucapannya. Dia berdiri dari kursinya sambil membawa gelas, lalu
berjalan ke arah drink bar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan segelas
ginger ale di tangan.
“Kamu tadi bilang mau oolong tea, tapi yang diambil malah
ginger ale.”
“Aku bukan benar-benar pengin minum oolong tea, kok.”
“Terus, tadi bilang ‘minta satu teguk’ itu maksudnya
apa?”
“Kamu kan nggak terlalu suka minum dari gelas orang
lain.”
Maika tersenyum padaku.
“Bukan berarti aku bener-bener nggak suka, sih.”
“Masa? Dari zaman SMA, kamu jarang banget ikutan kalau ada
yang bilang ‘mau coba sedikit?’ atau ‘nih, buat kamu.’”
Maika ada benarnya.
Memang, aku kurang nyaman berbagi minuman dengan orang lain.
Tapi sejak sadar kalau selalu menolak bikin suasana jadi canggung, aku berusaha
untuk nggak menolak terus.
“Aku sih nggak masalah, jadi kalau kamu kurang suka, ya nggak
usah dipaksa.”
Maika berkata santai sambil menyesap ginger ale-nya.
“Bukan yang paling nyaman buatku, tapi bukan juga sesuatu yang
aku bener-bener nggak suka.”
“Kalau sama Sendai gimana?”
“Hah?”
“Soalnya waktu Sendai datang ke rumahku kemarin, dia santai
aja minum jus punyamu, terus kamu juga minum lagi dari gelas yang sama.”
Aku baru ingat. Waktu di rumah Maika, Sendai tiba-tiba
mengambil jus jeruk yang sudah kuminum, lalu aku menghabiskan sisanya sebelum
pulang.
Bukan kejadian yang harus dihapus dari ingatan Maika, tapi
juga bukan sesuatu yang perlu diperlihatkan. Karena itu, sepertinya Maika jadi
berpikir kalau Sendai itu sedikit berbeda buatku.
Padahal, dia bukan orang yang spesial.
Aku cuma nggak keberatan berbagi minuman dengannya karena di
antara kami ada sesuatu yang disebut perintah. Setelah semua yang sudah
terjadi, berbagi minuman bukanlah hal besar.
“Kemarin dia datang tiba-tiba, jadi aku nggak sempat
mikir.”
Alasanku terdengar kurang meyakinkan, tapi aku tetap
mengatakannya. Aku nggak mau berbohong, tapi juga nggak bisa jujur
sepenuhnya.
“Oh gitu.”
Nada suara Maika terdengar seperti dia belum sepenuhnya
percaya.
“Oh iya, Maika. Setelah itu, kamu masih kontak-kontakan sama
Sendai-san?”
Aku mengganti topik pembicaraan sebelum ini berlanjut terlalu
jauh.
“Beberapa kali sih, dia sempat ngirimin pesan. Ngucapin terima
kasih soal kamu dan lain-lain. Sendai orangnya sopan banget, ya.”
Sendai nggak pernah bilang apa-apa soal ini padaku.
Dia nggak wajib memberi tahuku, tapi aku tetap nggak suka
mengetahuinya dari orang lain. Aku ingin dengar langsung darinya.
Tapi, berpikir seperti ini bukan hal yang baik.
Aku ingin tahu apa saja yang dia lakukan saat aku nggak ada,
bahkan ingin membatasinya kalau bisa. Sejak SMA aku sadar punya kecenderungan
seperti ini, tapi belakangan semakin jelas.
Aku menyeruput sedikit oolong tea.
Maika melanjutkan ceritanya, tapi kali ini bukan tentang
berbagi minuman atau Sendai, melainkan soal kampus.
Kami ngobrol santai selama beberapa puluh menit sebelum
akhirnya berpisah.
Di perjalanan pulang naik kereta, aku masih terus memikirkan
Sendai.
Hari ini dia kerja paruh waktu, jadi pulangnya bakal
telat.
Kupikir menghabiskan waktu bersama Maika bakal mengalihkan
pikiranku dari Sendai, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku terus
bertanya-tanya, dia ngobrol apa dengan para siswa, dia tersenyum seperti apa
saat bekerja, dan berbagai hal lain tentangnya.
Ini bukan yang kuinginkan.
Sampai di apartemen, aku naik ke lantai tiga, membuka pintu,
dan melepas sepatu.
Sendai-san belum pulang.
Aku masuk ke kamar, mengambil tiga buku komik dari rak, lalu
duduk di tempat tidur sambil membacanya.
Karena semuanya sudah pernah kubaca, aku cepat sampai di
halaman terakhir. Aku mengambil buku baru, lalu yang lain lagi, sampai akhirnya
membaca buku keenam.
Saat itu, terdengar ketukan di pintu.
Aku meletakkan komik dan membukanya.
Sendai-san berdiri di sana.
“Aku pulang.”
“Selamat datang. Kamu mau teh?”
“Mau. Tapi kamu sendiri udah makan?”
“Aku sempat makan sedikit sebelum kerja, jadi nggak
usah.”
Setelah berkata begitu, dia langsung menuju dapur untuk
membuat teh. Aku keluar kamar dan duduk di tempat biasa di ruang bersama. Tak
lama, dia datang membawa dua cangkir teh dan duduk di depanku.
“Makasih.”
Aku mengambil cangkirku, lalu berkata,
“Oh iya, Maika bakal main ke sini bulan depan.”
“Bulan depan? Kayaknya masih lama.”
Aku langsung menatapnya tajam karena kalimatnya terdengar
mirip dengan yang dikatakan Maika tadi di restoran.
“Enggak lama. Sebulan itu sebentar. Kapan kamu ada
waktu?”
“Asal bukan hari kerja, kapan aja boleh. Terserah kamu mau
pilih hari yang mana.”
Tanpa mengecek jadwalnya, Sendai-san dengan santai berkata
lalu menyesap tehnya.
Karena omongan Maika yang aneh, aku jadi memperhatikan cangkir
Sendai-san.
Bibirnya menyentuh tepi cangkir, tenggorokannya bergerak, lalu
bibirnya menjauh.
Setelah itu, cangkirnya diletakkan di atas meja.
Kalau itu milik orang lain, aku pasti tidak akan ingin
meminumnya. Tapi kalau itu Sendai-san, aku tidak keberatan. Selama ini pun aku
tidak pernah memikirkannya. Sekarang, aku sendiri tidak tahu kenapa aku malah
memperhatikan cangkirnya seolah sedang mencari jawaban. Ada perasaan aneh yang
bergejolak di dalam dadaku.
Aku dan Sendai-san awalnya tidak punya hubungan apa-apa. Kalau
aku tidak melihatnya di toko buku, kalau dia tidak lupa membawa dompetnya waktu
itu, mungkin kami tidak akan seperti sekarang. Awal yang tidak biasa itulah
yang membuatnya terasa berbeda dari orang lain. Hanya itu saja.
"Kamu lihat apa? Ada sesuatu yang menarik tertulis di
situ?"
Sendai-san memegang pegangan cangkirnya dan memutarnya di atas
meja.
"Cuma kepikiran kalau tehnya enak," jawabku santai,
lalu menyesap tehnya sampai habis sebelum berdiri.
"Miyagi?"
"Aku capek, mau balik ke kamar."
"Tunggu," katanya sambil berdiri, lalu meraih
tanganku.
Aku langsung bicara sebelum bibirnya sempat menyentuh ujung
jariku.
"Sendai-san."
"Apa?"
Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun balas menatapnya.
Rambut panjangnya masih ditata dengan gaya half-up seperti
saat SMA dulu, dikepang di kedua sisi dan dijepit di belakang. Warna rambutnya
yang lebih kecokelatan daripada hitam, dulu terasa kurang cocok untuk
lingkungan sekolah, tapi sekarang, sebagai mahasiswa, warna itu terlihat pas
untuknya.
Rok seragamnya yang dulu agak pendek kini sudah berubah
menjadi rok panjang sejak dia mulai memakai baju kasual. Kancing blusnya jarang
tertutup sampai atas, seperti dulu. Tapi sekarang, dia juga sering memakai baju
lain selain blus.
Sendai-san masih terlihat sama seperti dulu, tapi juga berbeda
dalam beberapa hal.
"Kasih tanganmu," kataku sambil menatap tangannya
yang masih menggenggam tanganku.
"Suruh lepas maksudnya?" tanyanya dengan nada kurang
puas.
"Lepaskan tanganku, lalu kasih tanganmu."
"…Ya sudah."
Dia melepas genggamannya, lalu meletakkan tangannya di telapak
tanganku.
Hal-hal seperti ini memang tidak berubah sejak SMA.
Meskipun aku tidak memberi perintah, dia tetap menurut.
Aku mendekatkan bibirku ke punggung tangannya.
Begitu menyentuhnya, tangannya bergetar cukup keras hingga
membuatku kaget. Aku tidak yakin dia menolak, tapi entah kenapa aku merasa
seperti ditolak, jadi aku langsung melepaskannya.
Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin menyentuhnya.
Aku hanya ingin mencoba sedikit lebih dekat dengannya.
"Maaf, aku cuma kaget," kata Sendai-san buru-buru,
lalu mengulurkan tangannya lagi ke arahku. Tapi aku masih ragu untuk
menyentuhnya, sampai akhirnya dia menambahkan, "Tidak apa-apa
kok."
Aku meraih tangannya, lalu menggigit ujung jarinya dengan
pelan.
Sendai-san tidak bergerak.
Saat aku menekan gigitanku sedikit lebih kuat, dia ikut
menggenggam tanganku dengan lebih erat. Aku menggigitnya cukup keras hingga
bisa merasakan tulang jarinya, lalu melepaskannya.
"Sakit, tahu," katanya pelan.
Saat aku melihat jarinya, ada bekas gigitan di sana. Aku
mengusap bekas itu dengan ujung jariku, tapi tiba-tiba tanganku malah digenggam
erat olehnya.
"Miyagi, kamu ingat hari Minggu?"
"Ingat. Jangan pilih anting yang aneh-aneh,"
jawabku.
"Aku bakal pilih yang lucu."
Dia berkata begitu, lalu tersenyum kecil.
Buatku, bulan Juni bukan musim semi, juga bukan musim
panas.
Terlalu telat untuk pakai baju musim semi, tapi juga terlalu
cepat untuk pakai baju musim panas.
Aku selalu bingung harus pakai apa, tapi yang jelas, rok warna
pastel yang kubeli setelah wisuda sudah tidak cocok lagi untuk musim ini.
Akhirnya, aku memilih pakaian yang tidak jauh berbeda dari biasanya—kaus dan
celana jeans.
Tidak ada alasan untuk memakai rok pada hari Minggu ini,
apalagi kalau itu hanya akan mengingatkanku pada hari itu. Jadi, pakaian ini
sudah cukup.
"Miyagi, ada yang kamu suka?"
Sendai-san bertanya dengan santai di depan deretan
anting-anting.
Toko ini lebih banyak menjual barang impor daripada aksesori,
tapi pilihan antingnya juga lumayan banyak.
Tadi dia bilang, "Kalau ada yang kamu suka, kita ambil
itu aja. Jadi, coba lihat-lihat dulu."
Tapi setelah melihat-lihat, aku tetap tidak bisa memilih satu
pun.
Lagipula, sejak awal dia sendiri yang ingin memilihkan anting
untukku, jadi dia saja yang harusnya memilih.
"Apa saja boleh, kamu saja yang pilih," kataku.
"Benar-benar apa saja?"
"Iya."
Kalau dia membawaku ke toko mahal, aku tinggal pergi saja.
Tapi anting-anting di sini masih dalam harga yang wajar, jadi aku tidak merasa
terlalu terbebani kalau dia membelikannya untukku.
"Kalau begitu, ini?"
Sendai-san dengan cepat mengambil sepasang anting perak dan
menyerahkannya padaku.
"…Yang lain saja," jawabku.
Mungkin aku mengerutkan kening tanpa sadar.
Anting itu tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah.
Tapi masalahnya bukan harga, melainkan desainnya.
"Kamu tidak suka?" tanyanya.
"Bukan tidak suka, tapi menurutku terlalu
imut."
Anting yang ada di tanganku berbentuk bunga kecil.
Aku melihat tempatnya tadi, dan ada label kecil bertuliskan
Plumeria, yang sepertinya adalah nama bunga yang menjadi motif anting ini.
Kalau dipakai, pasti terlihat seperti ada bunga kecil yang
mekar di telinga—memang imut, tapi menurutku tidak cocok untukku.
"Begitu ya? Menurutku ini cukup simpel, tidak terlalu
imut kok," kata Sendai-san.
"Aku mau yang lain saja."
"Baiklah. Kalau yang ini?"
Dia menunjuk sepasang anting emas.
Tapi ukurannya terlalu besar, desainnya terlalu mencolok, dan
harganya juga tidak masuk akal.
"Aku tidak suka yang terlalu mencolok. Kamu sengaja pilih
yang aku pasti tidak mau, kan?"
"Kan kamu yang bilang pilih saja yang mana
saja."
"Aku sudah memilih dengan benar. Sekarang, kamu pilih
salah satu dari dua ini," katanya dengan nada senang.
Memang, aku yang meminta dia memilih, dan aku juga sudah
bilang apa saja boleh.
Mungkin kalau aku bersikeras menolak, dia akan memilih yang
lain. Tapi aku tidak mau ribut di toko seperti ini, apalagi sudah
mahasiswa.
"…Yang ini."
Aku menyerahkan anting berbentuk bunga padanya.
"Oke, tunggu di sini. Aku beli dulu.”
Tanpa mengecek jadwalnya, Sendai-san dengan santai berkata
lalu menyesap tehnya.
Karena omongan Maika yang aneh, aku jadi memperhatikan cangkir
Sendai-san.
Bibirnya menyentuh tepi cangkir, tenggorokannya bergerak, lalu
bibirnya menjauh.
Setelah itu, cangkirnya diletakkan di atas meja.
Kalau itu milik orang lain, aku pasti tidak akan ingin
meminumnya. Tapi kalau itu Sendai-san, aku tidak keberatan. Selama ini pun aku
tidak pernah memikirkannya. Sekarang, aku sendiri tidak tahu kenapa aku malah
memperhatikan cangkirnya seolah sedang mencari jawaban. Ada perasaan aneh yang
bergejolak di dalam dadaku.
Aku dan Sendai-san awalnya tidak punya hubungan apa-apa. Kalau
aku tidak melihatnya di toko buku, kalau dia tidak lupa membawa dompetnya waktu
itu, mungkin kami tidak akan seperti sekarang. Awal yang tidak biasa itulah
yang membuatnya terasa berbeda dari orang lain. Hanya itu saja.
"Kamu lihat apa? Ada sesuatu yang menarik tertulis di
situ?"
Sendai-san memegang pegangan cangkirnya dan memutarnya di atas
meja.
"Cuma kepikiran kalau tehnya enak," jawabku santai,
lalu menyesap tehnya sampai habis sebelum berdiri.
"Miyagi?"
"Aku capek, mau balik ke kamar."
"Tunggu," katanya sambil berdiri, lalu meraih
tanganku.
Aku langsung bicara sebelum bibirnya sempat menyentuh ujung
jariku.
"Sendai-san."
"Apa?"
Dia menatapku lekat-lekat. Aku pun balas menatapnya.
Rambut panjangnya masih ditata dengan gaya half-up seperti
saat SMA dulu, dikepang di kedua sisi dan dijepit di belakang. Warna rambutnya
yang lebih kecokelatan daripada hitam, dulu terasa kurang cocok untuk
lingkungan sekolah, tapi sekarang, sebagai mahasiswa, warna itu terlihat pas
untuknya.
Rok seragamnya yang dulu agak pendek kini sudah berubah
menjadi rok panjang sejak dia mulai memakai baju kasual. Kancing blusnya jarang
tertutup sampai atas, seperti dulu. Tapi sekarang, dia juga sering memakai baju
lain selain blus.
Sendai-san masih terlihat sama seperti dulu, tapi juga berbeda
dalam beberapa hal.
"Kasih tanganmu," kataku sambil menatap tangannya
yang masih menggenggam tanganku.
"Suruh lepas maksudnya?" tanyanya dengan nada kurang
puas.
"Lepaskan tanganku, lalu kasih tanganmu."
"…Ya sudah."
Dia melepas genggamannya, lalu meletakkan tangannya di telapak
tanganku.
Hal-hal seperti ini memang tidak berubah sejak SMA.
Meskipun aku tidak memberi perintah, dia tetap menurut.
Aku mendekatkan bibirku ke punggung tangannya.
Begitu menyentuhnya, tangannya bergetar cukup keras hingga
membuatku kaget. Aku tidak yakin dia menolak, tapi entah kenapa aku merasa
seperti ditolak, jadi aku langsung melepaskannya.
Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin menyentuhnya.
Aku hanya ingin mencoba sedikit lebih dekat dengannya.
"Maaf, aku cuma kaget," kata Sendai-san buru-buru,
lalu mengulurkan tangannya lagi ke arahku. Tapi aku masih ragu untuk
menyentuhnya, sampai akhirnya dia menambahkan, "Tidak apa-apa
kok."
Aku meraih tangannya, lalu menggigit ujung jarinya dengan
pelan.
Sendai-san tidak bergerak.
Saat aku menekan gigitanku sedikit lebih kuat, dia ikut
menggenggam tanganku dengan lebih erat. Aku menggigitnya cukup keras hingga
bisa merasakan tulang jarinya, lalu melepaskannya.
"Sakit, tahu," katanya pelan.
Saat aku melihat jarinya, ada bekas gigitan di sana. Aku
mengusap bekas itu dengan ujung jariku, tapi tiba-tiba tanganku malah digenggam
erat olehnya.
"Miyagi, kamu ingat hari Minggu?"
"Ingat. Jangan pilih anting yang aneh-aneh,"
jawabku.
"Aku bakal pilih yang lucu."
Dia berkata begitu, lalu tersenyum kecil.
Buatku, bulan Juni bukan musim semi, juga bukan musim
panas.
Terlalu telat untuk pakai baju musim semi, tapi juga terlalu
cepat untuk pakai baju musim panas.
Aku selalu bingung harus pakai apa, tapi yang jelas, rok warna
pastel yang kubeli setelah wisuda sudah tidak cocok lagi untuk musim ini.
Akhirnya, aku memilih pakaian yang tidak jauh berbeda dari biasanya—kaus dan
celana jeans.
Tidak ada alasan untuk memakai rok pada hari Minggu ini,
apalagi kalau itu hanya akan mengingatkanku pada hari itu. Jadi, pakaian ini
sudah cukup.
"Miyagi, ada yang kamu suka?"
Sendai-san bertanya dengan santai di depan deretan
anting-anting.
Toko ini lebih banyak menjual barang impor daripada aksesori,
tapi pilihan antingnya juga lumayan banyak.
Tadi dia bilang, "Kalau ada yang kamu suka, kita ambil
itu aja. Jadi, coba lihat-lihat dulu."
Tapi setelah melihat-lihat, aku tetap tidak bisa memilih satu
pun.
Lagipula, sejak awal dia sendiri yang ingin memilihkan anting
untukku, jadi dia saja yang harusnya memilih.
"Apa saja boleh, kamu saja yang pilih," kataku.
"Benar-benar apa saja?"
"Iya."
Kalau dia membawaku ke toko mahal, aku tinggal pergi saja.
Tapi anting-anting di sini masih dalam harga yang wajar, jadi aku tidak merasa
terlalu terbebani kalau dia membelikannya untukku.
"Kalau begitu, ini?"
Sendai-san dengan cepat mengambil sepasang anting perak dan
menyerahkannya padaku.
"…Yang lain saja," jawabku.
Mungkin aku mengerutkan kening tanpa sadar.
Anting itu tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah.
Tapi masalahnya bukan harga, melainkan desainnya.
"Kamu tidak suka?" tanyanya.
"Bukan tidak suka, tapi menurutku terlalu
imut."
Anting yang ada di tanganku berbentuk bunga kecil.
Aku melihat tempatnya tadi, dan ada label kecil bertuliskan
Plumeria, yang sepertinya adalah nama bunga yang menjadi motif anting ini.
Kalau dipakai, pasti terlihat seperti ada bunga kecil yang
mekar di telinga—memang imut, tapi menurutku tidak cocok untukku.
"Begitu ya? Menurutku ini cukup simpel, tidak terlalu
imut kok," kata Sendai-san.
"Aku mau yang lain saja."
"Baiklah. Kalau yang ini?"
Dia menunjuk sepasang anting emas.
Tapi ukurannya terlalu besar, desainnya terlalu mencolok, dan
harganya juga tidak masuk akal.
"Aku tidak suka yang terlalu mencolok. Kamu sengaja pilih
yang aku pasti tidak mau, kan?"
"Kan kamu yang bilang pilih saja yang mana
saja."
"Aku sudah memilih dengan benar. Sekarang, kamu pilih
salah satu dari dua ini," katanya dengan nada senang.
Memang, aku yang meminta dia memilih, dan aku juga sudah
bilang apa saja boleh.
Mungkin kalau aku bersikeras menolak, dia akan memilih yang
lain. Tapi aku tidak mau ribut di toko seperti ini, apalagi sudah
mahasiswa.
"…Yang ini."
Aku menyerahkan anting berbentuk bunga padanya.
"Oke, tunggu di sini. Aku beli dulu.”
Dengan langkah ringan, Sendai berjalan menuju kasir.
Aku hanya bisa mengawasi punggungnya sebelum tanganku tanpa
sadar menyentuh telinga.
Jari-jariku menyentuh anting yang berbeda dari yang baru saja
dipilih di toko tadi. Anting ini adalah yang pertama kali dipakaikan Sendai
padaku. Memikirkan bahwa aku akan menggantinya dengan yang baru membuatku
merasa sedikit sedih.
Sambil menatap deretan anting yang dipajang, aku
berpikir.
Sebenarnya, aku tidak terlalu tertarik pada anting. Jadi,
mungkin memang lebih baik jika Sendai yang memilihkannya.
"Maaf ya, lama nunggu?"
Saat aku sedang melamun, Sendai menepuk bahuku.
"Antingnya mana?"
Sendai yang tampak sedang dalam suasana hati yang baik tidak
memegang anting yang baru saja dibelinya. Mungkin sudah dimasukkan ke dalam
tasnya, tapi aku pikir dia akan langsung memberikannya.
"Aku kasih pas kita sampai rumah. Lagipula, mau mampir ke
suatu tempat dulu?"
"Nggak perlu."
"Kalau makan? Tapi masih kepagian buat makan malam,
ya."
Biasanya, Sendai akan mulai menyebutkan beberapa tempat yang
bisa kami singgahi sebelum pulang. Tapi kali ini, dia hanya berkata,
"Yaudah, pulang aja, yuk," lalu berjalan mendahuluiku. Kami pulang
tanpa mampir ke mana pun dan sampai di rumah sebelum sore benar-benar
berakhir.
Aku membuka kulkas dan menuangkan teh barley serta soda ke
dalam gelas.
"Aku bawa ke kamarmu, ya," kata Sendai seolah itu
sudah jadi hal yang wajar.
Karena dia bilang begitu, aku menaruh gelas-gelas itu di atas
nampan.
"Ke kamarmu?" tanyaku memastikan.
"Iya. Aku kasih antingnya di sana."
"Nggak bisa di sini aja?"
"Kenapa? Nggak mau ke kamarku?"
Aku tidak keberatan, tapi sejak hari Minggu itu, aku memang
belum pernah masuk ke kamarnya lagi.
Karena ruangan itu terlalu erat kaitannya dengan kejadian hari
itu, jantungku mulai berdegup lebih cepat.
Aku tidak ingin melupakan apa yang terjadi, aku juga sudah
menerima semuanya. Tapi rasa malu itu tetap ada. Kalau aku terus menghindari
kamarnya, aku yakin Sendai akan sadar kalau aku masih belum sepenuhnya tenang
soal kejadian hari itu.
"…Yaudah, boleh."
Aku menjawab pelan, lalu melihatnya tersenyum kecil sebelum
membawa nampan itu ke kamarnya.
Karena tangannya sibuk, aku membukakan pintu dan ikut
masuk.
Begitu melihat tempat tidur, langkahku langsung terhenti.
Sendai itu curang.
Dia yang menyentuhku duluan waktu itu, jadi pasti dia nggak
merasa malu seperti aku sekarang.
Mungkin lebih baik kalau tadi aku menerima antingnya di ruang
tengah saja.
"Duduk, deh," katanya sambil menepuk bahuku.
Tapi aku enggan duduk.
"Antingnya mana?" tanyaku, menghindari
perintahnya.
"Aku pakaikan, ya."
Sendai menarikku dengan paksa ke depan meja dan membuatku
duduk. Lalu, dia ikut duduk di sampingku.
"Biar aku sendiri aja."
"Masa orang yang beli anting nggak boleh masangin?
Lagian, ada alasan kenapa kamu nggak mau aku yang pasangin?"
"Kayaknya… nggak enak aja."
Sebenarnya, aku cuma takut bakal mengingat kejadian hari
Minggu itu kalau dia menyentuhku lagi.
Tapi kalau aku mengatakannya, berarti aku benar-benar terlihat
masih kepikiran tentang hari itu.
"Kalau cuma segitu alesannya, biarin aku yang masangin,
ya?"
Seperti yang sudah kuduga, dia mengulurkan tangan ke arahku.
Aku buru-buru menepisnya.
"Kalau gitu, aku lepas dulu antingnya sendiri."
Sebelum dia sempat menyentuhku lagi, aku melepas antingku dan
meletakkannya di atas meja. Saat jemariku menyentuh daun telinga yang kini
kosong, rasanya sedikit aneh.
"Boleh aku pakaikan?" tanyanya sambil mengeluarkan
kantong kecil dari tasnya.
"Boleh."
"Mau ambil sendiri dari kantongnya?"
"Biar kamu aja yang urus semuanya."
"Baiklah."
Dengan nada ceria, Sendai mengeluarkan anting dari dalam
kantong.
Tangannya menyentuh rambutku, menyibakkannya ke belakang
telinga.
Jantungku berdegup kecil.
Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan diri.
Tatapannya seolah menelanjangi telingaku yang kini tak lagi
dihiasi apa pun. Aku sudah sering melihat telingaku sendiri tanpa anting, tapi
karena ini pertama kalinya dia melihatnya, aku jadi merasa gugup.
Rasanya seperti memperlihatkan sesuatu yang sangat spesial,
padahal ini cuma telinga.
Tangan yang menyibak rambutku kini bergerak, jemarinya
menyentuh bagian belakang telingaku.
Dia meraba bagian yang biasanya tertutup oleh pengunci anting,
seperti sedang memastikannya.
Aku langsung menggenggam lengannya.
"Bukannya mau pasangin anting?" tanyaku.
"Iya, sih. Tapi aku jadi kepikiran sesuatu."
"Apa?"
"Ternyata kalau nggak pakai anting, telingamu kayak gini,
ya? Aku baru sadar, lubang yang aku buat waktu itu jadi begini bentuknya,"
katanya santai, seperti sedang mengagumi sesuatu.
Setelah mengatakannya, dia akhirnya melepaskan tangannya dari
telingaku.
"Kamu kan pasti udah sering lihat lubang anting orang
lain."
Dulu, waktu SMA, teman-teman kami seperti Ibaraki juga pakai
anting. Jadi, ini bukan pemandangan yang aneh buatnya.
"Iya, sih. Tapi ini pertama kalinya aku lihat
punyamu."
"Nggak usah dilihatin, buruan pasangin."
"Iya, iya."
Sendai mengambil antingnya dan memasangkannya dengan
hati-hati.
Sentuhan ringan di pipiku, jemarinya yang bergerak di belakang
telinga, rasanya sedikit menggelitik hingga aku hampir bergerak refleks.
Aku berusaha bertahan, lalu akhirnya terdengar bunyi klik
kecil sebanyak dua kali.
Sendai menarik tangannya kembali.
"Udah, selesai."
"Ini," kata Sendai sambil menyerahkan cermin tangan
padaku.
Saat aku melihat pantulan diriku, kulihat bunga kecil
bermekaran di telingaku. Anting perak itu ternyata tidak semencolok yang
kubayangkan. Aku sedikit lega.
Menurutku, ini masih terlalu imut untukku. Tapi setidaknya,
masih dalam batas yang bisa kuterima.
"Cocok, kok," kata Sendai sambil dengan lembut
membelai anting itu.
Aku tidak menanggapi ucapannya dan malah mengatakan sesuatu
yang sejak tadi tertahan di tenggorokanku.
"…Makasih buat antingnya."
"Sama-sama."
"Tapi, kenapa kamu sendiri nggak pakai anting?"
Aku menepis tangannya yang masih ingin menyentuh telingaku,
lalu menanyakan hal yang sejak dulu ingin kutahu.
Waktu SMA dulu, dia tidak mau menindik telinganya karena
melanggar peraturan sekolah. Tapi sekarang, aturan itu sudah tidak ada
lagi.
"Nggak ada alasan khusus, sih. Tapi kalau ada sesuatu
yang benar-benar spesial, mungkin aku bakal bikin tindik juga."
Jawabannya kali ini berbeda dari waktu itu. Sambil
mengatakannya, Sendai menatapku lekat-lekat.
"Boleh aku mendekat sedikit?"
Aku diam, tapi dia tetap bergerak lebih dekat ke arahku.
"Mau lihat antingnya lebih jelas."
Tanpa menunggu jawabanku, tangannya sudah menyentuh telingaku
lagi. Jemarinya membelai anting yang baru saja dia pasangkan, lalu menarik
perlahan daun telingaku.
Bagian yang disentuhnya terasa panas.
Punggungku menegang, bahuku menjadi kaku.
Aku sedikit menggeser tubuhku ke belakang, tapi dia justru
lebih mendekat.
Dan sebelum aku menyadarinya, bibirnya sudah menyentuh
telingaku.
"Miyagi," panggilnya pelan.
Aku tidak menjawab.
Dia memanggil namaku sekali lagi, lebih lembut, lebih
manis.
Bisikan itu membuat telingaku terasa geli.
Lalu, dia mengecup telingaku lagi, seolah ingin mengikatku
dalam kenangan hari Minggu itu.
Tangannya menggenggam jemariku, jari-jarinya dengan mudah
menyelip di antara jariku.
Giginya menyentuh daun telingaku, lalu menggigitnya
pelan.
Tubuh Sendai semakin menempel padaku, lebih dari yang
seharusnya. Nafasnya yang hangat menyapu telingaku, dan dia kembali memanggil
namaku.
"Sendai, tunggu…"
Aku mencoba mendorong bahunya.
Tapi dia tidak mundur.
Jemarinya bergerak perlahan di sepanjang leherku, diikuti oleh
bibirnya yang menelusuri jalur yang sama. Sensasi hangat yang bergerak di
kulitku terasa begitu nyaman, membuat nafasku hampir berantakan.
Ketika dia menjilat lembut di batas antara leher dan bahuku,
aku mendorong bahunya lebih kuat.
"Nggak suka?" tanyanya lirih.
"Kamu kebablasan."
Aku melepaskan jemari yang masih saling bertautan dan
menempelkan telapak tangan ke leherku.
"Miyagi."
"Apa?"
"Antingnya cocok banget sama kamu. Pakai terus,
ya?"
Jarinya terulur lagi, seakan masih ingin menyentuhku. Aku
refleks menarik tubuhku ke belakang. Kali ini, jarak di antara kami tetap ada.
Tegang yang tadi sempat muncul perlahan menghilang.
"Aku juga nggak punya anting lain yang pengin kupakai,
jadi tanpa kamu bilang pun, aku memang berencana pakai ini terus."
Aku menyentuh telingaku sendiri, lalu meneguk soda dari
gelasku.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.