Story About Buying My Classmate Chapter 1 V6

Ndrii
0

Chapter 1

Apa yang aku tahu tentang Miyagi 




Pada hari Minggu, aku dan Miyagi melakukan sesuatu yang tidak bisa disebut sebagai hal yang biasa dilakukan oleh teman sekamar.  


Aku tahu itu pasti akan berdampak keesokan harinya. Jadi, ketika Senin pagi tiba dan Miyagi tidak ada, aku sudah menduganya. Yang tidak kuduga adalah dia tidak pulang sepanjang hari itu. Tapi kalau dipikir-pikir, mengingat sifat Miyagi, keputusan untuk tidak pulang sebenarnya bukan sesuatu yang aneh.  


Hanya saja, aku tidak menyangka dia akan pergi selama tiga hari.  


"Kupikir dia bakal cepat balik..."  


Aku menghela napas sebelum menuangkan jus jeruk ke dalam gelas.  


Kupikir, setelah sehari berlalu, suasana hati kami akan lebih tenang. Kupikir, dia akan kembali dengan wajah sedikit canggung.  


Tapi, sampai pagi di hari keempat, Miyagi masih belum kembali, dan aku mulai merasa gelisah.  


Apa yang terjadi hari Minggu lalu adalah sesuatu yang Miyagi setujui. Hubungan kami sebagai teman sekamar seharusnya tidak berubah. Tapi aku juga tahu pasti kalau bertemu denganku sebagai teman sekamar pada Senin pagi akan jadi hal yang sulit bagi Miyagi.  


Aku sendiri juga tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa saat bertemu dengannya.  


Karena itu, aku pikir kami butuh waktu.  


Tapi tiga hari itu terasa terlalu lama.  


Sambil membawa gelas berisi jus jeruk, aku kembali ke kamar.  


Aku tidak terlalu khawatir tentang ke mana Miyagi pergi.  


"Mungkin dia di tempat Utsunomiya."  


Aku duduk di lantai, meneguk setengah jus jerukku, lalu meletakkan gelas di meja.  


Hari Senin, aku sempat mengiriminya pesan: "Kamu di rumah Utsunomiya?" Tapi satu-satunya balasan yang kuterima adalah "Jangan khawatir." Jadi, aku rasa dugaanku benar. Kalau tidak, pasti dia akan mengirim pesan protes seperti, "Aku bukan di rumah Maika, tahu!"  


Di satu sisi, aku lega Miyagi punya tempat untuk pergi di saat seperti ini. Tapi di sisi lain, rasanya sedikit rumit kalau tempat itu adalah rumah Utsunomiya.  


Bukan berarti aku berpikir ada sesuatu di antara mereka.  


Aku tahu tidak ada apa-apa, tapi tetap saja, aku merasa tidak senang.  


Meski begitu, lebih baik mengetahui di mana Miyagi berada daripada khawatir dia ada di tempat yang tidak jelas. Tapi kalau dia terus-menerus menginap di sana, bukankah itu artinya Utsunomiya akan jadi teman sekamar barunya?  


Itu tidak bisa dibiarkan.  


Miyagi harus segera pulang.  


Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur.  


Seprai dan sarung bantal sudah kucuci.  


Tapi tetap saja, rasanya masih ada aroma Miyagi di sini.  


Aku tidak menyesali apa yang terjadi hari Minggu. Tapi aku menyesal karena kamar ini menjadi tempat di mana semuanya terjadi.  


Selama Miyagi tidak ada, aku terus mengingat kejadian itu.  


Dia ada di sini. Aku menyentuhnya, menciumnya, dan melakukan lebih dari itu...  


Kenangan itu begitu jelas, dan karena dia tidak ada di sini, semakin sulit untuk melupakannya.  


Kalau saja kami bisa menjalani hari-hari seperti biasa—makan bersama, menghabiskan waktu sebagai teman sekamar—mungkin aku bisa menyimpan kenangan itu sebagai sesuatu yang samar di dalam mimpi. Tapi dengan dia tidak di sini, rasa bersalahku memudar, dan pikiranku justru semakin liar.  


Sungguh menyebalkan.  


Aku mengkhawatirkan Miyagi yang belum pulang, tapi di saat yang sama, pikiranku terus mengulang kejadian hari Minggu.  


Aku menampar pipiku pelan dan mengambil ponsel.  


Barusan aku sudah mengiriminya pesan, bertanya kapan dia akan pulang, tapi tidak ada balasan. Tetap saja, aku memeriksa layar ponsel sekali lagi.  


Seperti yang kuduga, tidak ada pesan masuk.  


Karena itu, aku jadi kehilangan semangat untuk pergi ke kampus.  


Sudah beberapa kali terpikir olehku sejak Miyagi menghilang—haruskah aku pergi ke kampusnya?  


Kalau dia memang bersama Utsunomiya, berarti dia tidak akan membolos. Jadi kalau aku ke sana, mungkin aku bisa bertemu dengannya.  


Akan lebih mudah kalau aku tahu alamat rumah Utsunomiya. Tapi aku tidak tahu.  


Kalau aku benar-benar ingin bertemu Miyagi, aku harus pergi ke kampusnya.  


Aku tahu itu. Tapi aku masih ragu.  


Aku terus terjebak dalam bayangan Miyagi di ingatanku, padahal seharusnya aku pergi dan mencarinya langsung. Aku ingin bertemu dengannya. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapannya. Jujur saja, mungkin akulah yang lebih sulit bertemu dengannya sebagai teman sekamar dibandingkan sebaliknya.  


Alasannya sederhana, dan aku enggan mengakuinya.  


Bahkan sekarang, aku masih pura-pura tidak menyadarinya.  


Tapi kenyataannya, sejak lama...  


Aku menyukai Miyagi.  


Aku tidak tahu sejak kapan perasaanku ini muncul.  


Bukan "jatuh cinta" dalam arti yang tiba-tiba, melainkan sesuatu yang perlahan-lahan merayap ke dalam hatiku.  


Miyagi masuk ke dalam kehidupanku sedikit demi sedikit, hingga akhirnya berakar dan menetap tanpa kusadari. Aku mencoba mengabaikannya. Aku menutupi perasaan itu dengan lima ribu yen, pura-pura tidak melihatnya.  


Bahkan setelah kami menjadi teman sekamar, aku terus berpura-pura tidak peduli.  


Bahkan setelah lima ribu yen itu tidak lagi ada di antara kami dan perasaan ini mulai menyuarakan keberadaannya, aku tetap menutup mata.  


Sampai hari Minggu itu tiba.  


Saat aku menyentuh Miyagi lebih dari sebelumnya, semua perasaan yang selama ini kutekan mendadak meluap dan tidak bisa lagi kupungkiri.  


── Sendai Hazuki menyukai Miyagi Shiori.  


Sekali aku menyadari itu, aku tidak bisa lagi mengabaikannya.  


Sekarang pun, pikiranku hanya dipenuhi Miyagi.  


Aku tahu dia mungkin tidak akan pernah memaafkanku. Tapi aku ingin menyentuhnya lagi, menciumnya lagi, mendengar suara yang hanya aku yang tahu.  


Dengan perasaan seperti ini, aku ragu bisa bersikap biasa di hadapannya. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan yang baru saja kusadari ini.  


Jadi, di satu sisi, aku merasa lega Miyagi masih belum pulang.  


Tapi di sisi lain, aku juga membenci diriku sendiri karena menggunakan perasaan ini sebagai alasan untuk tidak mencarinya.  


Miyagi, baik ada maupun tidak ada, selalu bisa mempengaruhi emosiku.  


Dia benar-benar merepotkan.  


"...Hari ini juga dia tidak akan pulang, ya?"


Kalau saja dia pulang dengan sendirinya, aku mungkin bisa memaksakan diri untuk mengatur perasaanku dan bersikap seperti biasa sebagai teman sekamar. Tapi, sepertinya itu tidak akan terjadi.  


Aku bangkit dari tempat tidur dan turun.  


Sebelum lulus SMA, aku seharusnya meminta kontak Utsunomiya. Mungkin kata-kataku tidak akan berpengaruh, tapi kalau Utsunomiya yang menyuruhnya pulang, Miyagi pasti akan menurut. Tapi karena aku tidak bisa menghubungi Utsunomiya, kalau ingin membawa Miyagi kembali, satu-satunya pilihan adalah pergi ke kampusnya.  


“Biasanya, di titik tertentu pasti bakal pulang, kan?”  


Aku berputar mengelilingi kamar, lalu mengecek ponsel.  


Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.  


Aku kembali mengirim pesan pada Miyagi, menanyakan kapan dia akan pulang. Jika sampai siang tidak ada balasan, aku akan pergi ke kampusnya.  


Bisa dibilang, rencanaku untuk hari ini sudah ditentukan.  


Tapi jujur saja, aku tidak yakin dia akan membalas. Itu berarti aku akan bolos kuliah.  


Bagaimanapun, kalau aku berangkat sekarang pun, aku tetap tidak akan bisa mengikuti kuliah tepat waktu. Lagipula, semakin lama aku menunda, semakin canggung rasanya nanti saat bertemu Miyagi. Aku tidak tahu apakah aku bisa menemukannya di kampus, tapi kalau pergi, setidaknya ada kemungkinan aku bisa bertemu Utsunomiya.  


Hari Minggu itu, aku menyentuh Miyagi dan menyadari bahwa dia menerimaku lebih dari yang kuduga. Aku yakin dia tidak membenciku. Kalau dia membenciku, dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.  


Aku harus percaya pada itu.  


Aku meletakkan ponsel yang tetap diam di atas meja, lalu menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dan menutup mata.  


Tapi yang terlintas di pikiranku tetaplah Miyagi, dan aku hanya bisa menghela napas.  


Sejak masuk kuliah, aku belum pernah sekalipun membolos.  


Bagiku, kuliah itu tempat yang harus didatangi, bukan yang bisa ditinggalkan sesuka hati. Seharusnya aku tetap pergi hari ini juga. Tapi kemarin saja aku tidak bisa fokus di kelas, dan hari ini pasti lebih parah. Rasanya percuma saja datang.  


Aku selalu berpikir bahwa aku harus masuk universitas bagus, mendapatkan pekerjaan yang baik, dan tidak kembali ke rumah itu.  


Tapi rencana masa depanku berubah karena Miyagi.  


Aku tidak pernah berencana tinggal bersama orang lain, apalagi sampai bolos kuliah seperti ini. Tapi sekarang, aku berbagi tempat tinggal dengan Miyagi dan membolos.  


Perasaan yang baru kusadari ini lebih merepotkan dari yang kukira. Mungkin seharusnya aku menyingkirkannya. Tapi Miyagi sudah terlalu dalam mengakar di hatiku, dan aku tidak bisa mengusirnya begitu saja.  


Batas waktu menunggu balasan adalah pukul dua belas siang.  


Begitulah yang sudah kuputuskan, tapi tanpa kusadari, waktu berlalu begitu cepat, dan sekarang sudah hampir jam dua siang. Aku masih saja menunggu balasan dari Miyagi.  


“Setidaknya, balas pesan ini, dong.”  


Aku berbaring di tempat tidur, menatap ponsel dengan kesal. Sejak Senin, aku sudah mengulang kalimat itu berkali-kali.  


Aku sudah memutuskan untuk menunggu sampai pukul dua belas. Kalau begitu, aku harus segera keluar rumah.  


Hari ini aku ada jadwal mengajar sebagai tutor.  


Bolos kuliah masih bisa kuterima, tapi membatalkan pekerjaan saat ada murid yang menunggu bukanlah pilihan. Kalau aku terus menunda dan menunggu balasan Miyagi, waktu akan habis begitu saja, dan akhirnya aku akan terlambat ke tempat kerja.  


Aku tahu aku harus pergi, tapi aku tetap tidak bisa melangkah keluar.  


Aku tidak yakin bisa berbicara dengan Miyagi seperti biasa.  


Aku tidak yakin bisa menatap wajahnya seperti biasa.  


Dan kalau Miyagi melihat aku bersikap aneh, dia mungkin akan berpikir bahwa aku menyesali apa yang terjadi hari Minggu. Aku tidak tahan kalau itu sampai terjadi.  


Kalau untuk menghindari kesalahpahaman itu aku mengatakan bahwa aku menyukainya, maka kesan yang muncul adalah aku hanya menggunakan kata “suka” untuk membenarkan apa yang telah kulakukan. Itu bukan perasaanku yang sebenarnya.  


Tapi kalau aku jujur mengatakannya, Miyagi pasti akan menjauh dariku lagi.  


“Nggak bisa.”  


Aku bergumam pelan, seakan mencoba meyakinkan diri sendiri, lalu duduk tegak.  


Kalau aku terus menatap ponsel yang tak kunjung berbunyi, pikiranku hanya akan dipenuhi hal-hal negatif, bukannya keinginan untuk bertemu Miyagi.  


"Miyagi, balas dong!"  


Dengan rasa kesal dan harapan yang masih tersisa, aku mengirim pesan sekali lagi.  


Tapi, tentu saja, ponselku tetap diam.  


Waktu terus berlalu tanpa hasil, dan akhirnya aku menguatkan hati untuk keluar rumah.  


Akhir Mei. Langit cerah tanpa banyak awan. Matahari bersinar terang, tapi musim panas masih terasa jauh, dan udara tidak terlalu panas.  


Aku berjalan cepat menuju stasiun dan naik kereta.  


Di dalam tas, ponselku tetap diam, seolah telah mati.  


Guncangan kereta pun tidak membangunkannya.  


Aku mengambil ponsel dan melihat layarnya. Seperti yang kuduga, tidak ada balasan.  


Menentukan kapan akan pulang itu bukan pertanyaan yang sulit. Dia seharusnya bisa langsung membalas.  


Aku menatap pemandangan yang melintas di luar jendela.  


Memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ini membuatku gelisah. Aku bahkan sempat ingin turun di stasiun berikutnya dan langsung pulang. Tapi aku tetap bertahan.  


Ketika kereta tiba di stasiun tujuan, aku melangkah keluar, meski terasa seperti ada beban berat di kakiku.  


Aku berjalan menuju kampus Miyagi. Setelah beberapa saat, aku akhirnya bisa melihat gedungnya dan menghentikan langkah.  


“...Ah, aku lupa nyari tahu.”  


Aku memang pernah mencari lokasi kampusnya saat kami mencari tempat tinggal, tapi aku sama sekali tidak tahu tentang bagian dalamnya.  


Aku terlalu sibuk memikirkan Miyagi sampai lupa melakukan riset.  


Aku mengeluarkan ponsel dan mulai mencari denah kampus.  


“Miyagi, semoga bisa ketemu.”


Dari awal aku sudah tahu, tapi tetap saja, mencari seseorang di kampus yang luas dan penuh orang seperti ini bukanlah hal yang mudah. Bahkan kalau ini kampusku sendiri, menemukan seseorang yang tidak bisa dihubungi dan tidak diketahui keberadaannya tetaplah sulit.  


Seharusnya aku lebih banyak bertanya tentang kampus ini sebelumnya.  


Bukan berarti aku sama sekali tidak pernah membicarakannya dengan Miyagi, tapi aku tidak sampai mengingat jadwalnya. Jadi, aku sama sekali tidak bisa menebak di mana dia berada sekarang.  


Dengan ponsel di tangan, aku melangkah masuk ke dalam kampus. Meski tahu mahasiswa dari universitas lain juga bisa masuk, tetap saja ada sedikit rasa gugup.  


Aku mencoba mencari di tempat-tempat yang biasa dikunjungi mahasiswa di sela-sela kuliah, tapi ke mana pun aku pergi, berapa banyak orang yang kutemui, Miyagi tetap tidak ada. Lagipula, aku bahkan tidak yakin apakah dia benar-benar datang ke kampus hari ini. Kalau begitu, bisa jadi usahaku ini sia-sia.  


Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya aku duduk di bangku.  


Aku merasa seperti sedang melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya, dan meskipun hanya berjalan, aku sudah merasa lelah.  


Aku mengecek ponsel, tapi tetap tidak ada balasan dari Miyagi. Aku ingin bertanya langsung di mana dia berada, tapi kalau dia tahu aku datang ke kampus ini, dia pasti akan menghindar agar tidak ketemu denganku.  


Tapi di sisi lain, terus berjalan tanpa arah pun tidak menjamin aku bisa menemukannya.  


"Haruskah aku menunggu di depan gerbang saja?"  


Mencari seseorang di kampus ini seperti mencoba menemukan sebutir garam dalam sekantong gula. Meski bentuknya berbeda, kalau sudah tercampur, hampir mustahil untuk menemukannya.  


Para mahasiswa yang lalu lalang di sekitarku terlihat seperti butiran gula yang tumpah berhamburan, dan di antara mereka, rasanya mustahil menemukan Miyagi—si sebutir garam yang tidak juga membalas pesanku.  


Tapi kalau aku menunggu di tempat yang dilewati banyak orang, mungkin peluang untuk menemukannya akan lebih besar.  


Aku berdiri dan mulai berjalan menuju gerbang utama.  


Karena sudah berkeliling cukup lama, sekarang aku mulai merasa sedikit gerah meskipun angin bertiup.  


Langit terlihat biru cerah, sampai-sampai membuatku kesal.  


Biasanya, aku pasti akan berpikir ini cuaca yang bagus. Tapi sekarang, semakin biru langit itu, semakin aku merasa jengkel.  


Aku mengembuskan napas pelan.  


Lalu, tiba-tiba terpikir untuk mencoba mencari sedikit lebih lama di dalam kampus.  


Aku berbalik dan mulai melangkah lagi, sambil terus mengamati sekeliling dengan harapan Miyagi ada di suatu tempat.  


Dan saat itulah, aku melihat wajah yang familiar.  


“Ah!”  


Tanpa sadar, aku bersuara cukup keras.  


Penampilannya sedikit berbeda, tapi aku yakin tidak salah lihat.  


"Utsunomiya!"  


“Eh? Ehh?! Sendai-san!?”  


Aku segera menghampiri Utsunomiya yang berjalan sendirian ke arahku dan langsung meraih lengannya.  


"Ada apa? Kenapa kamu ada di sini?"  


Utsunomiya menatapku dengan mata terbelalak penuh keterkejutan.  


Seperti yang kuduga.  


Miyagi belum memberitahunya bahwa kami tinggal bersama.  


Kalau dia tahu, dia tidak akan sekaget ini saat melihatku.




Utsunomiya mengernyit dan menghela napas setelah mendengar perkataanku.  


Miyagi pernah bilang kalau dia sudah memberi tahu Utsunomiya bahwa kami tinggal bersama. Tapi aku sudah menduga kalau itu tidak benar, dan ternyata memang begitu.  


“Aku lagi cari Miyagi.”  


Meskipun merasa agak bersalah, aku tetap menyebut namanya.  


“Miyagi? Maksudmu Shiori?”  


“Iya, Miyagi yang itu. Dia nggak nginep di rumahmu, kan?”  


“…Kenapa kamu nyari Shiori?”  


“Dia nggak bilang apa-apa ke kamu?”  


“Bilang apa?”  


Utsunomiya menatapku dengan ekspresi bingung.  


Miyagi pasti bakal marah.  


Tapi kami sudah lulus SMA. Aku tidak perlu lagi menyembunyikan hubunganku dengan Miyagi dari Utsunomiya. Meskipun Miyagi ingin merahasiakannya, kalau aku tidak bicara, masalah ini tidak akan selesai.  


Kalaupun nanti jadi merepotkan dan Miyagi kesulitan, itu salahnya sendiri. Dia yang berbohong pada Utsunomiya dan dia juga yang tidak membalas pesanku.  


“Aku tinggal bareng Miyagi, tapi sepertinya dia nggak cerita ke kamu, ya?”  


Aku tersenyum pada Utsunomiya.  


“Nggak, aku nggak tahu… Jadi, maksudnya, kamu dan Shiori tinggal di rumah yang sama?”  


“Iya.”  


“Serius?”  


“Serius.”  


“Tapi Shiori bilang dia tinggal sama saudara.”  


Utsunomiya mengernyit. Lalu, setelah menghela napas, dia melanjutkan,  


“Sebenarnya aku agak curiga. Dia ngomongnya agak aneh, jadi aku merasa orang yang tinggal bersamanya bukan saudara. Tapi aku nggak nyangka kalau ternyata itu kamu.”  


“Jadi Miyagi bilang dia tinggal sama saudara?”  


“Iya.”  


Itu kebohongan yang cukup masuk akal, tapi juga kebohongan yang cepat terbongkar.  


Dan nyatanya, sekarang Utsunomiya sudah tahu.  


“Kenapa kamu tinggal sama Shiori?”  


Tentu saja, pertanyaan itu muncul.  


Dari semua pertanyaan yang bisa ditanyakan, inilah yang paling tidak ingin kudengar.  


Dari sudut pandang Utsunomiya, mengingat hubunganku dengan Miyagi saat SMA, wajar kalau dia penasaran. Tapi ini pertanyaan yang sulit dijawab.  


Jadi, aku akhirnya berbohong.  


“Mungkin karena kami berteman?”  


“Tapi waktu aku tanya di SMA, kamu sendiri yang bilang kalau kalian bukan teman, kan?”  


“Aku pernah bilang begitu?”  


Tentu saja aku ingat. Tapi kalau aku mengakuinya sekarang, situasinya bakal makin ribet.  


“Iya, kamu bilang.”  


“Ya udahlah. Anggap aja sekarang kami udah berteman.”  


Aku tidak punya alasan lain yang bisa dijadikan alasan masuk akal untuk tinggal bersama Miyagi.  


Aku memasang senyum terbaikku sambil menatap Utsunomiya.  


“Terus, kenapa kalian bisa jadi dekat sampai tinggal bareng? Waktu kelas dua, kalian nggak kelihatan dekat, kan?”  


Utsunomiya bertanya dengan nada serius.  


Miyagi pasti tidak pernah cerita apa pun tentang kami ke Utsunomiya, baik saat SMA maupun sekarang.  


Meskipun aku rasa persahabatan mereka tidak akan hancur hanya karena ada beberapa rahasia, aku juga tidak ingin merusaknya.  


“Dulu aku pernah lupa bawa dompet di toko buku, dan Miyagi minjemin uang. Dari situ kami mulai dekat.”  


“Aku baru dengar cerita itu. Tapi cuma gara-gara itu, kalian bisa sampai tinggal bareng?”  


Sebuah kebohongan yang sepenuhnya dibuat-buat itu rapuh, tapi kalau dicampur dengan sedikit kebenaran, kebohongan itu jadi lebih kuat dan lebih sulit dibongkar.  


Tapi itu hanya berlaku untuk kebohongan kecil.  


Untuk hubunganku dengan Miyagi yang tidak punya titik temu sama sekali, kebohongan seperti ini tidak akan berhasil.  


Dan sepertinya, Utsunomiya memang tidak puas dengan jawaban itu.  


“Hmm… tanya aja sendiri ke Miyagi.”  


Utsunomiya adalah temannya.  


Jadi, sebaiknya Miyagi sendiri yang memutuskan mau bicara sejauh apa.  


Aku tidak mau mengatakan sesuatu yang bisa merusak hubungan mereka.  


Aku kembali ke tujuan utamaku.  


“Ngomong-ngomong, Miyagi lagi nginep di rumahmu, nggak?”  


“Aku bisa jawab pertanyaanmu, tapi bisakah kamu lepasin tanganku dulu?”  


“Ah, maaf.”  


Aku baru sadar kalau aku masih memegang lengannya.  


Tadi aku refleks menahannya agar dia tidak kabur, tapi tentu saja, dia bukan Miyagi. Dia tidak akan lari hanya karena melihatku.  


“Shiori memang nginep di rumahku… Tapi, yang diajak ribut itu kamu?”  


“Ribut?”  


Aku mengerutkan kening.  


Itu bukan kata yang kuharapkan keluar dari mulutnya.  


“Shiori bilang dia bertengkar sama orang yang tinggal serumah dengannya. Makanya dia minta izin buat nginep di rumahku.”  


Utsunomiya menatapku dengan penuh selidik.  


Tinggal di rumah orang lain selama beberapa hari butuh alasan yang kuat.  


Aku bisa membayangkan Miyagi tidak akan mengatakan alasan sebenarnya kepada Utsunomiya.  


Tapi aku juga tidak tahu apa yang sudah dia ceritakan.  


Jadi, aku memilih mengikuti alurnya.  


“Yah… bisa dibilang begitu. Sebenarnya cuma masalah sepele, tapi akhirnya jadi ribut.”  


“Kamu sama Shiori?”  


Utsunomiya tampak terkejut.  


Sepertinya dia percaya kalau penyebabnya hanya hal sepele, tapi kata ribut yang kugunakan terdengar aneh baginya.  


“Iya, aku dan Miyagi.”  


“Aku nggak bisa ngebayangin Shiori bertengkar sama siapa pun, apalagi sampai adu mulut. Kalian ini sebenarnya hubungan apa, sih?”  


Pertanyaan yang ingin kuhindari itu muncul lagi.  


Tapi sebelum menjawab, aku terpikir hal lain.  


Bagi Utsunomiya, Miyagi adalah orang yang tidak mungkin bertengkar.  


Tapi bagi aku, Miyagi adalah seseorang yang bisa berdebat sengit denganku.  


Aku sudah tahu kalau Utsunomiya mengenal Miyagi yang berbeda dariku.  


Tapi mendengar itu langsung darinya, ada sedikit rasa bangga dan sedikit rasa kesal yang bercampur jadi satu.  


Seperti ada sesuatu yang mengusik hatiku, membuatku menggenggam erat tanganku sendiri.  


“Kami cuma teman satu rumah, kok. Lebih penting lagi, bisakah kamu bilang ke Miyagi supaya dia pulang?”  


“Shiori ada di kampus, jadi lebih baik kamu bicara langsung dengannya. Aku bisa panggil dia ke sini kalau mau. Atau kamu mau ikut?”  


“Kayaknya dua-duanya bakal gagal. Miyagi pasti bakal kabur kalau lihat aku. Jadi, bisakah kamu yang bilang ke dia untuk pulang?”  


“…Kalian bertengkar sampai separah itu?”  


“Yah, lumayan.”  


“Kalau gitu, lebih baik kalian bicara langsung.”  


Utsunomiya memang baik.  


Dia tidak sepenuhnya percaya padaku, tapi tetap terlihat seperti mengkhawatirkanku.  


“Aku bisa melihat masa depan di mana Miyagi langsung kabur.”  


“Kalau begitu, datanglah ke rumahku. Dia masih bakal nginep di sana malam ini.”  


Di rumah Utsunomiya, Miyagi tidak punya tempat untuk melarikan diri.  


Tapi aku tidak yakin ini ide bagus.  


Sekarang aku sudah membongkar kebohongan Miyagi di depan Utsunomiya.  


Aku tidak tahu apakah aku bisa bertemu Miyagi dengan wajah tanpa beban seperti biasa.  


“Aku ada kerja. Aku ngajar les privat, jadi nggak bisa batalin.”  


Aku mengatakan alasan yang sebenarnya, bukan kebohongan.  


“Habis kerja, datang aja ke rumahku.”  


“Tapi bakal malam.”  


“Nggak masalah.”  


Utsunomiya langsung memberitahuku alamatnya, seakan tidak memberiku pilihan lain.  


Aku merasa ini bakal jadi merepotkan, tapi di hadapan Utsunomiya, Miyagi tidak akan bisa bersikap terlalu buruk padaku.  


“Oke, terima kasih. Jangan bilang Miyagi kalau aku bakal datang. Aku juga kasih nomorku, ya.”  


Kami akhirnya bertukar kontak, dan aku memutuskan untuk pergi ke rumah Utsunomiya setelah selesai kerja.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !