Episode 7
"Wah, sarung
tangan ini. Nostalgia sekali..."
Ruangan yang saat ini
digunakan sebagai gudang itu belakangan ini sedang kubersihkan sedikit demi
sedikit.
Di dalamnya, aku
menemukan sesuatu yang tersegel di dalam kardus. Sarung tangan hitam yang dulu
sering kupakai—
(............Seingatku
ini ada namanya...)
—Lupa.... Aku
memakainya hampir sepuluh tahun yang lalu, dan sejak 《Organisasi Shijima》dibubarkan,
aku menjalani hari-hari yang jauh dari pertempuran, jadi aku tidak pernah
menggunakannya lagi. Benda ini cukup berat dan memakan tempat, dan tidak bisa
digunakan sebagai interior seperti pedang, jujur saja lebih baik dibuang.
(Tapi, entah kenapa aku
tidak bisa membuangnya. Bukannya aku tidak punya keterikatan sama sekali.)
"Wah. Itu
apa?"
Ritsuka, yang datang
melihat keadaanku, memiringkan kepalanya melihat sarung tangan yang kubawa.
"Dulu, senjata...
pelindung? yang kupakai."
"Ah! Aku ingat!
Rou-kun jadi sangat kuat setelah memakai itu, kan. Di 'Organisasi Rod' pun
mereka terus membicarakannya. Ternyata masih disimpan~"
"Entah kenapa aku
tidak bisa membuangnya—..."
"Tapi bukannya itu
mengganggu? Dibuang ke tempat sampah? Dijual di lelang online?"
"Kejam
sekali."
"Kan memang untuk
bersih-bersih?"
Aku juga punya satu dua
kenangan, tahu. Yah, meskipun benda ini sudah seperti sampah besar.
"Atau lebih
tepatnya, benda ini punya banyak fungsi, membuang atau menjualnya sepertinya
akan menimbulkan masalah."
"Ah, mungkin
juga~. Rou-kun sering mengeluarkan kawat dari sarung tangan itu, kan~"
"Bukan sarung
tangan, tapi sarung tangan besi..."
"Seperti peralatan
rumah tangga besar yang sulit dibuang. Bagaimana?"
"Hmm.... Dibuang,
dijual online, disimpan, semuanya..."
Sepertinya aku tidak
bisa langsung menemukan jawabannya. Oleh karena itu, aku berbicara untuk
menunda pembicaraan.
"Besok aku coba
tanya pada kenalanku."
"Orang dari mantan《Organisasi Shijima》?"
"Ah. Mungkin dia
punya ide bagus."
Kalau memang harus
dibuang, aku akan mengikuti instruksinya.
"Ngomong-ngomong,
Rou-kun, kenapa tiba-tiba ingin membersihkan gudang ini?"
"Suasana hati.
Lagipula, tidak bisa selamanya jadi gudang."
"Aku tahu, itu
kan? Da, da... danjan..."
"Danshari."
Note: Danshari
adalah filosofi dan metode pembersihan serta pengoptimalan barang-barang
di rumah yang berasal dari Jepang. Kata danshari merupakan neologisme yang
terdiri dari kata "dan" (menolak), "sha" (membuang), dan
"ri" (memisahkan).
"Benar, itu!"
Memang aku sedang
melakukan hal yang mirip dengan danshari. Sebenarnya ini bagian dari
'rencana'ku, dan detailnya belum bisa kuberitahu pada Ritsuka, tapi Ritsuka
puas dengan kata danshari.
"Di lemari sini
juga banyak barang yang ditumpuk. Ini barang-barang yang kubawa, jadi kalau mau
danshari, harus dibuang."
Ritsuka membuka lemari
dan merangkak masuk untuk memeriksa isinya. Aku meletakkan sarung tangan hitam
itu ke samping untuk sementara dan memeriksa ke arah sana.
...Bergoyang-goyang.
Bukan buah persik, tapi pantat Ritsuka.
(Ingin menyentuhnya)
Naluri yang sangat
jujur menggumamkan hal itu. Ritsuka secara keseluruhan bertubuh ramping, tidak
terlalu berisi, tapi aku tahu bentuk pantatnya luar biasa. Berbentuk bulat
indah, bisa dibilang berbentuk setengah bola. Pantat pria tidak berbentuk
bulat, pantas saja disebut "bokong", jadi menurutku pantat yang
berbentuk bagus seperti milik Ritsuka pantas disebut "oshiri"...
dengan cinta dan hormat. Ingin menyentuhnya.
"Ah, ini pouch
yang kukira hilang. Ada di sini."
(Jika berpura-pura
tidak sengaja, mungkin aku bisa melakukan satu serangan)
Perlu kukatakan di
awal, aku bukanlah orang mesum yang mengincar pantat sembarangan. Aku hanya
tertarik pada bagian belakang istriku tercinta, Ritsuka. Jadi, aku bukan ingin menyentuh
pantat secara umum. Aku ingin menyentuh oshiri Ritsuka. Perbedaan ini sangat
besar.
Aku bertindak
hati-hati. Aku sudah terbiasa dengan gerakan sembunyi-sembunyi—
"Ini boneka yang
kukira sudah kubuang—hya!"
Aku menyentuh pantat
Ritsuka dengan punggung tanganku. Sedikit menekannya, lalu menggeserkannya.
Kelembutan dan
elastisitas yang memberikan perlawanan ini hanya bisa disebut magis. Jika
punggung tanganku bisa berbicara, mungkin sekarang ia hanya akan berkata
"Gawat nih."
"Maaf, tadi aku sedang
membuka kardus. Tanganku menyentuhmu ya?"
"Ti-tidak. Tidak
apa-apa kok."
Selamat...! Tidak
ketahuan.
(Sepertinya masih ada
kesempatan sekali lagi...)
Sejujurnya, karena aku
sudah berpelukan dan berciuman, bukan berarti aku belum pernah menyentuh pantat
Ritsuka. Tapi itu lebih seperti tersentuh daripada menyentuh dengan sengaja.
Aku belum pernah
menyentuhnya dengan sengaja seperti ini. Tapi, aku tidak melakukan hal yang
buruk. Ini bagian dari sentuhan fisik suami istri. Aku suka pantat. Aku tim
pantat.
‘Ooo, apa yang kalian
lakukan di ruang sempit ini? Debunya banyak sekali.’
"Oh, Nyan-kichi.
Sini~, kemari~"
‘Menjijikkan.’
Nyan-kichi muncul di
pintu masuk ruangan, dan aku mengeluarkan suara membelai kucing yang sangat
kentara. Dia membalas dengan reaksi yang jujur, tapi aku tidak peduli. Aku
pura-pura memperhatikan Nyan-kichi, dan menusuk pantat Ritsuka sekali dengan
jari telunjukku.
"Uhyaaa!"
Ooh, ini... rasanya
ujung jariku bersorak gembira. Aku tidak tahu apakah ungkapan itu cocok untuk
pantat, tapi kata "segar" terlintas di benakku. Pantat Ritsuka terasa
segar.
"Ada apa? Ada
serangga?"
"............"
Ritsuka menoleh ke
arahku dengan tatapan yang sangat intens. Aku sengaja tidak melihat ke arahnya,
dan terus mengelus Nyan-kichi dan ditolak dengan pukulan.
(Apa masih bisa??????)
Dan aku mengambil
keputusan itu. Masih bisa. Bisa diulang.
Ini batasnya. Ritsuka
mencurigaiku. Aku tahu itu. Tapi dia belum yakin, dan tidak bisa mengatakan apa
pun. Kalau begitu, mungkin aku bisa menembus jaring pengawasannya tiga kali.
—Raihlah. Bukan mimpi
atau kejayaan, tapi pantat istriku.
Bukan hanya punggung
tangan dan satu jari, tapi dengan seluruh tangan kananku.
Pasti akan ketahuan.
Aku hanya bisa menjelaskan. Tapi aku akan tetap memiliki—harta berupa sensasi
itu.
"Nyan-kioba."
Bogo!
Tendangan belakang
keras Ritsuka, seperti kuda, menghantam perutku.
Tentu saja, tangan
kananku melayang di udara. Tidak mungkin ada sensasi yang tersisa.
"......Ketahuan
banget, ya?"
Ritsuka menggerutu
dengan suara agak berat. Bukan berarti aku lupa, tapi Ritsuka juga sangat
terlatih. Dia lebih ahli dalam merasakan kehadiran daripada aku
menyembunyikannya. Membuatku berpikir 'Bisa' mungkin hanya umpan untuk
menangkap basahku... Hebat juga istriku ini...!!
"Kenapa diam-diam
ingin menyentuh pantatku terus? Hei?"
"Nya-Nyan-kichi
yang... menyuruh..."
'Kubunuh kau.'
"Jangan
menyalahkan Nyan-kichi! Katakan dengan jujur!"
"Karena aku ingin
menyentuhnya!! Pantat Ritsuka!!"
"Terlalu jujur,
ya?"
Setelah kukatakan
dengan berteriak, Ritsuka malah terdiam.
Kalau dipikir-pikir
lagi, menyentuh diam-diam pasti membuat Ritsuka merasa tidak enak. Bahkan jika
itu pada istri sendiri, tidak baik terus melakukan pelecehan tanpa memikirkan
perasaan orang lain...
"Maaf.... Aku
tidak akan melakukannya lagi..."
"......Ka-kalau
mau menyentuh, bilang saja dari awal. Kalau begitu, aku bisa
mempertimbangkannya..."
Sambil memalingkan
muka, Ritsuka bergumam dengan suara kecil. Aku menegaskan ekspresiku dan segera
mendekat.
"Ritsuka. Boleh
aku menyentuh pantatmu?"
"Tidak
boleh."
"Kenapa...?"
"Aku hanya
mempertimbangkan. Kalau kamu mengajukan permohonan dengan dokumen yang benar,
hasilnya akan kukirimkan lewat pos setelah dikonfirmasi."
"Seperti kantor pemerintahan
saja..."
Mungkin maksudnya
pantat Ritsuka itu lembut tapi juga tegas—
‘Jangan memasang wajah
seperti baru saja mengatakan sesuatu yang pintar.’
Begitulah, aku
melanjutkan bersih-bersih kamar sambil dibantu Ritsuka.
***
"《Sai Ka Sai Ten》kah.
Tidak kusangka hari ini akan tiba saatnya nama ini diucapkan lagi."
"Benar, 《Sai Ka Sai Ten》.
Memang itu namanya."
"Kamu lupa...? Itu
kan senjata khusus untukmu..."
Keesokan harinya, aku
memanggil kenalanku—mantan atasanku dan sekarang menjadi kepala bagian—ke
ruangan lain untuk berdiskusi.
Entah ingatannya lebih
baik dariku, dia langsung menjawab kata 《Sai
Ka Sai Ten》.
"Kenapa tiba-tiba
ingin membuangnya? Seharusnya kau bisa mempertimbangkannya dari jauh-jauh
hari."
"Tidak, kemarin
aku menemukannya saat membersihkan kamar. Jujur saja, aku tidak membutuhkannya
lagi dan hanya mengganggu, tapi aku berpikir apakah boleh membuangnya begitu
saja? Makanya aku berkonsultasi dengan Kepala Bagian."
"......Tentu saja
jangan dibuang sembarangan. Menjualnya di internet apalagi, itu tidak
boleh."
"I-itu juga aku
tahu. (Hampir saja...)"
"Kalau kau ingin
melepaskannya, aku akan mengurusnya. Memang tidak bisa langsung."
"Benarkah? Kalau
begitu, aku mohon bantuannya. Untuk sementara akan kusimpan di rumah."
"......Kukatakan
sekali lagi, yang ingin membuangnya itu kau, Roushi."
"Ya iyalah. Aku
tidak akan protes nanti."
Meskipun ada sedikit
rasa sayang, benda itu memang tidak kubutuhkan lagi. Jika kepala bagian
bersedia mengurus pembuangannya, aku tidak keberatan melepaskan《Sai Ka Sai Ten》.
Aku memang tidak membutuhkannya lagi.
Kepala bagian terlihat
ingin mengatakan sesuatu, tetapi menelan kata-katanya dan bergumam, "Kalau
begitu, tidak masalah."
"Kalau begitu,
Kepala Bagian, aku permisi—"
"Tunggu, Saigawa.
Sekalian, kita bahas pekerjaan."
"Eh?"
"Proposal ide
merchandise 'Nendonguri' itu sama sekali tidak bagus. Mau jadi pistol air atau
pedang mainan, apa maksudmu?"
"Yah... karena
isinya bertema gelap, kupikir mungkin cocok."
Terkait proyek itu,
saat ini kami sedang mengumpulkan ide proposal, dan jika ada yang bagus, akan
kami ajukan ke pihak sana—yaitu kakak ipar. Tapi, proposal dariku ditolak
mentah-mentah oleh kepala bagian. Pistol Nendonguri... ide itu muncul setelah
aku melihat Ritsuka menyiramkan air ke tanah liat kakak ipar sebelumnya.
"......Seperti
biasa, kau memang kurang mahir memikirkan sesuatu dari nol."
"Kupikir aku sudah
sedikit lebih baik..."
"Masih hijau. Serius,
kau hanya mahir mengerjakan apa yang diperintahkan, benar-benar tidak
berdaya."
Terkait penyelesaian
tugas yang diberikan, seperti administrasi dan pembuatan dokumen, aku tidak
pernah mendapat teguran. Meskipun aku sendiri yang mengatakannya, kupikir aku
memang cocok di bidang itu.
Di sisi lain, aku
kurang mahir dalam pengembangan ide, memikirkan 'produk' yang masih abstrak.
Kepala bagian juga memahami itu, dan memerintahkanku untuk berpikir dan
bergerak. 'Jangan jadi orang yang hanya menunggu perintah' adalah hal yang
sering dikatakan pada orang yang baru bekerja. Aku masih sering diingatkan oleh
kepala bagian.
"Menurutku—kau
masih kurang jiwa anak-anak."
"Jiwa anak-anak,
ya. Yang sering Kepala Bagian katakan."
"Ya. Itu yang
paling kita butuhkan. Aku tidak yakin kau pernah memilikinya..."
"Dibesarkan di《Organisasi Shijima》sejak
kecil, ya begini jadinya."
Masa kecilku hanya
berisi kenangan buruk. Aku menjalani kehidupan yang berbeda dari anak-anak pada
umumnya. Oleh karena itu, aku tidak tahu secara pasti apa itu jiwa anak-anak.
Aku sudah kenal orang
ini sejak kecil. Dia lebih tahu tentangku daripada orang tuaku.
"Kalau begitu,
jika tidak punya, kita harus berusaha mendapatkannya."
"Jiwa
anak-anak...?"
"Yanagi Ryou—Kurei
Toraji itu orang yang eksentrik. Kekuatanmu, sebagai adik iparnya, sayangnya
sangat dibutuhkan. Aku tidak ingin kau hanya berdiri diam saat itu. Mengerti?
Proyek ini adalah pertarunganmu—Roushi."
"Jiwa anak-anak,
ya? Hmm, yah... ingin rasanya bilang aku punya sih..."
Setelah itu, aku
bertanya pada Ikoma tentang jiwa anak-anak.
"Kau kedengaran
ragu-ragu."
"Tidak mungkin aku
bilang 'Aku punya!' dengan lantang, kan? Mainan itu kan dibuat orang dewasa
untuk anak-anak. Lagipula, aku sudah dewasa."
"Tapi bukan
berarti kau tidak punya sama sekali."
"Ya. Aku punya
gambaran tentang anak-anak yang memegang mainan yang kubuat."
"Aku juga punya
gambaran sih..."
Perbedaannya mungkin
terletak pada pengalaman masa kecil kami.
Sekalian, aku bertanya
pertanyaan yang sama pada Ootaka yang terlihat mengantuk.
"Ootaka. Apa kau
punya jiwa anak-anak?"
"Ah... tidak punya
sih."
"Tidak punya
ya."
"Setidaknya miliki
sedikitlah, Ootaka-kun."
"Biasanya orang
dewasa bekerja terikat peraturan perusahaan yang sangat ketat, tidak ada hubungannya
dengan jiwa anak-anak. Kalau begitu, aku sangat mengantuk sekarang, bolehkah
aku tidur siang karena jiwa anak-anak menganggap tidur siang itu penting?"
"Tentu saja tidak
boleh..."
"Jiwa anak-anak
bukan itu."
Ootaka terlihat hampir
tertidur, sementara Ikoma berkata, "Sejak awal,"
"Apa sebenarnya
jiwa anak-anak itu? Sepertinya bukan berarti hati seperti anak-anak..."
"Pelatihan tidak
mengajarkan hal seperti itu. Andai jiwa anak-anak tumbuh dalam diriku."
"Senpai lebih ke
arah jiwa..."
"Ke arah?"
"...Jiwa
binatang."
"Apa itu?"
"Mungkin cocok
bekerja di toko hewan peliharaan!"
Aku mengerti bahwa
Ikoma sedang menggodaku, meskipun aku tidak tahu apa itu jiwa binatang. Ikoma
tertawa cekikikan. Memang benar, Ikoma saat ini bertindak seperti digerakkan
oleh jiwa anak-anak.
***
"Jiwa anak-anak?
Rou-kun kan masih anak-anak, jadi tidak masalah, kan?"
"Mana mungkin aku
anak-anak. Aku bahkan lebih tua dari Ritsuka."
Pertanyaan serupa
kutanyakan pada Ritsuka setelah pulang ke rumah.
Jawaban yang kudapat
berbeda dari yang lain—dan sekaligus terasa aneh.
"Benarkah~? Ada
banyak sisi imut darimu, Rou-kun."
"Tidak ada
imutnya... Lagipula, apa hubungannya jiwa anak-anak dengan keimutan?"
"Entahlah? Tapi,
anak-anak itu imut. Kalau jiwa anak-anak, pasti imut, kan?"
‘Soal imut, akulah
ahlinya.’
"Tidak ada yang
memanggilmu."
Entah dia mendengarkan
pembicaraan kami atau tidak, Nyan-kichi mendekatiku. Aku mengulurkan tangan
untuk mengelus lehernya, tapi dia menepis tanganku. Tingkahnya sama sekali
tidak imut.
"Apa Nyan-kichi
lebih imut waktu masih kecil?"
"Entahlah..."
‘Terobsesi dengan masa
lalu adalah kebiasaan buruk manusia. Aku selalu yang terbaru dan terimut.’
"Setidaknya, aku
tidak suka kucing yang bilang dirinya imut."
"Eh, Nyan-kichi
tidak begitu kok? Dia rendah hati, kan~?"
‘Aku lebih dari kamu.’
Bagi Ritsuka, ucapan
Nyan-kichi sebagian besar diakhiri dengan "nya", jadi apa pun yang
dipikirkan dan dikatakan Nyan-kichi, dia memahaminya sesuai keinginannya. Aku
tidak bisa begitu.
Kembali ke pembicaraan
tentang jiwa anak-anak, kurasa Ritsuka masih memilikinya. Dulu, sepuluh tahun
yang lalu, dia terkesan lebih dingin dan ketus. Sekarang, dia sering
mengerjaiku, menggodaku, dan saat ingin bermanja, dia akan sangat dekat seperti
anak kecil.
...Mungkinkah Ritsuka
bisa menyelesaikan masalahku saat ini?
"Nee, Ritsuka. Apa
jangan-jangan kamu punya jiwa anak-anak?"
"......Fufufu.
Akhirnya sadar juga?"
"Ah. Ritsuka
itu—anak-anak."
"Serang!
Nyan-kichi!"
‘Karena disuruh! Karena
disuruh!’
"Aduh aduh
aduh!"
Seolah mendapat alasan
yang kuat, Nyan-kichi mencakar kakiku.
Pipi Ritsuka
menggembung. Aku merasa hal semacam itu mungkin memang ciri anak-anak.
"Maksudku
'anak-anak' itu bukan berarti kekanak-kanakan, tapi lebih ke—!"
"Mengatakan
'anak-anak' pada orang dewasa itu merendahkan, baik dari luar maupun
dalam."
Penampilan seperti
anak-anak, isi kepala seperti anak-anak. Memang bukan ungkapan yang baik.
Memang Ritsuka tadi
mengatakannya padaku tanpa ragu...
Meskipun begitu, cara
bicaraku yang salah. Aku dengan jujur menundukkan kepala pada Ritsuka.
"Maaf. Maksudku
orang yang sangat memahami hati anak-anak."
"Hm. Mau bagaimana
lagi, kumaafkan. Karena kalau tidak memahami hati anak-anak, sepertinya akan
sulit di kemudian hari. Artinya, aku bukan anak-anak, tapi menjadi anak-anak
demi anak-anak!"
"......Eh?
Itu—"
Kata
"anak-anak" memiliki berbagai arti tergantung konteks. Di antara itu,
ada satu penggunaan yang kuhindari dalam percakapanku dengan Ritsuka. Jika
ditambahkan "kita" di depannya, maknanya akan langsung jelas.
Aku tidak menyangka
Ritsuka akan mengatakan hal itu, jadi aku terkejut.
"Ah—tidak, tunggu
sebentar! Lupakan yang tadi! Eh, bukan berarti dilupakan juga sih, itu!"
Wajahnya memerah,
Ritsuka menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Tidak apa-apa,
jangan dipaksakan."
"Ya..."
Mungkin itu adalah
sesuatu yang ada di masa depan hubungan pernikahan kami. Ritsuka memikirkannya
dengan caranya sendiri. Sayangnya, kami masih belum bisa mencapainya.
(Tapi, sedikit demi
sedikit... aku dan Ritsuka, kami berusaha berubah. Itu pasti.)
‘Mungkinkah ini...
pembicaraan tentang berkembang biak? Jangan berisik di malam hari.’
(Kucing yang tidak
punya perasaan sama sekali...!!)
"Pokoknya! Aku
punya ide bagus untuk meningkatkan kekuatan jiwa anak-anak Rou-kun!"
"Kekuatan jiwa
anak-anak..."
Itu kekuatan asing yang
belum pernah kudengar. Tapi Ritsuka sangat percaya diri. Mungkinkah ini
berhasil?
"Yaitu—Rou-kun
sendiri menjadi anak-anak...!!"
"Aku tidak
mengerti apa yang kau katakan."
Memang begitu. Ritsuka
itu... begitulah, kadang-kadang agak bodoh.
Tapi aku sangat suka
sisi Ritsuka yang seperti itu. Aku mencintainya. Dia luar biasa. Dia imut.
"Kalau begitu,
mulai sekarang panggil aku Mama."
"Semacam roleplay...?"
Arah pembicaraan terasa
berubah drastis. Tidak, memang berubah. Orang dewasa memanggil wanita yang
lebih muda "Mama". Itu tidak normal—justru karena itulah sejumlah
pria tertarik padanya. Eh, Ritsuka tidak akan memungut bayaran dariku kan di akhir?
Namun, Ritsuka yang
tampaknya cukup polos, memiringkan kepalanya dan bertanya, "roleplay...?"
"Ah. Aku tahu. Rou-kun
suka tipe 'Ibu', ya? Tidak masalah sih, tapi 'Emak' tidak boleh! Anak-anak
tidak memanggil 'Emak'! 'Bunda' juga abu-abu!"
"Menurutku
tindakan Ritsuka sendiri yang terasa abu-abu."
"Aku sudah
memikirkannya sejak lama~. Rou-kun memang memanjakanku, tapi tidak pernah
benar-benar bermanja padaku. Kurasa itu karena Rou-kun tidak punya jiwa
anak-anak!"
"Sepertinya tidak
ada hubungannya..."
"Mungkin saja ada
hubungannya! Ayo cepat, panggil aku Mama~♡"
Mungkinkah dia hanya
ingin dipanggil begitu? Kupikir, dari sudut pandang jiwa anak-anak, mengkritik
hal itu pasti tabu. Dipikir-pikir, seandainya nanti kami punya anak, bagaimana
aku harus memanggil Ritsuka di depan anak kami? Memanggil Ritsuka 'Mama' di
saat itu mungkin baik untuk pendidikan putra atau putri kami di masa depan.
Kalau begitu, bukankah
aku harus membiasakan diri dari sekarang?
Begitulah aku membuat
alasan di dalam otakku dan memutuskan untuk ikut dalam permainan ini.
"Ma... Mama."
"Ada perlu apa,
Nak? Cepat kerjakan PR-mu!"
"Ke arah
pendidikan rupanya."
Mama yang berbeda.
Meskipun itu juga salah satu bentuk Mama yang ada.
Ritsuka terlihat puas
dengan wajah seperti baru saja berhasil. Aku justru tidak puas.
Kurasa meskipun ini
berakhir sekarang, aku tidak akan membayar biaya apa pun.
"Kalau
memanggilnya dengan malu-malu, aku tidak mau jadi Mama. Anak-anak tidak malu
saat memanggil Mama!"
"Begitu..."
"Hari ini sudah
malam jadi kita tidak akan latihan lebih lanjut, tapi di hari libur berikutnya
kita akan melakukannya dengan sungguh-sungguh."
"Serius?"
"Serius."
Api aneh menyala dalam
diri Ritsuka. Api untuk mengajariku jiwa anak-anak.
Atau mungkin
mengerjaiku dan bermain-main seperti ini justru merupakan jiwa anak-anak yang
sebenarnya.
‘Berusahalah
semampumu—Ibu.’
"Berisik!"
***
Maka, di hari libur
berikutnya. Aku dan Ritsuka memutuskan untuk jalan-jalan tanpa tujuan.
Kami memang sesekali
melakukan ini, tapi kali ini ada syaratnya.
"Ayo pergi, Rou-kun.
Panggil aku Mama juga di luar, ya?"
"Agak sungkan
melakukannya di depan umum..."
‘Cepat pergi sana! Aku
sudah bayar!’
(Kau tidak membayar apa
pun.)
Suara Nyan-kichi
terdengar dari punggungku. Dia berada di dalam ransel khusus kucing. Tidak
seperti anjing yang bisa diajak jalan-jalan, Ritsuka ingin Nyan-kichi menghirup
udara segar secara teratur.
Hari ini cerah dan
sejuk di musim gugur. Berjalan sedikit dari rumah kami, ada area tepi sungai.
Ada juga jalan setapak, lapangan serbaguna, tempat barbekyu, dan cukup
menyenangkan hanya dengan berjalan-jalan.
"Cuacanya
bagus~"
"Begitu ya."
‘Kenikmatan menyuruh
manusia membawaku! Sungguh luar biasa.’
(Tetap saja kau
binatang.)
Pikiran kucing gendut.
Aku berpikir kapan Nyan-kichi akan menjadi sangat gemuk.
Area tepi sungai cukup
ramai karena hari libur.
"Ah, lihat, Rou-kun."
"Ada apa,
Ritsuka?"
"Eh?"
"............Ada
apa, Mama?"
Menakutkan.... Aku
ditatap dengan tatapan yang mengerikan.... Seperti Mama Iblis....
"Sepertinya ada
sesuatu yang terjadi di sana! Ayo kita lihat!"
Ritsuka berlari.
Kerumunan kecil terlihat di kejauhan. Aku segera mengejarnya.
‘Oi!!! Jangan
menggoyangkan aku!!!’
"Bersabarlah..."
Saat kami mendekat,
tampaknya seorang pemain pertunjukan sedang menampilkan sesuatu. Banyak
anak-anak di kerumunan itu, melihat dengan saksama. Di belakang anak-anak, ada
orang-orang yang tampaknya adalah orang tua mereka.
"Wah. Sulap!"
"Hee. Padahal
bukan di jalanan..."
Jumlah orang yang lewat
tidak terlalu banyak dibandingkan di tengah kota, tetapi area tepi sungai luas
dan pemandangannya bagus, dan yang terpenting, orang yang lewat di sini
terlihat santai. Kaleng untuk menerima uang tip juga diletakkan dengan rapi.
Pria muda yang
tampaknya seorang pesulap, beberapa kali mengepalkan dan melepaskan tangan
kanannya.
Kemudian, entah
bagaimana, dari tangannya keluar kelopak bunga yang tak terhitung jumlahnya dan
beterbangan tertiup angin.
"Keren sekali! Eh,
bagaimana tadi caranya?"
"Entahlah.... Tapi
gerakannya cukup terlatih, jadi orang itu pasti sudah terbiasa—"
"............"
"Eh? Kenapa?"
Ritsuka menatapku
dengan tatapan setengah mata yang intens saat aku dengan santai melihat sulap
itu.
"A-ada apa, Ritsu—...
Mama."
"Anak-anak!
Melihat hal seperti itu! Mereka sangat senang dan bersemangat!"
Ritsuka menunjuk
anak-anak yang menjadi penonton. Memang, setiap kali pesulap itu
mempertunjukkan satu trik sulap, anak-anak bersorak dengan gembira, seolah-olah
mereka melihat keajaiban di depan mata mereka.
"Makanya jangan
mengatakan hal aneh seperti 'Gerakannya terlatih sekali...'!"
"Aku tidak
mengatakan itu..."
"Jangan
membantah!"
"Maaf."
Aku dimarahi. Beberapa
orang tua melirik kami, jadi aku merasa malu.
Meskipun begitu...
Ritsuka benar. Anak-anak dan Ritsuka dengan jujur menikmati sulap itu dari hati
mereka. Sementara aku, hanya melihat gerakan pesulap, dan bahkan mencoba
mencari tahu triknya,
seperti anak SMP yang
sedang puber. Ini sama sekali bukan tindakan yang menunjukkan jiwa anak-anak.
"Baiklah,
selanjutnya, adakah yang mau membantu melakukan sulap?"
Pesulap itu berbicara
kepada anak-anak dengan senyum. Memang, dengan melibatkan penonton seperti ini,
efek untuk meningkatkan kepercayaan terhadap sulap akan semakin besar.
Anak-anak mengangkat
tangan mereka satu per satu. Pemandangan yang sangat mengharukan—
"Ayo..."
"Eh?"
Ritsuka menyikut
perutku. Ini....
"Kita harus pergi.
Kamu kan anak-anak?"
"Ancaman...?"
Aku ingin mendapatkan
jiwa anak-anak, bukan menjadi anak-anak.
Membuat masalah untuk
anak-anak sungguhan seperti ini tentu saja—
"Baik baik baik
baik baik baik baik baik baik baik baik!!"
—Yah, aku tetap pergi.
Mau bagaimana lagi jika itu yang diinginkan Ritsuka.
Suara rendahku
menggema, menembus suara-suara tinggi anak-anak. Orang tua melihatku dengan
wajah seperti berkata 'Orang ini waras tidak sih'. Kakak pesulap itu terkejut
dengan monster yang tiba-tiba muncul dari antara penonton, dan anak-anak secara
naluriah menyadari, 'Orang ini berbahaya', dan semuanya terdiam.
"Eh.... K-kalau
begitu... kakak yang sangat bersemangat di sana, ke sini..."
"Siap."
‘Kau ini.... Sudahlah,
aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi...’
Nyan-kichi juga
terlihat pasrah. Biarkan saja aku.
Tatapan anak-anak dan
orang tua menusukku. Apa begini rasanya dilihat seperti melihat hewan
langka....
"Baiklah, Kakak...
bisa tolong genggam tangan kananku seperti ini dengan kedua tangan Kakak?"
"Siap."
Kakak pesulap membuka
tangan kanannya dan menunjukkannya padaku dan penonton. Sebuah upaya untuk
menunjukkan bahwa dia tidak memegang apa pun. Tugasku adalah menutupi kepalan
tangan yang dibuat kakak itu dengan tanganku.
Artinya... aku
menciptakan situasi di mana tidak ada trik yang bisa dilakukan. Begitu ya.
"Disegel rapat,
sampai selembar kertas pun tidak bisa lewat."
"Aku tidak minta
tekanan sampai seperti itu, cukup ringan saja..."
"Tapi kan ada
kemungkinan kalau-kalau."
"Kamu yang justru
mencoba menciptakan kemungkinan itu..."
Apakah genggaman lemah
seperti orang tua yang dicurigai melakukan sesuatu akan baik-baik saja...?
(Sentuhan ini—apa dia
memang sudah memegang sesuatu di tangannya?)
Upaya untuk menunjukkan
bahwa dia tidak memegang apa pun di tangannya ternyata bohong. Saat menunjukkan
telapak tangan, dia menyembunyikan sesuatu di punggung tangan,
dan saat menunjukkan
kepalan, dia menyembunyikan sesuatu di dalam kepalan. Dia terlihat melakukan
sulap setelah aku menutupi tangannya, tapi sebenarnya aku menutupi setelah
persiapannya selesai.
"Baik! Kalau
begitu, Kakak, lepaskan tangannya!"
Berpikir dari sudut
pandang anak-anak. Anak-anak kadang jujur dan kadang tidak. Artinya—
"Kalau aku tidak
melepaskannya...?"
"Aku akan
memanggil polisi."
"Begitu..."
Lebih baik kulepaskan
saja. Saat kakak itu membuka tangannya, di sana ada beberapa miniatur binatang.
"Dengan kekuatan
kakak ini, binatang-binatang ini muncul~!"
Sepertinya begitu yang
terjadi. Dari sudut pandang anak-anak, ini adalah adegan yang patut dikagumi.
"Inikah—...kekuatanku?"
"Usia jiwa
anak-anakmu seperti anak SMP..."
Entah kenapa Ritsuka
terlihat pasrah. Eh? Tapi kalau ceritanya sulap itu berhasil karena kekuatanku,
bukankah seharusnya aku ikut bermain sesuai jiwa anak-anak...?
Setelah menonton
beberapa trik sulap lagi, kami diucapkan terima kasih oleh kakak pesulap yang
senyumnya agak dipaksakan, dan kami meninggalkan tempat itu.
"Rou-kun itu. Jago
dalam melontarkan tsukkomi, tapi pada dasarnya dia itu boke."
"Kalau Mama bilang
begitu, mungkin memang begitu."
‘Orang bodoh yang tidak
sadar dirinya bodoh adalah yang paling berbahaya.’
Aku hanya berusaha
memahami jiwa anak-anak, entah kenapa aku malah diejek oleh istri dan
kucingku....
"Ah, lihat, Rou-kun.
Mereka bermain bisbol di sana. Mau lihat sebentar?"
"Boleh."
Lapangan serbaguna
tampaknya sudah digunakan untuk bermain bisbol, kami pindah ke bangku di
dekatnya.
"Olahraga itu
bagus~. Terasa menyegarkan!"
"Aku dan Ritsu...
Mama, juga tidak pernah berolahraga."
Lebih tepatnya, kami
tidak punya waktu untuk berolahraga. Aku dan Ritsuka punya banyak hal yang
harus diurus.
Ritsuka bergumam sambil
menatap pertandingan bisbol.
"Ingin melihat....
Rou-kun memukul home run di pertandingan bisbol...."
"Eh. Tidak
mungkinlah. Ini bukan tempat latihan memukul."
"Jiwa
anak-anak..."
"Jangan kira kalau
kamu bilang itu, aku akan menuruti semua perkataanmu."
Pertandingan sudah
dimulai. Tidak mungkin ikut dengan gaya 'Bolehkah aku mencoba satu pukulan?'.
Ritsuka sepertinya juga
mengerti itu—dan, sebuah bola foul terbang ke arah kami.
"Wah."
"Aduh."
Ritsuka mencoba
menghindar dengan gerakan minimal, tapi dengan lebih cepat aku menangkap bola
dengan tangan kosong.
"Kamu tidak
apa-apa, Ritsuka?"
"Ya. Tangan Rou-kun
juga tidak sakit?"
"Aku baik-baik
saja. Tapi meskipun jaraknya lumayan jauh, bola foul yang hebat."
"Lumayan juga kau,
anak muda."
"Uwa!?"
Karena aku fokus pada
bola yang kutangkap dan Ritsuka, aku tidak menyadari kehadiran di belakangku.
Nyan-kichi yang ada di punggungku sedang tidur dan tidak bereaksi. Tanpa sadar
kami berbalik, seorang wanita tua berpakaian olahraga menatap kami.
"Emm, Nenek. Apa
Nenek ikut bermain bisbol di sana? Bolanya akan kukembali—"
"Perawakanmu,
sepertinya bukan orang biasa. Refleksmu juga bagus. Aku suka!"
"Hah?"
"Kau cocok menjadi
asisten dan pemukul untuk 'Tim Orang Tua' kami! Anak muda! Apa kau punya waktu
sekarang...?"
"Keramahan yang
tiba-tiba ini terasa menyeramkan..."
"Nenek punya mata
yang bagus! Rou-kun itu pemukul jenius!"
"Hoii,
Ritsuka."
"Begitu—...kemarilah!"
Wanita tua misterius
itu dengan paksa menarikku. Aku tidak bisa kasar pada orang tua, jadi aku
menitipkan Nyan-kichi pada Ritsuka, dan untuk sementara mengikuti wanita tua
itu. Wanita tua yang sangat bersemangat....
Dan, tiba-tiba—aku
berdiri di batter's box sambil memegang tongkat pemukul.
(Apa ini boleh secara
aturan? Yah, ini kan bisbol amatir, mungkin tidak ada aturan yang ketat...)
"Kakak, apa Kakak
belum pernah main bisbol?"
"Eh? Ah,
iya."
Penangkap tim lawan
memanggilku. Mungkin dia langsung tahu dari posisi memukulku.
Penangkap itu bergumam
"Hee" dan mengirim sinyal pada pelempar.
(Apa mereka akan
bermain pelan-pelan denganku...)
"Semangat! Rou-kun!"
Ritsuka berseru dari
belakang net. Aku mencoba melambaikan tangan—tiba-tiba bola terbang ke wajahku.
"Ugh!?"
Aku mengayunkan tongkat
pemukul seperti pedang dan menepis bola. Bola itu menggelinding ke area foul.
"Ternyata dia
bukan orang biasa~. Pantas saja Nenek Pachi tiba-tiba memanggilnya."
"Mau membunuhku!?
Dangerous ball itu pelanggaran aturan!?"
"Di wilayah kami,
dangerous ball itu bagian dari bela diri. Kalau tidak, kami yang akan
celaka."
"Bisbol macam apa
itu!?"
Bola dangerous ball
tadi juga sangat cepat. Bukan level bisbol amatir, atau lebih tepatnya, bisbol
amatir di sini aneh. Aku datang ke tempat yang aneh.
Meskipun begitu, aku
ingin menunjukkan sisi baikku di depan Ritsuka. Untungnya, kecepatan bola
secepat apa pun masih kalah dengan kecepatan peluru. Mataku benar-benar bisa
mengikuti arah bola. Setelah itu, hanya perlu memukulnya dengan tongkat,
sepertinya tidak akan ada masalah.
(Meskipun sudah
berkarat, aku sudah banyak pengalaman. Bola seperti ini, membalasnya itu
mudah...!)
"Strike! Pemukul
out!"
Dalam sekejap, aku
terkena tiga strike. Ah, begitu. Berbeda dengan peluru, kecepatan bola bisbol
berubah setiap lemparan. Tidak semuanya bola cepat, ada juga bola melengkung
yang merusak posisiku. Aku kalah.
"Wah, lumayan juga
Kakak. Padahal belum pernah main, tapi bisa melihat bola dengan benar."
"Hahaha.... Tapi
karena strike out, jadi tidak ada artinya..."
Aku dipuji oleh
penangkap itu, tapi aku kembali ke bangku dengan lesu. Aku menundukkan kepala
pada wanita tua itu sebagai permintaan maaf.
"Mati sana."
"Tidak ada
ampun..."
"......Di sana ada
minuman, bawakan juga untuk istrimu. Hasil hari ini pantas dihukum mati, tapi
anak muda ini punya potensi. Datanglah lagi di hari senggang. Akan kubiarkan
kau memukul."
"Terima kasih.
Kalau ada waktu, aku akan datang lagi."
Bisbol amatir yang
sangat santai dalam segala hal. Saat aku sedikit lengah, terjadi perkelahian di
mound. Sepertinya isinya orang-orang yang mudah marah... apa perkelahian memang
terjadi di bisbol amatir?
"Rou-kun, kerja
bagus! Tidak terlalu keren sih!"
‘Payah (tertawa)’
Ritsuka dan Nyan-kichi
menungguku, jadi aku meninggalkan lapangan.
"Ternyata bisbol
cukup menarik. Kalau aku memainkannya saat masih kecil, mungkin aku akan
ketagihan."
"Oh, baguslah. Apa
kamu sudah mendapatkan jiwa anak-anak?"
"Entahlah."
Pada akhirnya, aku
masih belum mengerti tentang jiwa anak-anak. Aku merasa hanya dijadikan bahan
ejekan Ritsuka, tapi karena itu juga menyenangkan, jadi tidak masalah.
Aku duduk di bangku dan
dengan santai memandangi permukaan sungai. Di tengah itu, aku berkata pada
Ritsuka di sebelahku.
"...Entah itu jiwa
anak-anak atau bukan,"
"Hm?"
"Menurutku, dunia
ini dipenuhi dengan berbagai hal menyenangkan. Anak-anak peka terhadap hal itu,
dan hal yang dianggap membosankan oleh orang dewasa bisa terasa menarik bagi
anak-anak. Jiwa anak-anak adalah kemampuan untuk menangkap hal-hal itu dengan
tajam, yang hilang saat kita dewasa."
Entah bagaimana,
kesimpulan seperti itu muncul dalam benakku. Hal-hal yang kuterima dengan biasa
saja, diterima dengan mata berbinar oleh anak-anak, dan orang dewasa yang
memiliki jiwa anak-anak seperti Ritsuka juga memberikan reaksi yang sama. Jiwa
anak-anak bisa disebut sebagai kepekaan. Ritsuka terkekeh.
"Anak-anak tidak memikirkan
hal sesulit itu~"
"Serius?"
"......Tapi,
mungkin benar yang Rou-kun katakan. Orang dewasa cepat sekali merasa bosan.
Menurutku, hal yang dulu kita miliki dan hangat lalu menjadi dingin itu
sebenarnya menakutkan."
"Seperti hal yang
kita sukai waktu kecil, lalu saat dewasa sama sekali tidak tertarik...?"
"Mungkin
begitu~"
Ritsuka setuju dengan
agak asal. Mungkin dia sendiri juga tidak terlalu paham.
Semua orang pernah
menjadi anak-anak. Hanya saja, suatu saat mereka akan dewasa. Tidak mungkin ada
orang yang tidak punya jiwa anak-anak. Karena itu, aku pasti pernah
memilikinya. Hanya saja, aku tidak ingat.
"Dalam sekali...
jiwa anak-anak. Tapi berkat Ritsuka, aku merasa sedikit memahaminya."
"Benarkah? Kalau
begitu, karena sudah hampir sore, ayo pulang? Kita harus menyiapkan makan
malam!"
‘Aku mau tidur di
rumah, aku setuju.’
"Benar juga. Ayo
pergi—Mama."
"Kamu sudah bisa
memanggilnya dengan sangat natural..."
Padahal Ritsuka sendiri
yang menginginkannya, tapi begitu aku terbiasa, dia malah sedikit menarik diri.
Ritsuka berdeham dengan
dibuat-buat.
"......Untuk
sekarang, panggil aku Ritsuka saja, ya?"
'Untuk sekarang',
berarti dia ingin aku mengubah panggilanku suatu saat nanti.
Tapi waktunya bukan
hari ini atau besok.
Jadi, aku sengaja
menunjukkan wajah nakalku pada Ritsuka.
"Eh? Aku cukup
suka memanggilmu Mama? Jangan dingin begitu, Mama."
"Ih! Rou-kun, apa
kamu orang yang suka mengatakan itu!?"
"Iya dong.
Anak-anak kan memanggil Mama."
Kami berdua mulai
berjalan sambil bergandengan tangan. Aku tidak selalu dikerjai Ritsuka.
Sekarang aku sangat ingin menggodanya—mungkin itulah jiwa anak-anakku.
‘Huhuhu, aku kapok
dengan anak-anak~’
(Tiba-tiba bicara apa
kucing ini...)
Hari di mana hubungan
aku dan Ritsuka berubah akan segera tiba.
—Sampai hari ulang
tahun pernikahan kami, tinggal beberapa hari lagi.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.