Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 5 V5

Ndrii
0

Chapter 5

Getaran Semangat




Makan malam selesai, dan setelah mandi, akhirnya aku bisa menarik napas lega.


Biasanya, aku jarang sekali berbicara satu lawan satu dengan orang lain selain Toiro dan Sarugaya. Namun, karena ada sesi wawancara hari ini, aku berbincang dengan Mayuko, Kasukabe, dan bahkan Funami. Itu jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya bagiku. Sebuah pencapaian besar.


... Aku lelah.


Aku berbaring sebentar di tempat tidur, menarik selimut, dan mulai memainkan ponsel. Awalnya hanya berniat untuk beristirahat sejenak, tapi aku bisa merasakan keinginan untuk tertidur mulai merayap. Ah, tak masalah. Biarlah malam ini berjalan seperti apa adanya.

Dengan pemikiran itu, aku menyusup lebih dalam ke dalam selimut...


"Tok, tok, tok! Permisi masuk~!"


"Mengucapkan suara ketukan setelah membuka pintu itu sama sekali tidak ada gunanya..."


"Ehehehe."


Tetangga sebelah, Toiro, masuk ke kamarku di saat seperti ini.


"Ibu bilang, kalau kamu mau tidur, matikan lampunya dulu."


"Jadi ketahuan ya kalau aku hampir ketiduran..."


"Maaf ya, jadi mengganggu tidurmu," katanya sambil terkekeh. 


Dia duduk di tepi tempat tidur dengan santai. Sikapnya yang agak formal itu terasa mencurigakan. Aku pun bangkit dari tempat tidur dan bertanya, 


"Ada apa?"


"Hmm... Sebenarnya nggak ada apa-apa sih, cuma..."


Dia melirik ke arahku sekilas, nadanya seakan menyiratkan sesuatu.


"Apa?"


"Yaa... Aku cuma kepengin ketemu, makanya aku datang."


"...Oh."


"Ah, kamu kaget kan? Ngaku aja, pasti kaget."


Dia tersenyum penuh semangat sambil mendekatkan wajahnya, menatapku lekat-lekat.


"T-tidak juga..."


Yah, sebenarnya sih iya... tapi rasanya agak memalukan untuk mengakuinya. Aku pun mengalihkan pandangan ke samping, tapi saat itu juga—


"Aku juga."


Aku mendengar suara lembutnya di telingaku.


"Hah?"


"Aku juga. Dari tadi aku deg-degan banget sebelum ke sini. Rasanya seperti sudah lama sekali nggak ketemu."


"Ah... Iya, mungkin karena hari ini kita nggak pulang bareng."


"Kan? Kan? Aku pulang bareng Urara-chan tadi, tapi setelah dia belok ke rumahnya, aku merasa kesepian sampai sampai di rumah."


"Ya, biasanya kita selalu pulang bareng. Aku juga merasa begitu, sih."


Sejujurnya, saat Toiro masuk ke kamarku tadi dan aku melihat wajahnya, aku merasa sangat senang. Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang.


Dulu, ketika kami hanya sekadar teman masa kecil, aku tidak pernah membayangkan akan merasakan hal seperti ini terhadapnya...

Sepertinya Toiro juga berpikiran sama, karena dia tiba-tiba berkata, 


"Belakangan ini, kita jadi agak melayang, ya?"


"Ya... Sepertinya begitu."


"Iya, kan?"


Dia tertawa lagi, seperti biasa.


"Makanya, hari ini aku sengaja ingin melakukan sesuatu yang biasa kita lakukan sebagai teman masa kecil!"


"Sengaja, ya?"


"Yap! Aku ingin tetap menjaga hubungan kita yang seperti dulu juga."


Sambil berbicara, Toiro berdiri dan berjalan ke arah televisi. Dia menyalakan konsol game dan mengambil satu kontroler, lalu menyerahkannya kepadaku dengan senyuman.


"Jadi... ini permainan yang biasa kita mainkan?"


"Ayo, kita main!"


Saat aku menekan tombol-tombol di kontroler, layar pembuka dari RPG klasik yang disebut sebagai mahakarya abadi muncul. Belakangan ini, kami memutuskan untuk mencoba permainan lama, jadi kami membelinya bersama dan mulai memainkannya.


"Tunggu, kita berhenti pas di bagian yang seru banget, ya?"


"Iya, makanya. Aku sempat kepikiran buat main sendirian, loh."


"Astaga, kamu masih manusia?"


"Aku berhasil menahan diri, jadi masih aman, kan?"


Sambil bercanda seperti itu, kami melanjutkan permainan dari terakhir kali. Meskipun malam sudah cukup larut, sesi bermain game darurat pun dimulai. Padahal besok masih harus sekolah...


Sambil berdiskusi dan saling bertukar pendapat, kami mencoba menaklukkan permainan ini. Aku berhasil melakukan kombo dan mengalahkan musuh, lalu Toiro bertepuk tangan dengan antusias.


Ketika dia yang memegang kontroler dan berhasil melewati dungeon, dia memasang ekspresi bangga penuh kemenangan. Ketika kami berhasil mengalahkan salah satu bos menengah setelah berusaha mencari strategi terbaik, secara alami kami saling melakukan tos kepalan tangan.


"Masih ada waktu, nih."


"Lanjut aja ke level berikutnya!"


"Katanya, musuh di dungeon ini cukup sadis. Aku baca di SNS, ada yang sampai melempar kontroler karena frustrasi."


"Melempar barang? Kekerasan itu tidak bisa dimaafkan."


"Ngomong-ngomong soal kekerasan, bukankah waktu kita balapan di Mario Race dan kamu kalah, kamu sempat mukulin bantal aku berkali-kali?"


"I-itu masih aman! Kan cuma bantal. Paling nggak, aku nggak mukul kamu beneran..."


"Jadi, kamu menganggap bantal itu sebagai aku!? Wah, kekerasan!"


"Itu bercanda, bercanda! Udah, ayo cepat lanjut! Saatnya menunjukkan kekompakan kita!"


Seiring berjalannya waktu, permainan semakin seru. Kurasa aku hampir lupa bagaimana rasanya benar-benar tenggelam dalam sebuah game seperti ini. Akhir-akhir ini, karena sibuk dengan persiapan festival sekolah, setiap kali bermain game di rumah pun, kami selalu membahas rencana dan mencoba berbagai ide. Kami tidak bisa benar-benar fokus hanya pada permainan.


Sekarang, giliran Toiro yang memegang kontroler. Diam-diam, aku mencuri pandang ke arahnya. Toiro menatap layar dengan senyum percaya diri, lalu tiba-tiba matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka, dan wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir keras. 

Beberapa detik kemudian, dia berteriak "Ah!" sambil menunjuk layar, lalu menoleh padaku dengan senyum lebar.


"Barusan itu aksi hebatku, kan?"


"Iya, luar biasa... Eh, aku malah sempat melamun tadi."


"Eh? Hati-hati, kalau kamu melamun, aku bakal ninggalin kamu di padang rumput ini! Sebelum pagi, kamu pasti sudah jadi makanan monster!"


"Jangan dong. Kalau aku mati di sini, siapa yang akan menyelamatkan desa?"


"Fufufu, itulah semangat seorang pahlawan, Masaichi! Ayo berangkat! Demi para penduduk desa, gua tempat para musuh bersembunyi sudah ada di depan mata!"


Dengan penuh semangat, Toiro mengangkat tangan kanannya ke atas sambil berseru "Ooooh!". Melihatnya seperti itu, aku berpikir dalam hati...


—Aku benar-benar menyayangi waktu-waktu seperti ini, saat kami bisa tenggelam dalam hal yang kami suka bersama.


Aku teringat saat Toiro pertama kali menunjukkan minat pada hobiku dan ikut larut dalam keseruan ini. Saat itu, aku merasa sangat bahagia. Aku merasa diterima dan diselamatkan. Sejak hari itu, setiap hariku terasa lebih menyenangkan.


Waktu bersama Toiro ini sangat berharga bagiku. Dan jika suatu saat nanti kami benar-benar menjadi sepasang kekasih, aku ingin terus membuatnya menikmati waktu seperti ini. Aku ingin kami terus bersenang-senang bersama.


—Aku akhirnya menemukan apa yang benar-benar ingin kulakukan.



Pada saat yang sama, aku juga memikirkan hal-hal yang harus kuusahakan—hal-hal yang perlu kulakukan agar bisa mencapai tujuan itu. Sebenarnya, aku sudah memikirkannya sejak lama. Mungkin bisa dibilang, aku akhirnya mengambil keputusan. Seakan-akan, pandanganku tiba-tiba menjadi lebih terang dan terbuka.


Jika kami hanya tetap menjadi teman masa kecil, mungkin aku akan menganggap waktu seperti ini sebagai hal yang biasa saja. Namun, aku tiba-tiba memikirkan sesuatu.


Sejak kami menjadi pasangan—meski hanya sementara—aku menyadari betapa berharganya momen ini. Waktu yang kami habiskan bersama menjadi sesuatu yang spesial. Hari ini, Toiro dengan sengaja bertingkah seperti teman masa kecilku yang biasa. Mungkin, dia juga merasakan hal yang sama denganku.


"Ah! Kamu melamun lagi! Aku udah mau masuk gua, nih!"


"Tunggu, kita simpan dulu permainannya."


"Hampir lupa! Nice, Masaichi!"


Toiro tertawa dan menoleh ke arahku sambil berkata "Aman-aman!" dengan wajah ceria. Melihat ekspresinya, aku pun tak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum.



Setelah permainan mencapai titik yang pas untuk berhenti, kami beralih ke sesi membaca manga dan novel ringan.


Jam sudah hampir menunjukkan tengah malam. Sebenarnya, sudah waktunya kami berpisah agar besok tidak mengantuk di sekolah, tapi entah kenapa, aku merasa enggan mengatakannya. Toiro pun diam saja, tetap duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur sambil membaca novel ringan.


Di atas meja kecil, ada dua cangkir berisi teh. Keduanya memang cangkir milik rumahku, tapi yang bergambar kucing sudah sejak lama menjadi cangkir khusus untuk Toiro.


"Ngomong-ngomong, kamu ada rencana untuk Natal?"


Aku bertanya dengan nada santai.


Tapi sebenarnya, ini adalah investigasi awal yang cukup penting. Saat ini, kami belum punya rencana apa pun untuk Natal. Jika Toiro punya keinginan tertentu, aku bisa menyusun rencana kencan yang sesuai.

Namun, jawabannya ternyata...


"Hm? Enggak ada, sih. Bikin rencana juga ribet, kan? Mending kita jalan-jalan aja santai."


Dia menjawab dengan santai, masih menatap bukunya sambil mengambil cangkirnya.


"Santai aja gitu... Emang nggak apa-apa?"


"Iya, santai aja. Ah, gimana kalau kita main ke pelabuhan? Di sana banyak tempat belanja juga, lho. Mal depan stasiun sih enak, tapi kita bisa ke sana kapan aja. Lagipula, suasana di sana pasti lebih terasa Natalnya. Ada hiasan-hiasan Natal juga."


"Oh, bagus juga idenya. Oke, kita ke sana!"


Aku mengangguk, dan Toiro tersenyum kecil setelah meletakkan cangkirnya.


"Seperti kencan, ya."


"Kamu sendiri yang bilang itu... Tapi, bukannya ini memang kencan?"


"Ehehe. Iya, kencan, ya!"


Secara resmi, kami memang belum benar-benar berpacaran. Tapi tetap saja, ini adalah kencan Natal kami. Melihatnya tersenyum bahagia seperti itu, aku jadi tidak sabar menantikan tanggal 24.


—Sampai saat itu tiba, aku harus bersiap-siap.


Aku kembali membayangkan rencana yang tadi sudah kupikirkan.


—Aku pasti akan melakukannya.


Saat itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan getaran semangat yang luar biasa.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !