Maigo no Onnanoko wo Ie Made Todoketara Chapter 10

Ndrii
0

Bab 10

Langkahku Sendiri




Sabtu siang, sekitar pukul satu, aku sudah janjian dengan Shirakawa di taman dekat rumah.


Setiap kali datang ke taman ini, aku selalu teringat akan Natsuno.

Jika berjalan sedikit lebih jauh, aku akan menemukan minimarket tempat dia pernah tersesat.


Aku menutup mata, membiarkan kenangan itu mengalir seperti baru terjadi kemarin.


"Kuroda-kun?"


Mendengar suara yang familier, aku menoleh. Di sana berdiri dia, memegang tas bergaya.


"Shirakawa, k-kamu terlihat sangat modis hari ini!"


"Aku habis belanja bareng teman-teman cewek."


"O-oh iya, kamu memang bilang begitu tadi."


"Kuroda-kun sendiri? Apa rencana hari ini?"


"Aku? Sampai ketemu kamu tadi, aku cuma malas-malasan di rumah."

Sebenarnya, aku terlalu gugup. Setelah memilih baju dan merapikan rambut, aku hanya mondar-mandir di rumah tanpa tahu harus berbuat apa.


Mendengar jawabanku, dia tersenyum dan berkata, "Iya, iya! Aku juga pernah begitu!"


Hanya dengan mendengar dia berkata begitu, hatiku terasa hangat. Aku sendiri terkejut dengan perasaan itu.


"Jadi… ada apa, ya?"


Alasan aku mengajaknya bertemu hari ini tidak lain adalah untuk memberikan hadiah.


Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap matanya.


"Jadi, um…"


"Ada apa?"


"A-ah, itu…"


Dia menatapku dengan kepala sedikit dimiringkan, tampak penasaran.

Tapi aku terlalu gugup untuk memulai pembicaraan.


"Kalau belum siap, besok juga nggak apa-apa kok?"


"Hah?"


"Maaf ya? Aku yang tiba-tiba menentukan jadwal."


Ini bukan salahnya. Ini salahku karena tidak cukup berani.


"Kalau begitu, sampai besok, ya."


Dia berbalik hendak pergi.


"Tunggu!"


Karena panik, aku berseru lebih keras dari yang seharusnya.

Dia langsung menatapku dengan ekspresi terkejut.


"A-ada apa?"


"Ini…"


"Apa itu?"


Jantungku berdegup kencang. Suara dan tanganku yang memegang kantong plastik ikut bergetar.


Aku tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa.


Sempat terlintas di benakku untuk membatalkan niat ini, tapi saat aku mengecek ponsel, ada pesan dari Ikuta dan Imagawa di LONE.

"Pastikan kamu memberikannya, ya."


Aku sadar, aku harus menyampaikan perasaan ini dengan jujur.


"Sebagai ucapan terima kasih… Aku nggak bisa terus-menerus menerima tanpa memberi balasan."


Mendengar suaraku yang bergetar, dia sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum lembut.


"Terima kasih."


Aku merasa sangat bahagia mendengar kata itu. Suaranya terdengar sedikit bergetar.


"Aku nggak tahu harus memberi apa…"


Aku melanjutkan dengan suara pelan.


"Kalau kamu nggak suka, buang saja…"


Padahal aku tahu dia bukan tipe orang yang akan melakukan itu, tapi mulutku tanpa sadar mengatakannya.


"Apa pun itu, kalau dipilih dengan sungguh-sungguh untukku, aku pasti senang."


"Be-benarkah…?"


"Terima kasih."


Tersentuh oleh kata-katanya, aku hampir menangis. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar bersyukur telah memberikannya.


"Oh iya… ada satu lagi."


"Hm?"


"Aku ingat kamu pernah bilang ingin membaca novelku."


Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku.


"Sudah selesai?"


"Y-ya… kurang lebih."


Aku merasa canggung, tapi aku ingin menyampaikan maksudku dengan jujur.


"Aku ingin kamu membacanya…"


"Baiklah!"


Dia mendengarkan perkataanku sampai selesai, lalu menjawab dengan penuh semangat setelah jeda singkat.


Kelanjutan cerita itu—bab terakhir dan epilog—ditulis berdasarkan pengalaman pribadiku.


Kalau ini adalah aku yang dulu, aku tidak akan pernah membiarkan orang lain membacanya.


"Sebenarnya, aku nggak berniat menunjukkannya…"


"Lalu, kenapa sekarang kamu mau memberikannya padaku?"


Dia menatapku dengan kepala miring, bertanya dengan nada lembut.


"A-aku juga butuh pendapat orang lain, mungkin?"

Aku mengangkat wajahku dan menatap matanya saat menjawab.

Dia juga menatap mataku dengan penuh ketulusan


"A-aku rasa itu bukan hal yang terlalu besar."


Aku menjawab dengan tenang.


"Tapi menurutku, ada sedikit perubahan dibanding dulu."


"Mana mungkin kamu bisa tahu secepat itu?"


"Aku tahu, kok! Soalnya kita sering bersama belakangan ini."


Dia menjawab dengan penuh percaya diri.


"Kalau begitu, apa yang berubah?"


Aku bertanya dengan nada sedikit ragu, dan dia menatapku dalam-dalam. Aku pun membalas tatapannya tanpa mengalihkan pandangan.


"Hehe, lihat? Kamu memang berubah!"


"Jadi apa yang berubah?!"


Aku mulai merasa frustrasi, seolah-olah dia sengaja membuatku penasaran.

Sebenarnya, aku juga ingin tahu, tapi rasa gugup membuat jantungku hampir tidak kuat menahannya.


"Dulu kamu selalu menghindari tatapan mataku, tapi sekarang kamu mau menatapku."


"Menatapmu…?"


"Iya, kamu menatap mataku."


"Dulu juga aku menatapmu, kan?"


Aku berbicara seolah-olah tidak ada yang berubah, tapi dia menggelengkan kepala.


"Dulu, baik di sekolah maupun di rumah, setiap kali mata kita bertemu, kamu pasti langsung mengalihkan pandangan."


"Kalau dipikir-pikir… mungkin itu benar."


"Tuh, kan? Tapi sekarang, kamu berani menatap mataku, dan aku senang akan hal itu."


Dia memeluk erat hadiah yang aku berikan sebelumnya. Alasan aku selalu mengalihkan pandangan darinya adalah karena aku merasa silau melihatnya—terlalu bersinar bagiku.

Selain itu, dia adalah gadis populer di sekolah, sementara aku hanyalah seorang siswa yang tidak menonjol di kelas.


Ada saat-saat di mana aku terlalu memikirkan pandangan orang lain. Aku juga pernah takut kalau keberadaanku hanya akan menjadi beban baginya.


"Kuroda-kun, kamu memang hebat. Banyak orang ingin berubah, tapi hanya sedikit yang benar-benar bisa mengubah dirinya sendiri."


Mendengar itu, hatiku terasa hangat. Tapi bagiku, aku merasa tidak ada yang berubah.


Justru karena itu, aku ingin menjadikan ini sebagai langkah pertama dalam perubahanku dan terus maju ke depan.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !