Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 3 V3

Ndrii
0

Chapter 3

Dua Pasangan Yang Berpura-pura




Saat itu sepulang sekolah, aku mengobrol dengan Toiro mengenai kejadian yang terjadi saat istirahat siang yang gagal aku nikmati.


"Jadi, kurang lebih begitu ceritanya," ujarku, menceritakan kejadian antara aku dan Funami secara berurutan kepada Toiro. Funami tidak secara khusus memintaku untuk merahasiakannya, lagipula rencananya untuk berpura-pura sebagai pasangan di depan Kasukabe membutuhkan kerja sama Toiro juga. Selain itu, aku sendiri merasa agak tidak enak jika harus menyembunyikan sesuatu dari Toiro.


Namun, tentu saja aku menyimpan rapat-rapat soal pengakuan cinta dari Funami.


"Hoo... Jadi, Masaichi ketahuan bertemu secara diam-diam dengan cewek lain selain pacarnya pada siang hari ini. Catat, catat," ujar Toiro sambil pura-pura mencatat.


"Heh, kamu dengar ceritanya nggak sih? Aku itu diancam, tahu!"


"Kalau mau selingkuh, setidaknya pastikan jangan sampai ketahuan! Bikin pacarmu sedih dan lari dari rasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu? Dasar pengecut! Hiks, hiks."


"Berhenti akting seolah-olah kamu pacar yang cemburu!"


Aku menegur Toiro yang berbicara dengan nada bercanda sambil berpura-pura menangis. Namun, Toiro langsung mengubah ekspresi wajahnya dan tertawa lepas, "Hahaha, seru banget!"


"Jadi setelah delapan tahun pacaran, ketika mulai bicara soal menikah, pacarmu ketahuan selingkuh. Kamu mencoba mengabaikannya untuk sementara waktu, tapi hari ini bukti yang tidak bisa dihindari muncul dan kamu mengalami gangguan mental. Semua bukti perselingkuhan dicatat di buku harian, siap untuk bertarung. Ini aksi seorang pacar yang sudah siap balas dendam!"


"Enggak, itu ceritanya terlalu dramatis!"


"Ngomong-ngomong, aku nggak nyangka Kaede-chan sampai melakukan hal seperti itu..."


"Kamu mengembalikan topiknya dengan maksa banget, ya!?"


Kami berdua duduk bersebelahan di bangku taman alami yang berada di rute perjalanan pulang. Di langit, sinar matahari senja mulai perlahan memudar. Kami sudah terbiasa dengan taman ini sejak kecil, sehingga kami menyebutnya sebagai "taman yang biasa." Dari taman ini, jika kami berjalan sedikit keluar menuju jalan setapak, akan sampai di tepi sungai tempat aku dan Toiro berpura-pura menjadi pasangan.


"Benar... Akhirnya aku makan bekal di jam istirahat pelajaran kelima," keluhku. Tatapan orang-orang seolah bertanya, "Kenapa dia baru makan sekarang?" Itu benar-benar menyakitkan bagi seorang yang kesepian.


Mendengar keluhanku, Toiro berkata, 


"Kamu pasti sudah melalui banyak hal, ya. Ayo, Masaichi yang sudah berusaha keras, akan kuberi penghargaan."


Toiro mengulurkan tangannya ke arahku. Ternyata, dia menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.


"Bagus, bagus, kamu sudah berusaha keras," ujarnya sambil tersenyum lembut.


—Eh, tunggu sebentar.


Karena dilakukan tiba-tiba, aku terkejut. Sentuhan di rambut yang tidak biasa membuatku tidak bisa bergerak. Namun di sisi lain, entah kenapa, aku merasa sedikit terhibur.


"Dan akhirnya, kamu tertipu juga," Toiro melanjutkan.


"Serius, loh. Kalau bukan aku, sudah lama aku jadi orang yang tidak percaya pada manusia."

Waktu kecil, saat aku belajar naik sepeda bersama orang tuaku, aku percaya pada ucapan mereka yang bilang, "Kami pegang, kok." Namun, ketika aku menoleh ke belakang, ternyata mereka sudah jauh di sana sambil melambai dan berkata, "Hei, baik-baik saja, kan?" Pengkhianatan pertama dari keluarga membuatku hampir kehilangan kepercayaan pada manusia. Pengalaman itu mungkin telah menguatkanku... mungkin.


"Ngomong-ngomong, Masaichi, kamu memanggil Kaede-chan dengan 'Funami,' ya," ujar Toiro sambil melepaskan tangannya dari kepalaku dan bertanya seperti itu. Sambil merasakan sedikit kerinduan pada sentuhan lembut itu, aku menarik kesadaranku kembali dari kenangan pahit masa lalu.


"Hm? Maksudmu soal cara memanggil? Memangnya ada yang aneh?"


"Enggak sih, aku cuma kepikiran aja. Kamu memanggil Mayu-chan dengan 'Mayuko,' kan?"


"Oh, iya juga, ya," jawabku sambil mengangguk.


Aku belum pernah benar-benar memikirkan soal ini sebelumnya, tapi aku memang selalu memanggil teman Toiro, Mayuko, dengan nama depannya, Mayuko. Toiro sendiri, ketika berbicara denganku, biasanya memanggil teman-temannya dengan nama depan mereka, jadi aku lebih terbiasa dengan itu. Perlu beberapa bulan sejak awal masuk sekolah untuk bisa menghubungkan nama depan mereka dengan nama belakangnya. Namun, ada semacam hambatan atau kesulitan tersendiri untuk memanggil Nakasone atau Funami dengan nama depan mereka.


Bayangkan saja, Nakasone mungkin akan menatapku tajam seolah berkata, "Kok kamu bisa sok akrab gitu, sih, menjijikkan!" Sementara Funami mungkin akan menjawab dengan agak canggung, "Aku nggak merasa kita sedekat itu, deh..." Pemandangan itu terlintas di benakku.


Di sisi lain, aku tidak merasa ada masalah memanggil Mayuko dengan nama depannya. Dia mungkin akan menjawab dengan santai, "Wah, tumben banget! Kalian jadi kayak sahabat dekat, ya!" dan sepertinya dia akan mengizinkannya.


"Yah... mungkin karena dia itu Mayuko," jawabku sambil merenung sebentar. Jawabanku yang cukup sederhana ternyata sudah cukup bagi Toiro untuk mengerti, karena dia langsung berkata, "Aah, iya, iya."


"Ya, namanya juga Mayu-chan," Toiro setuju sambil mengangguk. Kesimpulannya, semua orang sepertinya akan memanggilnya Mayuko, dan kurasa dia juga akan senang dipanggil begitu.


"Lalu, begitulah kira-kira soal permintaannya. Ngomong-ngomong, ada sesuatu antara kamu dan Kasukabe? Dia sepertinya cukup tertarik padamu," tanyaku, kembali ke topik utama sambil menanyakan hal yang mengusik pikiranku.


Toiro memicingkan matanya sambil melihat anak-anak yang sedang 

bermain di wahana taman, dan menjawab dengan suara yang panjang, 


"Hmm, begitulah. Tapi sebenarnya, nggak ada apa-apa, kok. Meskipun nggak ada apa-apa, kadang perasaan itu muncul begitu saja, kan? Cinta sepihak yang sedih dan menyakitkan."


Karena sering terjebak dalam masalah cinta yang datang begitu saja seperti kecelakaan, Toiro mungkin merasakannya langsung dengan pengalamannya sendiri.


... Semoga benar-benar nggak ada apa-apa.


"Aku tentu akan membantu Kaede-chan. Aku juga pengen masalah ini cepat selesai," ujar Toiro mantap.


"Funami bilang dia akan membuat kesempatan untuk kita. Semoga saja semuanya bisa berjalan lancar," balasku.



"Benar juga. Sampai kesempatan itu tiba, kita harus tetap melanjutkan aksi pasangan ini dengan baik," kata Toiro.

"Iya, benar," jawabku. Setidaknya, kita sudah menyusun rencana untuk ke depannya. 

Namun, masih ada satu hal yang membuatku penasaran.

"Ngomong-ngomong, ada satu hal yang sedikit mengganjal. Hubungan antara Funami dan Kasukabe... dua orang itu sebenarnya gimana, sih?" tanyaku.

Toiro kembali menghela napas kecil dan berkata, 

"Hmm... Yang jelas, mereka akrab banget. Biasanya mereka selalu bersama, dan kalau dilihat sekilas, mereka terlihat seperti pasangan sungguhan. Tapi kenyataannya, mereka belum pacaran."

"Maksudnya mereka belum sampai tahap pacaran?"

"Entahlah, aku juga nggak tahu pasti alasannya. Tapi, yang jelas, Kaede-chan benar-benar suka sama Kasukabe-kun. Perasaannya itu beneran terasa banget."

"Oh iya, waktu aku ngobrol sama dia, dia bahkan sempat bikin acrostic poetry pakai nama Kasukabe," kataku, sedikit takjub mengingatnya.
TLN : Acrostic poetry adalah jenis puisi di mana huruf pertama dari setiap baris atau kata membentuk kata atau frasa tertentu, yang biasanya berkaitan dengan tema puisi tersebut. Dalam bahasa Jepang, bentuk acrostic poetry ini dikenal sebagai "あいうえお作文 (aiueo sakubun)". CMIIW

"Serius di depanmu!? Wah, itu keterlaluan sih. Tapi, kalau itu Kaede-chan yang lagi mode Kasukabe-love, nggak heran kalau dia nekat begitu."

Sepertinya, memang benar kalau Funami berubah saat topik Kasukabe muncul.

"Dia beneran suka, ya," gumamku pelan. 

Saat aku mengatakannya, tiba-tiba terdengar bisikan dari sampingku.

"A untuk ‘akrab,’ i untuk ‘istimewa’... menyenangkan kalau bersama... u...”

"Heh, itu tentang aku?" tanyaku, terkejut mendengar acrostic poetry yang terdengar jelas.

Toiro tampak kaget dan menatapku dengan ekspresi bingung.

"A-aku tadi ngomong sesuatu?"
"Tadi aku dengar kamu bikin acrostic poetry."

Toiro langsung melambaikan kedua tangannya dengan panik.

"A-aku cuma iseng mikir aja, lho. Sebagai pacar, harus siap menjawab kapan saja. Misalnya, ‘A’ untuk ‘Agak pintar,’ dan ‘I’ untuk ‘Iya, ternyata baik juga,’" jelasnya dengan canggung.

"Kok rasanya aku nggak merasa dipuji, ya!?" protesku. Padahal, yang kudengar tadi kayaknya nggak pakai kata ‘agak’ atau ‘ternyata’ deh...

Toiro berdeham, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku pikir, Kasukabe-kun juga sebenarnya suka sama Kaede-chan. Tapi karena aku jarang bicara dengan dia, aku nggak tahu pasti. Ada rumor kalau dia suka banyak cewek, jadi dia nggak mau punya pacar tetap. Tapi, entahlah... Rasanya nggak nyaman kalau aku terlibat dalam hal ini, dan Kaede-chan juga nggak pernah bahas soal itu."

"Mungkin saja sebenarnya dia ingin curhat ke teman-temannya seperti kita..." tambah Toiro dengan pelan.

Funami juga mengatakan hal yang sama padaku. Tampaknya, di grup teman-temannya Toiro, ada semacam kesepakatan tak tertulis untuk tidak membahas hal ini. Di permukaan, mereka terlihat seperti pasangan sungguhan, tapi kenyataannya mereka belum resmi berpacaran. Memang, kalau dilihat sekilas, mirip dengan hubungan palsu antara aku dan Toiro.

Tapi, meski dari luar terlihat sebagai pasangan palsu, aku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Apa perasaan Kasukabe yang sebenarnya?

Mungkin karena aku tak sengaja mendengar sedikit cerita ini, atau mungkin karena situasi kita serupa, aku jadi makin penasaran tentang mereka.

"Aku ingin cari tahu lebih dalam," ujarku.

"Soal mereka berdua? Setuju. Aku juga sudah lama penasaran. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri. Kita lihat sejauh apa kita bisa mengungkapnya," Toiro menyetujuinya.

"Iya," aku mengangguk, dan Toiro meregangkan tubuhnya sambil menghela napas panjang.

"Oke, rapat strategi selesai! Sekarang kita jalan-jalan, yuk!" serunya, sambil melompat berdiri dari bangku dengan penuh semangat.

"Jalan-jalan?" Aku menoleh, sedikit bingung.

"Iya, jalan santai. Sebuah aksi pasangan yang menikmati suasana senja di akhir musim panas," jawabnya sambil bercanda.
"Kayaknya kamu jadi suka menambahkan ‘aksi pasangan’ untuk semua hal, ya," kataku sambil ikut berdiri.

"Tapi, kamu jalan-jalan? Ini agak langka... Ada apa, nih?"

“Ugh, seperti biasa, kau tajam, Masaichi. Sebenarnya, di luar taman sana ada truk takoyaki yang lewat. Bisa dibilang ini adalah ‘momen pasangan yang tak bisa menahan godaan makanan di musim gugur,’ kan?”  

“Benar-benar apa saja bisa jadi alasan, ya!”  

Jelas, ini sudah tidak ada hubungannya dengan aksi pasangan kekasih.  

“Sudahlah, ayo pergi! Nanti takoyakinya keburu berenang kabur!”  

“Mereka kan pindah pakai truk...”

Sambil memberikan balasan itu, Toiro menarik tanganku dengan erat. Tak ada waktu untuk merasa gugup karena bergandengan tangan; aku langsung terseret ke arah penjual takoyaki.

Sambil berjalan, aku berpikir.  

Di saat seperti ini, aku benar-benar tidak merasa sedang berpura-pura sebagai pasangan. Hanya menikmati waktu bersama dengan 
dengan gembira. Mungkin itulah yang dirasakan Funami juga.  

Terlepas dari situasi kami yang hanya pura-pura, waktu yang kuhabiskan bersama Toiro ini rasanya semakin dekat dengan hubungan pasangan sungguhan.


Sejak dulu, tempat favoritku untuk berpikir adalah kamar mandi. Tepatnya, bukan ‘mau berpikir’ tapi ‘jadi kepikiran.’ Saat berendam hangat dalam bak mandi, hal-hal yang mengganggu pikiran atau masalah yang sedang kupikirkan biasanya muncul begitu saja di kepala. Kadang sampai kepanasan karena kebanyakan mikir.  

Dan isi kepalaku malam ini――.

Apa sih maksudnya ‘momen pasangan yang tak bisa menahan godaan makanan di musim gugur’?!  

Aku ngomong kayak gitu tiba-tiba, tapi dipikir-pikir, malunya! Tahan diri dong!  

......Kalau aku benar-benar pacarnya, aku nggak bakal ngomong gitu di depan dia, kan――.

Tenggelam dalam uap hangat, aku terus merenung sambil merasa risih sendiri.
Aku mencubit sedikit bagian di samping pusarku dengan ujung jariku di dalam air. Rasanya agak kenyal.

......Aku harus berusaha menahan diri. Nanti dikira nggak bisa menjaga penampilan.

Apalagi di musim seperti ini biasanya pakai baju tebal, jadi gampang lengah...

“Eh, ada walrus tergeletak di kamarku, ya?”

Bisa saja dia bercanda begitu.

Aku tahu itu hanya candaan, dan aku sudah terbiasa mendengar lelucon ringan seperti itu... Tapi entah kenapa, kalau Masaichi yang mengatakannya sekarang, rasanya akan sedikit menghantam dadaku.
Aku menyadari perubahan perasaan itu dengan sangat jelas.

Saat liburan musim panas. Ketika orang-orang mengatakan bahwa hubungan kami terlihat seperti pasangan yang sudah berpengalaman, tanpa kesegaran baru, aku berusaha keras agar terasa seperti pasangan sungguhan dengan Masaichi.

Padahal seharusnya hubungan ini hanyalah pura-pura...

Kemudian di hari ulang tahunku, Masaichi mengakui hubungan kami saat ini, dan aku merasa sangat senang. Di saat itulah aku menyadari sesuatu.

Bahwa aku berusaha keras untuk terlihat seperti pasangan karena...
Aku ingin hubungan kami menjadi sungguhan.

Sejak aku menyadarinya, perasaan itu selalu berputar-putar di dalam hatiku. Setiap kali ada sesuatu, perasaan itu muncul ke permukaan.
Hal-hal kecil membuat jantungku berdebar-debar, pikiranku melayang, dan tubuhku terasa panas.

Rasanya seperti aku diombang-ambingkan, tapi aku juga sedikit menikmati perasaan itu.

Akhir-akhir ini, aku menjalani hari-hari dengan perasaan yang aneh seperti ini.

“Hah, aku benar-benar lagi mabuk cinta, ya.”

Dengan alasan ‘latihan aksi pasangan,’ aku mengajak Masaichi melakukan hal-hal yang lebih intens di dalam ruangan. Hari ini saja, aku tiba-tiba melakukan head pat, sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Banyak hal lain juga. Belakangan ini, aku sedikit lebih agresif daripada sebelumnya.

Sambil berpikir, aku menekan pipiku yang melonggar dengan kedua tanganku. Mungkin wajahku sekarang terlihat cemberut. Tidak bisa kuperlihatkan ke orang lain.

Dengan wajah cemberut itu, aku tenggelam lebih dalam ke bak mandi. Walaupun pikiranku melayang seperti ini, aku tetap punya kekhawatiran.
Hubungan kami punya bentuk yang unik. Aku tahu itu, dan aku ingin menghargai hubunganku dengan Masaichi. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, pada dasarnya pasangan sungguhan tidak perlu ada latihan atau pembicaraan soal aksi pasangan, kan...?

Setiap kali kami melakukan sesuatu yang terlihat seperti pasangan, selalu ada kesepakatan atau diskusi sebelumnya.

Lalu, apa sebenarnya hubungan yang sungguhan itu?

Aku belum pernah sekalipun punya pacar sebelumnya, jadi aku tidak tahu. Tapi sekarang, aku sangat penasaran tentang hal itu.Namun, aku belum punya keberanian untuk bertanya langsung pada Masaichi...

Jadi aku memanfaatkan hubungan pura-pura ini untuk mencoba merasakan bagaimana rasanya.

――Licik juga ya, aku.

Tapi, debaran seperti ini, aku rasakan untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Memikirkan itu, aku tertawa kecil sendirian.

......Meskipun aku memikirkan semua ini, Masaichi tetap saja seperti biasa.

Rasanya aku ingin sekali membuatnya deg-degan juga――.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !