Chapter
7
Usaha
yang Disembunyikan dan Alasan "Cinta"
Pemberitahuan bahwa mereka lolos babak pertama di babak utama Couple Grand Prix telah sampai di ponsel Toiro. Selain itu, tertulis bahwa jika mereka berhasil melaju hingga hari kedua untuk babak final, akan ada penilaian di atas panggung, dan mereka diminta membawa pakaian kasual dengan tema "kencan terbaik berdua."
Bagaimanapun, untuk saat ini, aku bisa bernapas lega. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Toiro ternyata sudah berjanji untuk berkeliling festival sekolah bersama teman-teman perempuan sekelasnya. Setelah kami bersuka cita menerima kabar hasil lomba, kami memutuskan untuk berpisah sementara.
Musik dengan dentuman bass berat seperti musik klub terdengar, menggema hingga ke perutku. Tampaknya suasana di dalam sekolah masih meriah. Masih ada sekitar dua jam lagi sebelum hari pertama festival sekolah berakhir. Aku berjalan mengelilingi sekolah mencari tempat untuk beristirahat, sambil sekalian mencari seseorang yang sedang kucari. Ketika aku berjalan tanpa arah, aku melihat wajah-wajah yang sudah sangat kukenal di depan.
"Oh, bukankah ini Tuan Masaichi? Melihat wajahmu, sepertinya kau berhasil melewati pertarungan memasak, ya?"
Sarugaya menyadari keberadaanku dan menyapaku.
"Ya. Kau juga tampaknya sedang senang," balasku.
"Yah, begitulah. Buatku yang sudah menjalani latihan berat sampai muntah darah selama bekerja paruh waktu di dapur, tantangan ini sih cuma sepele," kata Mayuko yang ada di samping Sarugaya, sambil memamerkan pose memperlihatkan otot lengannya.
Kerja paruh waktu di dapur... latihan macam apa yang dia jalani di sana? Bukankah itu cuma eksploitasi tenaga kerja? Namun, berkat pelatihannya di sana, pasangan Mayuko-Sarugaya tampaknya juga berhasil melaju ke babak berikutnya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Meski aku tidak punya tugas saat acara, banyak pekerjaan lain yang menumpuk. Mayuko-chan, sampai jumpa besok," kata Sarugaya sambil melambaikan tangan ke arah kami sembari berjalan pergi.
Tampaknya dia ada pekerjaan sebagai panitia pelaksana setelah ini.Mayuko membalas lambaian tangan Sarugaya dengan senyum lebar, sedikit mengangkat tubuhnya ke atas sambil melambaikan tangannya. Setelah Sarugaya berbelok di ujung lorong menuju tangga dan sosoknya menghilang dari pandangan, Mayuko menghela napas panjang.
"Ah, akhirnya. Bersamanya terus sejak pagi, benar-benar menguras tenaga..." Mayuko menjatuhkan bahunya seperti melepaskan semua ketegangan.
"Kau benar-benar bekerja keras," komentarku.
Aku tahu kalau Mayuko sering merasa tegang ketika berhadapan dengan Sarugaya. Setelah mengamatinya cukup lama, aku bisa menyimpulkan bahwa hari ini pasti sangat melelahkan baginya. Tapi di sisi lain, dari sudut pandang hubungan percintaan, aku merasa hari ini adalah waktu yang cukup memuaskan baginya.
"Bagaimana denganmu, Tuan? Kau dan Toiron baik-baik saja? Couple Grand Prix kalian juga berjalan lancar, kan?" tanya Mayuko.
"Tuan, ya? Sepertinya gaya bicara Sarugaya menular padamu. Tapi, kalian berdua juga terlihat cukup mesra. Dari luar, kalian terlihat seperti pasangan cinta sejati, tahu," balasku.
"Me-Mesra!? Tidak ada perasaan seperti itu, sungguh!" Mayuko tergagap.
"Masih menyangkal, ya? Kalian ikut Couple Grand Prix, kan? Setidaknya orang-orang berpikir kalian adalah 'pasangan itu'."
"Be-begitu ya...? Pasangan, huh," gumam Mayuko sambil menyipitkan matanya, tampak senang.
—Huh?
Namun, di balik ekspresi itu, aku seperti melihat sekilas bayangan kesedihan melintas. Aku menyipitkan mata, berusaha memastikan apa yang kulihat.
Kami akhirnya berdiri di tepi lorong, mengobrol santai berdua. Aku sudah beberapa kali berbicara dengannya sebelumnya, dan karena aku cukup mengenal kepribadiannya, aku tidak merasa canggung walau hanya berdua.
"Ngomong-ngomong, saat mengenakan baju maid itu, kau sempat membantu Sarugaya, kan? Bukankah itu aksi yang cukup mengesankan?" tanyaku.
Saat Sarugaya sedang dalam kesulitan, Mayuko adalah orang pertama yang berdiri di pihaknya. Selain itu, dia berhasil membantu dengan baik. Bukankah itu jadi kesempatan yang bagus untuk meninggalkan kesan baik? Aku diam-diam kagum pada keberanian Mayuko saat itu.
"Ah, soal itu. Kalau Sarugaya-kun senang, aku juga senang, sih... Tapi waktu itu aku tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya bertindak secara spontan," katanya.
"Spontan?" tanyaku.
"Iya. Soalnya aku tahu Sarugaya-kun sudah berusaha keras. Dia banyak bergerak agar festival sekolah meriah dan supaya pameran kelas bisa berjalan dengan baik. Jadi waktu itu aku sedang berpikir, aku ingin membantu dia juga," jawab Mayuko.
"Oh, begitu," sahutku.
Aku kembali merasa terkesan tanpa sadar. Mayuko benar-benar gadis yang tulus dan baik hati. Betapa menyenangkannya ketika ada seseorang yang memperhatikan usaha kita. Aku bertanya-tanya, apakah Sarugaya menyadari betapa berharganya hal itu? Menurutku, usaha seseorang baru akan terasa terbayar ketika diakui oleh orang lain.
Terutama karena Mayuko mampu memahami sisi serius Sarugaya yang tersembunyi di balik karakternya yang konyol, itu membuktikan bahwa dia benar-benar memperhatikan Sarugaya dengan baik.
"Bagaimana dengan Sarugaya? Memang dia itu orang yang ribut, tapi apakah kalian cocok?" tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Cocok... aku tidak tahu, tapi aku senang bersamanya. Aku juga bisa merasakan kalau dia bersikap baik padaku. Dia tinggi, tampan, dan cara berpikirnya juga luar biasa..." Mayuko menjawab dengan wajah yang terpukau. Dia tampaknya bahkan tidak menyadari kalau dirinya sedang memuji Sarugaya tanpa malu-malu. Melihat ekspresinya, aku memutuskan untuk sedikit menggoda.
"Jadi, apakah kalian akan menjadi pasangan sungguhan dalam waktu dekat?"
...Tidak ada jawaban. Mayuko menatapku dengan serius, membuatku agak gugup. Dengan perlahan, dia membuka mulutnya.
"Pasangan sungguhan itu seperti apa, sih? Coba jelaskan padaku," katanya.
"A-aku?" balasku, terkejut.
"Aku tidak tahu. Aku belum pernah pacaran sebelumnya. Jadi, menjadi pasangan itu seperti apa rasanya?" tanyanya lagi.
Perkataannya membuatku tercengang.
"Jadi, maksudmu meskipun sekarang kau sudah bahagia, kau takut hubungan itu akan berubah setelah menjadi pasangan resmi, begitu?" tebakku.
Mayuko mengangguk cepat.
"Iya! Aku sudah bahagia hanya dengan bersamanya sekarang. Kalau kami melangkah lebih jauh, bagaimana jadinya? Pacaran itu seperti apa, sih? Aku yakin ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan oleh pasangan, tapi aku tidak punya pengalaman. Hal-hal yang baru itu terkadang menakutkan. Selain itu, kalau kita pacaran, pasti ada kemungkinan untuk putus, kan? Aku sering mendengar cerita seperti itu di sekitarku. Meskipun aku tahu tidak perlu terlalu memikirkannya, aku tetap tidak bisa berhenti membayangkannya."
"Aku paham!" sahutku spontan.
"Eh, bukankah kau sudah pacaran dengan Toiro?" dia membalas dengan nada heran.
"Itu... memang begitu, tapi..." aku tergagap, setuju sekaligus merasa malu.
Mayuko tampaknya lebih banyak memikirkan hal-hal semacam ini dibandingkan aku. Rasanya lega mengetahui bahwa ada orang lain yang memiliki kekhawatiran serupa, dan pada saat yang sama, obrolan ini membuatku menyadari lebih jelas apa yang selama ini kupikirkan.
"Aku juga tidak tahu banyak. Bahkan, aku tidak pernah memikirkan soal putus," kataku jujur.
"Aku juga tidak ingin memikirkannya. Tapi, katanya pasangan yang pacaran sejak SMA dan akhirnya menikah itu jarang sekali, lho. Senior di tempat kerja paruh waktuku bilang, dia masih pacaran dengan kekasihnya sejak SMA, dan semua orang bilang itu luar biasa. Tapi katanya akhir-akhir ini hubungan mereka mulai renggang..." cerita Mayuko.
"Oh... tolong hentikan cerita realistis seperti itu..." aku mengeluh.
Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir, berapa persen pasangan yang pacaran sejak SMA akhirnya menikah? Aku tidak tahu, tapi rasanya angkanya cukup rendah. Secara sederhana, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai "garis finish" pernikahan, semakin tinggi pula peluang untuk berpisah.
...Tentu saja, tidak banyak pasangan yang memutuskan untuk pacaran dengan perhitungan sejauh itu.
"Ma-maaf, maaf. Aku malah membicarakan hal yang aneh. Tapi kalian berdua pasti bisa berhasil. Aku mendukung kalian!" ujar Mayuko.
Aku terdiam memikirkan ucapan Mayuko, sampai akhirnya dia berbicara dengan nada panik, mencoba mengalihkan suasana.
"Ah, maaf, aku tadi cuma kepikiran sesuatu," aku menjawab pelan.
Sepertinya aku butuh waktu untuk benar-benar bisa menjawab pertanyaannya. Namun, ada sesuatu yang perlahan mulai menjadi jelas dalam diriku, seperti ada beban yang terangkat sedikit demi sedikit.
"Kau juga, semangat, ya," aku menyemangatinya.
Aku sudah lama mengamati perjalanan cinta Mayuko, sejak awal semuanya dimulai. Secara tulus, aku ingin semuanya berjalan baik untuknya.
"Ya sudah, intinya kita saling mendukung, ya," ucap Mayuko sambil mengangkat kepalan tangannya kecil. Aku tertawa kecil dan mengangkat tangan untuk menemuinya.
Diskusi kecil tentang cinta itu diakhiri dengan ringan melalui sebuah fist bump.
☆
Aku, Kaede-chan, dan Mayu-chan. Di antara kelompok kami, tiga orang ikut serta dalam kompetisi "Couple Grand Prix," meninggalkan Urara-chan sendirian.
“Toiro!” panggil Kaede-chan.
“Kaede-chan! Ayo, kita cari dia,” aku menyahut.
Setelah selesai membantu di ruang tata busana dan berpisah dengan Masaichi, aku bergabung dengan Kaede-chan untuk mulai mencari Urara-chan.
“Barusan aku selesai masak dan coba cari di kelas, tapi dia nggak ada di sana,” Kaede-chan melaporkan.
“Oh, ya? Aku juga udah ngirimin pesan, tapi belum dibalas. Dia ke mana, ya?”
Kami sama sekali tidak tahu di mana Urara-chan berada, bahkan tak punya petunjuk apa pun. Sementara di sekitar kami, koridor penuh dengan orang-orang. Rasanya pencarian ini akan memakan waktu lama.
“Ngomong-ngomong, Kaede-chan, kamu juga ikutan Couple Grand Prix, ya?” tanyaku sambil melangkah.
“Iya. Barusan diajak pas sebelum mulai. Maaf ya, nggak sempat bilang,” jawabnya.
“Ah, nggak apa-apa, kok. Jadi Kasukabe-kun yang ngajak? Wah, senang juga, ya.”
Kaede-chan tersenyum kecil dan mengangguk. Oh, jadi Kasukabe-kun yang mengajaknya? Ini jelas tanda yang bagus. Mungkin ada perubahan dalam perasaannya yang mendorongnya untuk bertindak lebih berani.
Sambil memikirkan hal itu, aku ikut tersenyum tanpa sadar.
“Hmm, tapi, kalian jadi rival yang terlalu tangguh buatku,” kataku sambil bercanda.
“Hahaha, tapi Toiro, tunjukkan kekuatan cinta kalian, ya. Sesuai rencana, raih kemenangan dan buktikan pada Shun kalau kalian adalah pasangan terbaik!” Kaede-chan menyemangatiku.
“Aduh, tapi kamu dan Kasukabe-kun terlalu kuat, sih.”
Meskipun mereka mungkin belum resmi berpacaran, mereka adalah pasangan yang sangat serasi—cantik dan tampan. Ditambah lagi, mereka pasti akan dengan mudah melewati tantangan memasak di kompetisi. Sepertinya aku harus menyusun strategi.
“Urara ke mana, ya? Jangan-jangan dia nggak ada di gedung sekolah lagi,” ujar Kaede-chan.
“Hmm, benar juga. Gimana kalau kita coba keluar?”
Kami menuju pintu masuk sekolah dan mengganti sepatu. Setelah itu,
kami melangkah melewati taman sekolah menuju area bazar.
Di taman tengah, panggung sudah berubah menjadi DJ booth, dan dentuman musik EDM yang familiar menggema di udara. Orang-orang di sana terlihat menikmati musik dengan gaya masing-masing, bergoyang mengikuti ritme.
Namun, di tengah kerumunan yang bergerak, ada seseorang yang diam membeku. Tentu saja itu membuatnya jadi pusat perhatian.
“Urara-chan…!”
Dia berdiri di dekat panggung, menatap lurus ke arah DJ booth. Pandangannya terfokus pada seorang pria yang sedang mengoperasikan alat musik dengan headphone di kepala.
Aku dan Kaede-chan saling pandang, bingung tetapi juga penasaran.
“Bu,bu, itu, bukannya orang yang di DJ booth itu Nakasone-san dari kelas kita?” Kaede-chan menunjuk ke arah panggung.
“Benar juga, benar juga. Hmm, kayaknya ada cerita di balik ini,”
jawabku, sedikit menahan tawa.
“Dia lumayan ganteng, ya?” Kaede-chan menambahkan.
“Cukup ganteng, sih.”
Dari penampilannya, pria itu mungkin seorang senior. Hal ini terlihat dari kerumunan yang kebanyakan adalah siswa tingkat atas. Rambutnya dicat cokelat dan dikeriting sedikit, tubuhnya tinggi, dan kulitnya putih bersih tanpa bekas terbakar matahari. Tipe pria seperti ini pasti menarik banyak perhatian. Meskipun, ya, dia terlihat agak “playboy”.
Mungkin, alasan Urara-chan mengusulkan acara yang fleksibel di hari festival ini adalah karena dia ingin memastikan dirinya bisa menonton sesi DJ ini.
“...Untuk sekarang, mungkin kita biarkan saja dulu,” ucapku pelan pada Kaede-chan.
Kaede-chan mengangguk setuju. “Iya, tanya-tanya nanti aja. Tapi ya ampun, diam-diam dia ngapain, sih, sampai sembunyi dari kita...” Dia tertawa kecil, sambil menyipitkan mata ke arah Urara-chan.
Festival budaya ini memang membuat semua orang tenggelam dalam masa mudanya, pikirku, sambil tanpa sadar ikut tersenyum.
Tiba-tiba, dalam suasana itu, aku bertanya pada Kaede-chan. “Eh, Kaede-chan... Kamu pernah nggak, merasa nggak bisa menahan perasaanmu sendiri?”
Kaede-chan melirikku dengan ekspresi heran. “Nggak bisa menahan? Maksudmu, karena terlalu suka sama seseorang?”
“Uh... iya,” jawabku canggung.
Angin yang bertiup melalui halaman tengah terasa lebih dingin di tengah hiruk-pikuk festival, membuat rambutku sedikit melayang. Kaede-chan menatapku beberapa saat, lalu berkata dengan suara pelan, “Pernah, kok.” Kata-katanya sederhana, tapi membuatku deg-degan.
Mungkin karena dorongan suasana, Kaede-chan tiba-tiba mulai bicara lebih banyak dengan penuh semangat. “Aku sering banget. Kadang aku mikir, gimana kalau aku mati menyelamatkan dia dari kecelakaan. Pasti aku bakal jadi orang yang spesial buat dia, kan? Aku akan terus ada di ingatannya, seumur hidupnya. Dan itu udah cukup buatku.”
“S-sungguh luar biasa...” jawabku terkejut.
“Kan? Tapi belakangan ini, aku merasa bisa puas hanya dengan pacaran seminggu. Itu menakutkan, sih. Aku tahu itu nggak cukup. Tapi kalau aku bisa jadi bagian dari hidupnya, bahkan cuma sebagai mantan pacar, itu mungkin udah cukup,” katanya sambil tersenyum getir.
“Itu... luar biasa sih,” kataku sambil berusaha merespon.
“Hahaha, aku memang hebat, kan?” candanya sambil tertawa.
Aku tak bisa berkata apa-apa selain “hebat.” Cara berpikirnya benar-benar unik, sekaligus menunjukkan betapa dalamnya perasaannya. Ini benar-benar seperti Kaede-chan.
Mungkin aku juga harus berani mengejar perasaanku, meski itu berisiko. Tapi, aku masih bertanya-tanya, bagaimana Masaichi akan melihatku kalau aku melakukan itu.
Musik berganti, membuat kerumunan semakin heboh. Orang-orang mulai melompat-lompat mengikuti irama, dan kami memutuskan untuk bergeser ke tepi halaman.
“Oh ya, aku baru sadar...” aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Apa?” tanya Kaede-chan, meninggikan suaranya agar terdengar di tengah kebisingan.
“Kenapa sih, kamu suka sama Kasukabe-kun?” tanyaku penasaran.
Sejak awal, karena aku dan Kasukabe-kun punya banyak cerita bersama, aku hampir tidak pernah mendengar kisah cinta Kaede-chan. Bahkan, sepertinya dia juga tidak pernah membicarakannya dengan Urara-chan atau Mayu-chan. Mungkin dia sengaja menyimpannya sebagai rahasia.
Kaede-chan tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku. Dengan suara berbisik, seolah ingin berbagi rahasia, dia berkata,
“Toiro... nanti setelah pulang sekolah, kamu ada waktu, nggak?”
*
"…Kenapa kamu ada di sini?"
"Aku juga suka arcade."
Pukul 16.30, hari pertama festival sekolah berakhir. Setelah sedikit membereskan kelas dan mempersiapkan untuk hari berikutnya, aku keluar dari sekolah pukul 17.00.
Hari itu, aku datang ke tempat ini dengan tujuan tertentu. Dan sekarang, berdiri di samping Kasukabe di dalam arcade bukanlah sebuah kebetulan.
"Hei, aku mau tanya sesuatu," kataku, berbicara pada punggung Kasukabe yang masih fokus bermain game fighting seperti sebelumnya.
"Apa? Sampai-sampai kamu repot-repot datang ke sini..."
Memang, aku sengaja datang ke sini. Sebenarnya, aku ingin bicara dengannya di sekolah, tapi Kasukabe terlalu sibuk dengan persiapan kelas dan partisipasinya di Couple Grand Prix. Tak ada waktu yang tepat untuk mendekatinya.
Ketika Toiro bilang ia akan ngobrol sebentar dengan Funami sepulang sekolah, aku usul untuk pulang sendiri-sendiri. Aku pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati Kasukabe. Meski ada kemungkinan dia akan bersama teman-teman kelas atau anggota klubnya, ternyata dia berjalan pulang sendirian.
Saat itu, aku sudah punya firasat ke mana dia akan pergi.
Benar saja, Kasukabe melangkah masuk ke arcade yang terletak tak jauh dari sekolah.
"Aku akan langsung ke intinya. Hal yang dikatakan para Yankee kemarin, dan alasanmu terobsesi pada Toiro. Apakah ada hubungannya?"
"..."
Kasukabe tetap diam, fokus pada game di depannya. Apakah dia sedang memikirkan jawabannya, atau hanya tidak mau menjawab? Keheningan itu terasa lama.
...Hah, mengekor Kasukabe tadi membuatku merasakan banyak tatapan aneh dari orang-orang di jalan. Pasti aku terlihat seperti stalker. Kalau jadi detektif, apakah mereka selalu merasa seperti ini? Kalau aku jadi detektif nanti, aku ingin langsung menjadi detektif ternama, yang hanya mengandalkan kemampuan deduksi.
Namun, ada alasan kenapa aku membiarkan Kasukabe melangkah masuk ke arcade sebelum menyapanya.
"Hei, bagaimana kalau kita tanding lagi?" kataku, cukup keras agar dia mendengar.
"Kalau aku menang, kamu harus menjawab pertanyaanku. Kalau aku kalah, aku akan menjawab apapun yang ingin kamu tahu. Meskipun, aku sih yakin nggak akan kalah."
Kasukabe menoleh padaku. Pertandingan game fightingnya baru saja selesai, dan dia menang telak.
"Aku tahu. Kamu nggak akan bisa menghindar dari tantangan ini. Kita berdua sama, jadi aku bisa merasakannya."
Seorang pria yang pergi ke arcade sendirian dan memainkan game seperti ini pasti tidak akan bisa menolak tantangan. Terlebih lagi, aku sudah melihat sendiri betapa dia benci kalah saat pertandingan air hockey sebelumnya. Dia memiliki sifat yang mirip denganku.
Dan demi memancingnya untuk menerima tantangan ini, aku rela menahan diri dari semua tatapan aneh selama perjalanan tadi.
Kasukabe menatapku dalam diam. Sepertinya dia sedang menyalakan semangat bertarungnya. Kemudian, perlahan dia berbicara.
"Baiklah. Aku juga punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
Dia tampak percaya diri. Dia berdiri dan menyeringai tipis. Tapi, seberapa pun dia percaya diri dalam bermain game, aku... demi diriku dan Toiro, pasti akan menang.
"Bagaimana menurutmu?" tanyanya lagi.
"Game yang adil, tidak seperti sebelumnya. Dan sedikit faktor keberuntungan," lanjutnya.
"Begitu ya... Hmm," gumamku, sambil memikirkan.
Kasukabe melangkah pelan sambil meneliti sekitar.
"Air hockey mungkin yang paling adil, tapi kita sudah pernah melakukannya. Bagaimana dengan crane game? Ah, tapi sulit memastikan keadilan di sana, dengan penempatan hadiah, kekuatan penjepit, atau mesin probabilitas..."
"Bagaimana dengan game kuis, atau rhythm game yang belum pernah kita mainkan? Tapi rasanya kurang berasa seperti tanding ya. Kalau di pojok game medal, bagaimana kalau kita lihat siapa yang bisa mengumpulkan paling banyak dalam waktu tertentu?"
"Ya, itu juga bisa... tapi mungkin akan lebih seru jika kita bertanding langsung."
Saat itulah Kasukabe berhenti melangkah.
"Bagaimana dengan Tetris? Bagaimana kemampuanmu?"
Kasukabe menyebut nama sebuah game puzzle yang sangat terkenal di seluruh negeri.
"Hmm... Aku paham aturannya, dan bisa menikmatinya sebagai hiburan... Tapi aku tidak pernah serius berlatih."
Aku pernah memainkannya bersama Toiro beberapa kali. Tetris adalah salah satu game yang sudah terpasang di konsol yang kubeli dulu. Walaupun aku tidak pernah mencoba mengasah keahlian secara mendalam, aku ingat pernah menikmati pertandingan sederhana dengannya.
"Kalau begitu, kita punya kemampuan yang seimbang. Bisakah kamu melakukan T-Spin?"
Kasukabe menyebut sebuah teknik yang cukup dasar tapi sangat penting dalam permainan. Aku menggelengkan kepala.
"Tidak. Kadang aku melakukannya secara tidak sengaja, tapi kalau sengaja mencoba, aku sering gagal."
"Begitu. Kalau begitu, kita seimbang. Aku juga belum sepenuhnya memahami teori di balik T-Spin. Bagaimana, mau coba ini?"
T-Spin, meskipun teknik dasar, sangat penting karena bisa memberikan kerusakan besar pada lawan. Rasanya masuk akal menggunakan teknik ini sebagai tolok ukur kemampuan kami.
"Oke. Ayo kita mulai."
Kami duduk di depan dua mesin Tetris yang berdampingan. Saat melihat video demo yang berjalan di layar, aku jadi teringat ketika bermain game ini bersama Toiro di rumah. Kami memasukkan koin 100 yen ke masing-masing mesin.
"Sudah lama juga, ya. Perlu pemanasan dulu?"
"Terserah kamu," jawab Kasukabe santai.
"...Seharusnya aku tidak perlu bertanya," gumamku.
Terakhir kali aku bermain Tetris adalah tiga tahun lalu. Jika Kasukabe pernah memainkannya baru-baru ini, jelas aku berada di posisi yang kurang menguntungkan. Tapi aku tidak akan mundur dan memilih game lain sekarang. Pertanyaan tadi memang tidak perlu.
"Kalau begitu, mulai ya," kata Kasukabe, memilih mode Local Versus.
Hitungan mundur dengan huruf berwarna ceria muncul di layar. Permainan dimulai. Aku mulai menyusun balok-balok yang jatuh, menyesuaikan bentuknya.
...Sial. Ini lebih sulit dari yang kuingat.
Biasanya aku bermain menggunakan kontroler konsol yang bentuknya lebih kecil dan pas di tangan. Sekarang, dengan arcade stick berbentuk bulat, kontrol terasa jauh lebih canggung. Jari-jariku harus bekerja lebih keras.
Meskipun berusaha menghindari kesalahan, serangan pertama datang lebih cepat dari dugaanku. Buk! Sebuah garis abu-abu naik dari bawah layarku. Itu serangan dari Kasukabe.
Aku melirik ke layar sebelah.
—Cepat sekali!
Dengan kelincahan yang pernah kulihat saat dia bermain game fighting, Kasukabe menyusun balok dengan kecepatan luar biasa. Strateginya jelas: menyusun empat baris dengan rapi, lalu menggunakan balok panjang yang disimpan di hold untuk menghancurkan semuanya sekaligus, menghasilkan serangan besar.
"Sial!" gumamku, saat garis abu-abu kembali mendorong blokku ke atas. Aku hanya bisa bertahan.
"Ada apa? Hanya segitu kemampuanmu?" tanya Kasukabe dengan seringai di wajahnya. Aku menggertakkan gigi.
Pemandangan ini mengingatkanku pada masa lalu. Saat bermain Tetris dengan Toiro, dia sering mengalahkanku dengan mudah. Setelah melihat beberapa video strategi, dia bahkan bisa membuatku kewalahan dengan teknik sederhana.
Apa teknik itu? Aku berusaha keras mengingat sambil tetap menggerakkan balok-balokku.
"Fuhahaha! Bagaimana? Cepat, kan? Tak ada seorang pun yang bisa menyaingi keahlianku menggerakkan mino. Tak ada seorang pun! ...Ngomong-ngomong, kata 'nantipitotari' enak juga ya didengar. Pitopito."
...Apa sih yang dia omongin? Benar-benar tidak penting. Tapi, tunggu. Sepertinya ada sesuatu yang penting pernah dia katakan. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, mencoba menggali ingatan lebih dalam.
"――Kekalahanmu, Masaichi, itu karena kamu tidak menyatu dengan mino. Pernahkah kamu berpikir tentang perasaan mino yang akan dihapus...?"
...Hah? Kali ini lebih tidak masuk akal lagi. Ya, ini memang Toiro seperti biasanya. Rupanya dia tidak banyak berubah selama tiga tahun ini.
Namun, di saat pikiranku melayang-layang, situasiku di permainan semakin memburuk. Mino dari Kasukabe terus datang, menumpuk dan menekan ruang di layarku. Menara mino hampir menyentuh bagian atas layar. Dengan panik, aku menyisipkan mino berbentuk L untuk mengurangi beberapa baris.
Ini tidak bisa dibiarkan. Jika aku kalah, Kasukabe pasti akan mengajukan pertanyaan aneh yang tidak ingin kujawab. Tapi kenapa aku memikirkan kekalahan sekarang? Ada sesuatu yang harus kuketahui dari pertandingan ini. Aku tidak boleh kalah.
Saat Toiro menang dalam permainan, biasanya dia senang memamerkan strateginya dengan penuh semangat. Apa dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang berguna tentang Tetris?
"――Yah, baiklah. Biasanya aku tidak berbagi trik, tapi untukmu, aku akan membuat pengecualian. Dengar, Masaichi. Ren itu luar biasa. Semakin lama kamu bisa mempertahankannya, semakin besar kekuatannya. Bahkan pemula bisa menang dengan mudah hanya dengan fokus pada teknik ini."
Ren. Mataku melebar saat kata itu terlintas di pikiranku. Bagaimana aku bisa melupakan sesuatu yang sepenting itu?
Ren—atau REN—adalah teknik di mana pemain secara beruntun menghapus baris dengan setiap mino yang ditempatkan. Semakin panjang rangkaian itu, semakin besar kekuatan serangan yang dihasilkan: dua kali lipat, tiga kali lipat, bahkan lima kali lipat, tergantung aturan permainan. Meskipun empat baris sekaligus dengan mino panjang adalah serangan kuat, satu baris beruntun tanpa henti juga merupakan strategi efektif, terutama untuk pemula.
Masih ada waktu.
Aku menarik napas dalam, menghentikan tanganku sejenak, dan menatap tajam ke layar. Aku mulai menyusun ulang posisi mino untuk memulihkan keadaan. Fokusku adalah membuat dua baris kosong di salah satu sisi, seperti yang pernah dikatakan Toiro.
"――Saran terbaik: buat dua baris kosong di sisi kiri atau kanan. Banyak pemula cenderung hanya menyisakan satu baris kosong untuk mino panjang, tapi dua baris lebih efektif. Setelah tingginya cukup, cukup masukkan mino ke celah itu tanpa banyak rotasi. Jangan pedulikan bentuk sisa mino yang berantakan—teruskan saja seranganmu. Ini adalah cara paling mudah dan cepat untuk menang tanpa mempelajari strategi rumit."
Begitu aku mengingat bagian itu, potongan-potongan lain dari penjelasannya mulai menyatu dalam pikiranku. Memang ada metode lebih rumit seperti menyisakan tiga atau empat baris, atau bahkan menggunakan T-Spin di tengah. Tapi untuk saat ini, strategi dua baris kosong adalah yang paling praktis dan cocok untuk kondisiku sekarang.
Aku mulai bekerja, membersihkan tumpukan mino yang tidak rapi dan menciptakan celah dua baris di sisi kiri. Aku tahu Kasukabe sedang melirik layaranku, mungkin curiga. Tapi dia tetap dengan gaya bermainnya, perlahan menyusun empat baris sebelum
menghancurkannya sekaligus dengan mino panjang.
Ini adalah kesempatanku.
Aku tersenyum tipis.
"Aku akan mengakhirinya sekarang. Jangan lupa janjimu."
Tanpa menunggu respons Kasukabe, aku meluncurkan serangan balasan.
Pada dua kolom kosong, aku terus-menerus memasukkan mino. Serangan berupa penghapusan satu atau dua garis terhubung menjadi satu REN, dua REN, tiga REN... hingga enam REN, lalu berhenti sejenak. Segera aku mulai memperbaiki lubang di dua kolom kosong tersebut dan membangun kembali gunungan mino.
Sementara itu, di lapangan lawan, blok serangan abu-abu terus naik, mempersempit ruang geraknya secara signifikan.
"Apa?!"
Kasukabe mengeluarkan suara panik.
Sambil dia berusaha merapikan lapangannya, aku kembali menyusun mino—dan melanjutkan serangan menggunakan REN. Satu REN, dua REN, tiga REN... Di sela-sela itu, Kasukabe membalas dengan menghapus empat garis, tapi aku dengan mudah menahan serangannya dengan simpanan blok seranganku, dan memberikan kerusakan lebih pada lawan.
Kasukabe sudah hampir habis.
Dengan ruang yang semakin sedikit, dia berjuang memutar mino dan mencoba menempatkannya di tempat yang tepat.
"Sial! Kau menyembunyikan itu ya?! Teknik dan kemampuan seperti itu!"
Kasukabe menggigit bibirnya dan berbicara dengan suara tertahan. Aku mengalihkan pandangan dari ekspresinya yang putus asa dan melanjutkan ke serangan terakhir. Aku tak perlu lagi membangun menara mino yang tinggi. Dengan gunungan mino yang tersisa, aku melanjutkan serangan—satu REN, dua REN, tiga REN—mengirim serangan terakhir pada lawan.
"Aku hanya mengingatnya kembali," jawabku kepada Kasukabe.
"Bukan aku sembunyikan. Hanya saja itu tertimbun. Terlalu banyak kenangan."
Apa ucapanku terlalu menyebalkan? Rasanya seperti dialog komik, dan entah kenapa aku merasa sangat malu. Tapi, begitulah adanya.
Berkat nasihat yang diberikan oleh Toiro di masa lalu, aku berhasil memenangkan pertandingan Tetris ini.
*
"Aku menceritakan ini karena, kemarin, kau sudah tahu banyak tentangku. Yah, sebenarnya, ini bukan hal yang aneh atau istimewa... Tapi bahkan Kaede pun belum pernah aku ceritakan ini."
Kami keluar dari arcade dan duduk di pinggiran taman kecil di pojok tempat parkir. Suara lalu lintas dari jalan besar terdengar di dekat kami, tapi tetap lebih tenang daripada di dalam arcade. Setelah sedikit tenang, Kasukabe mulai berbicara dengan pelan.
"Memang benar, dulu—saat SMP, aku pernah dibully. Alasannya, karena penampilanku... Aku sangat gemuk saat itu."
"Kau?"
Aku bertanya balik, dan Kasukabe mengangguk pelan.
"Tinggiku sedikit lebih tinggi dari kamu, kan? Dengan tinggi seperti itu, beratku pernah lebih dari 90 kilogram. Ya, aku benar-benar gemuk. Tubuh yang jelek yang bahkan aku tak ingin mengingatnya. Saat itu aku juga sangat pendiam, tapi anehnya punya harga diri yang tinggi, sehingga bahkan tak bisa menjadi bahan bercandaan. Yah, banyak faktor yang membuatku jadi target bullying."
Kasukabe menatap tanah di depannya dengan serius, lalu melanjutkan ceritanya.
"Aku sangat membenci diriku saat itu. Aku selalu ingin mengubahnya. Tapi setiap hari aku mendapat perlakuan buruk, disuruh ini-itu, bahkan sampai uangku diambil... Dalam kehidupan sehari-hari yang penuh penderitaan itu, aku sama sekali tak tahu bagaimana caranya mengubah keadaan. Aku hanya bertahan hari demi hari... Meskipun begitu, keinginan untuk membalas dendam pada mereka selalu ada."
Kasukabe mengangkat wajahnya.
"Lalu suatu hari, bullying itu tiba-tiba berhenti."
"Serius?"
Aku tanpa sadar mengeluarkan suara kecil. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Salah satu pemimpin kelompok yang membullyku mengungkapkan perasaannya pada gadis yang katanya paling cantik di angkatan kami. Tapi, dia langsung ditolak mentah-mentah. Sepertinya itu sangat mengejutkan baginya, sampai-sampai dia kehilangan semangat... Teman-temannya pun mulai mengejeknya, dan karena merasa tidak nyaman, dia mulai sering bolos sekolah. Dia benar-benar kehilangan semangat hidup, seperti orang yang berbeda sepenuhnya."
Nada bicaranya mulai terdengar lebih cepat.
"Pada saat itu, aku terpikir cara untuk berada di atas orang-orang yang telah membully-ku. Selama ini, aku selalu ingin berubah, tetapi tidak pernah bertindak karena tidak memiliki tujuan yang jelas. Saat itu, di tahun terakhir SMP, aku bertekad dengan sangat kuat bahwa di SMA nanti, aku pasti akan berpacaran dengan gadis tercantik di angkatan. Dengan begitu, aku bisa membalas dendam kepada mereka yang pernah membully-ku.
Setelah aku memutuskan hal itu, aku mulai berusaha tanpa henti, setiap hari."
Senyum tipis muncul di sudut bibir Kasukabe.
"Kau terkejut? Aku ini, bisa dibilang, seorang yang debut di SMA."
"Memang mengejutkan."
Kasukabe yang sekarang terlihat penuh percaya diri, begitu bersinar, hingga sulit membayangkan dia pernah memiliki masa lalu seperti itu.
"Hahaha. Dalam kasusku, debut SMA ini sudah direncanakan dengan sangat matang."
"Direncanakan?"
Aku mengerutkan alis.
"Ya, benar. Pertama, aku memilih SMA negeri di distrik yang jauh, tempat tidak ada teman-teman SMP yang akan masuk ke sana. Kalau SMA swasta, biasanya punya daya tarik tertentu sehingga tetap ada yang mendaftar walaupun jauh. Aku sudah siap untuk menanggung waktu perjalanan yang lama, tapi untungnya, orang tuaku yang tahu situasinya mengizinkanku untuk tinggal sendiri. Lalu, soal pakaian. Semua pakaian yang kupakai saat SMP aku buang. Kebetulan, karena bentuk tubuhku sudah berubah, itu waktu yang tepat. Semua pakaian baruku tidak kupilih sendiri, melainkan dipilih oleh kakakku yang sudah mahasiswa. Dia memilihkan pakaian yang lebih dewasa, berbeda dari kebanyakan anak SMA. Seragam sekolah juga, begitu sampai di rumah saat libur musim semi, aku pakai setiap hari agar tidak terlihat seperti seragam baru yang kaku saat dikenakan."
Kasukabe mengambil napas sejenak.
"Dan yang paling penting adalah kegiatan klub. Untuk mendekati gadis tercantik di angkatan, aku ingin menunjukkan diriku sebagai pemain reguler di klub olahraga sejak tahun pertama. Ini juga menjadi nilai tambah untuk debutku di SMA. Aku melakukan riset sebelumnya tentang klub olahraga di SMA Meihoku, dan menemukan bahwa klub basket memiliki anggota senior yang sedikit dan mudah untuk masuk menjadi reguler. Kebetulan, sepupuku adalah anggota klub basket, jadi aku memintanya melatihku selama satu tahun."
Perencanaan yang diceritakan Kasukabe jauh melampaui bayanganku. Khususnya soal kegiatan klub, mendengarnya membuatku merasa seperti diberi tahu rahasia trik sulap. Aku sendiri, saat mendengar bahwa Kasukabe adalah anggota reguler klub basket,
langsung membayangkan dia sebagai tipe siswa populer yang aktif.
Namun, yang paling penting adalah bahwa keberhasilan perencanaan itu didukung oleh usaha besar yang telah dilakukan oleh Kasukabe. Usaha untuk menjadi siswa populer. Aku pernah mencoba sedikit usaha ke arah itu, tetapi fokusku hanya pada penampilan. Sedangkan Kasukabe, selain memperbaiki penampilan, juga melakukan transformasi fisik dengan menurunkan berat badan dan melatih diri untuk masuk klub olahraga. Pasti tidak mudah, dan aku bisa membayangkan betapa besar perjuangannya.
"Yah, dari sudut pandangmu, kau mungkin berpikir aku tidak usah mengusik Toiro-chan dengan alasan seperti itu."
Kasukabe menutup pembicaraannya. Benar sekali. Aku tahu bahwa Toiro dianggap sebagai gadis tercantik di angkatan kami, tetapi masih ada gadis lain yang juga cantik.
"Lalu, bagaimana dengan Funami?" tanyaku.
"Dia... adalah gadis yang sangat penting bagiku. Sejak bertemu di SMA ini, kami sangat cocok. Dia adalah gadis yang luar biasa, baik sebagai seorang teman maupun sebagai seorang perempuan. Dan dia menyukaiku... Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, aku berusaha sejauh ini untuk bisa berpacaran dengan gadis tercantik di angkatan. Itu satu-satunya cara untuk membalas dendamku."
Kepala Kasukabe terasa keras. Dia terlalu terpaku pada tujuannya. Bahkan jika dia berhasil berpacaran dengan Toiro, itu tidak akan memberikan dampak apa pun pada mereka yang pernah membully-nya.
Namun, itulah satu-satunya tujuan dan motivasi yang selama ini mendorongnya untuk terus berusaha. Jika tidak memiliki tujuan itu, mungkin dia tidak akan sampai sejauh ini.
—Tapi, kalau begitu, kenapa...?
Saat aku hendak bertanya tentang hal lain yang menggangguku—
"Tapi, aku merasa sedikit lega."
Kasukabe tiba-tiba berbisik.
"Hm?"
Aku menoleh sedikit ke arahnya.
"...Waktu itu, kau sempat melihat sisi diriku yang memalukan. Aku sebenarnya khawatir kau akan menyebarkan cerita tentang aku yang dulu dibully, tapi sepertinya itu tidak terjadi. Kau tidak menceritakannya pada siapa pun, kan?"
"Ah, ya, begitulah."
"…Karena itulah, hari ini aku merasa ingin jujur pada seseorang, dan kupikir itu bisa denganmu. Selain itu…"
Kasukabe berhenti sejenak, menarik napas kecil.
"Entah kenapa, aku merasa ingin ada seseorang yang mendengarkan usahaku selama ini. Aku ingin ada yang tahu. Memangnya aku siapa, sok jadi pahlawan tragis? Tentu saja aku tidak bisa menceritakannya pada orang-orang di sekitarku, termasuk Kaede-chan. Hanya kau yang ada. Dan, entah kenapa, aku merasa kau bisa sedikit memahami perasaanku."
Kasukabe menatap ke arahku. Mata itu, yang tadinya menyiratkan permusuhan, kini tampak lebih lembut dan damai.
Seperti yang dia bilang, aku yang selama ini berusaha menjadi pria yang pantas untuk Toiro, sedikit bisa memahami perjuangan Kasukabe.
Namun, tetap saja, aku tidak bisa memaafkan fakta bahwa itu mengganggu Toiro. Tapi—
"Ngomong-ngomong, kau yang mengajak Funami untuk ikut Couple Grand Prix, kan?"
Aku bertanya langsung pada Kasukabe. Informasi itu berasal dari Toiro, yang mendengarnya dari Funami. Sebenarnya, aku ingin menanyakan hal ini sebelumnya, tetapi pembicaraan tadi malah melantur.
"…Iya, aku yang mengajaknya."
"Kenapa? Bukankah tujuanmu adalah Toiro? Kenapa ikut acara seperti Couple Grand Prix dengan Funami?"
Aku bertanya sambil menyebutkan nama mereka dengan jelas. Ini penting. Kupikir, ini adalah momen di mana aku bisa menanyakan isi hati Kasukabe.
"…Begini. Aku ingin… memperjelas sesuatu."
"Memperjelas?"
"Ya. Kau pernah bilang, kan? Untuk memperjelas semuanya. Mendengar itu, aku merasa sudah saatnya aku melakukannya juga."
Sambil berbicara, Kasukabe mengalihkan pandangannya dengan sedikit canggung. Dia memasukkan tangannya ke saku blazer, lalu berdiri.
"Terima kasih untuk hari ini. Aku akan berlatih Tetris lebih giat."
Dengan kata-kata itu, dia pergi, berjalan cepat menuju jalan raya.
Aku hanya bisa terdiam, terlalu terkejut untuk memanggilnya kembali. Kata-kataku sendiri dari waktu di depan arcade itu terus terngiang di kepala.
"Toiro atau Funami, siapa yang kau sukai? Bisakah kau memperjelasnya di sini dan sekarang?"
Waktu itu, Kasukabe hanya terdiam tanpa menjawab.
—Dan sekarang, dia mencoba memberikan jawabannya...?
Sejak aku tahu dia ikut Couple Grand Prix bersama Funami, aku sudah merasa ada yang aneh.
Ah…
Meski ini urusan orang lain, jantungku berdetak kencang tanpa alasan yang jelas. Mungkin saja, Funami juga sedang mendapatkan kesempatannya—.
*
Setelah sampai di rumah, malam harinya aku menelepon Toiro.
"Intinya, dia memutuskan untuk menjadi keren. Dan sebagai target, dia ingin menaklukkan gadis tercantik di angkatannya."
Aku menyampaikan ringkasan percakapanku dengan Kasukabe hari ini.
"Hebat! Kau berhasil membuatnya bicara! Hahaha, ini pasti karena aku mengajarkan Tetris padamu. Kerja bagus, muridku."
"Katanya kau tidak mau punya murid."
Aku sengaja tidak menyebutkan soal dia yang pernah dibully atau usahanya untuk debut di SMA. Meskipun ingin memberitahukannya pada Toiro, aku merasa tidak pantas membocorkan rahasia itu. Kasukabe telah mempercayakan semuanya padaku.
"Yang terbaik… padahal, tidak ada yang secara resmi bilang kalau aku ini nomor satu, lho."
Dari speaker ponsel, suara Toiro terdengar seperti sedang mengeluh pelan.
"…Yah, rumor seperti itu cukup sering terdengar, jadi kau mungkin memang yang terbaik."
Satu atau dua orang saja tidak cukup untuk menggambarkannya—pendapat bahwa Toiro itu cantik tampaknya sudah menjadi kesepakatan umum di angkatan kami. Bahkan, aku pernah mendengar bahwa dia disebut sebagai "Keajaiban Meihoku" sejak SMP.
Saat aku memikirkan itu semua, suara Toiro memecah lamunanku.
"Masaichi, bagaimana denganmu…?"
Begitu yang Toiro menanyakan, membuatku refleks menatap ke arah ponselku.
"Aku? Hmm... yah, menurutku kau cantik, sih."
Cantik ya cantik. Aku memang berpikir begitu, dan dari sudut pandang umum pun jelas itu benar. Menyangkal hal itu hanya akan terdengar aneh. Tapi… entah kenapa, pikiranku jadi berputar-putar, terasa kacau.
"Peringkat satu?"
Dia bertanya lagi, membuatku semakin terpojok.
"Pertama… kurasa, Aku juga tidak terlalu kenal dengan gadis-gadis lain."
"Oh, jadi meski hampir tidak mengenal gadis lain, aku tetap nomor satu, ya?"
Dia tertawa kecil di ujung telepon “Hehehehe”
"Dan kau senang dengan fakta itu?"
"Tentu saja. Meski tidak tahu tentang yang lain, aku tetap nomor satu bagimu. Rasanya malah jadi lebih meyakinkan, ya?"
"Begitu… yah, itu tergantung cara pandang, memang."
Tapi benar juga. Aku tidak punya keinginan untuk mengenal gadis lain, jadi bisa dibilang Toiro memang nomor satu bagiku. Merasa malu sendiri, aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran itu.
"Pokoknya, akhirnya kita tahu kenapa Kasukabe menaruh perhatian padamu."
"Benar juga. Ini kemajuan besar!"
"Dia bahkan bilang belum memberi tahu Funami soal ini."
Begitu aku mengatakan itu tanpa berpikir, Toiro tiba-tiba bereaksi dengan nada terkejut.
"Apa?"
"Hah?" Aku bergumam, bingung dengan reaksinya.
Lalu, ucapan berikutnya membuatku terdiam.
"Sebenarnya, aku juga berpikir untuk memberitahumu… tapi, soal itu… Kaede-chan sudah tahu, lho."
☆
Setelah hari pertama festival sekolah selesai, aku dan Kaede-chan berjalan bersama menuju area dekat stasiun.
Entah bagaimana, ini pertama kalinya kami pergi berdua ke suatu tempat. Meski awalnya agak canggung, rasa itu hilang seiring obrolan kami yang hangat tentang kafe baru yang ingin kami coba.
"Jadi, alasanku menyukai Kasukabe-kun, ya."
Setelah kami duduk dan sedikit santai, Kaede-chan langsung mengangkat topik utama.
"Kaede-chan kelihatan menikmati ini, ya."
"Yah, ini obrolan cinta antar perempuan. Tentu saja seru, dong."
Dia tertawa kecil sambil menyeruput kopi lattenya.
Setiap kali berbicara tentang Kasukabe-kun, Kaede-chan selalu terlihat ceria dan berbinar-binar. Cerita yang dia bagi kebanyakan adalah kisah manis dan penuh pujian, tapi justru itu membuatnya terlihat lebih menarik.
Kaede-chan, yang biasanya cantik, sedikit dewasa, dan tenang, jadi tampak imut ketika berbicara tentang orang yang dia sukai. Aku suka melihat sisi itu darinya—bisa kulihat sepanjang hari tanpa bosan.
Sambil memikirkan itu, aku ikut menyeruput cokelat panas yang kupesan.
"Aku ingin merasakan cinta yang indah. Sesuatu yang lebih dari sekadar cinta biasa," katanya sambil mulai bercerita. Aku mengangkat pandangan dari permukaan cangkir cokelatku untuk menatapnya.
"Dulu aku cukup tertutup, tidak peduli soal penampilan. Mataku minus parah, dan aku memakai kacamata dengan lensa tebal. Itu waktu SMP. Toiro-chan, kau tahu aku waktu itu?"
"Eh, um, itu…"
Kami tidak pernah sekelas selama SMP. SMP Meihoku itu besar, semacam sekolah raksasa di daerah ini dengan sekitar sepuluh kelas per angkatan. Aku memang tidak kenal semua murid.
Saat kami masuk SMA dan menjadi teman sekelas, aku ingat terkesan dengan betapa cantiknya dia.
Tapi sekarang, mendengar ceritanya, aku menyadari bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Kaede-chan waktu SMP.
"Bukan hanya Mayuko, aku juga sempat terinspirasi dari film atau drama percintaan, tapi ketika melihat kenyataan, ada orang-orang di sekitarku yang menjalani hari-hari penuh kilauan, sedangkan aku hanya menjalani kehidupan yang suram dan monoton setiap hari. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini cukup bagiku? Aku memutuskan untuk berubah. Aku berusaha keras, mencoba banyak hal, dan perlahan menemukan cara untuk memperbaiki diri. Ketika masuk SMA, akhirnya aku berhasil masuk ke grup yang sering disebut kumpulan gadis-gadis cantik di kelas. Mereka semua baik dan dengan mudah menerima keberadaanku meski aku awalnya canggung." Kaede-chan memulai ceritanya.
Kaede-chan tersenyum lembut, senyum yang membuatnya tampak damai. Aku tidak pernah tahu. Aku tidak tahu kalau dia menyimpan perasaan seperti itu saat bergabung dalam circle kami.
"Lalu, Toiro, kau ingat tidak?"
"Eh? Ingat apa?"
"Awal masuk sekolah, ada semacam pertemuan informal antar siswa baru. Waktu itu, siswa-siswa yang cukup menonjol di angkatan kita yang ikut. Dari kelas kita, ada kau, Urara, dan Mayuko. Ada juga anak-anak dari kelas lain, termasuk beberapa anak laki-laki dari klub basket dan sepak bola. Kita pergi main bowling dan karaoke bersama."
"Oh, iya, aku ingat!"
Aku teringat bahwa sepulang acara itu, aku bertemu Masaichi di depan sebuah minimarket. Beberapa hari setelahnya, aku bahkan mengaku sebagai pacar pura-puranya.
"Waktu itu, aku sebenarnya belum paham betul soal cara bersenang-senang seperti itu. Aku mencoba meniru orang lain saat main bowling, dan saat karaoke, aku sengaja sering keluar untuk mengambil minuman atau pura-pura pergi ke toilet supaya tidak perlu memegang mikrofon."
"Eh? Aku sama sekali tidak menyadarinya!"
"Kan? Aku cukup pandai menyembunyikan hal-hal seperti itu. Tapi jujur saja, aku sangat lelah. Rasanya menjadi 'orang keren' itu sungguh melelahkan."
Kaede-chan tertawa kecil.
"Saat aku sedang beristirahat di dekat area minuman, hanya ada satu orang yang menyadari keadaanku waktu itu."
Wajahnya langsung berbinar ketika menyebut nama orang itu.
"Kasukabe-kun, ya?"
"Iya, dia mendekat dan berbicara padaku untuk pertama kalinya. Rupanya, dia juga merasa lelah dan ingin menghindar. Dia bilang, 'Capek juga, ya. Jangan terlalu memaksakan diri.' Saat itu, aku panik karena belum menyanyi sama sekali, dan dia menyarankan untuk mencari lagu yang bisa kami nyanyikan bersama. Jadi, ketika tiba giliranku, dia ikut bernyanyi denganku."
Kaede-chan tertawa manis. "Saat itu, hatiku langsung luluh. Wajar, kan?"
"Ya, wajar banget!" Aku setuju sambil tersenyum lebar.
Kaede-chan mencondongkan tubuhnya ke arahku, antusias.
"Tapi, tahu tidak? Kalau dipikir-pikir, Kasukabe-kun juga tidak menyanyi satu lagu pun sebelumnya. Bahkan, dia kelihatan tidak terlalu paham cara mengoperasikan mesin karaoke. Aku memperhatikannya diam-diam, dan dia tampak berusaha keras menyesuaikan diri dengan suasana."
"Maksudmu…?"
"Iya. Aku rasa, dia juga baru pertama kali mencoba gaya hidup seperti itu. Sama seperti aku, dia juga tampak canggung dan bingung."
"Jadi, mungkin Kasukabe-kun juga seorang 'debutan SMA'?"
"Tepat. Setelah kami semakin dekat, aku sempat mengintip album kelulusan SMP-nya. Aku jadi yakin. Oh, ini rahasia, ya. Jangan sampai dia tahu."
"O-oke, aku janji."
Saat itu, ponsel Kaede-chan yang terletak di atas meja bergetar. Notifikasi yang muncul menampilkan gambar wajah samping Kasukabe-kun. Melihat itu, Kaede-chan tersenyum penuh kasih.
"Di tengah semua keterbatasannya waktu itu, Kasukabe-kun tetap membantu aku."
Nada suaranya begitu lembut, pandangannya hangat, dan ekspresinya melonggar.
Aku bisa merasakan betapa tulusnya perasaan cinta itu mengalir darinya.
"Aku mengerti sekarang. Itu sebabnya kau menyukainya."
Kaede-chan selalu jujur pada perasaannya. Dia tidak pernah menahan diri, terus merawat perasaan yang dia miliki sejak awal. Dan kini, aku melihatnya sebagai seseorang yang benar-benar bersinar.
☆
Hari itu, aku akhirnya mengerti alasan Kaede-chan dan Kasukabe-kun saling menyukai. Di malam yang sama, aku dan Masaichi membuat sebuah rencana untuk menghadapi hari kedua festival sekolah.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.