Kanojo Wo Ubatta Ikemen Bishoujo Ga Naze Ka Oremade Nerattekuru chap 3 V2

Ndrii
0

Bab 3

Mimpi yang Terselip di Akuarium




“Serius... kemarin kamu bikin jantungku mau copot, tahu.”


“Eh, masih ngomongin itu. Tidak masalah, bukan? toh akhirnya tidak ketahuan juga.”


Hari Sabtu, sehari setelah Mizushima menjalani debut singkatnya sebagai pelayan kafe.


Seperti yang ia janjikan, meskipun ini menjelang ujian tengah semester, ia tetap mengajakku untuk kencan di hari libur.


Pagi itu, aku memenuhi panggilannya seperti biasa di Stasiun Sakuragicho, pukul sepuluh tepat.


Setelah bertemu di sana, kami menaiki kereta dan monorel selama sekitar 30 menit menuju sebuah pulau buatan di kawasan pesisir kota, yakni Hakkeijima.


“Lagipula, kita bisa datang ke sini hari ini berkat aku yang jadi pelayan untuk menggantikan anggota klub film, kan? Harusnya kamu kasih sedikit penghargaan buat aku.”


“Yah, sebenarnya aku tidak masalah kalau kita tidak ke sini juga. Toh kita bisa kencan di tempat yang lebih dekat.”


“Ara, jangan cuek begitu~. Ini kan ‘Sea Paradise’! Cobalah lebih semangat sedikit.”


Seperti yang dikatakan Mizushima, tempat kencan kami hari ini adalah Hakkeijima Sea Paradise.


Sebuah destinasi wisata di atas pulau buatan yang menghadap ke Teluk Tokyo, lengkap dengan taman hiburan, akuarium, restoran, dan pusat perbelanjaan. Semuanya tersedia dalam satu lokasi.


“Selain itu, hari ini kita punya tiket ini dari ketua klub.”


“Yah, memang sih.”


Alasan utama kami datang ke sini adalah karena “imbalan” dari pekerjaan pelayan kafe kemarin.


Mizushima menyerahkan seluruh bayaran dari pekerjaan itu untuk mendanai klub filmnya. Sebagai ucapan terima kasih, ketua klub (dengan uang pribadinya) memberikan kami One-Day Pass untuk Sea Paradise, yang mencakup tiket masuk akuarium dan tiket bebas untuk wahana taman hiburan.


Aku memang bukan tipe orang yang suka datang ke tempat wisata ramai seperti ini, tapi kalau ini gratis, ya... sesekali tak ada salahnya juga.


“Hmm, cuacanya cerah sekali.”


Mizushima melangkah keluar dari gerbang stasiun monorel Hakkeijima dan meregangkan tubuhnya, menikmati sinar matahari yang hangat.


Angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut membuat rambutnya yang halus berayun lembut.


“Senang sekali ya hari ini langitnya cerah. Cuaca yang pas buat rekreasi.”


“Mataharinya terlalu terik. Ah, Mizushima, aku ada ide.”


“Aku tidak setuju.”


“...Aku bahkan belum bilang apa-apa.”


“Tidak perlu. Aku sudah tahu.”


Sambil tertawa kecil, Mizushima mengetuk dahiku seolah menebak pikiranku.


“Karena aku tahu kamu pasti mau bilang sesuatu seperti ‘gimana kalau kita hanya berkeliling akuarium saja lalu pulang’ atau ‘kita akan mengunjungi taman bermain, tapi untuk akuarium nya hari ini kita skip saja’.”


“Ugh... Kamu paranormal ya, kok bisa tahu!?”


“Tuh kan, benar! Tidak boleh. Hari ini kita harus menikmati semuanya, baik taman hiburan maupun akuarium.”


“Iya, iya...”


Aku mengangkat bahu, lalu memperhatikan pakaian yang dikenakan Mizushima hari ini.


Ia mengenakan tank top rajut tanpa lengan yang dilapisi kardigan, celana panjang lebar hingga pergelangan kaki, dan topi kasual sebagai penyamaran. Pakaian yang jelas-jelas dipilih untuk kenyamanan dan mobilitas.


“Hehe, kamu memperhatikan aku ya?”


Mizushima tersenyum nakal dan sengaja berpose menunjukkan ketiaknya.


Dasar cewek ini, selalu saja menggodaku.


“Tidak, kok.”


“Ara, benarkah? Aku tahu, kok. Dari tadi pagi, sejak kita ketemu di stasiun sampai sekarang, aku lihat kamu mencuri-curi pandang kearahku.”


“Haah? Ma-mana mungkin, kan...”


...meskipun sebenarnya aku memang agak memperhatikan, sih.


“Souta, kamu mungkin suka ketiak ya? Atau mungkin kamu suka tekstur kain ini? Pakaian ini memang sedikit menonjolkan bentuk tubuh, kan? Cukup seksi, ya.”


“Jangan mengatakan hal mesum dengan wajah santai begitu! Sudahlah, ayo kita cepat jalan.”


“Hihihi, tidak perlu malu-malu.”


“Aku tidak malu.”


“Baiklah, aku anggap begitu saja.”


Sambil bercanda seperti biasanya, kami akhirnya memasuki akuarium.


Lampu-lampu redup di dalamnya menciptakan suasana tenang. Kami mengikuti jalur yang mengarahkan kami untuk melihat berbagai pameran hewan laut.


“Lihat, Souta! Ada ikan dengan duri-duri tajam! Namanya... Okoze Batu Karang!”


“Iya, iya. Tajam sekali ya~.”


Mizushima mengelilingi akuarium dengan penuh antusias seperti anak kecil, matanya berbinar-binar.


Setiap kali melihat sesuatu yang menarik, ia pasti memanggilku dan mengomentarinya dengan riang, membuat suasana jadi ramai.



“Lihat deh, di sana ada ubur-ubur. Wah, kenyal-kenyal dan warnanya cerah, imut banget ya.”


“Iya, iya. Kalau ada empat, mungkin bakal hilang kayak di game.”


Sambil asal menanggapi Mizushima yang sedang bersemangat, pikiranku justru melayang ke hal lain.


(Padahal kemarin ada kejadian seperti gitu, tapi dia tetap saja santai seperti biasa, ya.)


Kalau dipikir-pikir, kejadian di cafe Olivier kemarin itu benar-benar situasi genting.


Meski Mizushima sedang menyamar, kalau sampai ada satu kesalahan kecil saja, rahasia soal “pertaruhan” kami mungkin sudah ketahuan oleh Ena-chan.


Sebenarnya aku masih heran kenapa waktu itu kami tidak ketahuan, padahal sempat adu argumen dengan cukup sengit. Apakah karena penyamaran Mizushima yang terlalu bagus, atau Ena-chan yang terlalu lambat menyadarinya?


Apa pun alasannya, aku tidak mau lagi mengalami situasi seperti itu.


Sisa waktu sampai “pertaruhan” ini selesai tinggal dua minggu. Aku harus lebih berhati-hati agar hubungan kami tidak diketahui siapa pun.


(Yah, ngomong-ngomong… Ena-chan dalam seragam pelayan itu imut banget, ya.)


Baru saja aku bertekad untuk fokus, tapi pikiranku malah kembali ke hal lain. Aku tidak bisa menahan senyum saat mengingatnya.


Biasanya, pakaian kasual Ena-chan selalu terkesan sederhana dan kalem. Tapi kemarin, dia memakai pakaian penuh renda yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ditambah lagi dengan blus berlubang di bagian dada yang tidak jelas fungsinya, serta rok pendek yang memperlihatkan garter belt-nya.


(…Ya ampun.)


Saat itu aku terlalu sibuk dengan situasinya hingga tidak sempat mikirin hal ini. Tapi kalau dipikir-pikir, kostum itu terlalu… menggoda. Ena-chan, bagaimana kamu bisa punya keberanian memakai pakaian seperti itu untuk melayani pelanggan?


Jujur saja, mengingatnya saja bikin aku hampir kehilangan fokus sekarang.


“…Souta?”


(Ngomong-ngomong, selama ini dia selalu pakai pakaian yang tertutup, jadi aku tidak sadar kalau sebenarnya…)


“Nee, Souta! Dengar tidak sih!?”


“Ah!? Eh, Mizushima?”


Ketika aku tersadar, Mizushima sudah berdiri tepat di depanku dengan ekspresi kesal.


“Akhirnya sadar juga. Aku sudah memanggilmu berkali-kali.”


“Ah, maaf. Aku tadi melamun. Tadi kamu bilang apa?”


“Aku bilang, sebentar lagi pertunjukan lumba-lumba di lantai empat akan dimulai. Ayo kita lihat!”


“Oh, oke. Kalau gitu, ayo kita segera ke sana.”


Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan berjalan mendahuluinya, tapi—


“Tunggu.”


“Ugh!”


Dia tiba-tiba menarik kerah jaketku, membuatku mengeluarkan suara aneh seperti reptil yang tercekik.


“Ugh… Uhuk, uhuk. Ada apa sih?”


“Souta, kamu barusan lagi mikirin Ena-chan, ya?”


(Deg.)


“Dari ekspresimu, sepertinya aku benar. Kamu pasti tadi sedang mengingat penampilan Ena-chan dalam kostum pelayan yang agak… sensual itu, kan?”


(Deg, deg.)


Aku langsung berkeringat dingin. Tapi sebelum aku bisa membalas, Mizushima tiba-tiba memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya dan menarik wajahku lebih dekat ke wajahnya.


Mata hijau zamrudnya menatapku tajam, hanya beberapa sentimeter dari hidungku.


“Souta, aku punya satu pertanyaan.”


“A-apa itu?”


“Hari ini, siapa yang sedang berkencan denganmu?”


“…M-Mizushima Shizuno-san.”


“Betul, kan? Kalau begitu...”


Dia menatapku dengan pandangan setengah kesal dan mempererat pegangannya di pipiku.


“Jangan pikirkan Ena-chan. Aku hanya memikirkanmu, jadi kamu juga harus memikirkan diriku saja. Kalau tidak, itu tidak adil namanya. Mengerti?”


Ditekan dengan sikapnya yang begitu tegas, aku tidak punya pilihan selain mengangguk pelan.


Setelah melihatku patuh, Mizushima tampak puas. Wajahnya yang tadi kesal berubah ceria seketika.


“Bagus. Ayo kita pergi! Kalau terlalu lama, nanti kita tidak dapat tempat duduk bagus.”


“Iya, iya. Aku tahu, jangan menarikku seperti itu.”


Dengan sikap riangnya yang seperti anak kecil, Mizushima menggandeng tanganku, tampak puas sekali.


Hanya gara-gara memikirkan Ena-chan sebentar saja, dia jadi begini. Yah, dia memang sedikit merepotkan, sih.


Tapi entah kenapa, hari ini dia lebih sensitif dari biasanya. Padahal sebelumnya, kalau aku menyebut nama Ena-chan, reaksinya tidak separah ini.


(Mungkin lebih baik aku tidak membicarakan Ena-chan di depan Mizushima lagi.)


Dalam perjalanan menuju tempat pertunjukan lumba-lumba, aku membuat keputusan itu dalam hati.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


Sesampainya di Aqua Stadium, pertunjukannya sudah dimulai.


Penonton memenuhi tempat duduk berbentuk cekungan besar. Dari pengeras suara, terdengar suara pemandu acara perempuan.


“Dan inilah penampilan pertama! Dua lumba-lumba putih, Kukuru-chan dan Moko-kun! Selamat menikmati pertunjukan air yang anggun antara manusia dan lumba-lumba!”


Riuh tepuk tangan menyambut pengumuman itu.


“Wah, sudah mulai ya. Souta, ayo cari tempat duduk!”


“Dari sini juga bisa kelihatan, kan? Gimana kalau kita berdiri aja di belakang?”


“Tidak mau. Aku mau lihat dari barisan depan. Ayo cepat!”


“Iya, iya.”


Sambil matanya yang berwarna zamrud berkilau seperti anak kecil, Mizushima menarik tanganku dan terus menuruni tangga menuju barisan paling depan.


Namun, seperti yang diduga, hampir semua tempat duduk di barisan terdepan sudah terisi, dan satu-satunya kursi yang tersisa hanya cukup untuk satu orang.


“Yah, kita terlambat datang, jadi mau bagaimana lagi. Mending kita duduk di tempat yang masih kosong aja.”


Aku mencoba meninggalkan tempat itu sambil berkata begitu, tapi Mizushima, yang masih menggenggam tanganku, tidak bergerak, membuatku hampir tersandung ke belakang.


“Wah! Eh, kenapa kamu berhenti?”


“Kamu yang kenapa? Ayo duduk cepat.”


“Hah? Tapi hanya ada satu kursi kosong di sini.”


Apa dia serius nyuruh aku berdiri di samping sementara dia duduk?


Aku mulai merasa curiga, tapi jawaban yang Mizushima berikan ternyata lebih di luar dugaan.


“Kalau begitu, kita duduknya begini aja.”


Sambil berkata begitu, Mizushima mendorongku untuk duduk di kursi kosong itu terlebih dahulu.


Kemudian, entah apa yang dia pikirkan, dia menyelipkan tubuhnya ke celah di antara kakiku dan dengan santainya duduk di sana.


“Eh, Mizushima? Apa yang sedang kamu lakukan?”


“Kan begini jadi bisa duduk berdua meskipun hanya ada satu kursi.”


Dengan wajah bangga, seolah dia baru saja menemukan ide brilian, Mizushima bersandar ke dadaku.


Tidak cukup dengan itu, dia bahkan menarik kedua tanganku yang kebingungan dan meletakkannya di pinggangnya sendiri.


“Wah, dipeluk seperti ini sama Souta, rasanya nyaman banget. Mulai sekarang kalau kita mau nonton film, harus duduk begini, ya.”


“Ya ampun, kamu ngapain coba. Seriusan.”


Meski mencoba bersikap tenang dan memberi komentar biasa, di dalam hati aku sebenarnya sangat panik.


Memang, ini bukan pertama kalinya Mizushima bertingkah lengket seperti ini, dan aku pikir aku sudah mulai kebal. Tapi, seakrab apa pun aku dengan sentuhannya, tingkat keintiman seperti ini tetap membuatku sedikit terpengaruh.


“Dengar, Souta. Aku tahu kamu tertarik padaku, tapi kan kita sudah dapat tempat duduk di depan. Jadi, sekarang kita fokus saja menonton acaranya.”


“Siapa yang tertarik! Aku hanya kepanasan aja gara-gara ini…”


“Iya, iya. Dasar tsundere.”


“Siapa yang tsundere!?”


Pada akhirnya, aku sama sekali tidak bisa fokus pada pertunjukan. Sebelum aku sadar, segmen pertama sudah selesai begitu saja.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Luar biasa, ya! Kukuru-chan dan Moko-kun imut banget!” Mizushima bersorak penuh semangat. 


“Souta, nanti kita ke toko souvenir, yuk! Katanya ada boneka dua lumba-lumba itu yang dijual!”


“Boneka? Ya, beli aja kalau mau.”


“Bukan hanya aku. Kamu juga harus beli.”


“Hah? Kenapa aku juga?”


Saat aku bingung, Mizushima tiba-tiba menunjukkan ekspresi serius.


“Dengar, Souta. Kukuru-chan dan Moko-kun itu pasangan lumba-lumba yang terkenal banget sebagai pasangan romantis di Seapara. Makanya, semua merchandise mereka dijual sepaket berdua. Ada yang bilang kalau punya boneka mereka, keberuntungan asmara kamu bakalan naik!”


Wah, ngomongnya cepat banget, ya. Dia pasti sudah riset habis-habisan tentang tempat ini sebelum datang.


“Aku mau beli boneka Kukuru-chan, jadi kamu beli Moko-kun, ya. Kalau kita punya masing-masing, katanya hubungan kita bakal langgeng seperti mereka!”


“…Baru-baru ini aku dengar cerita yang mirip, ya.”


Biasanya, Mizushima sering dibilang tampan atau “cowok idaman”, tapi soal percaya mitos atau ramalan, dia tidak jauh beda sama cewek remaja lainnya.


(Langgeng selamanya, ya…)


Hubungan “pacaran” kami akan selesai dalam waktu sekitar seminggu lagi. Setelah aku menolak pengakuan kedua Mizushima, semuanya akan kembali seperti semula.


Langgeng selamanya… Itu jelas tidak mungkin.


Apakah dia hanya mencoba terlihat kuat? 


Atau apakah dia benar-benar percaya diri bisa membuatku jatuh cinta dalam seminggu? 


Entahlah, tapi satu hal yang pasti, Mizushima tidak akan menyerah.


“Jadi, gimana? Sebagai kenang-kenangan hari ini juga.”


“Ya, ya, aku beli. Tapi belinya nanti aja biar tidak ribet membawanya.”


“Yatta!”


Senyum cerah Mizushima muncul lagi, seolah-olah semuanya sudah sesuai rencana. Aku hanya bisa menghela napas sambil mengikuti langkahnya kembali fokus ke panggung.


“Berikutnya! Kali ini kita akan kedatangan bintang tamu yang pasti kalian semua kenal. Benar sekali, mereka adalah lumba-lumba hidung botol!”


Mendengar itu, Mizushima berseru gembira sambil bertepuk tangan, “Wah! Souta, lihat itu!”


“Iya, aku lihat. Jadi tidak perlu nengok ke arah ku terus!”


Kenapa dia jadi seperti anak kecil yang terus-menerus mencari perhatian orang tuanya?


“Anu, apa kamu menyukai lumba-lumba?”


“Suka banget! Mukanya lucu, suaranya imut, dan mereka pintar sampai bisa tampil di acara kayak gini. Itu adalah hewan favorite ku!!”


“Hmm, begitu…”


Visual yang keren, pintar, dan pekerjaan mereka adalah tampil di hadapan banyak orang sebagai idola.


Kalau dipikir-pikir, ada banyak kesamaan antara lumba-lumba dan Mizushima.


Kegemarannya pada lumba-lumba mungkin karena tanpa sadar ia merasa ada kemiripan atau rasa akrab terhadap mereka.


“Panjang tubuh sekitar 2 hingga 3 meter, berat sekitar 200 hingga 300 kilogram. Dengan tubuh besar mereka, lumba-lumba akan menunjukkan lompatan-lompatan dinamis untuk Anda! Nah, mari kita mulai pertunjukan! Musik, mulai!”


Begitu BGM dramatis mulai mengalun, pertunjukan akrobatik lumba-lumba pun dimulai.


Mereka berselancar dengan hidungnya sambil membawa manusia, melompat melewati cincin yang digantung di udara, dan berbagai atraksi lain yang benar-benar memukau.


Setiap kali mereka menyelam ke permukaan air, cipratan airnya membasahi barisan kursi penonton paling depan.


“Wah, dingin!”


Rupanya, cipratan air membasahi wajah dan rambut Mizushima.


Dia menggoyangkan kepala seperti kucing untuk mengeringkan air di rambutnya, lalu menoleh ke arahku sambil tersenyum.


“Fufu... jadi basah, deh.”


“!?!”


Lagi-lagi dia tanpa sadar menunjukkan ekspresi menggoda seperti itu...!


Ekspresi polos seperti itu justru membuatku semakin terpesona, jadi tolong hentikan.


“Ahahaha. Seru banget ya, Souta.”


“...Iya. Dari caramu bersikap, itu sudah jelas kok.”


Aku mengangkat bahu melihat Mizushima yang tampak begitu gembira. Tapi tanpa sadar, aku sendiri juga tersenyum kecil.


◆   ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧   ◆


“Ahh... Souta... aku sudah tidak kuat!”


“Baru juga masuk ujungnya, kan? Nanti juga terbiasa, jadi sabar sedikit.”


“T-tapi, ini gemetarnya terlalu terasa banget...”


“Itu tandanya enak, kan? Ayo, masukkan sampai bawah.”


“Ti-tidak! Tidak bisa lebih dalam lagi... Hyaaa!?”


“Jangan teriak aneh-aneh! Ada anak kecil juga di sini!”


Setelah menonton pertunjukan lumba-lumba, kami makan siang di restoran dalam akuarium. Setelah itu, kami kembali menjelajahi berbagai area pameran.


Di kompleks ini, ada empat akuarium yang masing-masing memiliki konsep berbeda. Dengan tiket “One Day Pass” yang kami miliki, kami bebas menjelajahi semuanya.


Dan tampaknya Mizushima, yang memang menyukai hewan laut, sangat menikmati setiap momennya.


“Ah, tadi geli banget saat di kolam ikan terapi! Tapi, kayaknya aku jadi ketagihan. Nanti kita ke sana lagi ya!”


“Silahkan saja. Tapi kali ini aku pura-pura tidak mengenalmu.”


“Eh, jahat banget...! Ah, Souta, lihat! Itu ada penguin!”


Mizushima menarik-narik lengan bajuku sambil menunjuk ke arah habitat penguin yang didesain menyerupai pemandangan Antartika.


Di habitat itu, ada berbagai jenis penguin dengan ukuran dan bentuk yang berbeda-beda, berjalan mondar-mandir. Kalau dilihat dari atas, pemandangan ini cukup memukau.


Area ini juga tampaknya sangat populer di kalangan pengunjung, terlihat dari kerumunan orang yang mengelilinginya.


“Penguin yang ada alisnya itu pasti penguin rockhopper, kan? Ah, lihat deh! Ada bayi penguin kecil! Lucu banget!”


“Yang besar itu apa ya? Sepertinya tingginya hampir satu meter.”


“Mana? Wah, itu sepertinya penguin raja!”


Mizushima sibuk membaca panel informasi di pagar habitat sambil terus-menerus memotret dengan kamera ponselnya.


“Oh ya, tahu tidak... Souta?”


Mizushima tiba-tiba menoleh, seolah mengingat sesuatu.


“Penguin besar seperti penguin raja atau kaisar ternyata punya kekuatan pukulan yang cukup kuat, lho.”


“Ah, aku pernah mendengarnya. Tapi sekuat apa, ya?”


“Tergantung jenis dan individunya, tapi konon pukulan dengan sayap mereka bisa sampai mematahkan tulang manusia.”


“Serius? Mengerikan juga, ya, penguin.”


Melihat penguin-penguin yang lucu ini jadi terasa sedikit menyeramkan.


“Kamu kok bisa tahu begitu? Apa kamu cari di internet?”


Aku penasaran, jadi aku bertanya dengan nada kagum. Tapi Mizushima hanya menggeleng pelan.


“Waktu kecil dulu... aku pernah diajari tentang itu, begini caranya.”


“Oh begitu, ya...”


Aku jadi teringat saat masih kecil, ketika orang tuaku sering mengajakku ke tempat seperti ini dan mengajarkan banyak hal.


Meskipun sekarang, kebanyakan dari apa yang diajarkan itu sudah kulupakan.


“Yah... wajar sih kalau lupa.”


“Eh?”


Aku menoleh mendengar gumamannya, dan melihat Mizushima memandangi penguin-penguin itu dengan ekspresi yang sedikit muram.


“‘Wajar’ apa?”


“Ah, kedengeran ya? Hehe, tidak apa-apa kok, hanya hal sepele. Jangan dipikirin, ya.”


Namun, ekspresi itu hanya sesaat. Mizushima kembali ceria dan menarik tanganku.


“Daripada mikirin itu, yuk kita lihat pameran lainnya! Masih banyak yang belum kita lihat, lho.”


“Eh? Oh, iya... baiklah.”


Sikapnya yang tadi sempat aneh membuatku penasaran. Tapi kalau dia bilang tidak apa-apa, aku juga tak punya alasan untuk terus memikirkannya.


Rasa penasaran itu perlahan memudar saat kami kembali menikmati perjalanan kami keliling akuarium.



“Wow, keren sekali! Kayak beneran ada di bawah laut!”


“Memang luar biasa, ya.”


Saat kami akhirnya sampai di area dengan akuarium raksasa, aku sudah benar-benar menikmati momen ini.


“Keren banget, ya.”


“Ya. Membayangkan kita bisa melihat begitu banyak jenis ikan di satu tempat seperti ini, itu sungguh luar biasa.”


“Hahaha. Iya sih, benar juga, ya.”


Tapi tampaknya, maksud Mizushima sedikit berbeda. Dia tersenyum sambil melanjutkan, “Tapi maksudku... meskipun kita tidak pernah lihat secara langsung, di bawah laut, pemandangan seperti ini pasti terjadi setiap hari.”


“Oh, jadi itu maksudmu...”


Tentu saja, akuarium ini pasti sudah diatur dan dimodifikasi untuk keperluan pameran.


Namun, membayangkan dunia seperti ini benar-benar ada di lautan membuatku kembali menyadari betapa agungnya alam.


“Nee, Souta. Aku ingin suatu saat nanti pergi ke laut bersamamu,” kata Mizushima sambil membalikkan badan dengan latar belakang akuarium besar di belakangnya. Dia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.


“Bukan lewat kaca seperti ini. Aku ingin melihat dunia laut yang asli, bersamamu.”


Di balik senyumnya yang ceria, terlihat kawanan ikan yang membentuk pusaran besar seperti tornado, bergerak perlahan di akuarium. Cahaya dari permukaan air jatuh menembus, seperti sorotan lampu panggung yang menerangi pemandangan itu.


“Pasti indah sekali, ya.”


Mizushima tersenyum lebar, tampak benar-benar menikmati momen itu.


Senyuman polosnya itu begitu menghangatkan hingga... Mungkin karena itu, aku merasakan sedikit rasa sakit yang aneh di dadaku, seperti ada sesuatu yang menusuk.


(Dasar. Terlalu baik hati, aku ini.)


Aku menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.


“Jangan pakai gaya bicara yang dramatis seperti itu. Kau ini bukan orang dari masa depan yang belum pernah melihat laut seumur hidupnya.”


Aku mengangkat bahu, dan Mizushima tertawa kecil sambil menjulurkan lidahnya, tampak malu-malu.


“Ah, ketahuan, ya? Sebenarnya, aku baru-baru ini menonton film fiksi ilmiah yang berlatar di masa depan, saat manusia sudah pindah ke Mars. Ada adegan di mana tokoh utama perempuan melihat video laut di Bumi dan berkata hal yang mirip, jadi aku ingin menirunya.”


“Tentu saja. Aku pernah menonton film itu dulu. Tidak heran terasa familiar.”


“Ahaha. Dasar maniak film.”


“Terima kasih atas pujiannya. Akan kuanggap itu pujian.”


“Tapi serius, aku ingin ke laut bersamamu. Kita bisa berenang, snorkeling, bahkan menyelam bersama. Oh, tenang saja. Saat itu tiba, aku akan memakai baju renang seperti yang pernah kamu bilang kamu menyukai—yang lebih terbuka.”


“Tidak perlu. Aku tidak memikirkan hal seperti itu. Dan aku juga tidak pernah bilang aku suka.”


Aku memprotes kata-katanya, yang jelas-jelas mengubah kenyataan masa lalu dengan sesuka hati, sambil menunjuk ke arahnya.


“Lagi pula, hubungan ‘pacar pura-pura’ kita ini hanya akan berlangsung satu minggu lagi. Saat musim panas tiba, kau dan aku bukan lagi musuh ataupun pasangan. Kita hanya akan menjadi teman sekelas yang tidak ada hubungan apa-apa. Jadi, maaf, Mizushima. Aku tidak bisa pergi ke laut bersamamu.”


Benar. Aku sudah memutuskan.


Meskipun Mizushima benar-benar menyukaiku dan ingin serius denganku, aku tidak ingin mengkhianati Ena-chan.


Dalam satu minggu, aku akan menolak pengakuan cintanya yang kedua dan mengakhiri hubungan aneh ini.


Aku sudah memutuskan begitu.


“Tidak bisa, ya...”


Saat aku menyatakan hal itu dengan tegas, Mizushima terlihat sedih. Tapi entah kenapa, ada sedikit senyuman di wajahnya.


“Wah, berani sekali. Masih ada satu minggu, tapi kamu sudah membuat pernyataan kemenangan. Apa tidak terlalu cepat?”


Dia kembali menampilkan senyum khasnya yang santai, sambil menarik sedikit pinggiran topi kasual yang menutupi wajahnya.


“Biasanya orang seperti itu akan terpeleset di saat-saat terakhir, tahu, Watson-kun?”


“Heh, silakan bicara sesukamu, Sherlock gadungan.”


“Fufu. Aku akan mengejarmu dan menangkapmu, demi bisa pergi ke laut bersama—aku pastikan itu.”


Dengan kata-kata yang terdengar seperti pencuri ulung yang tidak akan pernah gagal mendapatkan harta buruannya, Mizushima mengatakannya dengan penuh percaya diri.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !