Chapter 5
Malam Natal
“Sampai jumpa di lain kesempatan. Selamat Natal.”
Dengan kata-kata itu dari instruktur di podium, kelas persiapan ujian masuk universitas swasta jurusan humaniora yang berlangsung selama empat kali pertemuan, masing-masing sembilan puluh menit, pun berakhir.
Sambil melihat murid-murid yang duduk di barisan depan dan langsung mengerubungi instruktur untuk bertanya begitu kelas selesai, aku menghela napas dengan perasaan muram.
Aku mengikuti kelas bimbingan belajar ini atas saran Ibu. Memang aku belajar banyak, dan ini menjadi pengalaman yang bagus untuk melatih konsentrasi dalam waktu yang lama, sama seperti ujian nanti.
Ini adalah persiapan terbaik untuk ujian… tapi,
──Selamat Natal.
Instruktur itu mungkin bermaksud baik. Tapi, kata-kata itu justru menusuk hatiku.
Hari ini malam Natal. Dan juga ulang tahunku.
Tapi…!
(Aku belum sempat minta maaf pada Senpai…!!)
Selain ujian, ada masalah lain yang memenuhi kepalaku.
Yaitu, hubunganku dengan Senpai yang sedang renggang.
Itu semua berawal dari seminggu yang lalu.
◆◆◆
Hari itu, tiba-tiba kakakku menelepon. Yah, dia memang sering menelepon tanpa alasan.
Aku mendengarkannya bercerita tentang kehidupannya seperti mendengarkan radio sambil belajar.
“Kemarin aku pergi kencan buta dengan Motomu…”
“…Eh?”
Meskipun aku sedang fokus belajar, kata-katanya langsung masuk ke telingaku, dan aku tidak bisa mengabaikannya.
“Ka-kakak? Kencan buta dengan Senpai…?”
“Iya, kemarin!”
Kakakku terus bercerita tentang pengalaman pertamanya pergi ke izakaya, betapa lucunya gadis-gadis di sana, tapi tetap saja Hasebe-san (pacar kakakku) yang terbaik, dan lain sebagainya, tapi aku tidak bisa mendengarkannya…
(Se-Senpai kencan buta?! Kenapa? Bagaimana bisa?!)
Kepalaku pusing, dan aku hampir pingsan sampai tidak bisa belajar.
Tapi, mungkin ini hanya salah paham. Aku harus bertanya lebih detail pada kakakku…!
“Oh, sudah waktunya aku pergi! Senang mendengar suaramu yang ceria! Semangat belajarnya! Sampai jumpa!”
“Eh?! Kakak, tunggu!!”
Kakakku menutup telepon secara sepihak.
Aku hanya bisa mendengar nada sambung. Aku langsung meneleponnya kembali, tapi… dia tidak mengangkatnya.
Aku mengirim pesan, tapi tidak dibaca!
“Dia egois sekali…! Ta-tapi, mungkin itu hanya leluconnya!”
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, tapi ceritanya terasa terlalu nyata untuk sebuah lelucon.
(Aku tidak mau percaya… tapi)
Kalau memang benar Senpai ikut kencan buta…
Misalnya, dia diajak temannya dan tidak bisa menolak…?
Kalau begitu, tidak apa-apa. Meskipun aku sedih membayangkan Senpai dikelilingi gadis-gadis buas.
Tapi, mungkin saja… Senpai sudah muak denganku dan benar-benar ikut kencan buta untuk mencari pacar… meskipun kemungkinannya sangat kecil!!
(Tidak mungkin, tidak mungkin…! Lagipula, itu mungkin hanya karangan kakakku! Pasti begitu! Mungkin begitu…)
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.
Tapi, itu tidak akan memberiku jawaban.
Untuk tahu jawabannya, aku harus bertanya langsung pada Senpai….
“Tapi, bagaimana caranya?!”
Kalau aku bertanya langsung, “Senpai, apa kau ikut kencan buta?”, itu seperti aku menuduhnya selingkuh.
Lagipula, meskipun itu hanya salah paham, kecurigaanku bisa menjadi masalah besar di kemudian hari.
“Oh ya, mungkin aku bisa bertanya pada Ricchan… tidak, tidak boleh.”
Kalau Ricchan tahu, dia pasti akan langsung bertanya pada Senpai.
Meskipun aku tidak apa-apa, itu bisa merusak hubungan Senpai dan Ricchan.
“Ugh, bagaimana ini?!”
Aku memegang kepalaku dan tidak bisa lagi fokus belajar.
Aku ingin percaya pada Senpai. Tapi, aku tidak percaya diri kalau dia tidak akan meninggalkanku.
Lagipula, aku masih SMA… masih anak-anak.
Mungkin ada banyak orang dewasa yang lebih cocok dengan Senpai di luar sana, di dunia universitas.
Senpai memang bilang dia menyukaiku, tapi aku tetap merasa cemas.
(Aku ingin bertemu Senpai. Aku ingin melihat wajahnya, menyentuhnya… kalau aku bisa melakukan itu, aku pasti akan tenang.)
Aku benci kelemahanku ini.
Jarak di antara kami terasa sangat menyesakkan.
Dulu, hatiku menghangat hanya dengan melihat wajahnya, tapi sekarang aku merasa semakin tertekan dan sedih.
“Tidak boleh. Kalau begini, aku tidak pantas bertemu Senpai. Aku harus berusaha lebih keras. Lebih keras, lebih keras lagi…”
Aku bergumam pada diri sendiri dan kembali belajar.
Tapi, aku tidak bisa fokus lagi… Aku butuh waktu yang jauh lebih lama untuk mengerjakan satu soal, dan akhirnya aku tidak bisa menyelesaikan setengah dari targetku.
◆◆◆
“Bagaimana ini, bagaimana ini, bagaimana ini?!”
Keesokan harinya, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar!
Aku sangat sedih sampai-sampai aku bermimpi buruk, dan akhirnya, akhirnya…!
“Kenapa aku menelepon Senpai?!”
Aku… tidak tahan lagi, dan tanpa sadar aku menelepon Senpai dan bertanya padanya!
Dulu, aku selalu berhasil saat tiba-tiba datang ke apartemen atau rumahnya, mungkin karena itu, aku yang sedang putus asa jadi bertindak tanpa berpikir panjang.
Dan, aku bertanya pada Senpai apakah dia ikut kencan buta… dan dari reaksinya, aku tahu itu benar.
Saat itu juga, mentalku hancur.
Senpai memang menjelaskan alasannya, tapi aku tidak bisa menerimanya dan hanya bisa berusaha keras untuk terlihat tenang.
Dan waktu pun berlalu──sampai sekarang.
Semangatku saat itu sudah hilang seperti balon tua.
Aku sempat berpikir aku berhasil mengendalikan diri, tapi kalau kupikir-pikir, pasti suaraku terdengar panik, dan aku hampir tidak ingat isi percakapan kami… Senpai pasti tahu kalau aku aneh.
Memang, sejak saat itu, meskipun kami masih bertukar pesan, rasanya canggung, dan aku tidak bisa menatapnya… yah, meskipun kami tidak benar-benar bertemu, dan mungkin itu hanya perasaanku!
(Pada akhirnya, aku tidak bisa membicarakannya hari ini…)
Akhirnya, tanggal 24 Desember pun tiba.
Seperti biasa, keluargaku akan mengadakan pesta Natal sekaligus ulang tahunku.
Malam ini, Ibu akan memasak makanan paling mewah setahun sekali.
Meskipun kakakku tidak ada di sini, ini seperti hari-hari biasanya… tapi, tidak seperti biasanya, aku merasa sedih dan tertekan.
Aku tidak ingin pesta besar. Sekarang kan sedang musim ujian, dan Senpai mungkin tidak datang untuk merayakannya demi masa depanku.
Tapi, aku sedih karena tidak ada acara apa pun meskipun kami sudah berpacaran.
Aku ragu-ragu dan tidak bisa memutuskan. Tapi, aku tetap saja egois dan banyak menuntut.
Aku benci diriku sendiri yang seperti ini.
“Di luar turun salju!”
Aku tersentak mendengar suara temanku yang ikut kelas bimbingan belajar.
Aku tidak boleh melamun di sini.
Ibu dan yang lain akan khawatir kalau aku pulang terlambat, dan aku juga harus belajar.
Benar, aku tidak boleh terlena dengan malam Natal atau ulang tahun.
Aku harus memanfaatkan setiap detik untuk belajar demi ujian yang akan datang setelah tahun baru.
(Tapi, salju ya. Aku tidak bawa payung.)
Seingatku, ramalan cuaca bilang malam ini akan berawan, tapi kalau turun salju, tidak apa-apa meskipun aku tidak bawa payung.
Aku membenarkan syalku dan keluar dari gedung bimbingan belajar.
Langit gelap. Butiran salju putih.
Jalanan yang lebih ramai dari biasanya. Suara riuh rendah.
Aku mulai berjalan sambil mengabaikan semua itu… lalu, aku berhenti.
Aku tidak bisa menahan diri untuk berhenti.
(Tidak mungkin…? Tapi, aku tidak mungkin salah…)
Rasanya seperti hanya ada sorotan lampu di sana.
Aku tidak percaya, tapi aku tahu itu dia.
Meskipun jalanan ramai dan aku bisa saja melewatkannya, aku tidak bisa menahan diri untuk menemukannya, dan hatiku berdebar kencang.
Saat aku hanya bisa melihatnya dari jauh dulu.
Dan sekarang, saat kami bisa berpegangan tangan.
Dia selalu spesial dan berharga bagiku… mataku terasa panas.
“… Hai.”
Dia yang seharusnya tidak ada di sini, tidak, yang tidak pernah kupikirkan akan ada di sini, ternyata juga melihatku, dan dia berjalan mendekat dengan ragu, lalu tersenyum malu-malu.
“Senpai…? Kenapa kau di sini?”
“Ah…”
Senpai menggaruk kepalanya dengan canggung.
Dia mengalihkan pandangannya seolah sedang mencari alasan… lalu, dia menggelengkan kepalanya.
Melihatnya seperti itu, aku langsung tahu apa yang dia pikirkan, dan rasa gelisah di hatiku pun menghilang.
“Aku ingin bertemu denganmu, Akari-chan.”
Senyumnya yang tulus dan polos itu muncul setelah sedikit keraguan.
Aku pun berpikir betapa keren dan imutnya dia, tapi──
“Uh, a…”
Aku terlalu gugup sampai tidak bisa menjawabnya.
Aku sangat senang dia bilang ingin bertemu denganku sampai rasanya ingin melompat-lompat, tapi aku juga panik. Karena aku tidak tahu kenapa dia ada di sini.
Tanpa sadar, aku mencubit pipiku sendiri.
“Ini bukan mimpi…”
“Ahaha, aku membuatmu kaget ya. Aku tidak bilang apa-apa.”
Senpai tersenyum lembut, lalu mengulurkan tangannya padaku.
“Mau jalan-jalan sebentar?”
“Ya, tentu! Dengan senang hati!”
Aku mengangguk dengan semangat dan langsung meraih tangannya.
Aku dan Senpai sama-sama memakai sarung tangan, jadi kami tidak benar-benar bersentuhan… tapi, rasanya sangat hangat.
◆◆◆
Meskipun nadanya santai, langkah Senpai tegap, menuju ke suatu tempat.
(Tempat ini…)
Kecurigaanku langsung berubah menjadi keyakinan.
Jalan ini jauh lebih ramai dan meriah daripada jalan tempatku berdiri tadi. Rasanya menyilaukan.
Aku tahu tempat ini. Tempat ini adalah tempat populer yang dikunjungi banyak turis saat musim liburan, dengan iluminasi yang terkenal.
Lampu-lampu yang menghiasi pepohonan di jalan bersinar terang, seperti siang hari.
Meskipun klise, suasananya seperti ada galaksi di depan mata.
“Wah…”
“Akari-chan, apa ini pertama kalinya kau ke sini?”
“Ti-tidak! Tapi, terakhir kali aku ke sini saat masih kecil, jadi aku tidak terlalu ingat…”
“Begitu ya. Sebenarnya, ini pertama kalinya aku ke sini.”
“Eh, benarkah?!”
“Aku merasa bisa datang ke tempat wisata di daerahku kapan saja. Lagipula, aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak ke sini.”
Senpai tersenyum malu-malu.
Tapi, dia bilang tidak punya siapa-siapa untuk diajak ke sini… berarti aku orang pertama baginya… aku jadi ingin tersenyum.
“Tapi, tempat ini lebih indah dan megah dari yang kubayangkan… Aku senang bisa melihatnya bersamamu, Akari-chan.”
“Ya…”
Wajahku terasa panas melihat senyum Senpai yang polos.
Entah kenapa, saat seperti ini, misalnya saat melihat kembang api, Senpai jadi tidak sungkan!
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan sambil mengobrol?”
“Baik! Ah, tapi bolehkah aku bilang pada Ibu kalau aku akan pulang terlambat?”
“Ah, ya. Maaf, aku tidak terpikir.”
“Tidak apa-apa! Aku akan segera menghubunginya!”
Sejujurnya, aku juga lupa. Padahal aku mengingatnya sebelum keluar dari bimbingan belajar.
(Eh, aku tulis saja, “Aku akan pulang agak terlambat”! Kirim!)
Aku mengirim pesan singkat pada Ibu, lalu langsung menyimpan ponselku.
Aku tidak mau menyia-nyiakan sedetik pun waktu ajaib ini, saat aku bisa bersama Senpai.
“Maaf, sudah membuatmu menunggu!”
“Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja?”
“Eh… ya!”
Yah, Ibu mungkin tidak akan mempermasalahkannya, jadi aku tidak menunggu balasannya.
Aku meraih tangan Senpai dan mengajaknya jalan-jalan agar dia tidak bertanya lebih jauh tentang orang tuaku.
Senpai juga tidak bertanya lagi.
Apa mungkin dia tahu kalau aku sedang mengalihkan pembicaraan?
Genggaman tangan Senpai terasa lebih erat daripada sebelumnya, seperti dia sedang berkata, “Aku akan melindungimu agar kau tidak menyusahkan orang tuamu”… meskipun itu mungkin hanya imajinasiku!
Aku berjalan di jalan yang dihiasi lampu-lampu indah sambil berpegangan tangan dengan Senpai.
Salju turun rintik-rintik, tidak perlu payung, memantulkan cahaya lampu dan berkilauan… seperti Natal putih yang fantastis yang hanya terjadi sepuluh tahun sekali.
Aku tidak menyangka bisa menghabiskan malam indah ini bersama Senpai…!
“Maafkan aku, Akari-chan.”
“Eh?”
“Soal… telepon itu.”
“Ah…”
Aku langsung mengerti maksud Senpai.
Dan aku kembali diingatkan kalau caraku menanggapi teleponnya sudah melukainya.
“Aku pikir, kalau kita hanya bicara di telepon, kau akan semakin khawatir.”
“Ti-tidak sama sekali! Maaf, Senpai. Aku yang salah karena tidak mendengarkan dengan baik…”
“Tidak, kau tidak salah, Akari-chan. Jadi… mungkin ini terdengar seperti alasan, tapi aku ingin menjelaskannya lagi.”
Setelah mengatakan itu, Senpai kembali menjelaskan kenapa dia ikut kencan buta itu dan apa yang terjadi di sana.
Ceritanya runtut dan singkat, dan aku tahu dia pasti sudah memikirkan bagaimana cara menjelaskannya berkali-kali.
Aku senang dengan ketulusannya, dan tanpa sadar aku tersenyum.
“Jadi, begitulah. Aku tidak mungkin membencimu, Akari-chan, dan aku…”
“Fufu, aku tahu.”
Aku tidak bisa menahan senyumku di depan Senpai.
“Eh?”
“Sebenarnya, kakakku menghubungiku. Dia bilang dia membuatku salah paham.”
Beberapa waktu lalu, kakakku menelepon dan meminta maaf.
Dia bercerita kalau Senpai sebenarnya dijebak, dan Senpai yang memperbaiki hubungannya dengan pacarnya yang sempat renggang.
──Motomu tidak akan mengkhianatimu! Aku mungkin mengatakan hal yang aneh karena aku sedang memikirkan masalahku sendiri… tapi, percayalah padaku!
Aku kembali tersenyum saat mengingat suara kakakku yang panik.
Senpai tercengang mendengar ceritaku, tapi dia langsung tersadar dan menghela napas panjang.
“Dia… dia malah akan dicurigai kalau dia memohon seperti itu…”
“Fufu, tapi dia memohon dengan sangat putus asa, sampai-sampai aku kasihan kalau tidak percaya padanya.”
“Dia tidak bisa mengelak kalau kau bilang begitu.”
Senpai mengangkat bahu.
Lalu, dia bercerita. Dia bilang, dia ingin bertanya pada kakakku di mana aku berada di malam Natal ini, dan saat itulah kakakku tahu soal kencan buta itu.
“Aku bilang, ‘Kau sudah lancang, jadi beri tahu aku tanpa mengeluh’… Aku tidak menyangka dia akan merasa bersalah seperti itu.”
“Kakakku memang bukan tipe orang seperti itu.”
“Ya, dia memang orang yang… santai dan tidak peduli… tapi, begitu ya. Dia memang selalu bersemangat kalau soal Akari-chan.”
Senpai mengangguk-angguk.
“Jadi, berkat Subaru…”
“Ya, aku tahu kenapa Senpai ikut kencan buta itu. Dan…”
Ah, mulutku bergerak sendiri.
“Aku tahu betapa Senpai menyukaiku… Aku langsung tahu saat melihat Senpai tadi.”
“Ah…”
Senpai tampak terkejut lagi.
Tapi, tidak seperti tadi, wajahnya sekarang merah padam.
“… Tapi, apa tidak apa-apa kau datang menemuiku di saat aku harus fokus belajar untuk ujian?”
“Tentu saja tidak apa-apa!”
Aku senang karena Senpai memikirkanku dengan serius dan memutuskan sesuatu demi aku.
Meskipun dia memutuskan untuk tidak menemuiku hari ini, aku yakin aku akan tetap──
… Tidak, itu tidak benar.
Aku tidak bisa mengatakan hal sok bijak seperti itu.
Aku… aku hanya senang bisa bertemu dengan Senpai.
Aku sangat senang sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata!
Jadi, Senpai tidak salah datang menemuiku.
“… Sepertinya aku jadi anak nakal kalau bersama Senpai.”
“Eh?”
“Tidak, tidak apa-apa!”
Aku malu mengatakan isi hatiku pada Senpai.
Motivasi-ku tidak berubah sejak hari aku bertemu dengannya.
Aku ingin menjadi orang yang pantas untuknya, aku ingin dia membalas perasaanku, dan aku ingin bersamanya.
… Karena itu, aku tahu tidak baik kalau aku jadi sedih saat merasa dia akan meninggalkanku.
Aku merasa seperti orang bodoh yang bergantung padanya, tapi aku tidak bisa menahannya, dan aku berjalan bersamanya.
Apa ini namanya tidak tahu malu? Tapi, anehnya aku merasa lebih ringan.
“Ah, Senpai! Ada pohon Natal besar! Ayo kita foto bersama!”
“Oke.”
Ada pohon Natal raksasa yang terbuat dari lampu di tengah jalan.
Aku tidak bisa menahan diri untuk menarik tangan Senpai saat melihat pemandangan fantastis itu.
Semoga waktu yang bahagia ini berlangsung selamanya.
Bukan hanya hari ini. Aku ingin waktu ini terus berlanjut selamanya. Karena itu──
“Ayo kita foto!”
Aku menyalakan kamera depan ponselku dan memeluk erat lengan Senpai.
Dengan pohon Natal sebagai latar belakang, tapi tetap kami yang jadi pusat perhatian.
Aku ingin mengabadikan kebahagiaan saat ini dan mengingatnya selamanya… Aku menekan tombol rana sambil berdoa dalam hati.
◇◇◇
Syukurlah aku datang.
Melihat senyum Akari-chan, aku bisa mengatakannya dengan tulus.
Kata-kata lemahku yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa maluku dibantahnya, dan aku jadi berpikir kenapa aku begitu khawatir.
Akari-chan bersenandung riang sambil berjalan di sampingku dan berpegangan tangan denganku. Itu adalah lagu Natal yang diputar di mana-mana.
“Senang sekali ya, hanya dengan berjalan-jalan seperti ini.”
Akari-chan tiba-tiba berkata.
Sebenarnya, aku juga berpikir begitu.
Iluminasi ini tidak berubah bentuk, selalu sama.
Intinya, kalau aku mau, aku bisa langsung melihatnya dan pulang.
Tidak ada atraksi baru di sini. Tidak ada cerita yang menarik.
Tapi, aku tidak bosan. Aku ingin terus di sini.
Karena dia ada di sampingku.
Meskipun membosankan, itu tidak terasa membosankan.
Aku berharap waktu berhenti. Aku berharap begitu, meskipun itu tidak pantas untuk orang seusiaku.
(Tapi… aku berpikir begitu karena ini waktu yang terbatas.)
Sudah sekitar tiga puluh menit sejak aku bertemu Akari-chan. Tidak banyak waktu tersisa.
“Akari-chan, kau ada pesta keluarga hari ini, kan?”
“Eh? Ah… apa itu juga dari kakakku?”
“Ya. Katanya itu acara tahunan. Yah, meskipun dia tidak akan pulang.”
Aku tidak bertanya detailnya, tapi dia pasti sedang bersama Hasebe-san.
“… Kalau Senpai mau, Senpai boleh membawaku pergi dari sini.”
(Ugh…?!)
Akari-chan berbisik seperti iblis kecil.
Dia seperti sedang menggodaku.
Aku terkejut, tapi aku menggelengkan kepala.
“Keluargamu sudah menyiapkan pesta. Aku tidak enak kalau sampai mengganggu waktu kebersamaan kalian.”
“Fufu, benar juga.”
Dia pasti sudah menduganya.
Dia tidak terlihat sedih atau kecewa.
Tapi, aku jadi penasaran, apa dia akan ikut kalau aku mengajaknya.
… Yah, meskipun aku tidak bisa memilih itu.
“Oh ya, bagaimana bimbingan belajarnya?”
“Aku belajar banyak. Terutama tentang cara mengatur waktu saat ujian dan cara memotivasi diri.”
“Memang, banyak yang membicarakan hal itu saat ini. Ada yang langsung panik dan pikirannya kosong saat masuk ruang ujian.”
“Bagaimana dengan Senpai dulu?”
“Aku… biasa saja.”
Meskipun aku ingin lulus, aku tidak merasa itu adalah pertaruhan terbesar dalam hidupku.
Maaf, Subaru, tapi masih banyak universitas lain… aku berpikir seperti itu.
“Wah… hebat sekali, Senpai!”
“Tidak, tidak perlu kagum begitu! Kalau kupikir-pikir, aku hanya santai… itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.”
“Tidak, Senpai kan berhasil lulus. Mungkin aku juga harus lebih santai…”
“Yah, itu tergantung pada kepribadian.”
Aku tidak mau saran dari pengalamanku malah membuatnya salah langkah.
Akari-chan adalah tipe orang yang akan semakin khawatir kalau dia tidak punya rencana. Seperti saat dia merencanakan liburan dengan detail.
“Kita jadi serius terus, tidak seru ya. Maaf, di saat seperti ini──”
“Tidak apa-apa.”
Akari-chan tersenyum.
“Aku juga ingin mengobrol seperti ini dengan Senpai. Meskipun aku hanya sedikit ‘pamer’ sih.”
Dia melepaskan tanganku sambil berkata begitu.
Dia sangat pintar menggoda. Tentu saja dalam arti yang baik.
Aku mengelus kepalanya dengan lembut dengan tangan-ku yang bebas. Tentu saja, setelah melepas sarung tanganku yang dingin karena salju.
Rambut Akari-chan sedikit basah dan menempel di tanganku.
Tapi, itu tidak terasa aneh. Malah, entah kenapa… terasa sensual.
“Ehehe.”
Akari-chan tampak menikmati elusanku.
Dia tersenyum lebar dan terlihat sangat rileks.
“Seandainya Senpai ada di sampingku dan mengelus kepalaku saat ujian nanti.”
“Ahaha…”
Itu pasti pemandangan yang aneh.
Meskipun itu diizinkan, tanganku pasti akan kram, dan Akari-chan akan terlalu rileks sampai tidak bisa mengerjakan soal.
“Setidaknya, aku akan mengingat rasanya dielus seperti ini dan mengingatnya saat istirahat nanti!”
“Bukankah lebih baik kau menggunakan usahamu itu untuk hal lain…?”
Aku tidak tahu apakah dia serius, tapi aku menanggapi ucapannya dengan serius.
Lalu, entah kenapa kami saling bertatapan… dan tertawa bersamaan.
“Ehehe.”
“Hahaha.”
Ini bukan hal yang lucu. Kalau kami mengingatnya nanti, kami pasti akan berpikir kenapa kami tertawa untuk hal bodoh seperti itu.
Tapi, suasana santai ini terasa menyenangkan.
Kami tidak perlu berusaha keras. Kami tidak perlu memikirkan topik yang menarik.
Kami bisa menjadi diri sendiri, dan kami cocok satu sama lain seperti kepingan puzzle.
Hubungan ini terasa sangat nyaman.
Karena itu… semakin sulit untuk berpisah.
“… Sepertinya, kita harus pulang.”
Sudah lewat jam delapan malam.
Aku tidak boleh memonopoli Akari-chan lebih lama lagi.
“… Tapi, kau sudah datang jauh-jauh ke sini…”
Akari-chan bergumam pelan sambil menunduk.
Aku bisa merasakan dia tidak rela berpisah. Aku juga merasakannya, makanya itu semakin berat.
Tapi, aku punya harga diri sebagai pria yang lebih tua dan sebagai pacarnya.
“Ah…”
Akari-chan mencicit pelan.
Karena aku menarik tangannya dan mengajaknya ke stasiun.
“Aku antar. Aku ingin bersamamu lebih lama.”
“…! Baik!”
Aku hanya bisa mengatakan isi hatiku yang sederhana itu.
Untuk saat ini.
◇◇◇
Setelah kami berjalan menuju stasiun untuk mengantar Akari-chan pulang, kami hampir tidak mengobrol.
Bukannya kami canggung. Hanya saja, saat waktu ini akan berakhir, aku merasa ada banyak hal yang belum kami bicarakan, tapi aku tahu meskipun kami mengobrol sebanyak apa pun, itu tidak akan pernah cukup dan aku hanya akan semakin tidak rela berpisah…
Perasaanku sulit dijelaskan, tapi kupikir Akari-chan juga merasakan hal yang sama.
Inilah cinta. Dan meskipun hanya sementara, inilah perpisahan. Sepertinya aku tidak akan pernah terbiasa dengan kesedihan ini.
Aku hanya menghabiskan waktu kurang dari satu jam dengan Akari-chan.
Sebentar lagi aku akan berpisah dengannya dan naik kereta sendirian untuk kembali ke apartemenku.
Memang aku datang ke sini hanya untuk ini, dan waktu yang kuhabiskan bersamanya sangatlah berharga. Aku tidak menyesal.
Tapi, aku tidak rela berpisah.
Mungkin aku akan terus mengulang hal ini. Meskipun Akari-chan berhasil lulus ujian dan masuk ke universitas yang sama denganku, kami tidak akan bisa selalu bersama.
Aku bertemu dengannya, menyukainya, berpacaran dengannya… aku mendapatkan banyak hal.
Dibandingkan dengan kebahagiaan itu, kesedihan ini bukanlah apa-apa.
“Kita sudah sampai.”
Akari-chan bergumam pelan.
Tanpa sadar, kami sudah sampai di stasiun terdekat dari rumahnya.
Dari sini, hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke rumahnya… waktu ini akan segera berakhir.
“Akari-chan, mau jalan-jalan sebentar?”
Aku mengajaknya begitu kami keluar dari gerbang tiket.
Mungkin ini hanya usaha kecilku untuk menunda perpisahan… tapi, ada hal lain yang harus kulakukan hari ini.
“Ya, tentu!”
Akari-chan mengangguk dengan senyum polos, tanpa curiga sedikit pun.
Salju turun sedikit lebih deras.
Masih belum perlu payung, tapi mantelku mungkin akan sedikit basah dan terasa tidak nyaman… yah, seperti itu.
Yang jelas, aku tidak mau Akari-chan masuk angin. Tidak baik berada di luar terlalu lama.
(Rasanya seperti aku didorong oleh cuaca…)
Meskipun aku yang mengajaknya jalan-jalan, aku tidak punya tujuan khusus.
Aku hanya ingin menenangkan kegugupanku.
“Ada apa, Senpai?”
“Eh?”
“Wajahmu terlihat muram.”
Akari-chan menatapku dengan khawatir.
Kegugupanku ternyata terlihat di wajahku. Aku buru-buru menutupi mulutku dengan tangan, tapi itu sudah percuma.
“Sebenarnya, aku sedikit gugup.”
“Gugup?”
Akari-chan memiringkan kepalanya.
Aku baru saja menyombongkan diri kalau aku tidak gugup saat ujian, tapi sejujurnya saat ini aku jauh lebih gugup daripada saat ujian.
Ini salah satu alasan aku datang ke sini.
Kalau aku kalah dari rasa gugup ini dan tidak bisa melakukannya, aku pasti akan menyesal. Aku akan membenci diriku sendiri dan mengurung diri di toilet stasiun.
“Fu…”
Aku menarik napas dalam-dalam.
Napasku yang memutih muncul di kegelapan, diterangi lampu jalan di daerah perumahan yang sepi, lalu menghilang.
Suasananya tidak romantis, hanya pinggir jalan biasa, tapi sayangnya aku belum punya nyali untuk melakukannya di bawah iluminasi yang indah dengan banyak orang di sekitar.
Mungkin nanti… tidak, kalau aku sudah punya nyali.
“Akari-chan.”
“Ya?”
Aku berhenti di bawah lampu jalan dan memanggil namanya.
Akari-chan juga berhenti dan memiringkan kepalanya, melihatku bersikap serius.
“A-anu… ini.”
Karena gugup dan sedikit malu… aku mengeluarkannya dari tasku dan memberikannya pada Akari-chan dengan kata-kata yang sangat sederhana.
Sebuah kantong kertas kecil bergambar Sinterklas dan pohon Natal.
Siapa pun pasti tahu apa isinya, mengingat hari ini… Akari-chan membuka matanya lebar-lebar.
“Selamat Natal… meskipun sedikit lebih awal. Dan selamat ulang tahun.”
Pasti ada cara yang lebih baik untuk mengatakannya.
Aku menghela napas dalam hati, tapi aku sudah menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.
Akari-chan menerima kantong kertas itu dengan mata terbelalak.
“Boleh kubuka?”
“Tentu saja.”
Jantungku berdetak kencang saat dia mengatakannya.
Kegugupanku… karena aku berharap dia menyukai hadiah ini.
Seumur hidupku, aku belum pernah memberikan hadiah dengan serius pada orang lain selain keluargaku.
Apalagi, dia adalah pacar pertamaku. Lawan jenis.
Aku tidak bisa mengandalkan pengalamanku sebagai laki-laki selama sembilan belas tahun ini.
Aku memilihnya sambil melihat artikel di internet dan bertanya pada pelayan toko. Aku ingin dia senang, tapi apa dia akan menyukainya?
Jantungku berdebar kencang saat melihatnya mengeluarkan isi kantong itu.
“Ah, lucu…!”
Akari-chan bergumam saat melihat hadiah itu.
Aku memberinya kalung.
Bentuknya sederhana, dan kupikir dia bisa memakainya setiap hari tanpa merasa terganggu.
Aku sempat khawatir itu terlalu sederhana… tapi melihat reaksinya, sepertinya dia benar-benar menyukainya, dan aku lega.
“Aku sangat suka! Aku akan memakainya setiap hari!”
“Ahaha, jangan sampai kau dimarahi di sekolah.”
“Ah, benar juga… Kalau begitu, akan kujaga baik-baik.”
Akari-chan berkata begitu dan menatap kalung itu.
Dia melihatnya dengan saksama, lalu──
“… Hah!”
Tiba-tiba, dia seperti menyadari sesuatu dan membuka matanya lebar-lebar, lalu melepas syalnya.
“Senpai, tolong pakaikan!”
Dia mendekatkan dadanya padaku dan memintanya.
“Eh, se-sekarang?!”
“Tentu saja. Tidak ada waktu lain. Meskipun agak dingin.”
Akari-chan mendesakku.
Aku tidak menyangka, tapi kalau dipikir-pikir, wajar saja dia memintaku untuk memakaikannya.
Aneh kalau aku tidak memakaikannya… kan?
“Ba-baiklah.”
Aku mengangguk, lalu menerima kalung yang baru saja kuberikan padanya.
Aku tahu cara memakaikannya──
“Kalau begitu, tolong pakaikan.”
Akari-chan berkata begitu dan mengangkat dagunya.
“Eh, sambil menghadap ke depan…?”
“Ya.”
Biasanya, orang-orang akan membelakangi kita saat kita memakaikan kalung…
Rasanya jadi jauh lebih sulit kalau dari depan.
(Tapi, aku harus melakukannya!)
Aku bersemangat dan melingkarkan tanganku ke lehernya dari depan.
Ini pertama kalinya aku memakaikan kalung pada orang lain, dan meskipun ada lampu jalan, tempat ini agak gelap dan sulit dilihat.
(Meskipun aku tahu caranya, ini sulit…)
Aku berusaha memakaikannya, tapi rantainya tidak mau tersambung, dan aku jadi kikuk.
Tanpa sadar, aku semakin mendekat, dan──
“…!”
“Uh…”
Akari-chan mendongak dan menahan napas.
Aku juga ikut menahan napas.
Karena terlalu fokus, wajahku dan wajah Akari-chan sangat dekat, sampai-sampai hidung kami hampir bersentuhan!!
“Ma-maaf!”
“Tidak apa-apa! Tetap seperti ini…”
Akari-chan memegang tanganku dan menghentikanku yang hendak menjauh.
Napasnya terasa di wajahku… Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Tetap seperti ini, tolong…!”
“U-uh, baiklah.”
Karena dia bilang tidak apa-apa, aku tidak bisa mundur.
Intinya, aku harus cepat memakaikannya!
(Sa-yambung…!)
Aku semakin panik, dan──
──Klik!
(Yes, tersambung! …Eh?!)
Kelegaanku karena berhasil menyambungkan kalung itu hanya sesaat.
“Uh, ah…”
Akari-chan… gawat!!
Matanya berkaca-kaca, wajahnya semerah tomat… dia jelas sudah mencapai batasnya.
“Senpai, dekat sekali, keren…”
“Su-sudah terpasang! Sekarang tidak apa-apa!!”
Aku berkata begitu dan mencoba menjauh… tapi, aku baru sadar kalau Akari-chan masih memegang tanganku.
“Ah, Akari-chan…?”
“I-itu, Senpai.”
Suaranya tercekat.
Aku khawatir, tapi Akari-chan justru semakin erat memegang tanganku.
Dia tidak akan melepaskanku.
Aku bisa merasakan tekadnya.
“Ha-hari ini, aku ulang tahun.”
“Ya.”
“Tapi, hadiahnya Cuma satu, kan?”
“Ugh…!”
Dia menusuk tepat sasaran.
Tidak, aku tidak bermaksud untuk mengabaikannya.
“Ma-maaf. Aku butuh waktu lama untuk memilih satu hadiah…”
Aku memang berencana untuk memberikan hadiah ulang tahunnya… maksudku, hadiah kedua, nanti.
Tapi, mungkin aku seharusnya mengatakannya lebih dulu. Aku pasti membuatnya kecewa.
“Aku pasti akan memberikan hadiah yang satunya lagi nanti──”
“Tidak mau.”
“… Eh?”
“Ulang tahun dan Natal-ku kan hari ini. Jadi, aku harus mendapatkannya hari ini juga!”
“Ya-ya, memang…”
Memang Natal-nya besok… tapi, hari ini aku akan kembali ke apartemen, tidak pulang ke rumah.
Lagipula, meskipun aku punya kesempatan untuk memberikannya besok, aku tidak yakin bisa menemukan hadiah yang bagus sampai besok, karena aku sudah berusaha keras untuk memilih satu hadiah ini.
“Jadi, berikan sekarang.”
Akari-chan berkata seolah ingin menghentikan pikiranku.
Sekarang, bukan besok, itu tidak mungkin!
Aku menatap Akari-chan──
(… Ah.)
Saat mata kami bertemu, aku mengerti.
Apa yang diinginkan Akari-chan saat ini.
Apa yang dia inginkan… aku tahu.
“…”
Akari-chan menatapku lekat-lekat.
Tatapannya tajam… tapi, itu karena dia sedang mengumpulkan keberanian.
“Ah, Akari-chan…”
Benar, hari ini malam Natal.
Malam di mana para kekasih menghabiskan waktu spesial bersama, setahun sekali.
Jadi, ini wajar.
“Sebagai gantinya… aku juga akan memberikannya…”
Suaranya terdengar seperti bukan dari dunia ini, misterius dan menggoda.
Rasanya seperti suaranya punya massa dan langsung melelehkan otakku.
Kalau dia tidak memegangiku, mungkin aku sudah jatuh terduduk… kata-katanya punya kekuatan sebesar itu.
“…!”
Napas Akari-chan terasa di bibirku, dan aku menelan ludah.
Apa tidak apa-apa? Meskipun ini Natal, apa tidak apa-apa melakukannya semudah ini?
“Senpai…”
“Ah…!”
Akari-chan memanggilku dengan suara yang dipenuhi kegugupan, kecemasan, dan harapan, lalu memejamkan mata.
Benar, Akari-chan juga gugup dan cemas… tapi dia tetap berharap aku akan membalasnya.
Jadi… tanpa sadar, keraguanku sudah hilang.
“Akari-chan.”
Aku memanggil namanya tanpa sadar.
Akari-chan sedikit tersentak, tapi dia tetap memejamkan mata dan menungguku.
Dia sangat manis.
“Aku mencintaimu.”
Aku seperti menegaskan perasaanku… tidak, bukan itu.
Ini adalah janji.
Aku tidak akan pernah lagi membuatnya khawatir. Aku tidak akan melepaskan tangannya.
Gadis yang datang padaku dengan berani. Gadis yang menatapku dengan tulus dan menyayangiku.
Aku akan terus mencintainya selamanya.
Aku berjanji.
◇◇◇
“Hmm…”
Saat aku menjauhkan wajahku, aku mendengar Akari-chan mendesah pelan.
Dia membuka matanya perlahan. Matanya yang menatapku tampak sayu.
“…”
“…”
Kami saling bertatapan tanpa suara.
Rasanya seperti mimpi.
Meskipun hanya sebentar, rasanya seperti selamanya.
Aku masih bisa merasakannya di bibirku… Rasanya luar biasa.
(… Aku melakukannya. Dengan Akari-chan…)
Aku memang berpikir akan melakukannya suatu hari nanti, karena kami berpacaran.
Tapi, aku tidak menyangka akan melakukannya hari ini.
“Ki-kita melakukannya…”
“Ya.”
Aku mengangguk canggung pada Akari-chan yang bergumam dengan ekspresi senang.
Rasanya aneh. Aku malu menatapnya, tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Matanya yang basah, dan bibirnya yang segar yang baru saja kusentuh.
Kami sudah pernah berpegangan tangan dan berpelukan… tapi ini berbeda.
Sebagai sepasang kekasih, hubungan kami jelas semakin dalam.
“Sejujurnya, aku tidak suka kalau ulang tahun dan Natal datang bersamaan. Karena keduanya jadi digabung.”
Aku bisa membayangkannya.
Lagipula, aku juga hanya memberinya satu hadiah hari ini, jadi aku tidak bisa protes.
“Tapi, aku senang Senpai datang hari ini! Aku mendapatkan dua hadiah yang luar biasa.”
Akari-chan berkata begitu dan memelukku erat.
Telinganya menempel di dadaku, dan tentu saja──
“Senpai, jantungmu berdetak kencang sekali.”
“Ugh…!”
Wajar saja.
Aku baru saja berciuman dengan gadis yang kusuka untuk pertama kalinya.
Dan di saat yang sama, aku semakin menginginkannya.
Aku tidak bisa melupakan kalau aku ini laki-laki.
Tapi…
──Drrrt. Drrrt.
“Ah…”
Ponsel Akari-chan di tasnya berdering.
Mungkin orang tuanya khawatir karena dia pulang terlambat.
“Ma-maaf, Senpai.”
“Tidak apa-apa.”
Akari-chan meminta maaf dan menjauh, lalu mengangkat teleponnya dan memberi tahu orang tuanya kalau dia sudah hampir sampai di rumah.
Melihatnya, aku merasa sedih dan lega di saat yang sama… Perasaanku campur aduk.
(Harga diriku sebagai orang yang lebih tua…)
Kalau saja dia tidak punya batasan waktu, aku pasti tidak akan bisa berhenti.
Aku tidak hanya ingin berciuman, tapi juga melakukan hal yang lebih jauh… Aku berpikir seperti itu.
“Ya… aku akan segera pulang. Ya, sampai jumpa.”
Akari-chan menutup teleponnya dan menatapku dengan wajah sedih.
“Mereka bilang aku terlalu lama di luar, dan mereka akan menjemputku…”
“Wajar saja.”
Aku tidak melihat jam, tapi sepertinya sudah lama sekali sejak kami sampai di stasiun.
Aku sudah mendapatkan waktu yang cukup banyak. Aku tidak boleh sedih.
Lagipula… aku ingin mengakhiri hari ini dengan perasaan bahagia ini.
“Akari-chan, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu.”
“Senpai… aku juga. Sangat senang…!”
“Kalau begitu, ayo kita habiskan Natal bersama lagi tahun depan. Lebih lama. Hanya kita berdua.”
“…!”
Akari-chan membuka matanya lebar-lebar.
Lalu, matanya berkaca-kaca… dan dia tersenyum dengan gembira.
“Kalau begitu, aku akan menghabiskan waktuku bersama keluargaku sepuas-puasku hari ini. Karena tahun depan, aku akan dimonopoli oleh Senpai.”
“Ya. Aku tunggu.”
… Begitulah, tanggal 24 Desember yang kupikirkan selama lebih dari sebulan akhirnya berakhir. Dengan satu tugas besar untuk tahun depan.
Memberikan hadiah yang lebih baik daripada orang tuanya memang sulit, tapi aku tidak putus asa, malah aku tidak sabar.
Tentu saja, aku akan kembali bingung saat waktunya sudah dekat… tapi karena itu, aku akan semakin senang kalau dia menyukainya.
Aku berpisah dengan Akari-chan dan naik kereta. Mungkin sekarang dia sedang makan makanan enak bersama keluarganya… Saat aku berpikir begitu, dia mengirimiku foto lewat LINE.
Di foto itu, Akari-chan tersenyum lebar sambil memegang piring berisi kue yang tampak lezat. Dia terlihat sangat senang dan manis.
Aku melihat foto-foto lain yang dia kirimkan sambil menikmati perjalanan pulang.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.