Chapter Tambahan
Ucapan Selamat Pulang untuk Sendai-san
Hari yang Paling Gelisah dalam Hidupku
Dalam hidup yang tidak terlalu panjang ini, hari ini adalah yang paling membuatku gelisah.
Alasannya sederhana: segala sesuatu di sekitarku terasa baru.
Rak buku yang tak biasa kulihat, tempat tidur yang asing, jendela dengan pemandangan yang tak kukenali.
Ruangan ini, tempat yang baru saja kutinggali setelah pindahan, belum terasa seperti milikku.
Mungkin, jika aku membuka kotak-kotak berisi barang-barang masa laluku dan menatanya di sini, ruangan ini akan terasa lebih seperti milikku. Tapi hari ini, aku belum punya energi untuk itu.
"Ugh, ngapain, ya?"
Suaraku membesar, tapi terhenti di udara.
Untungnya, orang yang seharusnya ada di rumah ini—Sendai—belum pulang.
Jujur saja, aku sengaja memintanya pergi. Bukan karena aku tak ingin dia di sini, tapi karena menghadapi tukang pindahan dan dia secara bersamaan adalah hal yang terlalu berat bagiku.
Dia sempat berkata, "Nggak usah mikirin aku, santai aja." Tapi aku tahu, keberadaannya akan membuatku semakin tegang. Jadi, aku pikir lebih baik dia pergi sementara waktu.
Aku duduk di tempat tidur baru yang kubeli untuk ruangan ini.
Rasanya aneh, tak nyaman. Aku berdiri lagi. Tempat tidur ini memang milikku, tapi tidak terasa seperti milikku. Keberadaannya membuatku semakin sadar bahwa aku ada di tempat yang benar-benar baru.
Dengan frustrasi, aku membantingkan diri ke kasur, membenamkan wajah ke bantal. Bau bantal ini berbeda dengan yang biasa kugunakan.
Aku mencoba mengangkat wajah, tapi aroma baru ini tak bisa kuhindari. Rasanya, keputusanku untuk pindah ke sini adalah kesalahan.
Padahal, aku sendiri yang memutuskan untuk berbagi apartemen dengan Sendai setelah hari kelulusan.
Memang, ide awalnya datang darinya, tapi aku yang akhirnya memilih untuk memasangkan kalung di lehernya, memilih amplop warna sakura, dan berkata “ya” pada keputusan ini.
Meski begitu, aku merasa cemas.
Semuanya terasa baru.
Ruangan yang belum kukenal.
Furnitur yang asing.
Pemandangan yang berbeda.
Bahkan, Sendai, yang sebenarnya kukenal, tetap terasa asing.
Aku tidak yakin apakah aku bisa menghadapi semua ini.
Sebelumnya, aku tinggal bersama ayahku, tapi rasanya seperti hidup sendirian. Rumah itu lebih seperti tempat menunggu seseorang yang tidak pernah pulang.
Namun, rumah ini berbeda.
Akan ada orang lain yang tinggal di sini. Dan orang itu akan selalu pulang.
Sendai memang belum ada di sini sekarang, tapi dia pasti akan pulang. Kami akan makan bersama, belajar bersama, atau mungkin sekadar ngobrol. Empat tahun ke depan, aku akan tinggal di rumah di mana dia selalu ada di sebelah kamar atau di ruang bersama.
Itu berbeda jauh dari kehidupanku sebelumnya.
Rumah ini akan menjadi tempat di mana aku tidak akan pernah sendirian.
Namun, aku juga tidak bisa mengatakan bahwa aku ingin kembali ke rumah lamaku.
Aku membalikkan badan, berbaring telentang.
Di sini, tidak ada pagi atau malam yang sendirian.
Aku tidak akan lagi merasa takut saat terbangun tengah malam, berpikir ada seseorang di belakangku. Di luar pintu ini, ada Sendai. Dan selama aku tidak memasang ekspektasi terlalu tinggi, seharusnya semuanya akan baik-baik saja.
Aku menutup mata dengan erat, lalu membukanya lagi.
Sendai memang suka memaksaku membuat keputusan, dan kadang dia berbohong. Tapi aku tahu itu bagian dari dirinya.
Aku menghela napas, menatap langit-langit.
Kalau dipikir-pikir, pindahan ini lebih banyak membawa hal baik daripada buruk. Tapi, aku masih saja dikuasai rasa cemas.
“Aduh, nggak bisa gini terus,” gumamku.
Mau tidak mau, aku harus mulai membereskan barang-barangku. Kalau terus bermalas-malasan seperti ini, pikiranku hanya akan dipenuhi hal-hal negatif.
Aku berdiri, membuka salah satu kotak yang bertuliskan "Boneka." Dari dalamnya, aku mengeluarkan sarung tisu berbentuk buaya dan boneka kucing hitam.
Buaya itu kutaruh di bawah meja.
Harusnya, aku memasukkan tisu ke dalamnya, tapi aku belum menemukan kotak tisuku di antara semua barang. Aku biarkan saja buaya itu kosong untuk sementara.
Boneka kucing hitam itu hampir kutaruh di atas tempat tidur, tapi aku ragu.
Ruangan ini memang milikku, tapi sekarang berbeda: ini adalah ruanganku yang bisa dengan mudah dimasuki oleh orang lain. Sendai mungkin tidak akan sembarangan masuk, tapi tetap saja ada kemungkinan itu terjadi.
"Di sini saja, ya," kataku pada boneka itu, sambil meletakkannya di rak buku kosong.
Boneka kucing itu terlihat sangat kesepian di sana, jadi aku mengelus kepalanya pelan. "Tunggu sebentar, aku ambil buku dulu buat menemanimu," bisikku.
Aku membuka kotak lain yang berlabel "Buku," memilih beberapa buku favorit, dan meletakkannya di belakang si kucing.
Lalu, terdengar suara ketukan di pintu.
"Miyagi," suara Sendai terdengar dari balik pintu.
"Selamat datang," katanya dengan nada ceria.
"Selamat pulang," jawabku, meski kata itu jarang sekali keluar dari mulutku. Aku membuka pintu dan keluar ke ruang bersama.
Kata "selamat pulang" terasa asing bagiku, karena di rumah lama, tak ada yang kembali untuk disambut. Tapi di sini, kata itu memiliki makna.
Dan aku tidak membencinya.
Sendai tersenyum, lalu bertanya, "Miyagi, gimana kamarnya? Bisa beres-beres sendiri?"
"Kayaknya bisa. Kasur udah siap dipakai," jawabku.
Kotak-kotak lainnya masih banyak yang belum kubuka, tapi aku masih punya waktu sebelum kuliah dimulai.
"Kalau mau, aku bantu, lho," tawarnya.
"Enggak perlu. Kamu urusin aja kamar kamu sendiri."
"Aku sih udah hampir selesai. Serius, aku bisa bantu," katanya.
"Enggak usah. Aku bisa kok beresin sendiri," jawabku tegas.
Dan begitulah aku memulai hari pertamaku di rumah baru ini. Rumah yang berbeda, tapi perlahan-lahan mulai terasa seperti milikku.
Aku tidak punya barang yang benar-benar rahasia atau memalukan, tapi aku tetap ingin merapikan semuanya sendiri. Ini barang-barangku, jadi seharusnya aku yang menata semuanya. Memang, aku pernah meminta Sendai untuk membantu menyusun buku di rak, tapi itu beda. Kalau mau benar-benar menciptakan kamar dari nol, aku ingin semuanya hasil kerja tanganku sendiri.
“Boleh nggak aku lihat kamarmu, Miyagi?”
Sendai menunjuk ke arah kamar di belakangku.
“Nggak mau. Kamarku belum rapi.”
Aku tidak berniat memperlihatkan kamarku yang masih penuh dengan kardus dan barang-barang berantakan. Kalau pun nanti dia masuk, itu setelah semuanya tertata dengan baik, bukan sekarang.
“Oh ya, Miyagi taruh tempat tidur di mana?”
Dia tersenyum, terlihat penasaran.
“Kenapa nanya begitu?”
“Iseng aja. Aku naruh di dekat tembok ini. Kalau kamu?”
Dia menunjuk sisi tembok yang merupakan batas antara kamarku dan kamarnya.
“Sama. Aku juga taruh di tembok yang ini.”
Aku sebenarnya tidak terlalu memikirkan soal tata letak. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih nyaman kalau tempat tidurku dekat tembok yang berbatasan dengan kamarnya.
“Wah, kalau gitu, malam nanti kita bisa ngobrol lewat tembok.”
Sendai tertawa kecil.
“Jangan bercanda. Itu bakal ganggu tetangga.”
“Cuma bercanda kok. Aku juga nggak mau kena teguran dari tetangga.”
Dia tetap tersenyum, lalu duduk di kursi ruang bersama. Setelah itu, dia memandangku dan berkata, “Rasanya aneh ya.”
“Aneh kenapa?”
“Nggak perlu pulang lagi ke rumah.”
“…Kamu mau pulang ke rumah?”
“Nggak. Aku di sini karena aku nggak mau pulang.”
“…Selama empat tahun?”
“Selamanya.”
Obrolan kami tiba-tiba terhenti, menciptakan keheningan yang aneh di ruang bersama. Aku merasa canggung, dan aku yakin dia juga merasakan hal yang sama.
“Sendai, di rumah ini ada kotak tisu nggak?”
Aku memutuskan memecah keheningan dengan menanyakan barang yang tadi aku sadari belum aku punya.
“Di kamarku ada. Mau aku ambilkan sekarang?”
“Sekarang nggak apa-apa. Kalau ada lebih, nanti aku ambil satu aja.”
“Oke, nanti aku kasih.”
Nada bicaranya lembut, tapi keheningan kembali muncul. Rasanya, meskipun status kami berubah dari teman sekelas menjadi teman serumah, ada jarak yang terasa canggung.
“Oh, aku tahu! Miyagi, gimana kalau kita rayakan pindahan ini?”
Sendai tiba-tiba berseru penuh semangat.
“Nggak usah. Aku ke minimarket aja.”
Aku menyerah. Rasanya lebih baik keluar sebentar daripada harus bertahan dalam suasana canggung seperti ini.
“Kamu mau ke minimarket? Ada yang kamu pengen beli?”
“Cuma lapar aja.”
“Kalau gitu, kita makan di luar aja yuk.”
“Minimarket aja cukup.”
Kalau aku keluar rumah, aku harus sendiri. Kalau dia ikut, suasana aneh ini bakal ikut terbawa ke luar, dan itu sama aja bohong.
“Ya udah, kalau gitu aku ikut. Kamu kan belum tahu lokasi minimarket di sekitar sini.”
“Aku tahu. Tadi aku lihat waktu perjalanan ke sini.”
“Sekali lihat aja bisa lupa. Nanti malah nyasar.”
“Aku nggak bakal nyasar. Lagian, aku bisa beliin makanan untukmu juga. Mau apa?”
“Aku mau lihat langsung aja. Jadi aku ikut.”
Dia tersenyum dan berdiri dari kursinya.
Wajahnya jelas menunjukkan dia tidak akan menyerah untuk ikut. Aku mulai merasa kesal. Sebenarnya aku tidak terlalu ingin pergi ke minimarket, jadi kalau dia bersikeras, aku mungkin bisa menyuruhnya pergi sendiri. Tapi kalau aku bilang begitu, dia pasti akan memilih tetap tinggal di sini bersamaku.
Sendai benar-benar merepotkan, seperti biasanya.
Tapi mungkin inilah sisi dirinya yang membuatnya tetap jadi dirinya.
“Miyagi, anggap aja ini hari pertama kita jadi teman serumah. Yuk, kita ke minimarket bareng-bareng.”
Nada bicaranya terdengar riang, seolah keputusan itu sudah final.
Aku tidak suka dengan istilah seperti ‘hari spesial’ atau ‘peringatan.’ Bagianku dalam semua ini hanya ingin menjalani hari seperti biasa.
“Hari ini biasa aja.”
“Ya udah, hari biasa juga boleh. Tapi kan, ke minimarket bareng itu hal yang biasa, kan?”
“…Iya sih.”
Dia benar-benar tahu caranya membuatku tidak punya alasan untuk menolak.
“Kalau gitu, tunggu sebentar ya. Aku mau balik ke kamar dulu, ambil sesuatu.”
Dia berkata begitu sambil menuju kamarnya.
Benar-benar keras kepala.
Aku menghela napas panjang. Kehidupan baruku ini penuh dengan ketidakpastian dan rasa khawatir, tapi sikap Sendai yang tidak berubah sedikit pun justru sedikit menenangkanku. Aku tidak tahu apakah kami bisa hidup berdampingan dengan baik, tapi aku ingin setidaknya mencoba.
─Aku memang tidak yakin, tapi aku ingin mencoba.
Aku masuk ke kamarku, mengambil tas kecilku, dan kembali ke ruang bersama. Sebelum duduk, aku meletakkan tanganku di pintu kamarku yang baru.
“Pergi dulu ya.”
Aku berbisik pelan, lalu duduk di kursi yang tadi dipilih Sendai, menunggunya datang.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.