Story About Buying My Classmate chap 9 V5

Ndrii
0

Chapter 9

Ingin Tahu Segalanya Tentang Miyagi




-Akhir-akhir ini, Miyagi sering berada di dekatku.  


Hari ini pun begitu.  


Yah, seperti biasa, dia tetap dengan wajah murungnya.  


"Sendai-san, apa aku harus pilih salah satu dari ini?"  


Miyagi bertanya dengan suara rendah, alisnya berkerut.  


"Kalau mau pilih yang lain juga boleh, tapi aku nggak akan keluarin celana."  


Ini adalah hari Minggu, hari di mana kami berjanji akan makan bersama. Di atas tempat tidurku, tiga rok tersisa setelah Miyagi mencoret yang lain dengan berbagai alasan: terlalu pendek, terlalu panjang, warnanya nggak cocok. Dia mengeluh tanpa henti, dan sekarang tiga rok itu menjadi kandidat terakhir.  


Jujur, aku nggak nyangka dia bakal mau menemani sesi dandan ini.  


Kami baru akan keluar di sore hari. Daripada menghabiskan waktu sendirian, aku pikir lebih baik menghabiskannya bersama Miyagi. Saat aku mengajaknya, dia bertanya, "Mau ngapain?" Aku pun bilang ingin mencoba make-up atau memilihkan baju untuknya. Aku nggak memaksanya untuk memilih salah satu, dan kalau dia bilang nggak mau, aku juga siap mundur. Tapi, dia malah memilih sesi "dress-up" ini, walau sekarang malah dia sendiri yang bad mood.  


"Pakai yang di tengah aja, gimana?"  


Aku menunjuk rok flare midi yang berada di tengah, sambil mencoba berbicara pada Miyagi yang tampangnya seperti mau memakan ketiga rok itu hidup-hidup.  


"Nggak mau."  


"Kalau gitu, nggak usah pakai apa-apa aja sekalian?"  


"Itu mah nggak beda jauh sama orang mesum."  


"Kalau nggak mau, ya pilih salah satu. Atau kalau mau, aku bisa keluarin rok yang lain lagi."  


Aku sebenarnya nggak terlalu ngotot soal rok. Tapi karena sudah lama nggak lihat Miyagi pakai rok, aku jadi penasaran ingin melihatnya. Kalau dia sedikit saja tertarik, aku harap dia mau mencobanya.  


"… Yang tengah aja deh. Tapi keluar dulu, aku mau ganti."  


Dia bergumam pelan, lalu mendorong tubuhku keluar dari kamar, seperti memintaku untuk pergi. Kalau aku bercanda mengatakan ingin dia ganti di depanku, mungkin rencana makan bersama ini bakal langsung batal. Jadi, aku menuruti kemauannya dan keluar dari kamar.  


Belakangan ini, Miyagi jadi lebih mudah menurut.  


Untuk orang lain, mungkin ini nggak akan dianggap sebagai sesuatu yang spesial. Tapi ini Miyagi. Kalau mengingat bagaimana dia dulu, perubahan ini terasa menakutkan. Aku sempat berpikir, jangan-jangan dia jadi begini karena suhu yang terlalu panas belakangan ini. Mei masih terasa seperti musim panas, dan bisa saja dia terkena dampaknya.  


Aku bersandar di pintu.  


Rokku yang lebih panjang daripada pilihan Miyagi bergoyang saat aku bergerak sedikit.  


Sebentar lagi Juni, lalu Juli yang akan datang dengan cepat. Aku bertanya-tanya, apakah Miyagi akan semakin "aneh" karena cuaca yang makin panas? Atau mungkin aku berharap dia benar-benar berubah jadi seperti itu. Memang, Miyagi yang keras kepala juga menarik, tapi aku ingin menikmati versi dia yang lebih menurut.  


"Udah selesai."  


Lamunanku terputus oleh suaranya. Aku membuka pintu dan masuk ke kamarnya.  


Di depanku berdiri Miyagi, mengenakan rok flare yang ringan dan mengembang.  


Namun wajahnya… lebih muram daripada sebelum dia berganti pakaian.  


Aku hampir tidak percaya seseorang bisa membuat wajah sebenci ini hanya dengan mengenakan pakaian orang lain. Dia terlihat seperti orang yang baru saja tersiram air lumpur di hari hujan. Tapi, dia benar-benar memakai rok yang dia pilih sendiri, yaitu yang berada di tengah tadi.



  
“Kamu cocok pakai itu. Lucu banget.”  


Aku mengatakan apa yang kupikirkan dengan jujur, tapi balasan Miyagi terdengar datar seperti biasanya.  


“Nggak usah bilang begituan.”  


“Biasanya orang tuh kasih komentar, tahu. Sekalian ganti baju atasannya juga, gimana?”  


Sweater tipis yang dia pakai sebenarnya cocok dengan roknya, tapi aku masih ingin sedikit bersenang-senang mendandaninya.  


“Udah, pakai ini aja. Lebih baik kita berangkat sekarang.”  


Miyagi menjawab dengan suara tanpa ekspresi.  


“Kalau gitu, kita ke mana?”  


Aku sebenarnya ingin mendandaninya sampai tuntas, dari atas sampai bawah, termasuk make-up, dan puas bermain-main dengannya. Tapi tujuan hari ini adalah makan. Kalau aku memaksakan kehendak, mood-nya pasti akan tambah jelek, dan aku nggak mau itu terjadi.  


“Ke restoran cepat saji deket sini aja. Aku males kalau harus pergi jauh.”  


Miyagi tampaknya masih merasa canggung dengan rok itu. Dia terus-menerus melirik ke kakinya sendiri.  


“Baiklah, restoran cepat saji aja, ya.”  


Aku berjalan keluar kamar bersama Miyagi, menuju pintu depan.  


Saat aku hendak memakai sepatu, tiba-tiba bajuku ditarik.  


“Pakai sepatu apa ini?”  


Miyagi bertanya dengan wajah serius yang sedikit lucu.  


“Pakai sneakers aja, gampang.”  


“Ya udah.”  


Dia mengambil sneakers dari rak sepatu dan memakainya. Aku memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah dan tanpa sadar bilang lagi, “Lucu banget.” Namun, dia langsung mendorongku keluar pintu sebagai respons.  


Kami mulai menuruni tangga dan berjalan menuju restoran cepat saji.  


Berjalan bersama Miyagi yang memakai rok membuatku teringat masa SMA. Meski dulu kami jarang pulang bersama, melihat dia mengenakan rok di sebelahku membawa kembali sedikit kenangan masa itu—seperti momen-momen sepulang sekolah yang terasa dekat.  


Tapi, aku ragu Miyagi memikirkan hal yang sama.  


Dia berjalan diam-diam, mengikuti jalan menuju restoran.  


Suara mobil yang lewat, suara anak-anak yang bermain—kota di sore hari dipenuhi berbagai suara. Suasana ini membuat keheningan di antara kami terasa biasa saja. Udara hari ini lebih panas dari biasanya untuk bulan Mei, dan angin pun hampir tak ada, membuatku merasa gerah. Tapi Miyagi tampaknya baik-baik saja. Dia berjalan cepat, terus maju tanpa berhenti.  


Aku ingin meraih tangannya dan memperlambat langkahnya.  


Tapi aku mengurungkan niat itu.  


Aku memilih menyesuaikan langkahku dengan kecepatan Miyagi.  


Karena suasana hatiku sedang baik, aku tak ingin merusaknya dengan kemungkinan dia menepis tanganku. Lagipula, meskipun kami tiba di restoran dengan cepat dan selesai makan dalam waktu singkat, waktu yang kami miliki hari ini masih banyak.  


Aku hanya tidak tahu apakah Miyagi mau menghabiskan sisa waktu itu bersamaku atau tidak.  


“Setelah makan, kamu mau ngapain, Miyagi?” tanyaku, mencoba memecah keheningan sambil mengikuti langkahnya yang cepat.  


“Lihat nanti aja setelah makan,” jawabnya singkat, tetap tanpa ekspresi.  


Miyagi memberikan jawaban yang setengah hati saat kami memasuki restoran cepat saji.  


Kami memilih menu, memesan makanan, dan mulai makan.  


Kami berbicara sedikit tentang hal-hal yang terjadi belakangan ini. Miyagi lebih banyak menjadi pendengar, tapi kalau aku bertanya, dia akan menjawab dengan cerita tentang buku yang dia beli atau kisah dari kehidupan kuliahnya. Meski percakapan kami tidak bisa dibilang mengalir dengan lancar, itu tidak menjadi masalah. Dari dulu, sejak SMA, obrolan kami memang tidak pernah benar-benar ramai.  


Tapi, karena kami tidak banyak bicara, makan malam selesai lebih cepat dari perkiraan. Bahkan, hanya dalam dua jam sejak keluar rumah, kami sudah kembali ke apartemen.  


“Jadi, udah kepikiran mau ngapain sekarang?” tanyaku di depan pintu sambil melepas sepatu.  


“Boleh aku masuk ke kamarmu? Aku juga mau balikin rok ini.”  


“Boleh aja.”  


Miyagi belakangan ini memang terasa aneh. Walaupun terlihat seperti sedang tidak mood, dia tetap saja menghabiskan waktu di dekatku. Seperti hari ini, sekarang pun dia akan masuk ke kamarku dan, seperti biasa, duduk di sampingku.  


Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikirannya.  


Tapi, hal itu malah membuatku senang.  


“Mau minum sesuatu, nggak?” tanyaku saat melewati ruang tengah.  


“Enggak, nggak usah.”  


Dengan jawaban datarnya, dia langsung menuju kamarku.  


Di dalam kamar, aku menyalakan lampu. Aku ragu apakah perlu menyalakan AC, meskipun cuaca cukup panas untuk bulan Mei. Tapi, menyalakan AC di bulan ini terasa seperti dosa kecil, jadi aku membiarkannya mati.  


“Sendai-san.”  


Miyagi memanggilku dari atas tempat tidur, yang kini dia jadikan tempat duduk. Saat aku mencoba duduk di sampingnya, dia menendang kakiku, memaksaku duduk di lantai sambil menatapnya.  


“Ada apa?” tanyaku.  


“Jilat kakiku.”  


“Permintaan itu udah lama nggak aku dengar. Tapi, sekarang udah nggak ada yang namanya perintah-perintah lagi.”  


Hubungan kami sekarang hanya sebatas teman sekamar.  


“Ini hukuman. Kalau aku nggak ngomong, kamu nggak akan nepatin janji buat pergi makan malam, kan?”  


“Cuma telat sedikit aja, lagian aku tetep nepatin janji, kok.”  


“Anggap aja sebagai ganti karena aku udah mau pakai rok ini.”  


Nada suara Miyagi semakin rendah.  


Dia terlihat lebih bad mood daripada sebelum kami keluar rumah tadi.  


“Rok, ya?” tanyaku, sedikit bingung.  


“Iya. Aku udah nurut sama kamu buat jadi boneka dandanan, sekarang giliran kamu nurut sama aku.”  


Oh, jadi itu alasannya.  


Aku baru sadar kalau dari awal dia sudah merencanakan ini. Mungkin bukan spesifik untuk meminta hal ini, tapi dia pasti sudah berniat meminta sesuatu sebagai gantinya.  


“Boleh aja kamu kasih perintah, tapi aku nggak bakal nurut kalau permintaannya aneh-aneh.”  


“Menurutku ini nggak aneh. Kamu udah sering melakukannya, lagian kamu kan suka kakiku.”  


Dengan santai dia melontarkan kata-kata itu, lalu menendang pundakku lagi sambil menyilangkan kaki. Roknya bergoyang sedikit, membuat mataku tak sengaja tertuju ke kakinya. Pikiran itu langsung membawaku kembali ke masa SMA, ke kamar Miyagi.  


Aku hampir mengulurkan tangan, tapi buru-buru mengepalkan jari untuk menahan diri.  


“Tapi aku udah nurut sama kamu. Kalau kamu nggak nurut, itu nggak adil,” katanya, suaranya menusuk kepalaku. Aku menarik napas pelan, berharap dia tak menyadarinya.  


“Mulai dari melepas kaus kaki?” tanyaku.  


“Iya.”  


Aku mengangguk, menutup mata sejenak, lalu membuka kembali.  


Perlahan, aku melepas kaus kakinya, menyentuh tumitnya, dan mendekatkan wajahku ke kakinya. Mataku hanya melihat kulitnya yang sehat dan bersih, lalu aku menempelkan bibirku ke punggung kakinya.  


Dari bagian tengah hingga pangkal jari.  


Setelah beberapa kali mencium, suara tegasnya menggema di ruangan. “Jilat yang bener, dong.”  


Situasi ini sebenarnya ingin aku hindari. Bagiku, menjilat kaki sekarang terasa terlalu nyata, terlalu intim.  


Tapi, Miyagi terus mendesak. Aku pun menuruti.  


Aku menjulurkan lidahku, menyentuh ujung jari kakinya, dan perlahan menjilat hingga ke pangkal. Kulitnya terasa hangat, dan itu membuat tubuhku ikut terasa panas. Sekilas aku menyesal tidak menyalakan AC.  


Saat aku memandang ke arahnya lagi, rok yang terangkat hingga ke lututnya memperlihatkan bagian yang jarang aku lihat. Detak jantungku seakan menggema di ruangan.  


“Lanjutkan,” perintahnya, sambil mendorong pundakku dengan kakinya.  


“Udah cukup.”  


“Kenapa berhenti?”  


“Pokoknya cukup.”  


“Jangan asal berhenti gitu, dong.”  


“Kalau boleh nggak cuma kaki, aku mungkin bakal lanjut.”  


“Itu bukan bagian dari perintahku. Aku cuma nyuruh kamu jilat kaki.”  


Dengan ekspresi datarnya, dia meletakkan kakinya di atas pahaku, seakan menantang.  


Aku berusaha menahan diri. Tapi, aku tahu batasanku.  


Aku tidak bisa lagi melawan keinginan ini. Sensasi seperti baut yang longgar di kepalaku kini benar-benar terlepas dan jatuh entah ke mana. Rasanya mustahil untuk mengembalikan semuanya seperti semula.  


Aku bangkit berdiri, menyingkirkan kakinya.  


“Heh, mau ngapain?” tanyanya, curiga.  


Aku naik ke atas tempat tidur, menempatkan lututku di sampingnya, lalu menekan pundaknya ringan. Dia tidak bergeming.  


“Miyagi, biar aku jatuhin kamu.”  


“Ogah. Aku tahu kamu mikir aneh-aneh.”


Sejak tinggal bersama Miyagi, aku mencoba menjaga hubungan kami sebagai teman sekamar. Walaupun ada rasa tidak puas di hati, aku terus meyakinkan diriku bahwa ini cukup—bahwa hubungan ini harus tetap seperti ini.


Namun, dalam hati, aku tahu itu bohong.


Aku selalu punya perasaan aneh terhadap Miyagi. Aku bahkan sering bermimpi hal-hal yang tidak mungkin bisa kuceritakan padanya. Jadi, saat ini terjadi—saat dia memberi perintah aneh—semuanya terasa seperti buah dari perasaan yang selama ini kubiarkan tumbuh.


“Kalau aku geser, kamu mau apa?” tanyaku, menahan posisi.


“Balik ke kamar,” jawabnya tajam.


“Kalau gitu, aku nggak akan geser,” kataku, masih bertahan.


“Geser, dong!” Miyagi menatapku dengan pandangan tajam, suaranya dingin. Tapi dia tidak mendorongku, tidak menendangku, atau melakukan apa pun untuk memaksaku minggir. Padahal, dia bisa saja melakukannya.


Mungkin dia percaya bahwa aku tidak akan melakukan sesuatu yang benar-benar melampaui batas. Tapi, kalau memang itu alasannya, aku ingin menjaga kepercayaan itu. Aku tidak mau menghancurkannya.


“Miyagi...” Suaraku terdengar serak, hampir seperti bisikan. Aku ingin dia memahamiku, tanpa perlu aku mengatakan lebih banyak.


Pelan-pelan, aku menekan bahunya lagi. Kali ini, tanpa perlawanan berarti, tubuhnya bersandar ke tempat tidur.


“...Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya, menatapku dari bawah.


“Kalau aku bilang, kamu bakal kasih izin?” Aku mencoba menyisir rambutnya dengan jari, tapi dia memegang keningku, mencegahku mendekat.


“Nggak mungkin,” katanya tegas.


“Makanya aku minta izin...” kataku, pelan.


“Kita ini teman sekamar, kan?” tanyanya, seolah mengingatkan kami pada batas yang ada.


“Benar. Teman sekamar, sekarang dan selamanya.”


“Omong kosong! Apa yang mau kamu lakukan ini jelas bukan hal yang dilakukan teman sekamar!” balasnya.


“Memangnya siapa yang bilang teman sekamar nggak boleh melakukan ini?” Aku tahu ini cuma akal-akalan, tapi jika itu bisa membuatnya lebih tenang, aku rela bermain dengan definisi.


“Lihat, kan? Kamu ngomong sembarangan lagi.”


“Kamu juga harusnya coba sembarangan sedikit.”


“Ogah!” jawabnya keras, menutup perdebatan.


Dia mendorong bahuku, kali ini dengan lebih kuat. Aku hampir menyerah, tapi sebelum sepenuhnya melepaskan diri, suara kecilnya membuatku berhenti.


“...Kalau aku nggak izinkan, kamu mau gimana?”


Aku menatapnya. Aku tahu aku tidak akan sanggup melukai hubungan kami. “Kalau kamu benar-benar nggak mau, aku nggak akan pernah melakukan ini. Sekarang atau kapan pun. Aku janji.”


“Janji yang gampang dilanggar, ya,” katanya, sarkastik. Tatapan matanya sulit diterjemahkan.


“Nggak akan kulanggar. Aku bersumpah, demi ini.” Tanganku menyentuh anting kecil di telinganya, anting yang aku berikan padanya. Itu bukan sekadar aksesori; itu adalah simbol dari kepercayaan di antara kami.


Aku mengecupnya, pelan-pelan, lalu berbisik, “Aku janji.”


“Janji kosong lagi, kan?” katanya, tetapi tangannya malah menyentuh rambutku, menelusuri pelan telingaku, seperti mencari sesuatu yang tidak ada. Lalu, dia mendorongku lagi, kali ini dengan perlahan.


Dia tidak benar-benar menolak, tapi dia juga tidak memberi izin. Rasanya seperti terjebak di tengah-tengah. Aku ingin melangkah maju, tapi aku tahu aku tidak boleh melewati garis batas yang dia buat.


Akhirnya, aku memilih untuk mundur.


“Miyagi, aku bakal pegang janji ini. Aku bakal jaga kepercayaan kamu.” Aku menyentuh antingnya sekali lagi, memastikan dia tahu aku tidak main-main.

Aku yang ingin melangkah maju dan aku yang ingin menyerah masih terus bertarung di dalam diriku. 


Namun, ada satu janji yang aku tahu tak boleh kuingkari.


Aku mengulurkan tangan, menyentuh anting di telinga Miyagi dengan ujung jari.


"Miyagi, aku akan menepati janji ini."


Bukan berarti aku tak punya rasa enggan.  


Tapi saat aku hendak turun dari tempat tidur, suara Miyagi memanggil, “Sendai-san,” membuatku menoleh ke arahnya.


Mata kami bertemu.  

Miyagi menarik napas pelan, tapi tak berkata apa-apa. 


Aku tak tahan dengan keheningan ini, jadi aku menambahkan, “Tenang saja, aku janji.”


Lalu, dengan suara kecil yang hampir tak terdengar, Miyagi akhirnya berkata, “...Lampu.”


“Hah?”  


“Matikan lampunya,” ulangnya pelan.


Suara itu benar-benar di luar dugaanku. Aku hanya bisa terdiam sejenak sebelum turun dari tempat tidur dan mematikan lampu utama menggunakan remote di meja. Menyalakan lampu malam kecil sebagai gantinya, tapi Miyagi langsung berkata, sedikit kesal, “Matikan semuanya.” 


Aku menuruti permintaannya, mematikan lampu malam juga. Ruangan itu sekarang benar-benar gelap, hanya diterangi sedikit sinar samar dari luar.  


“Miyagi, gorden udah tertutup kok,” kataku memastikan.  


“Cek lagi, jangan ada celah sedikit pun,” jawabnya cepat.


Aku mengecek gorden dengan saksama, dan memang ada celah kecil yang kulihat. Setelah menutup rapat, aku kembali memastikan semuanya gelap. Kemudian aku kembali ke sisi Miyagi, berjalan pelan di dalam kegelapan.


“Miyagi,” panggilku pelan.


Ia tak menjawab, hanya diam.  


Aku mendekatinya, menyentuh tubuhnya, menyisir rambutnya dengan jemariku yang terasa seperti membelai bayangan. Lalu aku mengecup bibirnya. Saat itu, tangan Miyagi mencengkeram bajuku dengan kuat.  


Tak ada kata-kata, hanya kehangatan yang samar terasa dalam genggamannya. Aku menurunkan ciuman ke pelipisnya, lalu ke pipi, dan terus bergerak ke telinganya. 


Dalam ruang gelap seperti ini, terasa seperti kami terputus dari dunia luar. Memang aku sadar, di luar sana masih banyak orang yang lalu-lalang. Tapi di dalam kamar ini, hanya ada kami berdua. Dunia luar tak bisa mengganggu.  


Tapi Miyagi begitu diam. Terlalu diam hingga aku mulai merasa gelisah.  


“Hei, Miyagi. Aku nggak akan menjawab bel kalau berbunyi. Aku nggak akan angkat telepon, bahkan nggak akan biarkan kamu menjawabnya juga. Tapi, kalau kamu mau aku berhenti, aku bisa berhenti sekarang,” kataku sambil memandang wajahnya dalam gelap.


“Sendai-san, kamu berisik banget. Kalau mau, ya udah lakukan aja diam-diam,” balasnya dengan suara datar.


Sebelum aku sempat merespons, Miyagi menggigit leherku. Tepat di bahu atas. Sakit, tapi tak terlalu menyakitkan, lebih seperti gigitan kecil yang disengaja agar aku merasakan peringatannya. Sebagai balasan, aku menggigit lembut dagunya, tapi dia mendorong bahuku, membuatku refleks menggigit lehernya lebih keras.  


Aroma shampo yang biasa dipakai Miyagi menyeruak. Meskipun itu aroma yang sama seperti biasanya, kali ini rasanya lebih manis.  


Dalam gelap, aku menyentuh rambutnya yang hitam seperti menyatu dengan bayangan. Aku menjelajahi bentuk telinganya dengan jari, lalu mencium antingnya.  


“Miyagi,” bisikku, lalu dengan lembut menjilati telinganya.  


Miyagi menarik rambutku dengan gerakan yang tampak kasar, tapi sebenarnya tidak menggunakan banyak tenaga. 


“Geli, tahu,” katanya sebal.


“Tahan aja, dong,” balasku sambil melanjutkan.


Aku terus mengecup lembut telinganya, menjilati bagian yang paling sensitif, hingga Miyagi memukul kakiku.  


“Eh, sakit, tahu!” protesku.  


“Itu karena kamu nggak berhenti,” Miyagi membalas dengan nada kesal.  


“Ya nggak akan berhenti lah. Kamu diem aja, ya?” ucapku sambil tersenyum tipis, meski tahu dia tak bisa melihatnya dalam gelap.  


Aku melanjutkan, mengecup lehernya, merasakan manisnya yang seperti nektar bunga. Jari-jariku bergerak ke bawah, masuk melalui ujung kaus yang ia pakai. Aku menyentuh kulitnya yang hangat, mengusap perlahan hingga menyentuh tulang rusuknya. Namun, tiba-tiba tanganku ditahan.  


“Jangan coba-coba lepasin bajuku,” tegasnya.


“Tenang, aku nggak akan lepasin kok,” jawabku lembut. 


Mendengar itu, genggamannya mengendur.  


Aku melanjutkan gerakanku, menyentuh kulitnya yang lembut dan penuh kehangatan. Tapi, meskipun tubuhnya terasa hangat, aku tak bisa membaca ekspresinya dalam kegelapan ini. Apakah dia merasa nyaman atau justru malu? Aku tak tahu pasti.  


Saat jariku menyentuh bagian atas bra-nya, dia kembali menghentikan gerakanku. 


“Barusan aku udah bilang, jangan lepasin,” ulangnya.  


“Nggak kok, aku cuma mau nyentuh aja,” aku berbisik di telinganya, berusaha menenangkannya.  


Meski keinginan untuk menelusuri tubuhnya lebih dalam begitu besar, aku tahu itu tak mungkin. Miyagi telah menetapkan batas, dan aku harus menghormatinya.  


Aku menarik napas panjang, menenangkan diriku sendiri, dan berkata pelan, “Aku ngerti.” 


Lalu perlahan, aku menarik tanganku keluar dari balik bajunya, menggenggam lembut bahunya, dan mengecup lehernya sekali lagi. Dalam kegelapan ini, aku mencoba memahami batasan yang bisa ia terima dan batasan yang tidak.  


“Ciuman nggak apa-apa, kan?” tanyaku dengan suara pelan. 


Meskipun aku bertanya, tidak ada jawaban darinya.  


Mungkin itu tandanya dia mengizinkan. Aku pun menutup bibir Miyagi dengan bibirku, menyelipkan lidah ke dalamnya. Sentuhan lembut bibirnya, kerasnya gigi, dan ujung lidah yang menyentuhku sekilas terasa menggoda. Ketika aku menyenggol lidahnya dengan lembut, dia merespons. Meski tak agresif, cukup untuk membuatku kehilangan akal. Lidahnya yang hangat dan lembut bergerak pelan, membuatku lupa bagaimana cara bernapas.  


Kenapa hanya Miyagi yang bisa melelehkan logikaku?  


Kenapa aku begitu menginginkannya, hingga rasanya aku tidak bisa berhenti?  


Tanpa sadar, tubuhku bergerak sendiri. Aku menggigit bibirnya, menjilatinya, menciuminya lagi dan lagi. Napas Miyagi mulai tersengal, begitu juga denganku. Namun, daripada terasa sesak, panas tubuh yang saling bercampur ini justru terasa menyenangkan. Napasnya yang putus-putus disertai suara kecil yang samar membuatku semakin tidak sabar, ingin melangkah lebih jauh lagi.  


Aku melepas ciuman dan menyelipkan jariku di antara jari-jarinya, merasakan sentuhan tangan yang makin terasa nyata di tengah kegelapan. Hanya dengan menyentuhnya, rasanya sudah membuatku melayang.  


Aku mencium pipinya, lalu turun ke telinga, memberikan kecupan lembut lagi.  


Ketika aku mencoba menarik ujung kausnya, Miyagi menahanku dengan tangannya. Aku perlahan menangkap tangannya, mengecup jari-jarinya satu per satu, lalu ke punggung tangan dan pergelangan tangannya. Aku melanjutkan dengan pelan, menggulung sedikit kausnya, mencium lembut perutnya yang lembut.  


Sekali, dua kali.  


Aku menciumnya lagi. Lalu menaikkan kausnya sedikit lebih tinggi, menyentuhkan bibirku ke tulang rusuknya.  


Ketika aku menggigit pelan di sana, tubuh Miyagi gemetar kecil, dan tangannya mencengkeram kepalaku.  


Aku menyentuhnya dengan lidah, mengusap pelan sebelum kembali mengecup.  


Setiap inci tubuhnya yang kujamah seperti mencatatkan jejak kenangan tak kasat mata yang hanya bisa kami pahami. Aku ingin Miyagi mengingat setiap sentuhan ini, setiap tempat di mana bibirku pernah menyentuhnya hari ini.  


Jari-jariku menelusuri garis tulang rusuknya, hingga sampai di tengah dadanya. Saat bibirku menyentuhnya di sana, Miyagi kembali bergerak kecil, mengerang lirih.  


Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku, lalu dengan sangat perlahan, jariku menyusuri pinggulnya di atas rok yang dia kenakan. Aku menyentuh pinggulnya, lalu mulai menarik roknya ke atas. Saat itu, tubuh Miyagi kembali gemetar kecil, dan dia menekan pundakku dengan tangan.  


Aku menghentikan gerakanku, memandang ke arah Miyagi meski hanya bayangannya yang samar terlihat dalam kegelapan.  


Dia tidak mengatakan "tidak."  


"Miyagi..."  


Panggilanku perlahan memecah keheningan, membuat jarinya mencengkeram pundakku lebih erat.  


Tapi dia tetap tidak mengucapkan protes apapun. Cengkeramannya juga tidak cukup kuat untuk dianggap sebagai penolakan nyata.  


Sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi, tetapi masih ragu untuk melangkah.  


Sama seperti musim panas tahun lalu, saat situasi ini hampir terjadi.  


"Kamu mengizinkan aku, kan?" tanyaku lembut, berusaha menenangkan keraguan yang terlihat jelas.  


Setelah beberapa saat, genggaman di pundakku perlahan mengendur.  


"Dasar, mesum," gumamnya pelan.  


"Aku nggak masalah disebut mesum," jawabku santai sambil menaikkan roknya lebih tinggi, menyentuh paha Miyagi. Saat itu juga aku merasakan ketegangan di tubuhnya, jadi aku menghentikan gerakanku.  


Kepekaan tubuhnya yang tegang terasa begitu nyata, hingga aku sedikit ragu untuk melanjutkan.  


Namun, keinginanku terlalu besar untuk ditahan.  


Dengan napas yang pelan dan teratur, aku menggerakkan jariku dengan lembut.  


Miyagi tetap diam, tapi aku bisa mendengar napasnya yang mulai tak teratur. Di setiap gerakan kecil yang kulakukan, aku bisa merasakan betapa hangat tubuhnya, jauh lebih panas dari bagian mana pun yang pernah kusentuh sebelumnya.  


Ketika jemariku akhirnya mencapai bagian paling sensitifnya, aku terhenti sejenak. Tubuhku gemetar, tidak yakin apakah ini langkah yang benar. Namun, ketika aku menyentuhnya pelan, kulitku bersentuhan dengan sesuatu yang basah dan hangat.  


Degup jantungku melonjak, seakan memompa darah lebih cepat dari yang bisa kuikuti. Kepalaku terasa panas, sama seperti sensasi yang ada di ujung jariku. Dengan ragu, aku menggerakkan jariku perlahan.  


"Uh..."  


Suara kecil yang asing dan lembut keluar dari bibir Miyagi, membuatku terkejut hingga tanganku membeku.  


Itu bukan suara yang pernah kudengar sebelumnya, suara yang manis namun penuh rasa tak biasa.  


"…Tetap saja, aku nggak mau," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.  


Namun, respons tubuhnya bercerita sebaliknya.  


Meski mungkin hanya reaksi alami, rasanya sangat berarti bagiku. Aku tahu, ini adalah hasil dari keberanianku mendekatinya, sesuatu yang takkan terjadi jika dia tak memberiku kesempatan.  


Miyagi mungkin mengucapkan "tidak," tapi aku tidak bisa menghentikan diriku sekarang.  


"Kalau kamu benar-benar nggak bisa, bilang aja," bisikku.  


Dengan itu, aku kembali menggerakkan jariku, perlahan dan lembut, mencoba menyentuhnya lebih dalam lagi.  


Suara napas Miyagi semakin berat, mengikuti ritme gerakanku. Panas tubuhnya memancar, membuatku merasa larut dalam gelombang sensasi ini. Napasku ikut tercekat, tenggorokanku kering, seakan semuanya kini adalah bagian dari Miyagi.  


"Aku tahu kamu bisa percaya padaku," gumamku pelan, meski aku sendiri tak yakin dia mendengarnya.  


Di balik bayangan gelap yang menyelimuti kami, aku tahu Miyagi tetap menahan dirinya, membiarkan aku bergerak lebih jauh. Aku menahan jemariku, mencoba menenangkan hatiku yang berdebar kencang.  


"Sen…dai…san?" panggilnya dengan suara serak.  


Nada suaranya membuatku ingin terus melangkah, menyentuh bagian terdalam darinya, mengetahui lebih banyak lagi tentang Miyagi.  


Tapi aku tahu, melewati batas itu hanya akan membuatnya lari dariku.  


Aku pun menghela napas, berusaha menenangkan diri.  


"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku, memastikan perasaannya sebelum melangkah lebih jauh.


Aku bertanya pelan, dan sebagai balasannya, Miyagi menarik pakaianku dengan lembut.  


Ekspresi wajahnya tidak terlihat jelas.  


Aku ingin tahu segalanya, tetapi aku tidak ingin membuatnya melepas tanganku. Aku menahan diri dan menggerakkan tanganku hanya sejauh yang diizinkan.  


Aku berharap dia mau memanggilku Hazuki.  


Meskipun aku tahu itu adalah keinginan yang mustahil, aku ingin mendengar dia memanggilku Hazuki dengan suara manis yang biasanya tidak pernah kudengar, dan aku ingin dia mengizinkanku memanggilnya Shiori. Kalau itu juga tidak mungkin, setidaknya aku ingin mendengar suara yang selama ini ditahannya.  


Tapi aku tahu, semuanya tidak akan dikabulkan.  


Jadi aku harus puas dengan apa yang telah diizinkan.  


Aku tahu itu.  


Namun, aku ingin lebih.  


Aku ingin melihat bagaimana Miyagi berubah karena sentuhanku, mendengar suara yang hanya bisa dia tunjukkan padaku, dan melihatnya kehilangan kendali.  


Sekarang, besok, kapan pun.  


Tolong izinkan aku yang egois ini.  


Aku menggerakkan ujung jariku perlahan, merasakan emosi Miyagi yang mulai menyelimutiku.  


Ruangan terasa panas, Miyagi terasa lebih panas lagi, dan sensasi di ujung jariku terasa sangat jelas. Hasratku padanya bercampur dengan usaha untuk menahan diri, membuatku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dengan suara serak, aku berbisik, "Miyagi," menggantikan panggilan “Shiori” yang tak pernah bisa kuucapkan.  


Tapi Hazuki, tidak ada jawaban.  


Meski begitu, aku terus memanggil namanya, suara serakku terasa asing bahkan untuk diriku sendiri. Saat aku mengulanginya lagi, Miyagi menarik pakaianku dengan kuat.  


“Diam... jangan berisik.”  


Suara patah-patah itu terdengar di telingaku, tubuh kami saling bersentuhan.  


Namun, Miyagi menarikku hanya untuk membuatku diam. Tidak ada arti yang lebih dalam dari itu. Tapi tubuhnya, yang begitu panas bahkan terasa melalui kain, membuatku merasa seolah-olah dia sedang menginginkanku.  


“Aku ingin dengar lebih banyak suara Miyagi,” kataku, tanpa sadar mengutarakan harapan yang terpendam.  


“Enggak mau,” balasnya pelan, mencoba menekan emosinya.  


Aku menajamkan telinga agar tidak melewatkan suaranya.  


“Kalau begitu, bilang ‘nggak mau’ lebih keras lagi,” pintaku sambil tertawa kecil.  


“Diam!”  


Suara lembut yang seperti tenggelam dalam kegelapan membuat telingaku gatal. Mendengar suaranya saja membuatku hampir kehilangan kendali, jadi aku memberanikan diri meminta sesuatu yang lain.  


“...Kalau aku diam, tolong panggil aku Hazuki.”  


“Enggak mau.”  


Meski akal sehatku sudah terhapus olehnya, logika Miyagi masih ada, menolak permintaanku. Dalam situasi seperti ini pun, dia tetap Miyagi. Aku ingin menghancurkan tembok itu, melelehkan logikanya, agar dia sepenuhnya menjadi milikku.  


“Kalau begitu, bilang semua nggak mau, tapi cium aku,” kataku sambil mendekatkan wajahku.  


Dia mendorong bahuku, tapi tenaganya terlalu lemah untuk disebut perlawanan.  


Aku mencium pipinya pelan, lalu berbisik, “Tolong.”  


Tangannya menyentuh pipiku, lalu bibirku, dan seakan menyerah, dia menciumku.  


Ciuman ini bukan karena dia menginginkannya, tapi karena aku memintanya. Meski begitu, aku hampir tidak bisa bernapas karena terkejut.  


Kami terus berciuman beberapa kali, sampai dia mencengkeram bahuku dengan erat.  


Napasnya menjadi tidak teratur, dan suara yang dia tahan mulai terdengar.  


Kenangan musim panas tahun lalu yang semula samar mulai tergantikan oleh kejadian hari ini—suara Miyagi, aroma tubuhnya, sensasinya. Potongan-potongan memori baru ini meningkatkan resolusi mimpi-mimpi yang selama ini aku lihat.  


Aku yakin, malam ini aku akan kembali memimpikan Miyagi.  


Namun, saat aku mendorong jariku lebih dalam ke tubuhnya, dia menggigit leherku.  


Rasanya sakit.  


Namun, rasa sakit ini terhubung dengan kenikmatan yang dia rasakan. Menyadari hal itu, rasa sakit ini justru membuatku semakin bersemangat. Aku bahkan berharap dia menggigit lebih keras lagi.  


Sensasi langsung dari gigitan Miyagi dan emosinya yang terpancar melalui rasa sakit membuatku merasa kehilangan kendali. Meskipun aku yang menyentuhnya, aku juga ikut merasakan kenikmatan.  


Aku ingin waktu ini berhenti.  


Namun suara Miyagi yang terdengar lemah memanggilku.  


“Sen...dai-san.”  


Nada suaranya menunjukkan dia hampir mencapai batasnya.  


Aku ingin menghentikan waktu, tetapi aku memilih untuk mengubah ritme jariku.  


Cengkeraman tangannya di bahuku mengeras, lalu tiba-tiba mengendur saat dia kehabisan tenaga.  


Di dalam ruangan yang hanya berisi suara napas kami berdua, aku mengecup lembut bibirnya, lalu menjilat bibir bawahnya. Bibirnya terbuka sedikit, tetapi segera dia menolakku.  


“...Panas,” gumamnya, napasnya masih tersengal. Dia mendorong tubuhku dan turun dari tempat tidur.  


“Miyagi...”  


Aku ingin bertanya ke mana dia akan pergi, tetapi sebelum sempat, dia menabrak meja.  


“Au...”  


“Mau kuhidupkan lampu?” tanyaku. Tapi aku sadar remote-nya tidak ada di dekatku.  


“Aku bisa sendiri,” jawabnya pelan.  


Lampu kecil menyala, dan dia kembali ke tempat tidur sambil memeluk boneka platipus. Duduk di tepi tempat tidur, dia mengambil tisu dan mulai menghapus jejak tangannya di jariku.  


Jejak Miyagi perlahan hilang dariku.  


Dia membersihkan jari-jariku dengan hati-hati, menundukkan kepala sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya.  


Setelah selesai, dia berkata pelan, “Aku mau mandi... pengen bersihin badan.”  


Dia berdiri dan membelakangiku.  


Aku ingin menahannya, tetapi aku tidak tahu harus berkata apa. Karena melangkah terlalu jauh dan melompati urutan yang selama ini kami abaikan, aku merasa khawatir.  


“Miyagi.”  


Dia berhenti di depan pintu.  


Aku masih tidak tahu harus berkata apa, tapi merasa perlu mengatakan sesuatu.  


“Kamu baik-baik aja?”  


Untuk kesekian kalinya, aku mengulangi pertanyaan itu, dan dia menjawab pelan, “Iya.”  


Namun, tidak ada kata lain setelah itu. Pintu tertutup dengan bunyi pelan, dan keberadaannya menghilang dari sisiku.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !