Shiotaiou no Sato-san ga Ore ni dake Amai V4 chap 1

Ndrii
0

Chapter 1

Wasabi dan Hibacchi




Kemarin, setelah memutuskan isi kios sementara, setiap sore sepulang sekolah sampai Festival Bunga Sakura akan dihabiskan oleh seluruh kelas untuk persiapan. Mulai dari merancang menu kafe, membuat poster, hingga mendesain dekorasi dalam ruangan... Pekerjaan yang harus dilakukan menumpuk sangat banyak. Jika seluruh anggota kelas tidak membagi tugas dan mulai bekerja, tidak mungkin kita bisa menyelesaikan semuanya tepat waktu.


Tentu saja, sebagai ketua kelas, aku tidak terkecuali. Saat ini, aku sedang berjongkok di lantai, memotong kertas karton cokelat dengan cutter—karton yang akan ditempel di dinding untuk menciptakan kesan batu bata.


Ya, aku sedang memotong karton, tetapi...


"......"


Sambil berhati-hati agar ujung cutter tidak bergetar, aku juga sangat waspada terhadap seseorang yang muncul di sudut pandanganku.


—Tak lain adalah Sato Koharu.

Entah kenapa, Sato Koharu sedang berjongkok di sebelahku, menatap wajahku dengan tajam.


Apa yang sebenarnya sedang terjadi?


"......"


Aku bisa merasakan tatapan tajam di sisi wajahku, tetapi aku berpura-pura mengabaikannya. Aku sengaja berlagak sangat fokus pada pekerjaanku seakan-akan tidak melihat apa pun di sekitarku. Namun kenyataannya, pikiranku dipenuhi dengan ketakutan terhadap Sato Koharu. Aku bahkan merasa seperti dia bisa tiba-tiba menyerangku jika aku melakukan kesalahan sekecil apa pun. Teman-teman sekelas yang lain sepertinya juga merasakan hal yang sama, karena mereka dengan jelas menjaga jarak dari kami. Meski mereka berpura-pura fokus pada pekerjaan masing-masing, jelas terlihat mereka juga sedang mengawasi kami dengan hati-hati.


Kecuali satu orang, Wasabi, yang duduk di sebelahku, memotong kertas karton sambil tersenyum lebar.


"(Mio-mio, kamu yakin dia nggak dengar obrolan kita kemarin?)"


"(Wasabi, diamlah...!)"


Aku berbisik dengan suara sangat pelan untuk menghentikan Wasabi. Saat ini aku merasa seperti berada di ambang hidup dan mati, tapi kenapa dia terlihat begitu menikmati situasi ini? Aku tidak bisa percaya ini adalah teman dekatku!


...Tapi, bagaimana kalau yang dikatakan Wasabi benar adanya? 


Pikiran itu langsung membuat punggungku terasa dingin. Jangan-jangan, dia benar-benar akan menyerangku... 


Saat bayangan suram itu mulai menguasai pikiranku, tiba-tiba...


"Igarashi-san!"


"Hyaa!?"


Namaku tiba-tiba dipanggil, dan aku berteriak seperti orang bodoh, suara tinggi yang belum pernah keluar dari mulutku sebelumnya. Sungguh sebuah keajaiban bahwa jantungku tidak melompat keluar dari mulutku. 


Dengan takut-takut, aku melirik ke arah Sato Koharu. 


Dia menatapku tajam seperti elang dengan tatapan yang begitu dingin dan berkata dengan suara yang mengejutkan dinginnya. 


"Ada yang bisa kubantu?"


Astaga, aku akan mati.


Seperti katak yang ditatap oleh ular. Aku hampir pasrah, siap menerima kematian, ketika tiba-tiba... seorang penyelamat muncul.


"S-Sato-san!? Kalau kamu sedang mencari sesuatu untuk dilakukan, bagaimana kalau ikut pergi belanja!?"


Yang muncul dengan penuh semangat adalah Oshio Souta, yang sebelumnya bekerja di tempat lain. Sepertinya dia melihat situasi dan tidak bisa menahan diri lagi. Sungguh, seperti Buddha yang muncul di neraka. Dengan segera, aku memanfaatkan kesempatan itu.


"Y-ya! Kebetulan stok kartonnya hampir habis, aku sedang memikirkan untuk meminta seseorang pergi membelinya! Dan juga spidol permanen! Bisa tolong belikan, Sato-san?"


"Belanja..."


Sato Koharu tampak sedikit ragu sejenak.


Beberapa saat kemudian, dia hanya berkata, "Baiklah," lalu berdiri dan bergabung di sisi Oshio Souta.


"Y-yuk, kita pergi."


Sato Koharu mengangguk pelan dan meninggalkan kelas bersama Oshio Souta.


Ketika suara langkah kaki mereka semakin menjauh dan mulai terdengar menuruni tangga, aku akhirnya menghela napas panjang dan dalam dengan perasaan lega.


Aku selamat... Teman-teman sekelas juga terlihat lega. Kecuali satu orang, Wasabi.


"Hei, Mio Mio."


"Ada apa, Wasabi..."


"Lihat itu."


Wasabi menunjuk ke satu sudut ruangan.


Itu adalah tempat di mana Sato Koharu pertama kali bekerja...


"...Sudah selesai?"


Kertas coklat yang sudah dipotong rapi ditumpuk dengan hati-hati. Apakah ini...


"Mungkin, Sato-san sebenarnya tidak ada maksud buruk. Dia hanya ingin membantu kita."


"...Tidak mungkin."


Sato, si gadis dengan sikap dingin, benar-benar berniat baik?


Aku merasa tidak yakin. Jika itu benar, dia seharusnya bisa tersenyum sedikit, bukan memasang wajah kaku seperti topeng besi.


Aku mencoba mencari persetujuan dari teman baikku yang lain...


"Tunggu, di mana Hibacchi?"


Dia tidak terlihat. Padahal aku yakin dia tadi bekerja di dekatku.


"Oh, Hibacchi bilang dia mau pergi mengambil kotak kardus ke pusat perbelanjaan ketika kamu sibuk takut pada Sato-san."


Seperti biasa, Wasabi menambahkan satu kalimat yang tidak perlu. Cukup katakan saja dia keluar, tanpa komentar tambahan!


...Tunggu sebentar.


"Hibacchi pergi sendirian?"

"Ya."


"...Dia baik-baik saja?"


"Uh... Dia sendiri yang menawarkan untuk pergi, jadi aku tidak menghentikannya..."


Wasabi yang biasanya pandai bicara, tiba-tiba terdengar ragu-ragu.


Aduh... Aku merasa khawatir...


Keluar dari SMA Sakuraba dan berjalan menuju pusat perbelanjaan terdekat dengan rute tercepat, kami akhirnya tiba di sebuah jalan besar. Karena banyaknya kendaraan yang melintas, terdapat sebuah jembatan penyeberangan yang harus dilalui. 


Namun, tampaknya Sato-san tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi saat kami berada di tengah-tengah jembatan itu. 


"Hei, Oshio-kun! Aku mendapatkan tugas dari Igarashi-san!" 


Dengan tubuh yang bergoyang-goyang seperti menari, Sato-san berkata dengan penuh semangat. Aku hanya bisa memberikan senyum kaku dan berkata, "Bagus untukmu." Ini sudah ketiga kalinya dia mengatakannya, sepertinya dia benar-benar senang. 

"Tapi, tetap saja, bicara dengan Igarashi-san bikin aku gugup banget. Soalnya, dia kan cantik. Hatiku terus deg-degan!" 


"Benarkah? Aku tidak terlalu melihat itu..." 


"Benar!?" Sato-san menatapku dengan mata yang berbinar-binar. 


Ya, dia sama sekali tidak terlihat gugup. Malahan, dia terlihat seperti sedang menatap tajam... tentu aku tidak mengatakan itu padanya. Sato-san tampaknya salah paham, mengira komunikasinya dengan Igarashi-san berjalan lancar. Dia begitu bahagia hingga mulai bersenandung pelan. 


"Ah, ternyata aku bisa berbicara lebih baik dari yang kupikirkan, hehe." 


Oh, tidak tahan melihatnya! 


Fakta bahwa Sato-san sama sekali tidak menyadari bahwa dia dijuluki "Sato-san yang Dingin" membuat situasi ini semakin menyakitkan. 


"Ya ya, aku juga merasa ada kemajuan! Apalagi setelah bekerja paruh waktu selama liburan musim panas, aku merasa lebih baik dalam tersenyum! Bagaimana menurutmu, Oshiokun!?" 


"...Eh?" 

Senyum!? Baru-baru ini aku mulai memahami sedikit perubahan halus dalam ekspresi Sato-san, tetapi... itu jelas bukan senyum yang kulihat tadi! 


Namun, tatapan yang berbinar-binar dari Sato-san membuatku ragu untuk mengatakan yang sebenarnya... 


"Y-ya, mungkin ekspresimu memang jadi lebih lembut..." 


"Ya!" 


Sato-san melompat kecil dengan pose kemenangan.Gerakannya sangat menggemaskan,tetapi... oh, rasa bersalah ini sungguh menyakitkan... 


Aku sungguh berharap bisa menunjukkan sisi Sato-san yang seperti ini kepada teman-teman lain. Itu akan sangat membantu menghapus julukan "Sato-san yang Dingin" yang tidak adil itu... 


Namun, jika kejadian seperti hari ini terus berulang, aku yang akan kewalahan... 


Ketika aku sedang memikirkan hal ini, tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. 


Lorong jembatan ini cukup sempit. Jika ada seseorang di belakang, aku harus bergeser. Ketika aku berbalik...

"…?"


Tidak ada siapa-siapa. 


Aneh, aku yakin tadi merasakan tatapan seseorang. 


"Ada apa, Oshio-kun?" 


"Tidak... Aku pikir ada orang yang datang, tapi sepertinya hanya perasaanku." 


"Ya? Aku tidak merasakannya..." 


Mungkin hanya perasaanku saja. 


Saat kami berbincang, kami sampai di tangga turun dari jembatan. Aku dan Sato-san bersiap untuk turun, tapi...


"Tunggu sebentar, Sato-san." 


"Eh?" 


Aku menghentikan Sato-san dan menarik mundur kaki yang sudah bersiap melangkah. 


Di tengah tangga, ada bayangan seseorang. Seorang wanita yang memegang beberapa kotak kardus yang dilipat, berjalan perlahan-lahan menaiki tangga dengan kedua tangan penuh. 


"Kita tunggu dia lewat dulu." 


Jembatan ini sempit, dan dia membawa barang bawaan yang besar. Kami sebaiknya memberikan jalan. 


...Namun, tampaknya dia benar-benar kesulitan. Kotak-kotak kardus yang dilipat itu diikat dengan tali dan dia memegang semuanya dengan kedua tangannya, tetapi kardus-kardus itu begitu besar hingga menutupi sebagian besar pandangannya.


Dengan penglihatannya yang hanya terfokus pada kaki, langkahnya pun tidak stabil. Ia tampak seperti akan terpeleset dari tangga kapan saja.  


...Apakah cukup dengan memberi jalan atau sebaiknya aku membantunya? Saat aku mulai memikirkan hal itu, tiba-tiba saja, Sato-san berseru.


"Oshio-kun, bukankah itu Hibata-san?"  


"Eh? Serius?"


Hibata Atsumi, sahabat Igarashi-san sekaligus teman sekelas kami.  

Apakah dia juga sedang berbelanja? Tapi wajahnya sulit terlihat karena tertutup kardus... Tepat ketika aku menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas, angin tiba-tiba berhembus.  


Hembusan itu hanya cukup untuk mengacak rambutku dan Sato-san, tetapi bagi dia, efeknya lain. 


Yang terjadi adalah, kardus besar yang dia pegang tersapu angin, dan dia kehilangan keseimbangan di tengah tangga.


"Ah──"


Suara itu, apakah milikku atau miliknya yang nyaris jatuh dari tangga, aku tidak yakin. Namun, ada satu hal yang pasti──


"Hibata-san!!"


Dalam waktu yang terasa berjalan sangat lambat, Sato-san lah yang pertama kali bergerak. Seperti angin, ia berlari menuruni tangga dan berhasil menangkap lengan Hibata-san yang hampir jatuh. Kardus yang dipegangnya meluncur jatuh dari tangga.  


Situasi kritis... namun tidak berjalan semulus itu.


"Wa, wa, wa!?"


Sato-san yang pada dasarnya tidak atletis, tidak mungkin bisa menopang berat tubuh Hibata-san dalam posisi yang tidak stabil seperti itu. Mereka berdua berhasil bertahan sejenak, namun pada akhirnya, mereka mulai terjatuh bersama.  


──Namun, waktu yang tersedia cukup bagi otakku untuk pulih.


"Sato-san!!"


Aku segera menangkap lengan Sato-san yang menjulur ke udara, dan dengan tangan lainnya aku mencengkeram pegangan tangga. Sesaat kemudian, berat tubuh dua orang langsung menekan lenganku.


"Ugh!?"


Rasa sakit yang tak tertahankan menjalar ke otakku, membuat penglihatanku berkedip-kedip sesaat.  


Namun, aku tidak melepaskan lengan Sato-san. Dan Sato-san pun tidak melepaskan lengan Hibata-san.  


Kini situasinya benar-benar nyaris, dan aku sadar kalau selama ini aku menahan napas, sehingga aku menarik napas dalam-dalam.


Ku-kukira aku hampir mati...!  


"Sato-san... kamu baik-baik saja...?"


"..."


Tidak ada jawaban.  


Tapi setelah melihatnya sekilas, tampaknya tidak ada cedera, jadi sepertinya dia hanya terkejut. Meski dalam kondisi itu, dia tetap tidak melepaskan genggamannya, yang sangat mengagumkan.  


Sekarang, selanjutnya...


"Eh? Oshio-kun? Sato-san?"


Dari bawah tangga, terdengar suara yang terasa tidak sesuai dengan situasi ini, terdengar malas dan lamban.  


Suara ini──aku tahu tanpa perlu memastikan.


"Hibata-san, kamu baik-baik saja...?"


Hibata Atsumi, dengan mata mengantuk, tampak kebingungan seolah-olah dia tidak sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi. Dengan sangat hati-hati, aku menarik mereka berdua dari tangga dan mengambil kembali kardus yang jatuh. Ketika aku kembali dari bawah tangga, Hibata Atsumi melihatku dengan wajah cemas.

"Ma-maaf ya, Oshio-kun, kamu penyelamat hidupku."


"Haha, tidak juga..."


Kata "penyelamat hidup" terdengar agak lucu, jadi aku tertawa kecil. Tapi, ini sebenarnya bukan sesuatu yang bisa ditertawakan. Kami bertiga benar-benar dalam situasi yang berbahaya. Bahwa tidak ada yang terluka adalah keajaiban yang sulit dipercaya.


Aku masih merasa seperti sedang bermimpi, sementara Sato-san benar-benar terduduk di tempat, pikirannya tampak melayang. Mirip dengan binatang kecil yang membeku saat terkena kejutan besar, begitu pula kondisinya sekarang.  


Sebaliknya, Hibata-san yang tetap bisa tenang dan bersikap biasa saja setelah kejadian itu, sungguh mengagumkan.


"Kalau mau berterima kasih, ucapkan pada Sato-san... Dia yang pertama berlari menyelamatkanmu, dan itu juga yang membuatku bisa membantu tepat waktu..."


"Aah, maaf ya, Sato-san... Kamu nggak apa-apa, kan? Nggak luka?"


"Ah, iya... Aku baik-baik aja..."  


Sato-san menjawab dengan suara lemah sambil tangannya dipegang oleh Hibata-san, masih tampak linglung.



Tampaknya, guncangan yang dialami Sato-san terlalu kuat hingga membuatnya tidak mampu mengaktifkan mode "dingin" khasnya. Mungkin dia sendiri belum sepenuhnya menyadari betapa berbahayanya tindakan yang baru saja dilakukannya. Bahkan aku pun tak menyangka dia akan melompat untuk menyelamatkannya. Sampai sekarang, jantungku masih berdegup kencang...


"Kalian berdua benar-benar terima kasih, ya. Aku selamat berkat kalian," ucap Hibata-san dengan nada santainya, sambil bangkit berdiri.


Ngomong-ngomong, Hibata-san adalah gadis tertinggi di kelas, dan saat dia berdiri, tingginya hampir sejajar dengan mataku. Kabarnya, dia berasal dari Okinawa, jadi mungkin tumbuh besar di tempat yang hangat memang membuatnya lebih berkembang, pikirku.


Setelah itu, dia mengambil kembali tumpukan kardus yang tadi aku ambil dan hendak membawanya lagi dengan cara yang sama. 


"Kalau begitu, sampai jumpa di sekolah, ya," ucapnya dan hendak pergi begitu saja.


Tidak... Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu! 


Aku langsung bergerak cepat, mengambil alih tumpukan kardus dari tangan Hibata-san. Dia mengeluarkan suara imut "Fue?" yang terkejut, tetapi justru aku yang lebih kaget! Kardus ini akan terbang lagi kalau dibiarkan!

"H-Hibata-san, tunggu sebentar, ya!"


"Uhm, baiklah, aku mengerti," jawabnya sambil kebingungan.


Aku langsung membuka tali yang mengikat tumpukan kardus itu. Ikatan simpulnya agak longgar, jadi aku mengikat ulang dengan simpul yang lebih kencang.


"Wooow! Keren banget!" Hibata-san bertepuk tangan dengan lemas.


Bekerja paruh waktu di restoran memang membuatku terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Mendapat pujian tentu saja menyenangkan.


"Terima kasih, Oshio-kun! Kalau begitu..." 


Saat dia hendak mengambil kembali tumpukan kardus itu, aku buru-buru menariknya lagi. Sekali lagi, dia mengeluarkan suara "Fue?"


"T-Tidak apa-apa! Biar aku saja yang membawanya!"


"Eeh? Tapi aku jadi nggak enak..."


"Aku nggak bisa membiarkan seorang gadis membawa barang besar begini!"


Sebenarnya, aku ingin bilang "aku nggak bisa membiarkan Hibata-san yang ceroboh membawanya," tapi aku menahan diri untuk tidak mengatakan itu. Lagipula, lebih baik aku saja yang membawanya daripada dia yang malah kesusahan.


Namun, Hibata-san tampak terkejut dengan hal lain.


"Gadis... Ini pertama kalinya ada anak laki-laki yang bilang begitu padaku."


"Hah?"


"Rasanya senang sekali, hehe."


Dia tersenyum malu-malu. Aku sedikit bingung, tapi dia memang anak yang santai dan unik.


Di saat kami berbicara seperti itu, Sato-san akhirnya kembali sadar. Dengan wajah terkejut, dia segera berlari ke arah Hibata-san.


"H-Hibata-san! Kamu baik-baik saja? Nggak terluka?"


"Itu sudah kami bahas, Sato-san. Dia nggak apa-apa," jawabku.


"Kamu sendiri gimana, Oshio-kun?"


"Tentu saja aku baik-baik saja."


"Syukurlah..." Sato-san akhirnya menarik napas lega. Padahal dia sendiri hampir celaka, tapi sifat Sato-san yang selalu memikirkan orang lain duluan memang sangat khas dirinya.


Namun, Hibata-san tampak kebingungan dan terdiam sejenak melihatnya.


"...Sato-san, kamu benar-benar khawatir sama aku?"


"Tentu saja! Kita ini teman sekelas, tahu!" Sato-san dengan nada tinggi seakan heran kenapa pertanyaan seperti itu muncul.


Hibata-san terlihat seperti burung merpati yang tertembak. Tidak heran, karena biasanya Sato-san sangat dingin di kelas, tapi sekarang dia benar-benar menunjukkan kepeduliannya. Perbedaan sikap ini pasti mengejutkan bagi siapa pun, dan aku pun pernah merasakannya dulu.


... Ngomong-ngomong, saat itu Sato-san juga pernah mengalami situasi berbahaya. Mungkin, saat menghadapi keadaan tak terduga, mode dinginnya memang tidak aktif?.


"…Aku, selama ini salah paham sama Sato-san ya? Kamu ternyata baik, ya, Sato-san." 


"Eh? Terima kasih...?" 


Sato-san, yang tidak menyadari perubahan perasaan Hibata-san, hanya bisa menjawab dengan bingung. Padahal, seharusnya dia yang diberi ucapan terima kasih karena menyelamatkan, tapi justru malah dia yang mengucapkannya. Mungkin karena itu terlihat lucu, Hibata-san tertawa terbahak-bahak. 


"Fufu, aku yang seharusnya berterima kasih," katanya sambil tersenyum. 


Sato-san, yang tidak mengerti mengapa dia ditertawakan, hanya bisa mengerutkan kening dengan bingung. Melihat itu, Hibata-san tiba-tiba mengajukan usulan.


"—Oh, kalian sedang belanja, kan? Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau aku bantu juga?"


Begitulah, kelompok belanja kami yang awalnya dua orang sekarang menjadi tiga. 


Setelah itu, kami tiba di pusat perbelanjaan tanpa ada kejadian apa pun yang aneh... 


"Pemalu?" 


Hibata-san, yang mendengar pembicaraan di sebelahnya, mengulangi kata itu. Aku mengangguk.


"Mungkin sulit dipercaya, tapi Sato-san sebenarnya sangat pemalu. Kalau dia terlalu tegang, dia berubah jadi dingin."


"…?" 


Hibata-san tampak bingung, memiringkan kepalanya. Mungkin dia sedang menebak apakah aku sedang bercanda atau serius. Karena sekarang kami bertiga, aku berpikir ini adalah kesempatan bagus untuk menjelaskan tentang "mode dingin" Sato-san kepada Hibata-san, tapi... yah, reaksi seperti itu memang wajar. Aku juga sedikit bingung dengan apa yang kujelaskan barusan.


Sementara itu, Sato-san, yang menjadi topik pembicaraan, sedang berada di sudut pet area, menatap tajam seekor Pomeranian putih. Begitu kami tiba di pusat perbelanjaan, seolah tertarik oleh kekuatan magnetis, dia langsung berjalan ke kandang anjing itu. 


Sato-san sering mengirim ikon anjing Pomeranian di aplikasi pesan dan menggunakan stiker Pomeranian juga, jadi mungkin dia memang suka Pomeranian. Mungkin memang begitu, karena dia menatap anjing di kandang itu seperti sedang melihat bayi... 


Kembali ke topik.


Hibata-san, sambil melihat ke arah Sato-san yang terpaku pada kandang, bertanya, "Tadi dia bisa ngobrol biasa sama aku, kan?"


"…Sato-san, selain pemalu, dia sering terlalu banyak berpikir. Mungkin kalau dia sudah siap-siap sebelumnya, malah makin tegang dan jadi dingin. Tapi tadi, karena kejadiannya mendadak, dia nggak punya waktu buat persiapan."


"Ummm...?" 


Hibata-san kembali memiringkan kepalanya, bingung. 


Yah, mungkin memang sulit dimengerti tanpa melihatnya langsung... Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba seorang pria asing berambut pirang muncul.


Dia lebih besar dari aku dan tampaknya sedang mencari sesuatu. Dia terus melihat catatan kecil di tangannya dan matanya berkeliling, tampak bingung. Sato-san juga menyadari kehadirannya dan sepertinya merasakan firasat buruk, karena ekspresinya tiba-tiba tegang.


Dan firasat buruk itu sering kali benar...


"Ah... Maaf, Nona, boleh saya tanya sebentar?"


Pria berambut pirang itu mendekati Sato-san dan bertanya.

"Di mana saya bisa menemukan batu asahan?"


Begitu pria berambut pirang itu bertanya, wajah Sato-san langsung berubah. Ekspresinya mendadak hilang, dan mode dingin pun aktif.


"…Apa?" 


Nada suaranya sedingin es saat dia menoleh. Sato-san yang barusan asyik menatap Pomeranian seolah berubah menjadi orang lain. Perubahan drastis ini bahkan membuat pria berambut pirang itu tampak terkejut dan sedikit mundur.


"Oh... Batu air? Batu basah?" 


Pria itu, yang jelas merasa terintimidasi, berpikir bahwa masalahnya mungkin terletak pada kesalahpahaman bahasa dan mencoba memperbaiki ucapannya. Namun, tatapan dingin Sato-san terus menatapnya, dan akhirnya dia menjawab dengan datar,


"…Batu basah?"

TLN : gw bold dan miring karena Character yang nanya tuh pake bahasa asing :v


"Maafkan saya."


Pada akhirnya, respon dingin Sato-san berhasil melewati bahkan hambatan bahasa. Pria berambut pirang itu langsung menyerah, mengucapkan permintaan maaf, dan berbalik hendak meninggalkan toko dengan langkah pelan penuh kesedihan…


"Tunggu, tunggu, tunggu! Berhenti! Berhenti!" 


Itu terlalu menyedihkan! Aku langsung mengejarnya dengan cepat dan berhasil menghentikannya tepat waktu. Dengan bantuan fitur terjemahan di ponsel, aku akhirnya berhasil menemukan barang yang dia cari. Ternyata, "Sharpening stone" atau "Water stone" itu adalah istilah untuk batu asahan. Dia bilang dia sedang belajar menjadi seorang koki, dan batu itu penting untuk melatih keahliannya. Setelah menunjukkan lokasi barang itu, aku memberinya semangat dan melihatnya pergi dengan harapan bisa menjadi koki yang hebat.


Setelah itu, aku kembali ke dua orang lainnya. Sato-san tampak begitu gugup hingga matanya hampir berair.


"Serem banget… Terima kasih, Oshio-kun..."


"Eh, sama-sama…"


Setidaknya, mendengar ucapan terima kasih darinya membuat usahaku yang lari tadi terasa sepadan. Saat aku mencoba menenangkan napasku yang tersengal, Hibata-san, yang memperhatikan seluruh kejadian itu dari jauh, bergumam pelan, 


"…Ah, jadi begitu ya."


Sepertinya, akhirnya dia mengerti.


"Ah, ternyata Sato-san itu lebih lucu dari yang aku kira, ya. Kayaknya, aku bisa berteman baik dengan Sato-san yang seperti ini, deh."


Sato-san terlihat agak bingung dan memiringkan kepalanya seperti seekor tupai kecil.


"Yang sekarang…?" 


Tindakannya itu terlihat begitu lucu hingga membuat Hibata-san tak bisa menahan tawa. Setelah itu, dengan wajah penuh ide, dia menepuk tangannya.


"Oh iya! Sato-san, kalau kamu nggak keberatan, mau nggak jadi temanku?"


"Teman!?"


Suara Sato-san melengking. Tangisnya yang hampir tumpah tadi hilang begitu saja, tergantikan dengan keterkejutan yang besar. 


Teman… teman… teman…

Sato-san tampak mengulang kata itu di pikirannya, perlahan mencerna maknanya. Seperti bunga yang mekar di awal musim semi, ekspresinya berubah cerah. Dari pengalamanku, aku baru sadar bahwa setelah melewati "mode dingin" Sato-san, ternyata dia cukup mudah didekati.


Dan sekarang, Hibata-san baru saja berhasil melewati rintangan itu.


"Sebenarnya, aku juga ingin berteman sama Hibata-san dari dulu! Kamu pakai MINE? Atau Minsta? Kamu suka makanan manis? Boleh nggak aku panggil kamu pakai nama depan!?"


"Wah, wah, tunggu sebentar."


Serangkaian pertanyaan datang dari Sato-san, tanpa memberi waktu bagi Hibata-san untuk menarik napas. Mungkin karena dia akhirnya menemukan teman pertama di kelas, antusiasmenya melonjak hingga tiga kali lipat. Jika dia adalah seekor Pomeranian, ekornya pasti akan bergoyang-goyang kencang sekarang.


Meskipun kecepatan pendekatannya tampak sedikit berlebihan, Hibata-san tampak sama sekali tidak terganggu. Dalam hal ini, kepribadian santai Hibata-san bekerja dengan baik. 


"Tenang saja, panggil saja aku Atsumi. Aku juga akan memanggilmu Koharu-chan yaa. Oh iya, ID MINE-ku adalah..."


Sambil tersenyum, Hibata-san menjawab setiap pertanyaan Sato-san dengan tenang. Seperti anak anjing yang penuh semangat bermain dengan anjing tua yang bijaksana, mereka tampak cocok satu sama lain.


"Syukurlah…"


Aku menarik napas lega dalam diam. Meskipun tujuanku awalnya adalah agar mereka bisa akrab dengan Igarashi-san, ternyata hasil ini jauh lebih baik—malah bisa jadi lebih baik daripada berteman dengan Igarashi yang tidak menyukai Sato-san.


Lagipula, mereka berdua mirip. Keduanya sama-sama baik hati, sedikit ceroboh, dan punya ritme yang lambat. Aku yakin mereka akan cocok. Dengan Hibata-san sebagai temannya, aku merasa lebih tenang.


Ah, akhirnya, beban di pundakku terasa sedikit berkurang… atau setidaknya, begitulah perasaanku, sampai aku sadar,


"…Hah?"


Kedua orang yang tadi ada di situ tiba-tiba menghilang. 


Aku melihat sekeliling, dan ternyata mereka berdua sudah berjalan ke arah pintu keluar!


"Eh!? Tunggu, tunggu, tunggu! Stop! Stop!"

Aku kembali berlari dengan segenap tenaga, mengejar punggung mereka berdua yang sedang mengobrol. Meskipun terlihat seperti mereka sudah menyelesaikan semuanya, kenyataannya kami belum selesai belanja!


─ Ini di luar dugaanku.


Dalam perjalanan pulang yang telah dihiasi warna senja, aku berjalan sedikit di belakang mereka sambil memegang kepalaku. Setelah beraktivitas bersama mereka, aku menyadari sesuatu, Hibata-san adalah orang yang sangat santai. Aku tahu bahwa dia tipe orang yang tenang, tapi ternyata bukan hanya itu. Dia dengan mudah tergoda oleh banyak hal, dan jika tidak diperhatikan, dia bisa menghilang begitu saja. Dan ternyata, Sato juga sama seperti itu.


Keduanya terlalu mirip satu sama lain.


Jika mereka terus bersama seperti ini, aku khawatir mereka bisa tertipu oleh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab tanpa mereka sadari... Mereka seperti kombinasi yang berbahaya. Bukannya merasa lega, malah aku jadi semakin khawatir.


"Bagaimana ini..." gumamku.


Tentu saja, aku senang Sato akhirnya punya teman sekelas yang bisa diajak bicara. Namun, kekhawatiran ini tetap ada. Aku mulai bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua yang cemas akan anaknya.

Saat aku melihat wajah ceria mereka berdua yang sedang berbincang, tiba-tiba Hibata-san menundukkan pandangannya.


"Loh, Koharu-chan, rokmu ada yang sobek tuh."


"Eh? … Waaah! Beneran!?"


Ketika kulihat, ternyata memang ada sedikit sobekan di ujung roknya.


… Hibata-san benar-benar jeli.


"Mungkin tadi pas hampir jatuh dari tangga, aku tersangkut sesuatu… Gimana ini..."


"Tenang aja, itu cuma sobek sedikit. Kalau ada alat jahit, bisa diperbaiki dengan cepat."


"Iya, ya… kamu benar…"


Aku mencoba menenangkannya dengan kata-kataku, namun dia masih terlihat khawatir, matanya terus melihat ke arah sobekan itu.


Saat aku berpikir bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki suasana, tiba-tiba Atsumi berbicara dengan suaranya yang santai sambil menunjuk ke sebuah bangku dekat sana.


"Koharu-chan, bisa duduk di situ sebentar?"


Sato-san awalnya terlihat bingung, tapi kemudian dia menuruti permintaan Hibata-san dan duduk di bangku. Hibata-san lalu berlutut di sampingnya dan mengeluarkan sebuah set jahit kecil dari sakunya!


"Tolong jangan bergerak dulu ya."


Dengan tangan yang cekatan, dia mengambil jarum dan benang, lalu mulai menjahit ujung rok yang sobek. Meskipun aku merasa aneh untuk menatap seorang gadis yang sedang menjahit di tengah jalan, aku tidak bisa memalingkan mataku. Tekniknya sangat mahir, seolah aku sedang menyaksikan sihir.


Dalam waktu singkat, sebelum kami sadar, Hibata-san sudah selesai menjahit.


Rok Sato-san sudah kembali seperti semula, rapi dan tanpa sobekan.


"─Selesai. Ehehe, ini sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku tadi."


"Wow, ini luar biasa!?"


Sato-san terlihat sangat kagum.


Aku pun terkesima dengan keterampilannya.


"Ah, ini tidak seberapa kok."


"Enggak! Itu tadi seperti sihir! Atsumi-chan, kamu kelihatan keren banget!"


"Ehehe."


Hibata-san tersenyum malu-malu.


Sato-san, yang tampak sangat tersentuh, berdiri dan berputar-putar, mengibaskan roknya yang sekarang sudah kembali seperti baru. Benar-benar kembali seperti semula. Aku tidak pernah menyangka kalau Hibata-san punya keahlian seperti ini.


"Kamu selalu bawa alat jahit ke mana-mana ya, Hibata-san?"


"Iya, aku sering pakai di klub."


"……Di sekolah kita ada klub kerajinan tangan?"  


"Bukan, teater! Lebih tepatnya klub teater, kalau kostum robek saat pertunjukan, aku pakai ini buat menjahitnya dengan cepat."  


"Oh, begitu."  


── Klub Teater.  


Benar, aku ingat sekarang bahwa Hibata-san adalah anggota klub teater yang diketuai oleh Igarashi Mio.  


Saat itu, Sato, yang tadi sedang menari sendiri, mendengar ini dan langsung tertarik.  


"Teater!? Atsumi-chan, kamu anggota klub teater!?"  


"Iya, benar."  


"Lalu, Atsumi-chan juga berakting di panggung!?"  


"Iya, karena hanya ada tiga anggota."  


"Hebat!! Aku nggak akan pernah bisa berakting di depan orang banyak! Aku masih merasa malu saat mengingat kesalahan yang kulakukan di acara drama TK. Aku benar-benar kagum padamu!"  


… Sepertinya dia terlalu terbawa suasana?  


Bagaimanapun, Sato-san menunjukkan reaksi yang polos, sementara Hibata-san tersenyum malu-malu dan berkata, "Ehehe."  


Melihat interaksi mereka, rasanya hatiku ikut menjadi hangat.  


"Koharu-chan, kamu orang baik yang suka memuji ya."  


"Itu karena kamu hebat, Atsumi-chan! Oh, kapan pertunjukan selanjutnya? Aku ingin menonton!"  


"Nanti di Festival Bunga Sakura, kami akan membawakan drama Putri Tidur. Setiap hari setelah pulang sekolah, kami berlatih di belakang gedung. Nanti datang ya."  


"Ya! Aku pasti datang! … Ngomong-ngomong, kamu dekat dengan Igarashi-san?"  


"Tentu saja!"  


Hibata-san berkata dengan senyum hangat seperti bunga matahari.  


"Mio-mio, aku, dan Wasabi… oh, maksudku Aoi-chan, kami sudah berteman sejak SMP."  


Oh, jadi mereka berteman sejak SMP. Aku selalu melihat mereka bertiga bersama, tapi sekarang semuanya masuk akal.  

Hibata-san bercerita dengan bangga seolah itu pencapaiannya sendiri.  


"Mio-mio luar biasa! Dia selalu giat dalam belajar dan olahraga, berbeda denganku yang tidak bisa apa-apa sendiri. Dan yang paling penting, dia sangat baik hati!"  


"Baik hati?"  


Itu keluar dari mulutku tanpa sengaja.  


Bagian tentang belajar dan olahraga memang tak diragukan lagi dari nilai-nilainya, tetapi aku tidak bisa mengaitkan kata "baik hati" dengan Igarashi-san, jadi aku pun mengucapkannya secara refleks.  


Hibata-san tanpa ragu mengangguk dan berkata, "Iya!"  


"Dari dulu aku selalu melamun dan hanya tubuhku saja yang tumbuh besar, jadi aku sering diganggu anak laki-laki. Tapi Mio-mio datang membantuku! Dia sampai menggigit tangan anak laki-laki itu, dan kami dipanggil orang tua ke sekolah! Sejak itu kami jadi sahabat."  


"Wow, itu luar biasa…"  


Meskipun itu cerita saat SMP, aku tetap terkejut karena itu sangat jauh dari kesan yang kumiliki tentang Igarashi-san sekarang.  


Sato-san terlihat sangat terkesan dan dengan antusias berkata, 


"Aku jadi makin ingin berteman dengan Igarashi-san!"  


Ternyata, bagi Sato-san, "menjadi teman Igarashi-san" masih menjadi salah satu tujuannya.  


"Aku selalu berpikir ingin berteman dengan Igarashi-san!"  


Namun, setelah mengatakan ini, aku tidak melewatkan perubahan ekspresi Hibata-san yang tiba-tiba terlihat murung.  


"… Koharu-chan ingin berteman dengan Mio-mio?"  


"Iya! Setelah mendengar ceritamu, aku semakin yakin! Igarashi-san orang yang baik sekali!"  


"Oh, begitu ya… hmmm…"  


Bertolak belakang dengan semangat Sato-san, Hibata-san tiba-tiba kehilangan antusiasmenya.  


Sato-san tampaknya tidak menyadari hal ini, tetapi sayangnya, aku bisa menebak alasannya.  


Seperti yang kuduga, Igarashi-san mungkin tidak menyukai Sato-san.


Lalu Hibata-san, sahabat dekat Igarashi-san, mengetahuinya. Namun, karena dia sendiri tidak memiliki masalah dengan Sato-san, dia hanya bisa memberikan respon yang samar-samar untuk menutupi situasi. Hibata-san jelas bukan tipe yang pandai berbohong. Oleh karena itu, akulah yang harus turun tangan untuk mengalihkan perhatian.


"Ah, Sato-san, bagaimana kalau kamu berteman dengan Maruyama-san dulu?"  


"Hah? Kenapa begitu?"  


Sato-san tampak bingung dengan saran yang tiba-tiba ini dan bertanya dengan nada yang benar-benar wajar.  


"Ka-kamu tahu pepatah, 'Jika ingin menaklukkan jenderal, tembak kudanya terlebih dahulu', kan? Untuk memastikan kamu bisa berteman dengan Igarashi-san, bagaimana kalau kamu mulai dengan berteman dengan Maruyama-san, untuk mengumpulkan kekuatan dari sisi luar dulu?"  


Tentu saja, aku juga tidak pandai berbohong.  


Meskipun ini logika yang cukup mengada-ada, tampaknya Hibata-san menangkap maksudku. Dia segera masuk untuk mendukung. 

 

"Itu, iya! Ide yang bagus sekali, ya! Menembak... uh... ya, seperti itu!"  


Tapi terlalu jelas bahwa Hibata-san sangat buruk dalam berbohong. Dia bahkan tidak bisa mengatakannya dengan benar! Namun, Sato-san sepertinya menyukai ide tersebut karena terdengar Cerdik, dan mengangguk dengan penuh keyakinan sambil berusaha memasang ekspresi serius.  


"Oh, aku mengerti sekarang. Terima kasih atas sarannya! Aku akan mencoba berteman dengan Maruyama-san dulu. Aku pasti bisa!"  


Meskipun itu hanya cara untuk menghindari situasi sementara, ini masih lebih baik daripada Sato-san berhadapan langsung dengan Igarashi-san, yang jelas-jelas tidak menyukainya.  


Aku merasa lega melihat Sato-san yang sekarang sangat bersemangat, seolah-olah krisis telah berlalu untuk sementara.


"Koharu-chan itu imut, ya," kata Atsumi tiba-tiba dari sampingku.  


Sato-san, yang saat ini tampak sangat sibuk memikirkan strategi untuk mendekati Maruyama-san, tidak mendengar percakapan kami. Ini berarti kata-kata Hibata-san ditujukan padaku.  


"Kamu terkejut?" tanyaku.  

"Tentu, itu sebagian. Tapi sebenarnya, aku sudah lama berpikir dia imut. Kecil, seperti boneka… Kurasa dia bisa cocok memakai pakaian apa pun."  


Aku tidak bisa menyangkal itu. Mengingat betapa aku hampir pingsan ketika melihatnya memakai pakaian kasual, baju renang, dan yukata, aku setuju. Tapi, aku merasa jika aku mengatakannya, itu akan terdengar seperti aku sedang memamerkan, jadi aku memilih untuk diam.


Kemudian Hibata-san menghela napas kecil sambil menatap Sato-san.  


"…Enaknya Koharu-chan. Aku juga ingin dilahirkan imut seperti dia, pakai pakaian cantik, dan berjalan-jalan ke mana-mana."  


"Eh? Menurutku, kamu juga imut, Hibata-san," kataku.  


Aku tidak sedang bercanda. Hibata-san memang imut. Matanya yang selalu tampak mengantuk, alisnya yang membentuk huruf "ハ" ketika dia bingung, serta senyum kecilnya, semuanya sangat menarik. Ini bukan hanya pendapat pribadiku, tetapi juga sesuatu yang mungkin disetujui banyak orang.  


Namun, Hibata-san terlihat sangat terkejut dan bingung.  


"Eh? Tidak, tidak mungkin! Lihat saja, aku lebih tinggi dari kebanyakan laki-laki, bahuku juga lebar, jadi baju-baju imut tidak cocok denganku…"  


"Perempuan tinggi juga bisa menemukan pakaian yang cocok, kok. Aku punya teman yang bekerja di toko pakaian bekas, dan mereka sering membicarakan itu."  


Aku langsung teringat pada Misono bersaudara yang suka berbicara tanpa henti tentang pakaian di toko mereka. Setiap kali aku berkunjung, aku selalu mendengar cerita tentang pakaian bekas, dan bahkan dipaksa menjadi manekin dalam "pertarungan" antara mereka. Jadi, meskipun tidak mau, aku tahu sedikit tentang dunia pakaian.  


Toko mereka, MOON, menjual pakaian impor dari Eropa, yang ukurannya sedikit lebih besar dari standar Jepang, jadi ada banyak pilihan pakaian imut yang cocok bahkan untuk seseorang dengan tinggi seperti Hibata-san.  


"T-tapi, kamu sendiri pasti tidak suka kan dengan perempuan yang tinggi seperti aku,kan?" kata Hibata-san dengan nada khawatir.  


"Itu bukan hal yang bisa aku bicarakan, karena aku bukan perempuan, jadi aku mungkin tidak sepenuhnya mengerti masalah ini."  


Aku membuat pernyataan itu dengan hati-hati, sebelum melanjutkan, 

"Tapi aku tidak menilai orang berdasarkan tinggi badan. Lagipula, kalau orang itu tingginya mendekati tinggiku, rasanya aku bisa merasa lebih dekat dengannya, jadi aku malah tidak keberatan."


Ini adalah perasaan jujurku tanpa ada kebohongan. Bahkan, tinggi badan Hibata-san yang tergolong tinggi untuk seorang perempuan, menurutku adalah salah satu daya tariknya. Itulah maksud dari ucapanku tadi, tetapi... entah kenapa dia tidak memberikan balasan apa pun.


Merasa aneh, aku pun menoleh dan melihat Hibata-san menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dari celah jarinya, terlihat wajahnya yang merah padam, bahkan lebih merah dari langit senja.  


Melihat reaksi yang mirip dengan Sato-san itu, aku tanpa sadar mengeluarkan suara, 


“Eh?”  


Apa aku barusan mengatakan sesuatu yang aneh...?


"Oshio-kun, aku mungkin tahu kenapa kamu bisa jadian sama Sato-san…!?"  


"Apa maksudmu!?"  


Hibata-san, kenapa dia terlihat aneh!?

"…Aku juga hampir sama."  


Terdengar suara dari luar pandanganku, dan saat aku menoleh, terlihat Sato-san yang lebih tinggi dari biasanya.  


Langkahnya terlihat canggung, dan saat aku melihat ke bawah, ternyata dia sedang berjinjit, berusaha sekuat tenaga untuk tampak lebih tinggi. …Dia dengar percakapan kami rupanya.


──Begitulah kira-kira, sambil berbincang ringan, kami pun berjalan dan akhirnya sekolah terlihat di depan mata.  


Saat matahari mulai tenggelam, kami bertiga yang pergi membeli barang akhirnya kembali ke sekolah.


"Sepertinya memakan waktu lebih lama dari yang kita duga, ya."  


"Maaf ya kalian berdua, Oshio-kun bahkan harus membawa kardus juga."  


"Aku senang karena bisa lebih dekat dengan Hibata-san!"  


"Aku juga, jangan khawatir tentang ini, nih."  


Aku berkata begitu sambil menyerahkan tumpukan kardus kepada Hibata-san. Sepertinya, sudah sampai di sini, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Hibata-san menerima kardus itu dan tersenyum lebar.


"Terima kasih banyak! Aku pergi duluan ya, sampai jumpa nanti!"  


"Sampai jumpa, Atsumi-chan~!"  


Sato-san melambaikan tangannya dengan penuh semangat, dan Hibata-san membalas dengan lambaian kecil sambil berjalan menuju kelas. Tapi kemudian, dia tiba-tiba berbalik seperti mengingat sesuatu.


"Oshio-kun, terima kasih untuk tadi ya! Berkatmu, aku jadi lebih percaya diri!"  


"Tadi" yang dia maksud pasti soal tinggi badannya. Aku hanya menyampaikan pendapat jujurku, jadi sebenarnya tidak perlu berterima kasih, tapi karena dia tampak senang, mungkin tidak apa-apa. Aku pun melambaikan tangan seperti Sato-san, dan mengantarnya pergi.Baiklah…  


"Kita juga harus kembali."  


"Iya, benar."  


Tugas kami bukan hanya membeli barang. Kami harus mengantarkan barang-barang yang sudah dibeli ke kelas, dan juga bergabung dengan persiapan lainnya. Waktu yang tersisa sebelum Festival Bunga Sakura hanya tinggal sedikit.


Untuk itu, kami masuk melalui pintu depan sekolah, lalu bersiap untuk mengganti sepatu kami dengan sepatu dalam sekolah. Saat aku membuka pintu loker sepatuku…


"Eh?"  


Sesaat, aku tidak bisa memahami apa yang kulihat. Awalnya kupikir aku salah membuka loker orang lain, tapi tidak mungkin. Loker ini sudah kugunakan setiap hari selama setengah tahun sejak awal tahun ajaran baru. Lagipula, siapa yang akan menggunakan loker sepatu dalam kondisi seperti ini?


"Oshio-kun, kenapa?"  


"...!"


Sato-san, yang sudah mengganti sepatu luar dengan sepatu dalam, mencoba melihat ke arah loker dari belakangku. Aku segera menutup pintu loker dengan tergesa-gesa. Entah kenapa, aku merasa bahwa aku tidak boleh membiarkan Sato-san melihat ini.


"Kenapa? Kamu nggak ganti sepatu?" 


"Eh, ah, um... maaf Sato-san, aku baru ingat ada urusan di luar!"  

"Kamu lupa beli sesuatu? Aku ikut aja."  


"Ah, tidak perlu! Semua orang sedang menunggu, jadi kamu duluan bawa barang ini ke kelas ya!"  


"Um… oke?"  


"Gak apa-apa! Aku akan segera kembali!"  


"…Baiklah!"  


Meski Satou-san tampak belum sepenuhnya puas dengan jawabanku, dia akhirnya membawa kantong belanja di tangannya dan mulai berlari kecil menuju kelas. Aku menunggu sampai punggungnya benar-benar hilang dari pandangan, lalu sekali lagi membuka pintu loker sepatuku.


...Ternyata, setelah kulihat lagi, tetap sama.  


"Apa-apaan ini...?"  


Pemandangan yang terlalu aneh membuatku tanpa sadar mengeluarkan suara. Aku tahu ini terdengar membingungkan, tapi loker sepatuku dipenuhi dengan bubuk putih yang bercahaya. Dan sepatu dalamku hanya terlihat sedikit menyembul dari dalam tumpukan bubuk itu.  


Serius, ini situasi apa?  

"..."


Tidak hanya bisa berdiam diri, aku dengan hati-hati menarik sepatu dalamku yang tertimbun bubuk tersebut. Saat aku menariknya, bubuk putih tersebut langsung tumpah ke lantai.  


Ini...  


"…Garam?"  


Tentu saja, aku tidak akan menjilatnya untuk memastikan, tetapi dilihat dari penampilannya, ini jelas terlihat seperti garam. Banyak sekali garam yang menimbun sepatuku. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.  


Siapa yang bisa melakukan hal seperti ini?


──Ada sosok dari belakang.  


"Hah!?"  


Aku langsung berbalik secepat kilat. Dan saat itu, aku melihat seseorang yang sedang mengintip dari balik loker segera berlari menuju ujung lorong.  


"!"  

Aku langsung berniat mengejarnya, tetapi tiba-tiba teringat kalau aku masih memakai sepatu luar. Dan tidak ada waktu untuk mengganti sepatu dalam yang sudah dipenuhi garam.  


Namun, aku berhasil melihat punggung orang yang melarikan diri.  Orang itu adalah─  


"Seorang pegulat sumo...?"


Aku melihat seorang pria bertubuh besar yang mengenakan mawashi di atas seragam olahraga sekolah, berlari dengan kecepatan tinggi, mendorong beberapa orang di lorong, lalu menghilang di balik tikungan.  


Itu… apakah dia anggota klub sumo?  


Aku merasa seolah sedang dipermainkan oleh makhluk halus. Terlalu banyak hal yang terjadi berturut-turut dan otakku tidak mampu memproses semuanya. Aku hanya berdiri di sana dengan mulut ternganga…  


"──Sepertinya mereka akhirnya mulai bergerak."  


"Uwaah!?"


Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, membuatku berteriak kaget.  

Saat aku menoleh, ternyata Ren sudah berdiri di belakangku sambil minum sebotol cola.  


"Ren!? Sejak kapan kamu di sini!?"  


"Aku yang duluan sampai, tahu."  


Ren berkata begitu sambil meneguk colanya. Sepertinya dia kabur dari persiapan festival Bunga Sakura karena bosan.  


Kebiasaan bolos Ren sudah menjadi hal yang biasa, jadi aku tak terlalu peduli tentang itu. Tapi yang lebih penting!


"Ren… kamu tadi lihat apa yang terjadi?"  


"Pegulat sumo itu larinya cepat juga ya. Bahkan aku sempat melihat dia menuangkan garam ke loker sepatumu, Souta."  


"Kenapa nggak dicegah!?"  


"Enggak ah, nanti aku juga dikira temanmu dan malah jadi sasaran mereka."  


Dasar nggak peduli! Bukannya kamu temanku!?


Cara bicaranya itu...!  


"...Ren, kamu tahu siapa yang melakukan ini?" 

 

Aku bertanya sambil menunjuk sepatu dalamku yang penuh garam.  


Ren melirik sekilas sepatuku dan mengangguk, "Yah, tahu sih," lalu dia melanjutkan,  


"Yang jelas, mending kamu bersihin dulu sepatumu itu."


Kami pun keluar ke samping pintu depan sekolah, dan aku mulai membersihkan garam dari sepatu dalamku, 


"SSF, mereka pelakunya."


Ucap Ren yang duduk disebelahku.


Awalnya aku mengerutkan kening, tidak mengerti apa arti kata itu, tapi segera aku sadar bahwa itu merujuk pada si sumo tadi.

  

"SSF? Aku baru dengar, singkatan dari apa?"  


"Shiotaiou no Sato-san Fanclub."  

TLN : Gw pake bahasa aslinya,karena ya lebih keren aja (SSF anjay)

Tanganku berhenti memukul tanah dengan sepatu sekolah. Aku melirik ke arah Ren, yang tetap terlihat tenang sambil meminum cola.  


"...Lelucon?"  


"Aku juga merasa seperti sebuah lelucon saat mengatakannya, tapi tidak, SSF benar-benar ada. Sebelumnya aku pikir tak perlu disebutkan, tapi kupikir mereka tidak akan sampai melakukan gangguan langsung ke Souta. Sepertinya saat kau dan Sato-san keluar dari kelas tadi yang jadi pemicu."  


Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, jadi aku hanya tertawa kecil.  


"Hmmm... tunggu sebentar. Pesumo tadi adalah anggota Shiotaiou no Sato-san Fanclub, dan mereka... Merendam sepatu sekolahku dengan garam karena aku pacaran dengan Sato-san?"  


Aku tidak bisa menahan tawa lagi setelah mengatakannya sendiri. Benar-benar lelucon yang aneh.  


Memang benar, Sato-san sering dipanggil "Sato-san yang dingin", dan tidak diragukan lagi dia cantik. Faktanya, banyak sekali pria yang telah menyatakan cinta padanya hanya untuk ditolak. Katanya, ada juga yang diam-diam menyukainya. Jadi mungkin ada orang-orang yang kesal karena aku dekat dengannya. Tapi, meskipun begitu...  


"Serius? Mereka melakukan hal konyol ini hanya karena cemburu?"  


"Tentu saja, mungkin sebagian besar memang kesal karena kau dekat dengan Sato-san. Tapi inti masalahnya bukan itu, ada sesuatu yang lebih rumit."  


"Hah? Maksudmu apa?"  


"Mereka ingin mengembalikan Sato-san yang dingin."  


Sekarang aku benar-benar tidak paham apa yang dia bicarakan. Aku masih bisa menerima kalau mereka cemburu dan melakukan gangguan, tapi...  


"Ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi... 'mengembalikan'? Sato-san bukan milik siapa pun dari awal, kan?"  


"Sedikit berbeda. Mereka ingin mengembalikan Sato-san yang dingin, bukan Sato Koharu yang sebenarnya."  


"Hah?"  


Bukankah itu hal yang sama?  


Melihatku dengan wajah bingung, Ren berhenti sejenak seolah sedang mempertimbangkan sesuatu, lalu berkata,  

"Pertama-tama—anggota SSF, terutama para petingginya, hampir semuanya adalah pria yang pernah ditolak oleh Sato-san."  


"..."  


Aku butuh beberapa saat untuk mencerna kata-katanya. Perlahan-lahan, kata-katanya masuk ke pikiranku, dan akhirnya...  


"Hah...?"  


Aku mengeluarkan "hah?" yang tulus dari lubuk hatiku.  


"Jadi, para pria yang ditolak oleh Sato-san... membuat fanclub untuknya?"  


"Katanya ada perempuannya juga. Intinya, mereka justru menjadi lebih tergila-gila setelah ditolak."  


"Gila terhadap apa...? Oh, tunggu! Sebenarnya, aku tidak ingin tahu!"  


"Masokisme."  


"Padahal aku nggak mau dengar!"  


Aku buru-buru menutup telingaku, tapi sudah terlambat.  

"Singkatnya, SSF adalah kumpulan orang aneh yang terangsang ketika diperlakukan dingin oleh Sato-san."  


"Ini benar-benar yang terburuk...!"  

TLN : Siapa sih yg kagak birahi dihina ama cewek cantik.... bkn gwejh


Sebuah rasa dingin menjalar ke tulang punggungku.  


Apa salahku sehingga aku harus diberitahu bahwa pacarku dijadikan objek penyimpangan seksual yang aneh?  


Tentu saja aku senang Sato-san disukai, tapi ini adalah perasaan paling rumit yang aku rasakan sepanjang tahun ini.  


Namun, di balik semua itu, satu pertanyaan muncul.  


"Kalaupun SSF benar-benar ada... aku nggak suka ngomong ini, dan sebenarnya malas banget buat ngungkit, tapi..."


"Apa itu?"  


"Kalau yang mereka inginkan cuma diperlakukan dingin oleh Sato-san, apa masalahnya kalau aku pacaran dengan dia?"  


Ini jelas bukan seperti skandal percintaan seorang idola. Kalau mereka hanya ingin mendapatkan perlakuan dingin, seharusnya hubungan kami tidak mempengaruhi, kan?  


Tapi Ren menggelengkan kepalanya.  


"Pertama-tama, apakah menurutmu orang yang waras akan membuat kelompok aneh seperti itu?"  


Perkataannya begitu meyakinkan, sampai-sampai aku tak bisa membantahnya.  


"Lagipula, SSF menganggap bahwa kau telah merebut Sato-san yang dingin dari mereka. Garam itu adalah peringatan."  


Peringatan dengan garam?  


Sekarang aku ingat, saat istirahat siang kemarin, ada garam yang ditaburkan di mejaku. Jadi itu peringatan? Kalau begitu, tatapan-tatapan aneh yang belakangan aku rasakan…  


Namun, aku masih belum sepenuhnya paham.  


"Seperti yang kukatakan tadi, mereka ingin mengembalikan Sato-san yang dingin."  


"Aku masih tidak mengerti."  


Mengapa mereka ingin mengembalikan Sato-san yang dingin, bukan Sato Koharu? Apakah ini semacam kiasan?  


"Sejak kau mulai pacaran dengan Sato-san, dia jadi lebih sering tersenyum, kan?"  


"Yah, begitulah…"  


Meskipun wajahnya masih terlihat kaku, dia jauh lebih lembut dibandingkan sebelumnya. Menurutku, itu perubahan yang bagus, tapi…  


"SSF tidak menyukainya."  


"Mengapa? Bukankah itu hal yang baik?"  


"Menurut mereka, itu masalah besar. Sato-san yang dingin adalah sumber kepuasan masokisme mereka. Mereka ingin Sato-san tetap bersikap dingin dan memperlakukan semua orang dengan sama."  


"Mereka benar-benar aneh…"  


Akhirnya aku mengeluarkan hinaan yang terus kutahan. Aku bisa mengerti, tapi aku sama sekali tidak bisa berempati pada mereka. Tubuhku mulai merinding…  


"Alasan mereka mungkin terkesan masuk akal, tapi sebenarnya di balik itu semua, ada rasa cemburu padamu, ditambah dengan keinginan terdistorsi untuk memiliki Sato-san. Itu yang membuat mereka mulai bertindak aneh."  


"Bagian mana yang masuk akal dari semua itu?"  


Sebenarnya, sejak awal kelompok ini sudah aneh.  


"Selama kau masih pacaran dengan Sato-san, gangguan seperti ini akan terus terjadi."  


Ren menutup penjelasannya sambil meneguk habis cola dari botolnya.  


Aku memandangnya sejenak, lalu…  


"…Hahaha."  


Aku tertawa kecil.  


─Ini tidak seperti biasanya. Cerita Ren kali ini terdengar terlalu seperti fiksi.  

"Wow, hampir saja aku percaya! Hahaha."  


Ren menatapku dengan wajah serius, tapi aku tidak akan tertipu lagi.  


"Semua ini pasti ulahmu, kan? Kalau bukan kamu yang cerita, mungkin aku sudah percaya sepenuhnya."  


"…"  


Ren tidak berkata apa-apa.  


Aku tidak tahu kapan dia berencana mengungkapkan lelucon ini, tapi aku sudah mengetahuinya.  


Sebenarnya mendengarkan cerita seperti ini menyenangkan, tapi aku harus kembali mempersiapkan festival Bunga Sakura.  


Setelah tertawa cukup lama, aku bangkit dan berkata,  


"Hah… sudah cukup tertawa. Tidak mungkin SSF itu benar-benar ada…"  


─*Ghodok!* Suara keras dari belakang memotong ucapanku.  


Aku menoleh dan melihat sesuatu yang pecah di tempat dudukku tadi. Itu… bukan batu biasa.  


Itu batu garam, sebesar dua tangan.  


"!?"  


Refleks aku langsung melihat ke atas.  


Di lantai dua, beberapa sosok yang tadinya melihat ke arah kami segera mundur terburu-buru.  


“……!?”


Seluruh darah di tubuhku seolah mengalir keluar.  


Apa…? Ini pasti bohong… Kalau batu sebesar itu kena langsung dan mengenai tempat yang salah, aku bisa mati…  


Saat aku masih tertegun, Ren berkata sambil menatapku,  


"SSF itu, benar-benar ada."  


Aku bisa terbunuh oleh para maniak ini—


Dalam perjalanan kembali ke kelas, di lorong sekolah—kalau saja tidak ada yang melihat, aku pasti sudah melompat-lompat kecil.  


Nyatanya, aku merasa tubuhku begitu ringan seperti bulu, dan jika sedikit saja lengah, kakiku akan “melompat” begitu saja. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya.  


Secara harfiah, aku sedang sangat bahagia.  


Bagaimana tidak? Aku baru saja mendapatkan teman sekelas pertama!  


"......"  


Sudut bibirku nyaris terangkat, tapi aku berusaha keras untuk tetap memasang wajah datar.  


Aku tahu kalau tersenyum sendiri dan bahkan melompat-lompat di lorong sekolah adalah hal yang memalukan.  


Tapi setiap kali aku memikirkan tentang Atsumi-chan, sudut bibirku kembali ingin naik… Tidak! Aku harus memikirkan hal lain!  


Sambil berjalan, aku mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat keadaan kelas lain.  

Di lantai satu terdapat kelas-kelas adik kelas, yaitu siswa tahun pertama. Mereka juga sedang sibuk mempersiapkan Festival Bunga Sakura. Setiap kelas terlihat penuh semangat.  


Semua orang, termasuk aku, sangat menantikan Festival. Aku merasa sangat senang ketika menyadari kembali hal yang sebenarnya biasa ini.  


Lalu, pada saat itu.  


“──Koharu──n!!”  


Tiba-tiba, ada suara yang memanggilku dengan nama yang familiar. 


Satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan “Koharun” hanyalah dia.  


"Tsuna-chan?"  


Tsunashi Reiko. Gadis yang bekerja denganku di rumah hantu selama liburan musim panas.  


Oh iya, dia adalah murid kelas satu, pikirku sambil menoleh ke arah suara itu.  


“Koharu──n!”  

"Higyaaah!?"  


Aku menjerit.  


Soalnya, tepat di belakangku, ada seorang monster mengenakan topeng badut, mengacungkan pisau di tangan kanannya, dan mengejarku!  


“Pembunuh!?”  


“……Ah, maaf, aku lupa masih pakai topeng.”  


Monster badut itu melepas topengnya. Seperti yang kuduga, di baliknya adalah wajah manis Tsuna-chan.  


Meskipun sudah tahu, tetap saja itu mengejutkan!  


“Ts-Tsuna-chan, kamu sengaja melakukannya kan!?”  


“Ah, nggak kok. Itu benar-benar tidak sengaja, hahaha.”  


Kalau “tidak sengaja” itu sampai menghentikan jantungku, bagaimana jadinya?  


Sambil berusaha menenangkan detak jantungku yang masih berdetak kencang, aku memandangnya. Ini pertama kalinya aku melihatnya mengenakan seragam sekolah, karena sebelumnya kami bertemu saat bekerja.  


“Tsuna-chan, sudah lama tidak bertemu! Sejak festival terakhir, ya?”  


“Iya, benar sekali! Padahal kita sudah berteman, tapi kamu tidak pernah main ke kelasku! Koharun, setelah liburan musim panas selesai, kamu sama sekali tidak main ke sini!”  


“Ma-Maaf! … Tsuna-chan sendiri kenapa tidak main ke kelasku?”  


“Kamu pikir aku berani masuk ke kelas tingkat 2? Serem banget!”  


Rasanya itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan... Tapi dia memang sama pemalunya denganku.  


“Ngomong-ngomong, kenapa kamu pakai kostum itu, Tsuna-chan?”  


“Fufun, terima kasih sudah menanyakannya!”  


Tsuna-chan berkata dengan bangga sambil membusungkan dada yang tidak terlalu besar. Jelas sekali dia sudah tidak sabar ingin memamerkan hal ini sejak tadi.


"Yup, kelas kami memutuskan untuk membuat rumah hantu sebagai stan festival! Itu semua berkat dorongan kuat dariku," kata Tsuna-chan dengan bangga.


"Eh, hebat! Itu bidang keahlianmu, kan!" aku membalas. 


Tsuna-chan mendengus sambil mengayunkan pisau yang tentunya palsu. Seperti yang sudah kuketahui, meskipun penampilannya manis dan lembut, dia adalah penggemar horor yang berat. Aku ingat dia memulai pekerjaan di rumah hantu saat liburan musim panas untuk menemukan teman dengan hobi yang sama.


Meskipun aku agak penasaran dengan bagaimana dia bisa mendesak semua orang, tetap saja, aku iri karena dia bisa melakukan sesuatu yang dia sukai di Festival Bunga Sakura.


"Hasil dari pekerjaan liburan musim panas ini akhirnya bisa aku tunjukkan! Sebagai 'Scream Queen,' aku akan membawa Festival Bunga Sakura ke dalam kengerian yang tak terbayangkan! Wahahahaha!" katanya dengan tawa yang menyeramkan.


Meskipun beberapa ungkapannya terdengar agak mengerikan, aku bisa melihat bahwa dia sangat menikmatinya. Jadi, aku memutuskan untuk memberinya tepuk tangan sambil tersenyum.


Namun, tiba-tiba—


"Non, non, non. 'Scream Queen' itu jika diterjemahkan berarti 'Ratu Teriakan', istilah yang digunakan untuk aktris yang berperan dalam film horor dengan jeritannya. Tapi kamu, adik kelas, adalah orang yang membuat orang lain menjerit, bukan?"


"Siapa itu!?" Tsuna-chan melompat mundur seperti kucing yang kaget ketika sebuah suara perempuan yang tak dikenal terdengar dari luar pandanganku.


Aku menoleh ke arah suara itu, dan pandanganku bertemu dengan seorang gadis yang sedang menggigit cokelat batangan. Rambutnya diikat ke belakang dalam gaya setengah bun, dan dia adalah seseorang yang secara kebetulan aku putuskan untuk lebih dekat dengannya—Maruyama Aoi.


"Maruyama-san…?" aku bertanya.


"Oh, Sato-san, Ossuu," jawabnya sambil mengunyah cokelat batangan.


Apa? Dia menyapaku? Maruyama-san yang cerdas itu menyapaku!? Ini pertama kalinya! Ini kesempatan sempurna untuk bisa berteman dengannya!


Namun, sayangnya, rasa gugupku sebagai seseorang yang pemalu mulai muncul. Aku langsung merasa tegang saat berpikir tentang percakapan yang cerdas dan berwawasan yang harus aku lakukan untuk bisa dekat dengannya. 


Haruskah aku membalas dengan "Hai" juga? Atau mungkin "Ossu" karena dia mengatakannya lebih santai? Tapi bagaimana jika dia berpikir aku terlalu memaksa diri? Mungkin lebih aman dengan "Halo"? Tapi bagaimana dengan "Selamat sore" karena waktu sekarang sudah sore?


Aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana harus menjawab, sampai aku bahkan tidak bisa mengeluarkan satu kata pun.


Namun, sebelum aku bisa merespon, Tsuna-chan tiba-tiba berteriak dengan suara keras yang menggema di sepanjang lorong.


"Haah!? Apa itu, coba-coba pamer pengetahuan ya!?"


Tubuhku tersentak kaget, sementara Tsuna-chan yang mukanya memerah, kini bersembunyi di belakangku, melindungi diri sambil menantang Maruyama-san.


"Aku sudah tahu itu! Aku sudah tahu itu kok! Kenapa kamu tiba-tiba muncul dan ngomong begitu, si otaku songong!"


"Eh, Tsuna-chan…?" Aku mencoba menenangkan situasi.


"Oh, ya? Jadi kamu sudah tahu, ya?" kata Maruyama-san dengan senyum licik, mendekati Tsuna-chan. Tsuna-chan, di sisi lain, terus bersembunyi di belakangku, bergerak mengikuti gerakan Maruyama-san seperti bayangan.



“Tsuna-chan! Jangan berputar di sekitarku seperti planet!!”


“Kalau begitu, apakah senpai cebol tahu siapa ratu jeritan pertama dalam sejarah!?”


“Senpai cebol!? Tsuna-chan, cara panggilanmu agak tidak sopan...!”


“Bukan ‘Senpai cebol,' namaku Maruyama Aoi, dan ratu jeritan pertama adalah Fay Reira dari Big Kong.”


“Maruyama-san!?”


“Huh, itu sudah pengetahuan umum! Orang yang tidak tahu itu punya tingkat budaya rendah! Jangan terlalu percaya diri!”


Mereka berdua terus berdebat sambil berputar di sekitarku.


Dalam situasi aneh seperti ini, bahkan kebiasaanku yang buruk tidak punya kesempatan untuk muncul!


“Hmm? Bicara yang menarik, adik kelas. Oh, topeng yang kamu pakai itu dari versi remake Killer Clown, tapi versi aslinya lebih terkenal dan lebih bagus. Kenapa kamu tidak memilih yang itu?”


“Aku bukan adik kelas, namaku Tsunashi Reiko!! Dan aku menghormati versi remake!! Dasar penggemar kuno! Otak fosil! Pulang saja!”

B-bisa berhenti tidak, Tsuna-chan! Jangan berdebat melalui tubuhku! Rasanya aku juga sedang kehilangan simpati dari Maruyama-san!!


Apalagi, “di tengah-tengah koridor,” “mengelilingi kakak kelas sambil berputar,” “dua gadis kecil yang berdebat dengan sengit” adalah pemandangan yang terlalu aneh, membuat orang-orang mulai memperhatikan kami! Aku sangat malu sampai rasanya wajahku terbakar! Tolong biarkan aku pulang saja!


Apakah harapanku akhirnya sampai ke langit?


“Baiklah, baiklah, penggemar kuno ini akan kembali ke sarangnya~.”


Maruyama-san yang lebih dulu mengalah. Dia melambaikan tangan sambil mengacung-acungkan cokelat batang yang setengah dimakan dan pergi.


Sampai punggungnya benar-benar tidak terlihat lagi, Tsuna-chan yang bersembunyi di belakangku terus menggeram seperti anjing liar, tapi...


...Ini jelas aku sudah dibenci oleh Maruyama-san.


Strategi menembak kuda sebelum menembak jenderal gagal hanya dalam sepuluh menit. Bahuku langsung jatuh lemas.


“...Koharun.”

“Ada apa, Tsuna-chan...”


Aku bertanya dengan napas panjang dan menoleh ke Tsuna-chan.


Lalu aku melihatnya… sangat gelisah, lebih dari yang pernah aku lihat sebelumnya. Ekspresi mengancamnya yang tadi sudah hilang, dan sekarang dia terlihat agak bersemangat.


“...Orang itu, kamu bilang namanya Maruyama Aoi?”


“Eh? Ah, iya, benar...”


“Dia orang baik...! Tolong perkenalkan aku dengannya lain kali!”


“Eh?”


Kalimat yang tak terduga keluar, membuatku spontan bertanya lagi.


Tunggu, kalian berdua tadi berantem, kan…?


“—Eh? Itu tadi bukan berantem kok,” kata Maruyama-san dengan santai.


Akhirnya aku tidak mengerti lagi.


Kata Tsuna-chan, “Koharun, itu bukan berantem, kalau tidak percaya, tanya saja langsung ke Maruyama-senpai.” Jadi aku mengejarnya dan dengan setengah ragu bertanya. Ternyata, benar saja, jawabannya persis seperti yang dikatakan Tsuna-chan.


Maruyama-san tidak kembali ke kelas setelah naik ke lantai dua, tapi malah berjalan ke ujung koridor yang sepi dan mulai membuka cokelat batang baru.


“Istirahat ngemil, istirahat ngemil. Berdebat membuat perut lapar,” katanya. Dengan banyak ngemil seperti itu, aku bertanya-tanya apakah dia masih bisa makan malam...


“Percakapan antar otaku memang seperti itu, Sato-shi~,” kata Maruyama-san sambil tertawa ringan.


Sato-shi…?


Sepertinya komunikasi antara Maruyama-san dan Tsuna-chan masih terlalu sulit untuk aku pahami dengan kemampuan komunikasiku yang sekarang.


Setidaknya, aku lega mengetahui kalau mereka tidak benar-benar berantem.


“Yah, aku memang agak terluka waktu dibilang otak fosil oleh Sato-san… ugh.”

“Itu Tsuna-chan yang bilang! Bukan aku!”


Saat Maruyama-san pura-pura menangis seperti itu, aku buru-buru membantah.


Lalu Maruyama-san melirik ekspresiku.


“...Tapi lebih dari itu, aku kaget dengan Sato-san.”


“Eh? Aku?”


Apa aku melakukan sesuatu yang membuat Maruyama-san terkejut?


Tiba-tiba aku merasa cemas dan mulai mencoba mengingat kembali semua yang terjadi tadi, sampai akhirnya Maruyama-san berkata,


“Sato-san biasanya lebih dingin, aku nggak nyangka kamu bisa punya ekspresi se-ekspresif ini.”


“Eh?”


Jawaban yang datang benar-benar di luar dugaanku, aku sampai mengeluarkan suara kaget.


Aku tahu kok, aku bukan tipe cewek yang berpikir diri sendiri itu super imut dan disukai orang. Aku sadar kalau aku agak canggung, dan saat gugup, aku mungkin terkesan dingin pada orang lain.


Tapi kalau dilihat secara objektif...


“A-aku nggak sedingin itu, kan?”


“Serius deh, kamu nggak sadar? Kamu super dingin.”


“!?”


Rasanya seperti tersambar petir.


“Sejujurnya, aku kira kamu nggak mau berteman dengan siapa pun di kelas.”


“!?!!”


Tersambar petir untuk kedua kalinya.


Setelah dua kali tersambar petir, aku sudah benar-benar terluka parah. Namun, meski hampir mati, ada satu hal yang harus kutanyakan…!


"Apakah senyumku…"


"Hah?"


"Senyumanku… apa aku sudah tersenyum dengan baik…?"


Mata Maruyama-san berkedip beberapa kali. Lalu, setelah menatapku sejenak, dia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.


"Hahaha! Senyum? Nggak ada sama sekali! Aku pikir kamu malah mengejek orang!"


"Apa!?"


"Sato-san, kamu sebaiknya melihat dirimu sendiri dengan lebih objektif~"


Sebuah petir luar biasa menyambar dari kepalaku sampai ujung kaki, memberikan pukulan terakhir pada diriku yang sudah sekarat.


Mengejek…? Apa yang kupikir sebagai senyuman… sebenarnya ejekan!? Dengan senyuman seperti itu, bukannya membuat teman, aku bahkan tidak akan diajak bicara...


"Tapi, Oshio-kun bilang aku bisa tersenyum dengan baik..."


"Itu karena dia adalah pacarmu, jadi dia cuma berusaha sopan. Oshio Souta, dia pacarmu kan?"


"!?!!?"


Rasanya seperti mengalami kejutan seumur hidup hanya dari beberapa kalimat. Tidak, itu tidak mungkin, aku ingin menyangkalnya. Tapi semakin kupikirkan, semakin masuk akal semua ini. Jika memang benar aku sangat tidak ramah seperti yang dikatakan Maruyama-san, maka banyak hal kecil yang aneh selama ini tiba-tiba terasa wajar. Aneh bahwa aku tidak menyadarinya sejak awal.


Dan fakta bahwa Oshio-kun yang lembut dan baik hati tidak pernah mengatakannya mungkin karena dia berusaha menjaga perasaanku…


"Jadi… apa aku benar-benar sulit diajak bicara…?"


"Iya."


Jawaban cepat itu secepat kilat, dan Sato Koharu, yaitu aku, baru saja kehilangan semua semangat juang.


"Begitu ya…"


Suara yang keluar dari mulutku bahkan terdengar kecil dan lemah bagi diriku sendiri. Rasanya seperti akhir dunia. Tidak bisa dihindari... Aku, yang ingin punya banyak teman, ternyata malah bersikap dingin dan bahkan tampaknya seperti mengejek mereka. Dalam situasi seperti ini, bahkan Atsumi-chan yang jadi temanku mungkin karena ada kesalahan. Aku, benar-benar gadis SMA yang gagal... Saat aku mulai larut dalam perasaan benci diri yang semakin dalam,


"Heiyah!"


"Waah!?"


Tiba-tiba, Maruyama-san menggelitik pinggangku.


Tangan kecil Maruyama-san bergerak cepat seperti makhluk hidup di perutku.


"Tunggu, Maruyama-san!? Itu geli... Ahahaha!"


Aku tak bisa menahan diri dan tertawa keras, sampai akhirnya aku terbebas dari serangan gelitikan itu.


Aku… hampir mati...


"Apa-apaan sih, Maruyama-san tiba-tiba saja..."


"Kamu tahu, Sato-san, senyumanmu jauh lebih manis. Kenapa selalu pasang wajah nggak senang begitu?"


"Padahal aku berusaha keras untuk terlihat ceria!?"


"Hahaha."


"Hahaha!?"


Tertawaku diabaikan!??


"Ngomong-ngomong, belakangan ini kenapa kamu sering berusaha mendekati Mio-mio?"


Mio-mio, alias Igarashi Mio-san.


Kenapa? Yah…


"Aku ingin bisa berteman dengan Igarashi-san."


"Serius!? Dengan cara seperti itu!?"


Maruyama-san tertawa terbahak-bahak, memegang perutnya.


Sambil dia tertawa, wajahku semakin memanas. Wajahku pasti sudah merah seperti smoothie apel merah, tak tertandingi dalam hal warnanya.


Sepertinya aku sudah tahu bagaimana percakapan ini akan berakhir, tapi… sungguh, aku ingin lenyap sekarang juga!


"Ka-kamu nggak perlu tertawa sekeras itu…!"


"Ahahahaha! Maaf... itu terlalu lucu...! Aku tidak menyangka Sato-san bisa melawak seperti ini! Hahaha!"


"…!"


Dengan wajah yang membengkak seperti ikan puffer, aku menggerutu tanpa suara padanya. Maruyama-san sangat jahat!!


Dan sepertinya protesku terdengar, karena Maruyama-san menghapus air mata yang mengalir dari tertawa sambil berkata, "Maaf, maaf."


"Hehe... Aku hampir mati… Ah, bercanda, maaf! Oh ya! Sato-san kan ingin berteman dengan Mio-mio? Jadi, untuk menebusnya, aku akan memberimu satu informasi, terserah yang mana!"


"…Satu informasi?"


"Ya, apa saja! Dari kustom favorit Futaba sampai ukuran tubuhnya!"


Maruyama-san tertawa nakal sambil mengatakan itu. Mendapatkan satu informasi dari Maruyama-san—ini adalah keuntungan besar untuk berkenalan dengan Igarashi-san. Jika aku tahu kustom favorit Futaba, itu bisa jadi awal percakapan, dan untuk ukuran tubuhnya… melihat Igarashi-san yang begitu stylish, aku pasti sangat ingin tahu.


Dengan peluang yang muncul tiba-tiba ini, aku merenung. Setelah mempertimbangkan dengan seksama, aku akhirnya melontarkan satu pertanyaan.


"…Apakah Maruyama-san suka film?"


"Hah?"


Senyum lebar Maruyama-san mendadak pudar, seolah-olah terkejut.


"…Apa itu pertanyaan untukku?"


"Iya, karena tidak ada yang mengatakan aku harus bertanya kepada Igarashi-san..."


"Ya, tidak apa-apa, tapi kenapa kamu tidak bertanya tentang Mio-mio? Bukankah kamu ingin berteman dengannya?"


Maruyama-san tampak benar-benar bingung dan balik bertanya padaku.

…Tentu saja, aku ingin berteman dengan Igarashi-san. Aku juga ingin tahu kustom favorit Futaba dan ukuran tubuhnya. Namun, justru karena itulah...


"…Aku pikir lebih baik bertanya langsung kepada orangnya."


Itulah jawaban yang aku ambil. "Jika kamu ingin menangkap jendral, terlebih dahulu kamu harus menangkap kudanya"—aku merasa bersalah pada Oshio-kun yang merancang strategi ini, tapi rasanya aku tidak bisa melakukan itu. Untuk membuat teman, membuat teman untuk berteman dengan orang lain adalah hal yang terlalu rumit bagiku.


Lebih dari itu—


"Saat ini, yang ada di depan aku adalah Maruyama-san."


—Aku ingin berteman dengan Maruyama-san secara pribadi.


Dia memang sering mengucapkan hal-hal yang menyebalkan, dan itu sedikit membuatku marah, tetapi… aku tetap merasa tertarik padanya.


"Berbicara tentang pertanyaan, aku ingin minta tolong... Tolong jangan bilang kepada Igarashi-san bahwa aku ingin berteman dengannya. Dan juga, jika kamu bisa bilang pada Atsumi-chan, itu akan sangat membantu."

"Hmm, jadi kamu juga berteman dengan Hibacchi... Kenapa?"


"Sebab, jika kamu memberitahunya, seolah-olah aku mendekati Igarashi-san untuk diperkenalkan melalui kalian berdua, dan itu terasa tidak enak… Aku hanya ingin berteman dengan kalian."


"Apakah kamu yakin? Sato-san terlihat kurang ramah, mungkin kita tidak bisa saling mengajak bicara…"


"Ugh."


Dengan pernyataan itu diulang, aku tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan suara keluhan. Itu memang sangat menyakitkan dan membuatku merasa terpuruk, tetapi...


"Karena itu, aku ingin berusaha sendiri. Jika tidak, mungkin aku akan terus bergantung pada orang lain."


Itulah perasaan tulusku.


Maruyama-san menunjukkan ekspresi berpikir sambil mengunyah kata-kataku.


"Sato-san, ternyata kamu cukup keras kepala ya~. Sepertinya hidupmu sulit~."


"Hidupku!?” 


Kejamnya!?


Aku mencoba melawan dengan tatapan tajam saat dia tertawa.


"…Yah, aku mungkin tidak membenci kekakuanmu itu. Aku rasa Mio-mio juga akan berpikir begitu," gumam Maruyama-san pelan.


Nada bicaranya yang serius sedikit mengejutkanku karena berbeda dari sebelumnya. Lalu, seolah ingin menutupi itu, dia tersenyum lebar dan berkata, "Yah, bagaimanapun juga, janji adalah janji. Pertanyaannya adalah apakah aku suka film, kan? Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?"


"Tadi kamu dan Tsuna-chan tampak sangat semangat membicarakannya… aku pikir itu hal yang penting buatmu."


"Penting, ya…"


Maruyama-san berkata sambil merenungkan hal itu, mengangguk beberapa kali.


"Benar, aku sangat suka film. Bukan cuma film, aku juga suka drama, manga, teater, bahkan rakugo, tapi yang paling aku suka adalah… novel."

"Novel? Kenapa?"


"Tentu saja, karena aku adalah calon penulis besar di masa depan," jawab Maruyama-san dengan nada bercanda.


Penulis besar di masa depan? Apakah itu berarti…


"Kamu menjadi penulis!? Maruyama-san!? Novel!?"


"Hehe," jawab Maruyama-san, bukannya dengan kata-kata, tapi dengan menunjukkan tanda V dengan jarinya.


"Luar biasa!"


Ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang menulis novel! Karena sangat antusias, aku sampai terperosok ke depan dan bertepuk tangan. Maruyama-san tampak sedikit malu.


"Aduh… aku cuma bercanda, tapi kalau dipuji segitu, jadi malu… menulis novel itu bukan hal yang luar biasa."


"Apa yang kamu katakan!? Itu luar biasa! Bisa membuat cerita dari ketiadaan, itu artinya kamu punya bakat!"


"Cuma karena aku bisa menulis…?"


"Aku nggak bisa! Hei, hei, hei, gimana caranya kamu menemukan ide cerita!? Apakah karakternya berdasarkan orang yang kamu kenal!? Dari mana kamu dapat inspirasi…?"


"Hei, hei, kamu bertanya terlalu banyak! Dan kamu terlalu dekat!"


Maruyama-san mendorongku ke belakang dengan kedua tangannya sambil berkata begitu. Sepertinya dia merasa malu, karena wajah kecilnya yang biasanya tampak licik kini berubah merah, dan dia terus mengalihkan pandangan dariku.


Secara diam-diam, dia sangat imut.


Maruyama-san menundukkan pandangannya sedikit ke bawah dan memonyongkan bibirnya.


"Tapi… ini bukan hal yang pantas dipuji. Aku cuma punya kemampuan ini, dan menulis itu kerja di balik layar. Yang harus dipuji adalah karya yang aku buat, bukan aku."


Nada suaranya terdengar begitu dewasa, seolah sudah mencapai kesimpulan hidup. Meskipun aku merasa kagum, berpikir betapa keren dan artistiknya dia, tetap saja—aku sedikit bingung.


"Mampu berkata bahwa kamu cuma punya ini saja sudah cukup untuk dipuji, menurutku."


"Huh?"


Maruyama-san tampak kaget dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama menatap langsung ke mataku. Matanya terbuka lebar, seolah-olah terkejut.


...Ditatap seperti itu membuatku malu. Aku garuk-garuk pipi untuk menutupi rasa maluku dan melanjutkan.


"Aku, aku ini ceroboh, selalu gagal dalam apapun yang aku lakukan! Jadi aku harus bekerja lebih keras untuk bisa mengejar ketertinggalanku darimu, Maruyama-san."


"Sato-san…"


Maruyama-san terdiam sejenak, kemudian mulai terkikik pelan. 


Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh? Saat aku mulai merasa khawatir, dia berbisik.


"…Waktu SMP, Mio-mio bilang hal yang persis sama kepadaku."


"Eh?"


"Mungkin kalian berdua akan cocok."


Maruyama-san tertawa polos, berbalik, dan menari-nari menjauh.


"Baiklah, aku akan mendukung Koharu agar bisa berteman dengan Mio-mio! Oh ya, klub teater kami latihan di belakang sekolah setelah jam pelajaran. Kamu boleh datang menonton kapan-kapan~~!"


Setelah meninggalkan pesan terakhir itu, dia berlari secepat angin, meninggalkanku sendirian di koridor yang sepi di senja hari.


"…Maruyama-san barusan memanggilku dengan nama depanku, kan?"


Aku bergumam, tapi tak ada yang menjawab.


Apakah aku sudah berteman dengan Maruyama-san? Karena aku jarang punya teman, aku tidak tahu—mengatakannya saja sudah membuatku sedih—tapi, bagaimanapun juga, keputusanku sudah bulat.


Aku mengepalkan tangan dan mengucapkan tekadku dengan keras.


"──Aku pasti akan berteman dengan Igarashi-san!"


Bagaimanapun, Maruyama-san mendukungku!


──Dan dengan itu, "Operasi Berteman dengan Igarashi-san" resmi dimulai.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !