Genkan Mae de Kao no yo Sugiru Daunā-Kei Bishōjo o Hirottara Chap 4

Ndrii
0

Chapter 4:

Berkencan Dengan Gadis Cantik Pemurung




Di samping tangga aspal tua yang terhubung ke stasiun.


Mengabaikan para pegawai kantor berpakaian jas yang tampak lelah menaiki tangga meskipun sedang liburan musim panas, aku melihat ponselku sambil menoleh kesana-kwmari.


Dua hari setelah Sajo-san mengajakku kencan. Aku tidak terlalu ingat saat itu. Hanya saja, sepertinya kepalaku bergerak sendiri, dan yang kuingat hanyalah dia berkata "...Begitu" dengan dingin, namun sudut bibirnya sedikit terangkat seolah senang.


Setelah itu aku kembali ke kamar dengan terhuyung-huyung seolah jiwaku telah hilang—kepalaku serasa terbakar oleh kata "kencan".


Kencan? ...Kencan?


Aku memegangi kepalaku dan berguling-guling di atas tempat tidur sambil bertanya-tanya kenapa dan bagaimana. Tanpa sadar aku berteriak tanpa suara.


Ehh... Kenapa, kenapa tiba-tiba. Aku tidak mengerti. Padahal rasanya dia seperti menghindariku, tapi kenapa?


Aku memikirkannya dengan kepala yang seolah demam, tapi tentu saja tidak ada artinya. Setelah mengamuk sepuasnya, aku tergeletak lemas seperti ikan yang terdampar di pantai.


"...Uhh, apa aku akan baik-baik saja ya."


Aku mengetuk-ngetuk pergelangan tanganku dengan jari telunjuk. Aku gelisah. Ini kencan pertamaku, dan kekhawatiran terus membengkak.


Aku pergi membeli pakaian kemarin dan mempersiapkannya dengan terburu-buru.


Aku memanfaatkan majalah fashion yang kudapat dari teman sekelas perempuan sebagai referensi, memilih jaket hitam longgar dengan celana panjang sederhana. Ini pertama kalinya aku memakai kalung, dan aku tidak tahu harus bagaimana dengan cincin yang bergoyang di atas kemeja putihku.


Bantuan dari teman sekelas perempuan itu datang di waktu yang sangat tepat, tapi aku tidak punya energi tersisa untuk mengungkap alasannya jadi kulewatkan saja.


"Aku ada persiapan, jadi pergilah duluan."


Tidak pergi bersama dari rumah juga bukan hal yang baik. Awalnya aku hanya berpikir bahwa bertemu di tempat janjian itu terasa seperti kencan, tapi setiap menit dan detik terasa sangat panjang, dan seiring berjalannya waktu aku diserang perasaan seolah perutku diikat dengan tali. Mungkin ini yang dimaksud dengan berkeringat dingin di perut.


"Hahh... Aku harus minum sesuatu untuk menenangkan diri."


Meskipun aku tidak terlalu suka, aku berpikir harus membangunkan otakku yang mati dengan kopi hitam dan baru saja akan melangkah ke mesin penjual otomatis ketika aku mendengar namaku dipanggil, "Licht-kun".

(Tln : jujur aja gw ga tau nama aslinya si MC siapa, tapi namanya itu di tulis pake Katakana yang jadinya “Licht” tapi penyebutannya “Rihito” dah lah pusing)


Tanpa persiapan apa pun, aku mengangkat wajahku sesuai panggilan itu—dan jantungku hampir berhenti.


"Sajo...san...?"


Suara kebingungan keluar dari mulutku. Saat aku terus menatapnya, gadis yang kuyakini sebagai Sajo-san itu menunduk malu.


Sajo-san mengenakan gaun putih. Pita berbentuk kupu-kupu hinggap di sekitar pinggangnya, berkibar lembut tertiup angin musim panas.


Rambutnya yang biasanya bergelombang kini lurus, dan bersama dengan pakaiannya memberikan kesan cerah dan sederhana padaku.


Aku rasa wajar saja kalau aku tidak mengenalinya sejenak.


Penampilannya benar-benar bertolak belakang dengan Sajo-san yang biasanya menyukai pakaian maskulin, dan wajahnya dihiasi senyum lembut seperti bunga yang mekar diam-diam di bawah naungan pohon.



Dari pakaian hingga ekspresinya. Bahkan, suasananya pun berbeda. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku melihat Sajo-san yang benar-benar menjadi orang lain.


"Umm... apakah ini aneh?"


"Tidak, cocok... tapi..."


"Begitu ya."


Dia mengatupkan kedua tangannya dan wajahnya mencerah seolah lega.


Begitu ya... Apa? 


Tingkah laku feminin yang anggun, cara bicara yang sopan. Semuanya sangat berbeda dan tidak cocok dengan Sajo-san yang kukenal. Saat aku terpana sampai lupa bernapas, tanganku yang terkulai lemas diambil dengan ragu-ragu.


"Ayo... kita pergi?"


"Eh, ah... iya."


Wajahku ikut memerah melihat Sajo-san yang tampak malu-malu. Sambil menyadari tanganku yang digenggam lembut, aku terus mengikuti gadis yang seperti mimpi musim panas itu dengan tatapanku.


    ■■


Air terbentang luas.


Suara air yang terpercik. Suara air yang mengalir deras. Suara cipratan besar.


Berbagai suara air bergema, menggetarkan gendang telingaku. Meski berantakan, tidak terasa tidak nyaman, malah membuatku bersemangat, mungkin karena tempat ini.


Tapi, sedikit kegembiraan bercampur dengan perasaan "Wah" yang malu-malu, apakah ini karena aku seorang introvert?


Dengan perasaan campur aduk antara senang dan sedih, aku berdiri di pinggir kolam renang. Ternyata aku dibawa ke fasilitas kolam renang indoor setelah naik kereta tanpa tahu tujuannya. Agak mengejutkan.


"Padahal kukira kamu tidak suka keramaian seperti ini."


Karena sedang di tengah liburan musim panas, banyak orang memenuhi kolam renang. Jika naik kereta sedikit lebih jauh, ada taman air outdoor yang besar sehingga tidak sepadat ini, tapi tetap saja ramai. Banyak terlihat kelompok usia muda seperti keluarga dan grup yang tampaknya pelajar SMP-SMA.


Meski tidak sampai membenci orang, ini pilihan yang tidak terpikirkan untuk Sajo-san yang biasanya menjaga jarak dengan orang lain. Mulai dari penampilannya yang sangat feminin tadi, entah bagaimana Sajo-san hari ini penuh kejutan. Mungkin karena ini musim panas, tapi bahkan alasan sederhana seperti itu pun mengejutkan. Apalagi dia bukan tipe yang mengikuti arus begitu saja. Sambil berpikir, "Hari ini dia kenapa ya?", aku menunggu Sajo-san, lalu terdengar langkah kaki disertai suara air mendekat dan aku berbalik.


"Maaf membuatmu menunggu..."


Mungkin karena berlari, napasnya sedikit terengah-engah.


Mataku tanpa sadar tertarik ke dadanya yang besar, naik turun saat dia bernapas. Aku buru-buru menurunkan pandanganku untuk melihat keseluruhan, dan tanpa bisa kutahan mataku terbelalak.


"Maaf. Ruang ganti sedang ramai."


Pakaian renang Sajo-san adalah bikini putih dengan pareo.


Anehnya, meski mengekspos kulitnya dengan berani, karena pareo yang melilit pinggangnya, dia juga terlihat anggun. Namun, seberapapun dia berusaha tampil elegan, bukit kembarnya yang subur tetap terlihat menggoda, dengan tetesan air yang tersedot ke dalam lembah dalamnya terlihat sangat erotis. Meski begitu, kakinya ramping dan panjang, pinggangnya langsing, proporsi tubuhnya ideal tanpa cacat.


Ngomong-ngomong, putih ya. Padahal biasanya dia selalu memakai warna hitam seperti gagak, kenapa hari ini putih? Aku jadi khawatir apakah tidak akan tembus pandang kalau basah, tapi hitam juga cocok dengan aura Sajo-san dan pasti seksi, aku jadi ingin melihatnya. Tapi bikini putih ini juga seksi dan luar biasa... Pikiranku kacau antara keduanya sama-sama luar biasa, apa yang kupikirkan sih.


"...Um, kalau dilihat terus seperti itu..."


Sajo-san memeluk tubuhnya seolah ingin menyembunyikannya. Tapi itu malah membuat dadanya tertekan dan lembahnya semakin terlihat jelas, justru membuatnya lebih seksi.


Bukan hanya penampilannya, tapi reaksinya yang malu-malu itu membuatku kehilangan keseimbangan. Aku berdehem "ekhem" untuk mengubah suasana. Lalu, berpikir dia mungkin ingin mendengar pendapatku seperti tadi, aku membuka mulut.


"Um... cocok kok. Dadamu yang tidak bisa disembunyikan itu luar biasa, dan saat terdorong 'munyuu' begitu jadi tambah erotis... Ya, seksi."


"Tidak... um, ...tolong jangan begitu."


Lho? Kayaknya aku salah bicara.


Sajo-san menunduk dengan wajah merah padam. Yah, wajar saja dia bereaksi begitu kalau dibilang dadanya 'munyuu' dan erotis, tapi... eh? Aku jadi bingung. Apa dia akan bereaksi seperti itu? Pertanyaan itu terus mengganjal di sudut pikiranku.


"Tapi, um... terima kasih."


Entah karena kata-kataku bahwa itu cocok untuknya, dia tersenyum senang meski tampak malu-malu, benar-benar seperti gadis biasa. Seharusnya tidak ada yang salah, tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan janggal.


Saat aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat dan perasaan itu masih mengganjal di dadaku, aku terkejut lenganku dipegang. Bersamaan dengan itu, sensasi lembut menyentuh lengan atasku, dan kehangatan menyebar ke seluruh tubuhku seolah meleleh dari sana.


"A-ada apa...?"


"Um, bolehkah kita berfoto bersama?"


Dari tas jinjing plastik yang tersampir di bahunya, dia mengeluarkan ponsel dengan hati-hati. Lensanya memantulkan cahaya yang bersinar seperti matahari.


"Hah... Yah, boleh saja."


Tapi, apa ini tidak terlalu dekat? Aku kepikiran, tapi tidak mengatakannya. Karena rasanya malu kalau mengakui bahwa aku menyadarinya. ...Meski tanpa dikatakan, sikapku yang canggung mungkin sudah menunjukkannya. Bagi aku yang belum pernah berpacaran dengan perempuan, jarak sedekat ini terlalu menegangkan.


"Terima kasih."


Dia tersenyum cerah seperti kuncup bunga yang mekar. Aku benar-benar kehilangan keseimbangan.


Meski tidak sedang diganggu, entah kenapa aku mengerutkan dahi. Sesuatu yang bukan kewaspadaan menekan emosiku.


Entah Sajo-san tidak menyadari keadaanku seperti itu, atau dia tidak punya waktu untuk mempedulikannya. 


“...Tunggu sebentar ya,” dengan canggung, dia mengoperasikan ponselnya dengan gerakan yang tidak terbiasa. Biasanya aku hanya melihatnya menggunakan ponsel saat memasak, jadi mungkin ini pertama kalinya dia menjalankan fungsi kamera.


Setelah berjuang, sepertinya dia berhasil beralih ke mode kamera, lalu mengulurkan tangan untuk memegang kamera.


“...Karena tidak muat, bolehkah aku mendekat sedikit lagi?”


“Ah, ya.”


Lenganku sudah ditahan olehnya. Dari situ jarak kami semakin dekat, hampir sampai pipi kami bersentuhan. Kedekatan Sajo-san yang terlalu rupawan itu buruk bagi mata dan jantungku. Aku berusaha keras untuk tidak menyadarinya, menatap smartphone yang Sajo-san pegang, tapi sebagian besar kesadaranku tertarik pada dirinya yang begitu dekat sampai-sampai aku bisa merasakan nafasnya.


Atau lebih tepatnya, lenganku terjebak di dadanya yang bisa dibilang seperti senjata mematikan, jadi berpura-pura tenang adalah hal yang mustahil bagi seorang siswa SMA laki-laki di masa puber.


“Aku ambil fotonya ya?”


Aku masih linglung saat Sajo-san memberi aba-aba, dan setelah terdengar suara shutter, yang terpantul di layar ponsel adalah seorang gadis cantik dengan wajah memerah yang mendekatkan diri padaku, dan seorang laki-laki yang juga berwajah merah dan tegang tanpa sedikitpun keleluasaan... Foto yang jelas-jelas menunjukkan ketidakbiasaanku dengan perempuan, membuatku ingin meminta untuk mengambil ulang.


Kenangan indah dan sejarah kelam berdampingan. Ini jenis foto yang tidak bisa dihapus nanti.


“Eh, anu... Sajo-san?”


Jadi, aku berniat memintanya untuk menghapusnya sekarang, tapi dia memeluk ponselnya di dadanya yang subur tanpa peduli layarnya basah.


Aku tidak bisa berkata apa-apa pada dia yang tampak begitu bahagia, seolah-olah baru saja menerima hadiah yang sangat diinginkannya.


“...Ini kenang-kenangan kencan pertama kita ya.”


Sajo-san berbisik sambil menghembuskan nafas yang penuh dengan kehangatan.


Sepertinya dia baru menyadari bahwa aku memanggilnya, “Eh? Apa? Tadi kamu memanggilku?” dia tergesa-gesa mengangkat wajahnya, hampir menjatuhkan ponselnya.


Setelah berhasil menangkap ponselnya kembali, Sajo-san menghela nafas lega. Aku menggelengkan kepala dan berkata, “Bukan apa-apa.” Dia memiringkan kepalanya dengan bingung. Tidak mungkin aku bisa mengatakan “Bisakah kamu menghapus foto itu? Aku terlihat jelek,” pada Sajo-san yang begitu senang hanya karena sebuah foto. Aku tidak ingin mengubah wajah bahagianya menjadi mendung.


“Nanti aku kirimkan ya.”


Dan dengan itu, foto di mana malaikat dan iblis tinggal bersama dipastikan akan menghuni ponselku juga, membuatku merasa campur aduk. Kemudian, alih-alih lenganku, kali ini tanganku yang digenggam.


“Ayo kita berenang.”


Dengan senyum yang meleleh, dia mulai menarikku ke arah kolam renang yang berombak tenang. Sambil ditarik tangannya, kakiku tertinggal dan aku hampir tersandung. Pandanganku masih tertuju pada ponsel yang masih digenggamnya.


“Eh, tapi ponselnya...”


“Ah.”


Tiba-tiba dia berhenti. Suaranya terdengar seperti baru menyadari sesuatu.


Aku yang ditarik oleh Sajo-san hampir menabrak punggungnya karena tidak bisa menghentikan momentum. Aku mencoba memindahkan berat badanku ke belakang, tapi kakiku terpeleset di lantai yang basah dan aku hampir jatuh, terhuyung-huyung. Refleks, aku memegang bahu Sajo-san untuk menyeimbangkan diri.


“Maaf!”


Aku buru-buru melepaskan tanganku saat merasakan sensasi kulitnya yang lembut dan lengket. Meskipun kami sering bersentuhan, seperti dadanya yang menempel padaku atau dipeluk di rumah, aku merasa aneh dengan diriku sendiri yang berpikir “kenapa baru sekarang?”. Namun, kalau aku yang menyentuh Sajo-san, meskipun itu kecelakaan, memberi rasa penolakan dan rasa malu yang lebih besar daripada saat dia yang menyentuhku. Tenggorokanku terasa kering karena tegang.


Namun, bagi Sajo-san, hal seperti itu tampaknya tidak penting. Dia lebih memperhatikan hal yang aku tunjukkan, menatap ponsel di tangannya dengan bingung.


Dengan alis berkerut, dia menatapku dan berkata,


“Um, ini... ehe.”


Dia tertawa seolah-olah mencoba menutupi sesuatu. Kemudian, sambil berkata “Aku akan menyimpannya,” dia memasukkan pomselnya ke dalam tas tote dan kembali ke ruang ganti tempat loker berada.


Sambil memandangi punggung Sajo-san yang bergoyang dalam balutan pareo-nya, aku menghembuskan nafas yang tertahan di tenggorokanku. Mungkin ini pertama kalinya aku bernafas normal sejak bertemu dengannya untuk kencan ini. Meskipun udara lembab, paru-paruku mengembang seolah-olah senang menerima udara segar.


Yang menyumbat tenggorokanku adalah ketegangan. Dan kebingungan. Aku menghembuskan alasannya sebagai pengganti udara yang kuhirup.


---...Tadi itu siapa ya?


    ■■


Rambut yang basah dari kolam renang sudah kering hanya dengan berjalan sebentar di luar. Sajo-san yang sudah bergabung kembali menegurku bahwa rambut bisa rusak jika tidak dikeringkan dengan benar, tapi tolong maafkan aku karena begitulah anak laki-laki.


Jalan raya dengan lalu lintas yang cukup ramai. Aku berjalan di trotoar di sampingnya sambil memandang jauh. Hari yang sangat panas. Mungkin karena sinar matahari yang terlalu kuat dan udara yang lembab dan panas, papan nama minimarket terlihat bergelombang. Meski baru saja menyegarkan diri dengan berkeringat di kolam renang, hanya dengan berjalan beberapa menit saja keringat sudah mulai keluar dari dahi dan leher. Bahkan di tengah kota tanpa unsur alam pun, suara jangkrik yang menuntut keberadaannya seolah mempercepat rasa panas.


Sambil merasakan musim panas secara langsung di tubuh, setelah bermain di kolam renang kami menuju ke sebuah restoran dekat stasiun.


Di dalam restoran yang bersuasana tenang, banyak pelanggan wanita. Ada juga pelanggan pria, tapi kebanyakan adalah keluarga, sisanya mungkin pasangan. Meskipun musim panas, kemesraan yang berlebihan terasa mengganggu.


Sepertinya ini adalah restoran khusus pasta, tapi variasi kue yang dipajang di etalase kaca sangat bagus. Bahkan jika dibandingkan dengan toko kue pun tidak kalah. Pantas saja pelanggannya kebanyakan wanita.


“Aku mau pesan apa ya?”


Aku duduk berhadapan dengan Sajo-san di meja dan melihat menu yang berdiri di atas meja. Pagi tadi aku hanya makan sedikit karena sibuk mempersiapkan kencan. Ditambah lagi, kami baru saja berolahraga di kolam renang, jadi perutku sangat lapar. Bahkan perutku tidak berbunyi karena terlalu kosong.


Tapi, melihat menu... Entah kenapa banyak yang tidak kumengerti. Yah, memang pasta, tapi ada yang namanya “pasta ala sayur musim panas” atau “genovese”, aku tidak bisa membayangkan rasanya.


Kenapa tidak diberi nama yang lebih mudah dimengerti? Seperti pasta dengan sosis, paprika, dan bawang bombay yang ditumis lalu dicampur saus tomat. Ah, malah jadi lebih sulit dimengerti ya. Jawabannya adalah Napolitan.


Aku menutup buku menu. Saat mengangkat wajah, Sajo-san juga sedang melihat ke arahku.


“Sudah memutuskan?”


“Iya.”


Dia mengangguk. Aku menyipitkan mata melihat jawabannya yang sopan dan sederhana, lalu memanggil pelayan untuk memesan. Untuk minuman sudah pasti memesan paket minuman, “Pasta mentaiko porsi besar.”


Pasta mentaiko memang yang terbaik. Biasanya aku pesan Napolitan, tapi hari ini tidak karena khawatir saus tomatnya akan memercik. Baju dalamku putih. Tidak enak kan kalau kencan dengan noda.


Aku memberi isyarat dengan mata pada Sajo-san untuk memesan, dan dia menunjuk menu yang masih terbuka.


“Tolong salad ham dan tomat.”


Aku sedikit terkejut mendengar pesanannya. Tanpa ada tambahan lain, pelayan mengulang pesanan kami dan pergi membawa buku menu.


“...Apa itu tidak terlalu sedikit?”


“Ah, um. Segini saja, sudah cukup...”


Dia menjawab dengan suara pelan sambil mengangkat bahunya sedikit.


Meskipun biasanya dia memang tidak terlalu banyak makan, hanya salad saja rasanya terlalu sedikit. Pagi ini pun sepertinya dia tidak makan apa-apa karena sibuk mempersiapkan kencan, dan kita juga baru saja berolahraga.


Dengan cuaca yang panas menyengat ini, aku khawatir dia akan pingsan. Terlepas dari dadanya, tubuhnya yang kulihat di kolam renang terlalu kurus sampai aku khawatir apakah nutrisinya cukup. Terlepas dari dadanya.


Apa benar tidak apa-apa? Apa kamu tidak memaksakan diri? Saat aku menatapnya dengan khawatir, dia menunduk seperti menghindar dan menyembunyikan tangannya di bawah meja. Lalu, bibirnya bergerak sedikit. Apa dia mengatakan sesuatu...?


“...karena...”


“Apa?”


Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Saat aku bertanya lagi, dengan telinga yang memerah dia berbisik, lebih keras dari sebelumnya tapi masih dengan suara kecil.


“Karena... Aku sedang... Diet.”


“Oh...”


Sajo-san menunduk dalam seolah mengatakan “jangan membuatku mengatakannya”.


Aku bisa mengerti kenapa dia malu, tapi aku tidak tahu harus menjawab apa.


Itu karena aku berpikir bahwa dengan tubuh selangsing itu dia tidak perlu diet, yang mungkin terdengar tidak sensitif bagi seorang gadis.


--Apa dia memang sedang diet?


Aku tidak bisa tidak memiringkan kepala mendengar kata-kata itu sendiri.


Tentu saja, aku tidak selalu bersama Sajo-san 24 jam sehari. Jika dia melakukannya di luar penglihatanku sebagai pasangan kencannya, aku harus menerima bahwa hal seperti itu mungkin terjadi.


Tapi tetap saja.


Entah kenapa rasanya tidak cocok. Bahkan melihat Sajo-san yang masih menunduk malu pun tidak mengubah perasaan itu, tapi aku hanya bisa diam dengan pertanyaan yang tak terjawab.


Pertanyaan itu tidak hilang bahkan setelah aku mengisi perut dengan pasta porsi besar, tapi saat melihat layar ponsel yang dia tunjukkan setelah makan, pertanyaan itu menghilang bersama dengan warna dari wajahku.


Di tengah pandanganku yang memutih, Sajo-san mengangkat ponselnya dengan manis di depan wajahnya, mengintip dari baliknya seperti kelinci.


“Aku berpikir untuk menonton film sore ini, bagaimana menurutmu?”


“Bagaimana menurutku...”


Aku heran dia bisa bertanya seperti itu sambil melihat wajahku. Aku tidak bisa melihat wajahku sendiri, tapi pasti warnanya sudah seperti dilumuri cat biru.


Di ponsel yang dia tunjukkan, terlihat tiket digital yang sepertinya sudah dipesan sebelumnya. Dengan latar belakang putih polos, tertulis dengan huruf yang dingin judul film horor yang menjadi topik pembicaraan musim panas ini...


“Bagaimana?”


Aku tidak bisa mengatakan apa-apa pada Sajo-san yang menatapku dengan mata penuh harapan, dan hanya bisa menggelengkan kepala lemah. Jujur, aku sendiri tidak tahu apakah aku mengangguk atau menggeleng. Tapi, karena Sajo-san tampak senang, kurasa itu artinya iya.


Mana mungkin aku bisa bilang kalau aku tidak suka film horor...


“Pasti akan menyenangkan ya.”


“Be-begitukah...?”


Aku berharap setidaknya dia belum memesannya, tapi semuanya sudah terlambat.


Berbeda dengan Sajo-san yang bersemangat, aku merasa lesu seperti akan naik ke tiang gantung.


    ■■


Aku tidak suka film horor.


Membuat hati orang bergetar, membangkitkan rasa takut. Darah dan daging bertebaran. Bahkan adegan klise seperti “Apakah kamu menyadarinya?” lalu memainkan ulang adegan yang sama dengan zoom in untuk menunjukkan bahwa sebenarnya ada hantu wanita transparan di cermin pun aku tidak suka.


Pada dasarnya, kenapa kita harus membayar untuk menonton sesuatu yang kita tahu menakutkan? Bahkan jika dibayar pun aku tidak mau pergi, apalagi sengaja mengeluarkan uang sendiri untuk mengalami ketakutan, aku tidak mengerti.


Tapi meskipun begitu...


“...... (Gemetaran)”


Kenapa aku duduk di kursi bioskop dan akan menonton film horor? Aku ingin pulang ke rumah sekarang juga.


Untuk berjaga-jaga, aku sudah mengurung diri di toilet dengan seksama. Aku ingin tetap bersembunyi di sana sampai film selesai, tapi sayangnya itu tidak mungkin karena aku membuat Sajo-san menunggu.


Meskipun film akan segera dimulai, masih sedikit penonton di ruang teater. Padahal di iklan mereka bilang ini film hit besar, dan karena ini liburan musim panas, kupikir kursi akan penuh, tapi sepertinya tidak. Aku berharap akan ada banyak orang masuk sampai detik-detik terakhir karena semakin banyak orang semakin tenang hatiku, tapi setelah lampu dimatikan, hanya beberapa orang yang masuk dengan membungkuk. Aku mengepalkan tangan erat-erat. Telapak tanganku basah oleh keringat dingin.


Gambar mulai diputar. Tapi bukan film utama, melainkan trailer. Pria dengan kepala berbentuk kamera video yang familiar memberi peringatan. Setelah itu, trailer film-film yang akan dirilis mulai diputar. Ada sekuel film aksi terkenal dari luar negeri, film romansa Jepang yang tidak bisa ditonton tanpa menangis. Hanya saat trailer film anime yang tayang di prime time diputar, aku bisa bernafas lega sejenak.


Tapi itu hanya seperti muncul ke permukaan laut sejenak untuk mengambil nafas. Gambar menghilang, dan ruangan menjadi gelap gulita sejenak. Aku menggigit bibir dan menahan nafas, merasa seperti menyelam ke laut dalam.


Tiba-tiba menjadi terang, dan sebuah rumah sederhana dikelilingi pepohonan muncul di layar. Ini baru permulaan. Tapi tragedi yang akan terjadi sudah tersirat, membuatku menggenggam sandaran tangan kuat-kuat dan tidak bisa melepaskannya. Akal sehatku yang masih tersisa bertanya apakah aku bisa bertahan sampai akhir dengan kondisi seperti ini, tapi aku tidak punya kesempatan untuk menjawab.


Film ini adalah film luar negeri, jenis splatter horror di mana orang-orang melarikan diri dari pembunuh berantai misterius.


Aku sedikit merasa lega karena setidaknya ini bukan tentang hantu atau hal-hal yang tidak nyata, tapi wajahku tetap menegang lebih karena gambarnya daripada cerita atau karakternya.


Sepertinya film ini lebih fokus pada elemen splatter daripada horror, dengan darah dan daging berhamburan setiap beberapa menit. Sampai tahap ini, rasa jijik mengalahkan rasa takut. Aku heran kenapa film ini tidak diberi rating R18G. Aku menutup mulutku dengan tangan untuk menahan sesuatu yang naik ke tenggorokan.


Ini terasa lebih seperti film horor kelas B daripada film blockbuster. Aku bertanya-tanya apakah sutradara menikmati membuat film sebrutal mungkin.


Saat aku memutar bola mata, berharap bisa pingsan saja, sesuatu menggenggam tanganku yang sedang memegang sandaran lutut.


“...!!?”


Tubuhku yang sudah sangat sensitif bergetar karena kontak tiba-tiba ini. A-apa? Saat aku perlahan memeriksa sambil menahan ketakutan, ternyata itu hanya tangan Sajo-san di sebelahku yang menggenggam tanganku.


Fiuhh, aku menghela nafas lega. Bukan berarti aku percaya pada hal-hal supernatural, tapi itu benar-benar buruk untuk jantungku. Aku pikir jantungku benar-benar akan berhenti.


Setelah mengetahui identitasnya, hal berikutnya yang menarik perhatianku adalah tangan Sajo-san.


Aku menyadari bahwa tangan yang dia letakkan di atas tanganku sedikit bergetar.


Dalam kegelapan, dengan mengandalkan cahaya dari layar, aku mengintip wajah Sajo-san dan dia tampak pucat. Satu tangannya yang lain diletakkan di mulutnya, bibirnya gemetar. Matanya yang hitam terus menatap layar di depan, tapi seolah-olah tanpa sadar, kekuatan genggamannya pada tanganku semakin kuat.


Penampilannya persis seperti gadis penakut yang ketakutan menonton film horor.


Aku terkejut dengan perbedaan antara sikapnya yang biasanya tidak takut pada apapun – sebenarnya tidak.


Sampai titik ini, kecurigaanku berubah menjadi keyakinan.


Dia pasti tidak benar-benar ketakutan.


Pada dasarnya, dia menonton film horor yang tayang hari Jumat tanpa emosi, jadi tidak mungkin dia setakut ini hanya karena sedikit darah dan daging berhamburan. Aku sendiri sangat ketakutan dan tidak bisa tidur semalaman karena film tentang ponsel terkutuk atau semacamnya. Tapi itu tidak penting.


Meskipun suasana di bioskop lebih intens, tidak mungkin dia tiba-tiba berubah menjadi penakut seperti ini.


Tidak mungkin dia bukan Sajo-san yang sebenarnya, kan?


Itu baru benar-benar horor. Dalam hati aku tertawa mengejek pada pemikiran “tidak mungkin”, tapi kemudian aku teringat – tidak lama setelah aku menemukan Sajo-san. Saat itu aku berpapasan dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan Sajo-san di pintu masuk apartemen.


Ah... Tidak mungkin, kan?


Meskipun berpikir itu tidak mungkin, entah kenapa aku ingin melepaskan tangan Sajo-san yang menggenggamku. Aku mengintip wajah sampingnya untuk memastikan, tapi mata, hidung, bibir, bahkan bentuk dada yang menyembul dari gaunnya, semuanya jelas-jelas milik Sajo-san sendiri.


Aku mencoba menghapus keraguan yang menempel di belakang kepalaku, berpikir itu hanya perasaanku saja, dan kembali menatap layar. Tepat saat itu ada adegan di mana pembunuh berantai memotong-motong seorang wanita dengan pisau. Sepertinya aku tidak akan bisa makan daging hari ini...


    ■■


Matahari terbenam. Sembunyi di balik bayangan apartemen dan rumah-rumah, menghilang di balik cakrawala yang tak terlihat.


Aku memandang ke atas, melihat tirai malam yang mulai turun dari bagian yang jauh dari matahari, sambil berayun pelan di ayunan.


Taman dekat apartemen. Rumput liar tumbuh di mana-mana di atas tanah berkerikil, dan peralatan bermain di taman begitu berkarat dan catnya terkelupas sampai terlihat jelas bahkan dari kejauhan.


Rantai ayunan yang kupegang juga terasa kasar, dengan bau besi yang menyengat hidung.


“...♪”


Sajo-san yang memilih taman sebagai akhir kencan kami.


Saat aku menoleh ke sampingnya, dia sedang bersenandung gembira sambil mengayun. Ekspresinya lembut dan memikat, tapi ada sesuatu seperti rasa penolakan yang berdenyut di dalam dadaku.


Itu dimulai dari rasa janggal. Awalnya sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata, tapi seiring berjalannya waktu selama kencan, perlahan-lahan mulai menjadi jelas.


Aku menurunkan kakiku yang tadinya sedikit terangkat dari tanah. Menghentikan ayunan yang bergoyang.


Aku harus bertanya. Saat aku hendak membuka mulut sambil menatap wajah samping Sajo-san yang terlihat tersenyum, dia mendahuluiku berbicara.


“...Apakah kencan hari ini menyenangkan?”


Sajo-san bertanya sambil tetap memandang langit, tidak melihat ke arahku.


Menyenangkan, ya?


Di akhir kencan. Itu adalah pertanyaan yang wajar ditanyakan antara pria dan wanita, tidak ada yang istimewa.


Tapi bagi diriku saat ini, pertanyaan itu terlalu tepat sasaran, cukup untuk membuat kata-kata yang hampir keluar tersangkut di tenggorokanku.


Wajahku menegang. Tanpa sadar aku menggigit bibirku, mungkin karena aku tidak ingin menjawab pertanyaan Sajo-san.


Tapi meskipun begitu, aku tidak ingin berbohong pada Sajo-san. Aku pikir alasan kenapa aku merasa nyaman bersama Sajo-san selama ini adalah karena aku tidak pernah berpura-pura.


Tidak berpura-pura, tidak terlalu memperhatikan. Tapi juga tidak terlalu dalam menyelami urusan orang lain.


Tidak maju, tidak mundur. Justru karena stagnan, rasanya nyaman.


Tapi sekarang, mengatakan yang sebenarnya terasa begitu menyakitkan. Kukuku menancap ke telapak tangan yang terkepal. Sambil menahan rasa sakit, aku berkata:


“...Aku tidak tahu dengan siapa aku berkencan.”


Aku perlahan-lahan mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam di dadaku dan tidak bisa kukatakan.


“Meskipun itu Sajo-san, rasanya seperti aku bersama seseorang yang bukan Sajo-san. Dan juga, kamu terlihat seperti memaksakan diri...” Aku tidak bisa benar-benar menikmatinya dari lubuk hatiku. Kalimat terakhir hanya terpikirkan, tidak terucap. Tapi, meskipun tidak dikatakan, seharusnya itu tersampaikan. ...Pasti tersampaikan.


Sajo-san hari ini terasa seperti sebuah tambal sulam.


Kecanggungan seperti mengumpulkan reaksi-reaksi gadis biasa.


Lembut dan sopan.


Malu-malu karena hal-hal kecil, tapi juga berani, dan menunjukkan kelemahan yang membuatku ingin melindunginya.


Seperti gadis yang ada dalam khayalan anak laki-laki. Gadis yang sepertinya ada di mana-mana tapi sebenarnya tidak ada di mana pun. Karena itu, rasanya tidak nyata, dan aku tidak bisa menghilangkan perasaan janggal seperti sedang melihat heroine dalam game.


...Lagi pula, dia terlalu berbeda dari Sajo-san yang biasanya.


Sejak awal, aku tahu itu semua hanya akting. Hanya saja, aku tidak mengerti kenapa dia melakukan hal seperti ini. Mungkin pemicunya adalah kepindahan, tapi tetap saja aku tidak mengerti apa artinya melakukan semua ini.


“Kenapa...”


Aku sendiri tidak yakin apakah itu hanya gumaman yang lolos dari mulutku atau pertanyaan yang sengaja kuajukan. Hanya perasaan “kenapa” yang terus menempel di dalam hatiku.


Satu ayunan kuat. Sajo-san mengayun ayunan dengan keras lalu melompat ke depan.


“...Ternyata, aku memang tidak bisa.”


Suaranya tercampur kesepian. Sajo-san yang berbalik, senyumnya telah hilang seolah-olah Sajo-san yang selama ini bersamaku hanyalah ilusi. Wajahnya tanpa emosi... atau lebih tepatnya, wajah gelap yang pesimis seolah-olah telah menyerah pada segalanya. Bayangan menutupi seluruh tubuhnya karena sinar matahari terbenam dari belakang. Namun, mata hitamnya yang kosong masih bisa terlihat bahkan dalam kegelapan.


Hanya matanya yang kosong itu yang bergerak sedih.


“...Pada akhirnya. Tidak peduli seberapa menarik gadis yang kucoba perankan, aku tetaplah aku.”


Dia bergumam seolah menyesali sesuatu.


“Perankan? Sajo-san...”


“Bukan apa-apa.”


Sebelum aku sempat menahannya dengan “Ah”, Sajo-san sudah pergi.


Aku mencoba mengejarnya, tapi lenganku tersangkut di rantai ayunan.


“...Ugh.”


Aku terjatuh tersungkur. Pipiku membentur tanah. Kerikil kasar menggesek pipiku.


Saat aku mengangkat wajah sambil meringis kesakitan, tubuh Sajo-san sudah tumpang tindih dengan matahari terbenam, menghilang seolah melebur ke dalam senja.


Seolah-olah lampu dimatikan dengan sakelar, cahaya di sekitar tiba-tiba menghilang. Bayangan jatuh ke hatiku seolah-olah daya listrik telah terputus.


Mungkin keganjilan itu sudah terlihat jelas.


Aku hanya bersama dengannya tanpa berusaha mengenal dia lebih dalam karena merasa nyaman. Aku salah mengira bahwa hubungan ini akan terus berlanjut selamanya jika tidak ada yang mencoba mengubahnya, tapi keadaan masing-masing selalu mengikuti. Kenyataan tidak akan berubah meskipun aku menutup telinga dan mata.


Apakah dia akan kembali ke keluarganya? Atau tetap tinggal di sini bersamaku?


Karena aku tidak mencoba memilih, tanpa sadar aku telah kehilangan kesempatan untuk memilih.


“...Ck.”


Aku masih terjatuh, mengepalkan tinjuku seolah menggaruk tanah. Aku tidak peduli tanah masuk ke sela-sela kukuku.


Aku memukul tanah dengan keras sesuai emosiku. Rasa sakit... Tidak terasa.


Aku tidak tahu niat sebenarnya. Namun, aku merasa telah melakukan kesalahan krusial dengan tidak memilih apa pun.


  Seolah ingin mengkonfirmasi firasat itu.


  Setelah hari itu, Sajo-san tidak lagi muncul di kamarku.


 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !