Chapter 5
Cerita Pergi ke Festival Kembang Api dengan senior
Rasanya seperti mimpi.
Waktu yang lembut, hangat, dan membahagiakan.
Sebelum bertemu dengan Senpai di festival kembang api.
Aku pergi lebih dulu dari rumah Senpai dan datang ke rumah Yui-san.
"Sudah selesai! Bagaimana menurutmu, Akari-chan?"
Yui-san memakaikanku yukata dan merias wajahku.
Aku merasa seperti orang yang berbeda saat melihat bayanganku di cermin.
Aku yang berbeda dari biasanya. Mengenakan yukata yang sudah lama tidak kupakai sejak kecil.
Rasanya seperti Cinderella yang disulap dengan sihir.
"Sepertinya kamu menyukainya."
Aku belum mengatakan apa-apa, tapi Yui-san tersenyum puas seolah-olah dia tahu segalanya.
"...!"
"Wah!? A-ada apa, Akari-chan?"
Aku... tanpa sadar memeluk Yui-san.
"Nanti yukatanya kusut kalau kamu peluk aku."
"Aku... sangat senang bisa bertemu dengan Yui-san...!"
"A-ada apa tiba-tiba... kamu kan akan mengembalikan yukata ini nanti? Jangan seperti mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya..."
"Tapi... tapi..."
"Sudahlah, jangan menangis. Benar-benar... rasanya seperti punya adik perempuan yang merepotkan."
Yui-san berjongkok dan memeriksa riasanku.
"Ah, mungkin sebentar lagi aku tidak akan merasa seperti itu."
"Eh!? Jangan terlalu cepat!"
"Oh ya? Berarti kamu memang berniat menjadi adikku suatu hari nanti, ya?"
"A-ah..."
"Fufu, kamu sudah seperti Akari yang biasa. Jangan sedih begitu, padahal kamu mau pergi berjuang."
Yui-san mengedipkan mata.
Lalu, dia melihat jam tangannya... dan berseru, "Aduh!"
"Aduh, aku terlalu asyik sampai lupa waktu."
"Eh? Ah, janji temu!!"
"Tenang saja, Motoki tidak akan marah... sedikit terlambat mungkin akan membuatmu lebih berkesan."
"Yui-san...!"
"Ahaha, maaf maaf. Jangan pasang wajah seperti itu. Aku akan mengantarmu, tunggu sebentar di toko. Aku akan ambil mobil."
Yui-san meminta maaf sambil tertawa, tanpa terlihat merasa bersalah.
Astaga... meskipun begitu, dia sudah meluangkan waktu untukku, jadi tidak baik kalau aku mengeluh.
Tapi, apa Senpai benar-benar tidak marah ya? Kalau naik mobil, mungkin aku akan terlambat sekitar tiga puluh menit...
Sambil memikirkan itu, aku masuk ke "Musubi" seperti yang disuruh Yui-san.
Sudah lama aku tidak memakai yukata, tapi ternyata cukup nyaman dipakai untuk berjalan.
"Hai, Akari-chan. Selamat siang."
"Ah, Paman. Selamat siang, maaf mengganggu."
Pemilik kafe yang berdiri di balik meja bar menyapaku.
Dia adalah ayah Yui-san, sekaligus paman dari Senpai.
"Yukatanya sangat cocok denganmu."
"Benarkah? Ehehe..."
"Ah, kamu mengingatkanku pada Yui waktu kecil... maaf kalau itu tidak sopan."
"Tidak apa-apa... aku mengagumi Yui-san!"
"Hahaha, terima kasih. Apakah dia pantas dikagumi atau tidak... yah, itu masih dipertanyakan."
Sambil berkata begitu, Paman meletakkan cangkir teh di meja bar.
"Ini, silakan. Teh herbal gratis. Bisa menenangkan pikiran."
"Wah, bolehkah? Terima kasih banyak! Aku akan menikmatinya!"
Aroma manis... dan rasanya sangat enak!
"Enak sekali...!"
"Haha, baguslah."
Paman tersenyum dan menatapku dengan hangat.
Rasanya agak geli.
"Meskipun bukan Yui yang mengatakannya... tolong jaga Motoki, ya."
"Eh?"
"Aku akan tenang kalau ada anak seperti kamu di sisinya."
"...Aku harap begitu."
Aku senang mendengar kata-kata Paman.
Tapi, itu berarti aku spesial bagi Senpai.
Senpai spesial bagiku.
Tapi, apakah aku juga spesial bagi Senpai... aku belum tahu.
"Akari-chan, ayo pergi!"
"Ah, baik! Paman, terima kasih banyak!"
"Semoga berhasil."
"Ya! ...Baik!!"
Aku membungkuk dalam-dalam dan meninggalkan "Musubi".
Selama musim panas ini, selain rumah Senpai, aku paling sering berada di toko ini, tempat orang-orang yang kusayangi bekerja.
Mereka semua melepas kepergianku dengan senyuman... aku harap aku bisa kembali ke sini dengan senyuman juga saat mengembalikan yukata ini.
◆◆◆
Beberapa waktu yang lalu, aku tidak pernah membayangkan hal ini.
Berdiri di samping orang yang kusuka, melihat dan merasakan hal yang sama.
Tempat rahasia yang diberitahu Yui-san... apa ini tempat yang tepat?
Tempat ini tidak terlalu ramai, tapi kita bisa menikmati kembang api dengan santai. Ada beberapa kios di sini, jadi rasanya seperti datang ke festival musim panas dan aku jadi bersemangat.
Terutama, tangkap ikan mas koki!
Yukata yang kupinjam dari Yui-san memiliki motif ikan mas yang berenang, sangat lucu...
—Apakah aku terlihat cantik hari ini?
—Katakan dengan kata-kata!
Aku tanpa sadar berkata begitu berani dan lancang...
Tapi, tapi!
—Kamu sangat, sangat cantik...
Senpai juga bilang begitu!
Pasti efek dari yukata dan riasan ini, tapi dia mengatakannya dengan sangat tulus!
Hari ini benar-benar hari yang spesial bagiku!!
—Hari ini, lihatlah aku saja, ya!
Uh... ah...!
Ja-jadi, tidak apa-apa kalau aku sedikit lebih berani dan lancang...
...Iya, tidak apa-apa!
Aku meyakinkan diriku sendiri dan menikmati festival kecil ini sepuasnya, sambil menarik-narik Senpai.
Meskipun ini pertama kalinya aku main tangkap ikan mas koki, aku berhasil menangkap dua ekor. Kin-chan dan Gyok-kun.
Lalu ada permen apel yang aku suka, jadi aku membelinya!
Rasanya manis dan enak... aku jadi bersemangat dan menYuipi Senpai, lalu dia juga menYuipiku...
(Eh? Apa jangan-jangan permen apel kita tertukar...?)
Senpai memegang permen apel yang tadi kumakan, dan aku memegang permen apel yang kubelikan untuk Senpai (yang tadi kusuapi ke dia).
"Eh, kalau tidak menukarnya... ciuman tidak langsung!?"
... Diserang oleh kilatan ide seperti bisikan iblis... dan akhirnya.
"Kalau begitu, Senpai! Ayo kita cari tempat duduk! Lihat, orang-orang sudah mulai ramai!"
"Ah..."
Senpai menyadarinya!!
Aduh, bagaimana ini!? Lebih baik segera mengakui kesalahan dan meminta maaf... tapi....
(Argh! Aaaa!! Aku tidak bisa mendengar!!)
—shak.
Sudah terlanjur basah, sekalian mandi. tl/n: perumpamaan “Aku sudah terlanjur naik kapal ini. Kapal sudah mulai bergerak”
Aku pura-pura tidak mendengar suara Senpai, dan menggigit permen apel!
(Ciuman tidak langsung... ciuman tidak langsung dengan Senpai!!)
Ah, tidak bisa. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
Meskipun aku tahu ini adalah hadiah yang didapat dengan cara pengecut, aku tetap merasa senang.
(Maaf, Senpai. Aku akan segera mengembalikannya—tapi, bukankah mengembalikannya sekarang akan sangat sulit!?)
Berpura-pura tidak menyadarinya sama saja dengan menyatakan dengan lantang, "Aku, melakukan ciuman tidak langsung!"
Itu tidak sopan—tapi sekarang juga cukup tidak sopan!!
Bagaimana ini... haruskah aku mengatakannya atau tidak...!!
—Shak.
"...!!"
Aku tanpa sadar menoleh ke arah suara yang berasal dari belakang.
Tatapanku bertemu dengan Senpai.
Aku tidak menyangka Senpai akan memakan permen apel itu, jadi aku terkejut....
Tapi, melihat wajah Senpai, melihat pipinya yang semerah permen apel itu,
"Enak?"
Entah kenapa, aku merasa dia sangat imut.
"Ya, asam manis."
"Rasa dewasa, ya."
Kata-kata itu keluar tanpa sadar.
Tapi, artinya tidak masalah.
Senpai tersipu malu-malu, dan aku juga ikut tersenyum.
Sekarang, kami berada di dunia yang sama. Berbagi hal yang sama.
Aku benar-benar bahagia bisa merasakannya dari lubuk hatiku.
◆◆◆
Aku berharap waktu ini bisa terus berlanjut.
Aku berharap hari seperti ini akan menungguku besok.
—Hiu... Bang.
(Luar biasa...)
Cahaya yang indah, sampai-sampai aku merasa sayang untuk berkedip atau bahkan bernapas.
Sambil menatapnya, aku diam-diam melirik Senpai di sampingku.
"Wow..."
Senpai menatap kembang api dengan mata berbinar seperti anak kecil.
Seingatku, dia bilang sudah lama sekali tidak melihat kembang api.
Entah kenapa itu terlihat imut... dan aku sedikit cemburu. Bukan pada Senpai, tapi pada kembang api.
(Tidak, cemburu pada kembang api?)
Aku berpikir sendiri, dan akhirnya tertawa getir.
Benar-benar, dalam satu bulan ini aku menjadi sangat egois sampai aku menyadarinya.
Berada di samping Senpai berubah dari mimpi menjadi kenyataan.
Dia memanggil namaku seperti biasa... dan jika Senpai tidak ada di sisiku, aku merasa kesepian dan sakit di dadaku.
Bahkan saat ini, saat kembang api sedang mekar di festival kembang api—aku ingin memonopoli pandangannya.
(Senpai... aku di sini, lho.)
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku sedikit mengeratkan genggaman tanganku.
Tangan Senpai bergetar sejenak, tapi kemudian dia membalas genggaman tanganku.
"Indah, ya."
"Ya... entah kenapa aku merasa kewalahan."
Senpai menjawab dengan linglung, seolah-olah pikirannya tidak di sini.
Tidak, dia sedang terpikat oleh kembang api.
Memang kembang api yang sangat indah. Meriah, dan sekarang—wah!?
—Hiu, bang bang bang!
Banyak kembang api meledak, dan kemudian terpecah menjadi beberapa bagian lagi, meledak.
Seolah-olah siang hari tiba sejenak. Cahaya yang begitu menyilaukan dan indah menyelimuti malam untuk sesaat.
"Oh...!"
Orang-orang di sekitar juga berseru kagum dan bertepuk tangan. Aku juga, Senpai juga.
"Mungkin di tempat acara juga sedang heboh."
"Fufu, mungkin ya."
Aku tanpa sadar tertawa mendengar kata-kata Senpai yang seperti lelucon... ah, tanganku terlepas.
Apakah aneh jika aku menggenggamnya lagi...?
Sambil berpikir begitu, aku dengan ragu menyentuh tangan Senpai lagi.
"...!"
Lagi-lagi tangan Senpai bergetar. Dan kemudian—
(Ah...!)
Senpai, dengan lembut menggenggam tanganku.
Senang... entah kenapa, rasanya seperti hati kami terhubung.
Ketika aku melihat ke arah Senpai, wajahnya sudah menghadap ke arah kembang api.
Tapi, aku bisa melihat wajahnya yang sedikit memerah diterangi cahaya kembang api....
(Ah, aku bahagia... Mungkin, ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku...)
Rasanya seperti berada dalam mimpi.
Waktu yang lembut, hangat, dan membahagiakan.
Sesuatu yang tidak pernah bisa kubayangkan beberapa waktu lalu.
Berdiri di samping orang yang kucintai, melihat dan merasakan hal yang sama.
Aku berharap waktu ini bisa terus berlanjut.
Aku berharap hari seperti ini akan menungguku besok.
(Tapi... setelah kembang api selesai, waktu ini juga...)
Semakin lama waktu berlalu, semakin kuat dan berwarna kembang api, semakin besar rasa sepi di dalam diriku, menusuk-nusuk dadaku.
Setelah festival kembang api selesai... setelah pagi tiba, aku harus pulang.
Bukan ke rumah Senpai, tapi ke rumahku sendiri. Kembali ke kehidupan semula, di mana aku merasa jauh dari Senpai.
Beberapa waktu lalu, satu bulan terasa seperti selamanya, begitu lama sehingga aku tidak pernah berpikir itu akan berakhir.
"Ooooo..."
Kembang api berbentuk karakter anime terkenal meledak di langit, dan sorak-sorai pun muncul.
Kembang api semakin meriah dan unik, berlari menuju klimaks.
Aku hanya bisa menatapnya... sangat indah, tapi dadaku terasa sesak.
"Akari-chan...?"
Aku tersentak oleh suara Senpai yang khawatir.
Tanpa kusadari, aku telah memalingkan muka dari kembang api dan menundukkan kepala, menggenggam tangan Senpai dengan erat.
Aku tidak ingin melihat akhir dari ini. Aku tidak ingin berpisah dari Senpai.
Aku melarikan diri dari kenyataan di saat yang berharga ini...!
"Ma... maafkan aku!"
"Ah, Akari-chan!?"
Karena malu, sedih... dan tidak tahan lagi, aku lari.
Membelakangi kembang api dan Senpai... mendorong orang-orang yang sedang menonton kembang api di belakangku.
(Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak!)
Aku tidak ingin ini berakhir. Aku tidak ingin berpisah.
Aku benar-benar membenci diriku sendiri yang hanya bisa bertingkah seperti anak kecil.
Air mata mengalir tak terbendung. Tidak peduli berapa kali aku menyeka air mata, air mata terus mengalir keluar.
Senpai pasti terkejut dengan tindakanku yang tiba-tiba.
Mungkin dia berpikir aku aneh dan bosan denganku.
Mungkin aku telah menghancurkan semua yang telah kubangun selama musim panas ini dengan tanganku sendiri.
(Tapi... tapi...!!)
Pasti, bahkan jika aku tidak menghancurkannya sendiri, hasilnya akan tetap sama.
Musim panas akan berakhir, aku akan pulang, dan kehidupan normal tanpa Senpai akan kembali.
Aku akan mengingat musim panas yang kuhabiskan bersama Senpai dalam kehidupan sehari-hari itu, dan merasa puas....
(Sama seperti saat itu...)
Musim panas di kelas empat SD, saat pertama kali aku bertemu Senpai... bertemu dengan Motokun.
Selama bertahun-tahun, bertahun-tahun... aku hidup dengan bergantung pada kenangan itu.
Tapi, aku yang terlalu bergantung pada kenangan itu, ketika bertemu kembali dengan Senpai, aku takut kenangan itu akan rusak... dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, menjadi takut.
Pasti aku tidak tumbuh sama sekali.
Aku meminta tolong pada kakakku untuk membuat alasan agar aku bisa tinggal di rumah Senpai, dan aku tinggal di sana... menghabiskan waktu seperti mimpi.
Meskipun aku tahu mimpi itu akan berakhir suatu hari nanti, aku memalingkan muka, mengandalkan kebaikan Senpai, Yui-san, dan Ricchan, dan hanya menerimanya.
Aku berusaha keras melakukan pekerjaan rumah tangga yang aku kuasai, agar bisa berguna bagi Senpai.
Tapi, untuk memperdalam hubungan dengan Senpai... atau menyatakan perasaan padanya.
Aku tidak melakukan apa-apa... tidak bisa melakukan apa-apa.
"Sakit...!"
Rasa sakit yang tajam menjalar di jari kakiku, dan aku berjongkok.
Mungkin karena aku berlari terlalu keras, hidungku lecet dan berdarah.
"Sungguh, aku ini—"
Aku tidak tahu lagi apa yang aku inginkan.
Satu-satunya hal yang aku tahu adalah bahwa pada akhirnya, aku telah merusak segalanya.
Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk berdiri.
Seolah-olah aku akan menghilang begitu saja—
"Akari-chan!!"
"Ah..."
"Syukurlah. Aku sempat kehilanganmu sebentar."
Senpai menghela napas lega.
"Ke... kenapa...?"
"Hah?"
"Karena, kembang api..."
"... Bahkan aku pun akan terluka jika kau berpikir begitu."
Senpai berkata demikian sambil berjongkok dan membelai kepalaku dengan lembut.
"Aku tidak akan diam saja melihat kembang api sementara Akari-chan tiba-tiba lari."
"Ah, tidak, aku..."
"Bercanda. Aku tidak menyadari kalau Akari-chan sedang merasa sedih. Maafkan aku."
Suara Senpai yang sangat lembut membuatku merasa sesak.
Padahal aku yang bersikap negatif dan merepotkan Senpai....
"Untuk sementara... Akari-chan, maaf ya."
"Eh... eh!?"
Senpai mengatakan sesuatu, dan melingkarkan tangannya di tubuhku—dan tiba-tiba tubuhku terangkat!?
"Eeeh!?"
"Maaf. Hanya sebentar saja. Maafkan aku!"
Senpai meminta maaf berulang kali sambil mengangkat tubuhku.
I... ini gendongan ala putri!?
Mau tidak mau aku bertatapan dengan Senpai, tapi aku sangat malu, jadi aku buru-buru menutupi wajahku dengan kedua tangan.
"Ehm, seingatku saat kita datang tadi... Akari-chan, tahan sebentar ya."
Sambil berkata begitu, Senpai mulai berjalan.
Memang sekarang sedang puncak festival kembang api, dan kebanyakan orang melihat ke arah sana... tapi, digendong ala putri di tengah kota biasa seperti ini!!
Memalukan. Tapi senang. Menyedihkan karena aku merasa senang.
Aku merasa kepalaku kacau, dan akhirnya aku hanya bisa pasrah, membiarkan diriku dibawa oleh Senpai.
"Oke. Akari-chan, aku akan menurunkanmu."
"Ba... baik."
... Benar-benar hanya sebentar. Waktu yang sangat singkat, kurang dari satu menit.
Senpai dengan lembut menurunkanku di bangku.
Ini adalah taman kecil yang kami lewati saat datang tadi.
"Ah, anu, Senpai."
"Tunggu sebentar. Aku akan membeli plester."
"Eh, plester... ah."
Dia menyadari kalau sepatuku lecet...!
Senpai berlari ke minimarket di luar taman.
Sementara itu, kembang api terus meledak... tentu saja suaranya terdengar, dan meskipun terhalang oleh pohon dan bangunan, kita bisa melihat sedikit dari sini.
(Senpai, tadi terlihat sangat senang...)
Aku merasa bersalah saat mengingat ekspresi Senpai yang menatap kembang api.
Karena aku, Senpai kehilangan waktu yang menyenangkan.
Jika saja aku bisa menahan diri... sekarang pun....
"Akari-chan."
"Kyaa!? Se... Senpai!? Cepat sekali!?"
"Tentu saja, aku lari sekencang mungkin."
Wajah Senpai yang tersenyum segar memang sedikit berkeringat.
Napasnya juga agak terengah-engah...?
"Karena, kalau aku meninggalkan Akari-chan sendirian di jam segini, siapa tahu serangga jahat apa yang akan datang mengganggumu?"
"Ti... tidak mungkin..."
"Mungkin saja."
Ketika dia langsung menjawab, entah kenapa aku merasa geli.
Senpai menggaruk pipinya dengan malu-malu sambil membuka kotak plester yang baru saja dia beli.
"Ah, biar aku yang melakukannya—"
"Tidak apa-apa. Tetap duduk saja."
Senpai berjongkok dan menyentuh kakiku dengan lembut.
Orang yang kusukai menyentuh kakiku... hanya dengan memikirkannya saja, aku merasa sensasi di kakiku menjadi berkali-kali lipat lebih sensitif.
"Sudah selesai... ya."
Karena hanya menempelkan plester di bagian yang lecet karena tali sandal, perawatannya cepat selesai.
Tidak perlu sampai melakukan itu... pikirku, sambil membiarkan Senpai memakaikan sandalku.
Plester menjadi bantalan antara kaki dan tali sandal, membuatku merasa jauh lebih nyaman.
"Ah, terima kasih banyak."
"Iya, jangan dipikirkan."
Senpai tersenyum... tapi, segera ekspresinya berubah menjadi muram.
"Senpai?"
"Ah, tidak... itu, kalau ini terlalu lancang, tidak apa-apa."
Sambil berkata begitu, Senpai menyodorkan—pembersih makeup.
(Ah!)
Aku tersadar dan menyentuh area mataku.
Aku tidak tahu karena tidak adacermin, tapi aku sudah menangis dan berlari. Aku menyeka area mataku dengan kasar.
Riasan yang sudah susah payah Yui-san lakukan pasti sudah berantakan.
"Maafkan aku, Senpai...!"
"Ti... tidak apa-apa! Malah, aku yang seharusnya lebih perhatian. Karena kita agak jauh, coba periksa dengan ponselmu."
"Ba... baik..."
Ah, kenapa aku begitu payah....
Saat Senpai memalingkan muka, aku memeriksa dengan kamera depan... dan benar saja, riasan di area mataku berantakan.
Meskipun tidak terlalu parah, aku tidak membawa alat rias, jadi aku hanya bisa menghapusnya.
"Terima kasih, Senpai... aku akan menggunakannya..."
"Ah, tidak, ya."
Senpai mengangguk dengan canggung dari belakang.
—Apakah aku terlihat imut hari ini?
Ah, aku ingat aku pernah bertingkah seperti itu.
Aku meminjam kimono yang cantik, dirias dengan sempurna... seperti disihir, aku merasa sangat percaya diri dan bersemangat.
Tapi, sebelum bel akhir berbunyi, aku kabur.
Aku merusak sihir itu sebelum sihir itu hilang... betapa bodohnya aku.
"Akari-chan."
"... Senpai."
"Tidak apa-apa, pelan-pelan saja. Jangan khawatir tentang apa pun. Tentang aku, atau kembang api."
Meskipun tidak melihat wajahku, Senpai berbisik dengan lembut, seolah-olah dia tahu apa yang ada di dalam hatiku.
"Maafkan aku..."
Ah, tapi, tidak bisa.
Mataku terasa panas, dan hidungku tersumbat.
Kelenjar air mataku benar-benar rusak, tidak bisa berhenti sama sekali.
Aku tidak bisa menahan tangis sambil menghapus riasan.
"Tidak apa-apa."
"Senpai..."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa."
Mungkin Senpai belum tahu kenapa aku menangis, atau kenapa aku kabur. Aku yakin dia penasaran.
Tapi, dia tidak bertanya apa-apa, hanya berada di sisiku.
Itu membuatku sangat senang... dan merasa bersalah.
"Sudah, tidak apa-apa."
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghentikan air mata.
Riasanku sudah benar-benar hilang. Sambil memasukkan pembersih makeup yang sudah kupakai ke dalam kantong kecil, aku mencoba tersenyum dan berbicara pada Senpai.
"Akari-chan... apakah kamu benar-benar baik-baik saja? Masih—"
"Aku baik-baik saja. Lebih dari itu... maafkan aku, Senpai. Tiba-tiba lari seperti itu."
"Tidak..."
Senpai menghela napas seolah-olah dia kesulitan mengeluarkan kata-kata.
"Mungkinkah aku memaksamu, Akari-chan?"
"Eh?"
"Sambil melihat kembang api... aku terus memikirkan hal lain. Jadi ketika Akari-chan lari, aku berpikir 'aduh' ... mungkin aku membuatmu merasa tidak nyaman."
Hal lain? Apakah Senpai juga merasakan sesuatu saat melihat kembang api?
Aku penasaran dan ingin bertanya—tapi sebelum itu, Senpai menggelengkan kepalanya dan memotong pembicaraan.
"Maaf, aku selalu memikirkan diriku sendiri. Padahal Akari-chan yang mengajakku ke festival kembang api ini."
Senpai berkata sambil tersenyum.
Tapi senyum itu tampak sedih, lemah seolah-olah dia akan menangis... Aku merasakan mataku memanas lagi, tapi aku menggenggam tangan Senpai.
"Ah..."
"A...aku..."
Tidak. Aku tidak suka ini.
Bukan hanya aku. Senpai juga, memendam sesuatu.
Tapi, aku hanya membuat Senpai kesulitan, selalu memaksakan keinginanku...!
Aku ingin menyembuhkan rasa sakit Senpai.
Aku ingin memeluknya dan mengatakan, "Tidak apa-apa."
Tapi...!
"Terima kasih, Akari-chan."
"... Eh?"
"Aku benar-benar tidak berguna. Selalu membuatmu khawatir... tapi, tidak apa-apa denganku. Lebih dari itu, tentang Akari-chan—"
"Tidak boleh!"
"... Eh?"
"Bukan tentang Senpai! Jangan menutupi perasaanmu seperti itu..."
Ah, kenapa aku begitu canggung.
Aku hanya bisa mengatakan apa yang kupikirkan.
Akulah yang kabur duluan. Akulah yang membuat Senpai kesulitan.
Aku tidak punya hak untuk mengatakan hal seperti itu.
Aku tahu itu.
Tapi... kalau begini terus, pasti aku dan Senpai akan membuat tembok di antara kita, mundur selangkah, dan akhirnya benar-benar berpisah....
Jadi, aku...!
"Aku kesepian!!"
Aku memutuskan untuk meluapkan semuanya!
"Eh!?"
"Karena besok kita akan berpisah!? Aku harus pulang!? Festival kembang api ini adalah waktu terakhirku bersama Senpai, jadi aku ingin menikmatinya sepuasnya... menjadikannya kenangan terbaik..."
Tidak. Jangan menangis, aku!
"Aku tidak ingin... menjadikannya kenangan... waktu spesial yang kuhabiskan bersama Senpai..."
Jangan menangis... jangan menangis.
"Setelah kembang api selesai, musim panas ini juga akan berakhir... jadi... aku tidak ingin kembang api berakhir, itu menyedihkan, menyakitkan... dan membuatku kesepian..."
"Jadi... kamu kabur."
Aku mengangguk pada kata-kata Senpai.
Pandanganku sudah kabur karena air mata, aku tidak bisa melihat apa-apa.
"Bodoh, ya... tidak ada gunanya melakukan itu. Pada akhirnya, aku hanya merusak kenangan indah dan membuat Senpai kesulitan..."
"Kau tidak merepotkan."
"Aku merepotkan! Padahal kita bersenang-senang! Jika aku tidak kabur, kita masih bisa melihat kembang api bersama, dan saling tersenyum...!"
Suara kembang api meledak terdengar dari kejauhan.
Pasti itu adalah akhir pertunjukan.
Artinya... festival kembang api akan segera berakhir.
Musim panasku akan berakhir.
"Aku... aku..."
Ah, ini sudah keterlaluan. Ini hanya tindakan putus asa.
Karena aku tidak suka saling menahan diri, aku hanya melampiaskan semua yang kupendam.
Tapi, aku tidak bisa mengatakan hal yang paling penting.
Aku ingin menghilang.
Seperti kembang api, setelah meledak dengan megah, akan lebih mudah jika aku bisa menghilang begitu saja.
Ah, pada akhirnya aku hanya membuat Senpai kesulitan.
Kali ini aku pasti akan membuatnya bosan... mungkin dia akan membenciku sebagai orang yang merepotkan—
"... Eh?"
Pikiranku tiba-tiba terputus.
Aku hanya bisa tercengang karena kejadian yang tiba-tiba.
Karena... karena....
Senpai, memelukku erat.
"Sen... pai...?"
"... Jika kamu tidak suka, tepis saja aku."
Aku dipeluk, aku tidak bisa melihat wajah Senpai.
Tapi, suaranya yang terdengar putus asa membuat dadaku sesak.
"Aku juga merasakan hal yang sama."
"... Eh?"
"Sambil melihat kembang api, aku memikirkan hal yang sama. Jangan berakhir... jangan berakhir..."
Senpai berkata sambil memelukku.
Dengan serius... dengan kata-kata yang begitu tulus sehingga tidak ada keraguan bahwa itu bohong.
"Bagiku, satu bulan yang kuhabiskan bersama Akari-chan sangatlah berharga. Menyenangkan, hangat... benar-benar seperti mimpi."
"Bagi Senpai juga...?"
"Tentu saja."
Senpai mengangguk dan tersenyum.
Setelah memastikan aku tenang, dia perlahan melepaskan pelukannya.
"Kehidupan kuliah pertamaku. Tinggal sendiri untuk pertama kalinya. Semuanya baru, aku tidak tahu harus mulai dari mana... jadi aku hanya fokus pada hal-hal di depan mata, seperti mengikuti kelas dengan baik dan bekerja paruh waktu."
Senpai merendahkan dirinya sendiri, tapi bagiku yang belum pernah tinggal sendiri, itu sudah cukup hebat.
Pasti Senpai, bahkan tanpa aku...
"Tapi, ketika Akari-chan datang, hidupku berubah."
"Aku...?"
"Tentu saja awalnya aku terkejut dan tidak mengerti. Kamu datang dengan alasan yang tidak masuk akal, dan tiba-tiba tinggal di rumahku sejak hari itu. Jika aku bilang aku tidak merasa terganggu, itu pasti bohong."
"Ugh...!!"
"Tapi... itu hanya pada awalnya."
Senpai berkata dengan nada nostalgia.
Matanya sangat lembut, hanya dengan melihat matanya aku bisa merasakan perasaannya... jantungku berdebar kencang.
"Ini bukan tentang pekerjaan rumah tangga atau hal-hal logis lainnya. Bagaimana ya... Akari-chan menghabiskan waktu bersamaku. Dalam kehidupan yang penuh dengan hal-hal pertama dan membuatku kewalahan, kamu melihat hal yang sama, khawatir bersama, terkadang memimpin, terkadang aku yang memimpin... hanya itu saja membuat semua 'tidak tahu' dan 'pertama kali' menjadi menyenangkan dan mengasyikkan... entahlah, aku merasa frustasi karena tidak bisa mengungkapkannya dengan baik."
Senpai berbicara dengan agak terbata-bata, tapi dia mengungkapkan perasaannya dengan jujur.
"Jadi, kembang api itu sangat indah, dan aku benar-benar senang bisa datang ke sini... tapi pada saat yang sama, aku merasa sedih karena ini adalah akhir musim panas ini. Sekarang, setelah mendengar perasaan Akari-chan, aku merasa sedikit senang karena kita merasakan hal yang sama... tapi, tidak boleh bilang senang saat membuatmu menangis, kan!?"
Dia tertawa lembut, tapi kemudian panik karena merasa salah bicara... aku tahu bahwa Senpai tidak menyiapkan kata-kata ini sebelumnya, tapi dia baru saja mengungkapkan perasaannya untuk pertama kalinya... untukku.
(Ah, aku tetap saja, tidak bisa tidak menyukai orang ini.)
Senpai serius, baik hati... dan canggung. Terutama dalam hal dirinya sendiri, dia benar-benar canggung.
Pelayanannya saat bekerja paruh waktu sempurna, tapi di rumah dia sering tertidur di lantai, dan saat lari pagi bersama, dia selalu memperhatikan hidrasiku tapi tidak pernah minum air sendiri.
Saat aku sedih... dia datang dan menghiburku dengan lembut.
Senpai melakukan hal-hal yang 'ingin kulakukan' tanpa aku sadari.
Tidak ada orang seperti itu.
Di dunia ini, tidak ada orang lain selain Senpai.
Itulah mengapa aku menyukai orang ini. Sangat menyukainya.
Tidak berubah sejak pertama kali bertemu.
Aku tidak ingin... sama sekali tidak ingin mengakhirinya di sini.
Aku ingin bersama orang ini lebih lama lagi.
Aku ingin memiliki hubungan yang spesial.
Aku ingin Senpai juga berpikir bahwa hanya ada Miyazoe Akari.
"Senpai..."
Hampir bukan gerakan sadar.
Aku meraih tangan Senpai, menggenggam lengannya.
"Akari-chan?"
Senpai bertanya dengan bingung... tidak, dengan sedikit gugup.
"Senpai... Motokun-senpai..."
Katakan. Aku harus mengatakannya.
Karena ini terakhir kalinya.
Meskipun dadaku terasa seperti akan meledak... bohong kalau aku tidak melakukan apa-apa.
Aku harus mengaku... bahwa aku menyukai Senpai.
"Aku... aku, Senpai..."
Kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku, membuatku sulit bernapas.
Kenapa? Kenapa aku tidak bisa mengatakannya?
Hanya dua kata. Suka, hanya dua kata.
—Tapi jika aku mengatakannya, semuanya akan berubah.
... Itu sebabnya, aku tidak bisa mengatakannya. Sampai hari ini, selalu.
Hanya ada satu Senpai di dunia ini. Jika aku mengaku padanya dan ditolak.
Jika dia mengatakan bahwa dia tidak bisa melihatku dengan cara seperti itu.
Rasanya seperti berjalan dalam kegelapan total.
Jika aku terus berjalan lurus, mungkin ada tebing di sana, dan aku akan jatuh ke dasar jurang.
Setidaknya, jika aku tetap di sini, gemetar ketakutan, itu tidak akan terjadi.
Aku tidak bisa maju, tapi aku bisa hidup. Aku tidak akan mati.
(Dengan begitu... aku selalu...)
Saat di laut, ketika aku menyebut diriku sebagai istri Senpai. Saat di stan pancing ikan mas, ketika aku disalahpahami sebagai pacar Senpai.
Aku beralasan bahwa tidak apa-apa karena itu bohong, dan menahan perasaanku.
Tapi, karena aku menutupinya dengan mengatakan itu bohong, aku semakin sulit mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.
(Hanya alasan seperti itu...)
Aku tahu.
Semuanya hanya cara lain untuk mengatakan "takut".
Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk menyatakan perasaan pada Senpai.
Aku tahu aku tidak boleh takut.
Aku sudah tahu itu sejak lama.
Mungkin ada orang lain yang menyukai Senpai seperti aku.
Sementara aku ragu-ragu, seseorang mungkin akan berada di samping Senpai—
(Ricchan... Yui-san...)
Aku melihat orang-orang hebat yang kukagumi berdiri di samping Senpai.
(Tidak... aku tidak mau itu...!!)
Bahkan jika itu teman baikku atau dermawan, aku tidak ingin menyerahkannya.
Aku ingin berada di samping Senpai. Bahkan jika orang bilang aku egois, jadi...!
(Katakan. Katakanlah. Aku harus mengatakannya. Aku harus mengatakannya dengan benar—)
"Akari-chan."
"Ah...!"
Senpai memanggil namaku.
"Maaf, aku tidak tahu apa yang ingin Akari-chan katakan sekarang. Tapi, kamu terlihat kesakitan."
"Ah..."
Mendengar suaranya yang penuh perhatian, aku merasa darah di kepalaku mendingin.
"Tidak perlu memaksakan diri. Aku akan berbohong jika bilang aku tidak peduli... tapi, lakukanlah sesuai kecepatanmu sendiri."
"Ah...!"
Ah, tidak bisa.
Bukan hanya darah di kepalaku yang mendingin, tapi aku merasa semua darahku keluar dari tubuhku.
Aku telah melewatkan kesempatan lagi.
Kalau begini terus, aku, selamanya—
"Tapi, aku tidak pantas mengatakan itu."
"... Eh?"
"Sebenarnya, aku juga punya sesuatu yang harus kukatakan pada Akari-chan."
"Sesuatu yang harus dikatakan...?"
"Ah, tidak, bukan sesuatu yang harus kukatakan, tapi, sesuatu yang ingin kukatakan, atau lebih tepatnya, sesuatu yang ingin kudengarkan... Ah! Tidak bisa, aku sendiri bingung..."
Senpai menggaruk kepalanya, menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri.
Dan... dia melihatku lagi, menatapku lurus—
"Aku... menyukai Akari-chan."
Suara kembang api meledak terdengar dari kejauhan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.