Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta Chap 5 V5

Ndrii
0

Bab 5.

Mulai Sekarang, Pelan-pelan Saja




Saat kami sedang membicarakan masalah di dalam kamar, Umi tiba-tiba terbangun. Mengingat keinginan Riku-san agar pembicaraan ini tidak didengar oleh adiknya, kami memutuskan untuk melanjutkan diskusi di pemandian umum, sekaligus mandi pagi.

 

Aku meninggalkan Umi yang masih tidur pulas di futon dan keluar dari kamar. Riku-san sudah menungguku dengan handuk di tangannya, siap untuk pergi ke pemandian.

 

“Maaf, Maki. Pasti sulit menenangkan si bodoh itu.”

 

“Tidak apa-apa. Meskipun butuh waktu, jika diminta dengan baik-baik, dia akan mendengarkan.”

 

Untuk bisa berbicara di luar kamar, aku harus bangun dari futon. Namun, karena tidur berdempetan di futon yang sama, saat aku bangun, Umi sudah masuk ke pelukanku dan menggenggam erat kerah yukataku, seolah tak ingin melepasku.

 

Dengan lembut, aku memintanya untuk melepaskanku dengan alasan ingin ke toilet. Meskipun berhasil membebaskan diri, dengan lamanya waktu yang akan kuhabiskan, aku sudah siap menerima ceramah saat kembali nanti.

 

Namun, apa pun risikonya, aku merasa bahwa menerima konsultasi Riku-san kali ini adalah hal yang harus kulakukan.

 

Kami berjalan berdua melewati koridor yang sunyi menuju pemandian umum pria. Aku sempat berpikir untuk berbincang di pemandian terbuka, tetapi sayangnya sedang dalam kondisi “sedang dibersihkan” dan tidak bisa digunakan.

 

Setelah melepas yukata dan menaruh barang di keranjang, kami berdiri berdampingan saat berganti pakaian. Saat itu, Riku-san tiba-tiba melihat ke arahku, tepatnya ke bawah.

 

“…Hm.”

 

“A-ada apa tiba-tiba, Riku-san?”

 

“Tidak, hanya saja… seperti yang kubayangkan, ukurannya sesuai harapanku...”

 

“Uh... Kalau begitu, Riku-san juga…”

 

“Ya, begitulah. Dulu mungkin sedikit lebih baik, tapi sekarang…”

 

“Apakah benda ini bisa berubah tergantung kondisi…? Yah, meski begitu, kurasa aku sedikit mengerti.”

 

Dengan rasa kebersamaan yang hanya bisa dirasakan sesama pria, kami membasuh tubuh dengan air hangat sebelum masuk ke dalam kolam.

 

“Ahh… Aku juga mandi kemarin, tapi tetap saja rasanya sangat menyegarkan. Rasanya seperti semua hal buruk di dalam tubuh ikut terbuang.”

 

“Benar sekali... Sebenarnya aku bukan tipe yang suka berendam, tapi di tempat seperti ini, aku bisa berlama-lama berendam satu atau dua jam.”

 

Kami berdua menghela napas panjang dan sejenak tenggelam dalam keheningan, hanya menatap lampu-lampu di langit-langit dengan pikiran kosong.

 

Meskipun kami ingin menikmati pagi yang tenang di pemandian, kami tidak boleh lupa akan tujuan utama kami di sini. Relaksasi bisa menunggu.

 

“Ngomong-ngomong, apakah kau sudah berbicara secara jujur dengan Shizuku-san?”

 

“Ya, sudah. Aku sadar sepenuhnya, tapi dia terlalu bersemangat hingga akhirnya semua terbuka.”

 

“Itu bagus... kurasa?”

 

“Kurasa begitu. Aku juga sudah meminta maaf atas kejadian sepuluh tahun lalu.”

 

Yang penting adalah, setidaknya, dia telah menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.

 

“Jadi, kau sudah menyukai Shizuku-san sejak lama, ya? Dan kurasa, hingga saat ini pun masih.”

 

“…Ya.”

 

Riku-san mengangguk pelan. Sebagai seseorang yang selalu berpindah-pindah karena pekerjaan orang tua dan tidak punya teman masa kecil, apalagi sahabat dekat, aku hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki kenangan indah bersama teman masa kecil. Kenangan itu pasti tak akan pernah pudar, apalagi jika teman masa kecil itu adalah seseorang yang kau cintai.

 

     

 

Pov Asanagi Riku

──Riku, berbaik-baiklah dengan Shizuku-chan.

 

Pertemuan pertama antara aku, Asanagi Riku, dan Shizuku, atau yang biasa kupanggil Shii-chan ── Shimizu Shizuku ── terjadi ketika dia baru lahir. Meski ingatanku dimulai sekitar usia dua atau tiga tahun, dalam album tua di lemari nenekku terdapat banyak foto kami berdua ketika masih bayi.

 

Kami makan bersama, bermain bersama, dan tidur di ranjang yang sama. Hubungan antara keluarga Shimizu dan keluarga Asanagi sudah terjalin sejak kakekku, yang meninggal sebelum aku lahir, jadi hubungan kami adalah hubungan keluarga yang sangat erat.

 

Karena sedikitnya anak-anak seusia kami di sekitar rumah, kami berdua sering bermain bersama, dan itu terus berlanjut hingga kami besar.

 

“──Tunggu, tunggu aku, Rik-kun.”

 

“Shii-chan, kamu jalannya lambat. Ayo cepat, kalau tidak, akan aku tinggal.”

 

“Aaah, tunggu!”

 

Meski saat kecil Shii-chan tidak memiliki masalah kesehatan, tubuh mungilnya itu membuatnya cepat lelah. Meskipun usia kami hanya terpaut setahun, karena tubuhku yang lebih tinggi, orang-orang sering mengira kami adalah kakak-adik yang jarak umurnya terpaut jauh.

 

Aku merasa bahwa aku harus melindunginya. Meski ingatan pertamaku tentang pertemuan kami masih samar-samar, perasaan untuk melindungi Shii-chan selalu ada di pikiranku.

 

“Uweeeh… Rik-kun…”

 

“Hah, ya ampun…”

 

Aku berbalik dan kembali menghampiri Shii-chan yang mulai menangis. Meskipun ini bukan sepenuhnya salahku, saat Shii-chan menangis, biasanya akulah yang dimarahi oleh ibuku atau nenek, jadi akhirnya akulah yang harus mengalah.

 

“Ayo, pegang tanganku, nanti kita jalan bareng.”

 

“…Iya.”

 

Begitu aku kembali, Shii-chan langsung berhenti menangis dan hendak menggenggam tanganku, tapi malah memeluk tubuhku.

 

“Hey, aku hanya bilang pegang tangan, bukan gendong.”

 

“Kalau begitu, gendong di punggung.”

 

“Itu sama saja! Kita baru berjalan sebentar, masa sudah capek?”

 

“Iya, aku sudah tidak bisa jalan lagi.”

 

“Ya ampun…”

 

Mungkin karena aku terlalu memanjakannya, tapi saat itu Shii-chan memang sangat manja.

 

Di depan orang dewasa, dia terlihat tenang, tapi saat kami berdua saja, dia berubah menjadi anak yang sangat manja dan sedikit keras kepala. Meski kadang terpikir untuk meninggalkannya, pada akhirnya aku selalu mengikuti keinginannya.

 

“Haaah… baiklah, naiklah ke punggungku. Tapi pegang erat-erat, ya.”

 

“Terima kasih, Rik-kun! Aku mencintaimu!”

 

“Wah, kenapa tiba-tiba jadi bersemangat begini…”

 

Meskipun aku mengeluh, aku tidak bisa menolak permintaan teman masa kecilku ini. Bagaimanapun, melindunginya adalah tugasku.

 

Selain itu, sebenarnya aku juga merasa senang ketika ada yang mengandalkanku.

 

Shii-chan adalah gadis yang sangat imut. Saat kami kecil, aku tidak terlalu memikirkan penampilannya, tapi setelah masuk SD dan bergaul dengan murid-murid lain, aku mulai mengerti kenapa dia selalu mendapat perhatian lebih dari orang-orang dewasa.

 

“Rik-kun?”

 

“….”

 

“Nee, Rik-kun?”

 

“….”

 

“Hallo? Asanagi Riku, lahir pada tanggal 5 Mei, terakhir ngompol setengah tahun lalu──”

 

“Aaah, iya iya! Aku dengar, aku dengar jadi hentikan itu sekarang!”

 

“Soalnya, Rik-kun tiba-tiba jadi dingin padaku, jadi aku khawatir.”

 

Seiring bertambahnya usia, tubuh Shii-chan yang dulu lemah mulai membaik, dan dia pun tumbuh menjadi anak yang tidak kalah dengan teman-teman seusianya.

 

Gadis tercantik yang terkenal di lingkungan sekitar, dan suatu hari akan menjadi penerus utama keluarga Shimizu ── begitulah Shizuku mulai dikenal.

 

“...Tidak ada apa-apa, kok,”

 

“Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa kamu menghindar dariku? ...Atau jangan-jangan, kamu sudah tidak mau bicara denganku lagi?”

 

“Bukan begitu...”

 

“Lalu kenapa?”

 

Tatapan lurus dari wajah cantiknya, dengan mata bundar yang penuh perhatian, membuatku tak bisa menghindar darinya. Meski Shii-chan sudah semakin dewasa dan tidak terlalu memerlukan bantuanku lagi, aku tetap saja lemah jika dihadapkan dengan permintaannya.

 

“...Anak-anak kelas atas menggodaku. Mereka bilang, ‘Malu banget, selalu bareng sama cewek,’” aku mulai menjelaskan. “Setiap kali di sekolah atau di luar sekolah, mereka selalu membicarakannya diam-diam. Jadi, karena itu...”

 

“Jadi, kamu mulai jarang bicara denganku?”

 

“...Ya, begitu kira-kira.”

 

Ini adalah cerita khas anak-anak yang baru mulai sadar tentang lingkungan mereka. Karena di lingkungan kami tidak banyak anak seusia kami, komentar yang diulang-ulang oleh sekelompok kecil bisa membuatku salah paham, seolah-olah memang begitulah dunia ini. Dunia seorang anak memang kecil dan terbatas.

 

Bagi diriku sendiri, aku selalu menganggap Shii-chan hanya sebagai teman masa kecil, tidak lebih. Aku tidak pernah berpikir untuk memandangnya sebagai lawan jenis.

 

Namun, tampaknya orang-orang di sekitar kami melihat hubungan kami dengan cara yang berbeda. Di desa kecil yang membosankan ini, kami menjadi sasaran empuk bagi mereka yang tidak punya banyak hal lain untuk diperbincangkan.

 

“Hmm... Kalau anak-anak kelas atas itu, maksudnya anak-anak dari distrik sebelah, kan? Mereka yang selalu bertiga ke mana-mana?”

 

“Iya,”

 

“Lucu ya, mereka bilang malu kalau kamu selalu bareng sama cewek, tapi waktu kamu absen karena urusan keluarga, mereka justru ngajak aku main bareng,” kata Shizuku, menyeringai.

 

“Mereka bilang, ‘Ayo, sesekali main bareng kami,’ dan aku langsung merasa tidak nyaman, jadi aku menolaknya.”

 

“...Mereka begitu?”

 

Di sekolah, mereka bersikap cukup baik, tapi ternyata di balik itu, mereka mencoba mendekati Shii-chan dengan cara seperti itu. Siapa yang sebenarnya harus merasa malu?

 

Memikirkan semua ini, aku merasa bodoh karena sempat menghindari Shii-chan, dan rasa bersalah mulai menjalari hatiku.

 

“Jadi, gimana sekarang? Kamu masih mau menghindariku?” Shii-chan bertanya sambil tersenyum kecil.

 

“...Nggak. Maaf, Shii-chan. Aku nggak bermaksud bikin kamu khawatir,”

 

“Syukurlah, karena aku sempat khawatir, loh. Mikir, apa aku ada salah atau gimana. Meski hanya sedikit, aku sempat takut kamu bakal menjauh.”

 

Dengan manis, Shii-chan memelukku erat dari belakang. Meski kami telah tumbuh besar, hubungan kami sebagai teman masa kecil tetap tak berubah.

 

“Oh iya, Rik-kun, kamu mau main ke rumahku hari ini? Ayah baru beli mesin arkade baru buat koleksi hobinya. Yuk, kita main bareng.”

 

“Dan bayarannya dengan membersihkan kamar mandi, kan?”

 

“...Hehe, iya. Soalnya, minggu ini tamunya banyak. Kalau nggak rajin bersih-bersih, aku bakal dimarahi ibu. Beginilah nasib jadi anak pemilik penginapan,”

 

“Dasar, selalu ada aja alasanmu...” Aku mendesah, tapi tetap saja aku tak menolaknya.

 

“Eh, Rik-kun,”

 

“Ada apa?”

 

“Mau dengar sesuatu?”

 

“Eh? Apa tuh?”

 

Tanpa menunggu izin, Shii-chan mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik.

 

“──Satu-satunya laki-laki yang akan aku ajak main hanyalah kamu.”

 

“Oh... ya, baiklah,” jawabku gugup.

 

Shizuku tersenyum manis dengan pipinya yang sedikit memerah. Melihatnya begitu, untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang berbeda.

 

Jantungku berdetak cepat, dan wajahku terasa panas. Meski hatiku berkata untuk tidak menatapnya terlalu lama, mataku tetap terpaku pada wajahnya yang manis, tak bisa berpaling.

 

Pada saat itu, untuk pertama kalinya, aku mulai melihat teman masa kecilku ini bukan hanya sebagai seorang sahabat, tetapi sebagai seorang gadis.

 

Namun, ketika hubungan kami mulai berkembang dengan baik, dunia orang dewasa secara tiba-tiba mengintervensi hidup kami dan membawa perubahan besar.

 

Ibu mengandung anak kedua, dan keluargaku memutuskan untuk pindah ke rumah baru, sebuah rencana yang telah dibicarakan cukup lama.

 

Meskipun aku tahu bahwa ekonomi keluarga kami sulit dan kami terpaksa tinggal bersama nenek untuk sementara waktu, aku tidak pernah menyangka segalanya akan bergerak secepat ini.

 

Tentu saja, aku senang keluarga kami bertambah. Adik perempuan yang usianya jauh di bawahku pasti akan menjadi sosok yang sangat kusayangi, dan aku pun mengerti bahwa rumah nenek akan terasa sempit untuk kami berempat.

 

Masalahnya, aku harus berpisah dengan Shii-chan. Kekhawatiran tentang bagaimana caranya mencari teman baru memang ada, tetapi yang paling membuatku tidak nyaman adalah harus berpisah dengan gadis yang aku sukai.

 

Sempat terlintas di pikiranku untuk tetap tinggal di rumah nenek sendirian, tetapi setelah dibujuk oleh kedua orang tuaku, serta melihat kondisi adik perempuanku yang baru lahir, aku akhirnya tak punya pilihan selain menyetujui rencana itu.

 

Tentu saja, aku langsung menceritakan hal ini pada Shii-chan. Dia memahami situasiku dan berusaha menguatkanku.

 

Namun, saat hari kepindahan tiba, seperti yang diduga, kami berdua menangis tersedu-sedu. Bahkan, ketika aku mengingat kembali momen itu, rasanya aku belum pernah menangis sekeras itu dalam hidupku.

 

Kami membuat banyak janji. Janji bahwa meskipun terpisah, kami akan selalu bersama. Kami sepakat untuk berusaha berkomunikasi setiap hari. Kami juga berjanji bahwa saat liburan musim panas atau musim dingin, kami akan selalu bermain bersama.

 

Pada akhirnya, kami berhasil tersenyum dan saling mengucapkan selamat tinggal, meskipun begitu Shii-chan tak lagi terlihat, air mataku yang sempat kering kembali mengalir deras.

 

“...Riku, kamu sayang sekali sama Shizuku, ya?” tanya ibuku tiba-tiba.

 

“...Bukan begitu,” aku menyangkal, meski agak canggung.

 

“Oh, ya? Tapi pastikan kamu tetap rajin menghubunginya. Kamu mungkin belum mengerti sekarang, tapi kalau kamu mulai jarang memberi kabar, hubungan kalian bisa renggang dalam waktu singkat, lho,” lanjutnya.

 

“Hubungan kami nggak kayak gitu, kok.”

 

“Semua orang bilang begitu pada awalnya... Tapi Shizuku sangat cantik. Kalau kamu tidak ingin kehilangannya, lebih baik kamu tetap berusaha.”

 

“Aku bilang bukan begitu!” bantahku lagi, sedikit kesal.

 

Kami memang belum menjadi pasangan, tapi Shii-chan adalah sahabat masa kecil yang paling aku sayangi. Kami terikat oleh hubungan yang sangat kuat, dan aku yakin, meskipun terpisah jauh, hubungan kami tidak akan pernah berubah.

 

Aku sangat percaya itu... setidaknya pada awalnya.

 

     

 

Beberapa tahun telah berlalu sejak kepindahan kami ke rumah baru keluarga Asanagi. Anak laki-laki yang dulu menangis keras karena takut berpisah dengan teman masa kecilnya kini telah menjadi seorang siswa SMA. Tubuhku sudah berkembang cukup dewasa, dan dalam banyak hal, aku menggantikan peran ayah yang sering tidak ada di rumah karena pekerjaan. Aku yang bertanggung jawab menjaga ibu dan adik perempuanku.

 

“──Kak, kamu lagi ngapain, sih? Kalau nggak berangkat sekarang, kamu bakal telat. Itu kata ibu,” suara adikku yang baru masuk SD membuyarkan lamunanku.

 

“Iya, aku tahu. Aku bakal berangkat sekarang,” jawabku sambil menghela napas.

 

Bukan karena aku bangun kesiangan atau belum siap berangkat ke sekolah. Sebenarnya, aku sedang pusing memikirkan isi surat yang harus kukirim ke Shii-chan, surat yang selalu kutulis setiap bulan sebagai bentuk komunikasi kami.

 

“...Gimana ini, aku bener-bener nggak tahu mau nulis apa,” gumamku.

 

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengirim setidaknya satu surat setiap bulan, tapi bulan ini sudah lewat dari tanggal yang seharusnya. Jika aku terus menundanya, bisa-bisa dua bulan berlalu tanpa balasan dariku.

 

Isi surat itu tidak perlu rumit. Aku bisa menulis tentang pelajaran, teman-teman baru, hobiku, atau hal-hal yang terjadi belakangan ini. Yang penting, jujur saja. Shii-chan selalu menulis panjang lebar tentang kehidupannya. Mulai dari cerita tentang teman-teman barunya, pengalaman mencoba memasang anting yang membuat ibunya marah besar, hingga kabar tentang teman-teman yang menggoda karena kami masih saling berhubungan.

 

‘Akhir-akhir ini, surat dari Rik-kun agak terlambat. Aku jadi khawatir. Kalau ada yang mengganggumu, jangan ragu buat cerita ke aku, ya. Kamu kan teman masa kecilku yang sangat berarti,’ tulis Shizuku di akhir surat terakhirnya.

 

Aku merasa sangat bersalah setelah membaca pesan itu. Dia selalu jujur dan terbuka tentang kesehariannya, jadi aku pun harus melakukan hal yang sama.

 

Meski tak ada hal penting yang terjadi, aku bisa saja menulis, ‘Nggak ada apa-apa, Cuma malas-malasan main game,’ dan itu sudah cukup. Mungkin Shii-chan akan sedikit kesal, tapi setidaknya aku tetap memberi kabar, dan itu akan membuatnya tenang. Kalau merasa menulis surat terlalu ribet, aku bisa saja meneleponnya langsung.

 

Namun, akhir-akhir ini, aku selalu mencari-cari alasan untuk menunda melakukan keduanya.

 

“Kakak! Sekolah! Ibu bilang cepat!”

 

“...Iya, aku tahu. Aku akan segera pergi.”

 

Akhirnya, aku memasukkan kertas surat yang masih kosong ke dalam laci meja dan segera keluar dari kamarku, seolah ingin melarikan diri dari masalah ini. Meskipun tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah pagi-pagi, perasaan menghadapi kertas kosong yang tak kunjung tertulis justru terasa lebih menyiksa. Begitulah keadaan pikiranku saat ini.

 

Tanda-tanda perubahan mulai terlihat sejak aku lulus SD dan masuk SMP. Berbeda dengan SD, di SMP, aku harus memperhatikan tidak hanya hubungan dengan teman sekelas, tetapi juga relasi dengan senior dan junior. Lingkungan baru, dengan hubungan sosial yang lebih kompleks—semua ini menjadi beban berat bagi seseorang yang pemalu seperti diriku.

 

Pada saat itu, aku benar-benar terjebak dalam lingkaran yang sulit.

 

“—Kak, jangan lelet begitu. Tolong ambilkan bolanya dengan cepat. Kalau kami yang jadi pemain utama tidak sengaja menginjaknya dan cedera, bagaimana nanti?”

 

“...Iya, maaf. Aku akan melakukannya sekarang.”

 

“Ck, tolong, ya, Kak.”

 

Di SMP, karena tubuhku yang tinggi, aku bergabung dengan tim voli. Namun, karena tidak memiliki bakat dalam olahraga, aku menghabiskan tiga tahun sebagai pemain cadangan.

 

Meskipun aku berlatih dengan sungguh-sungguh, kemajuanku lambat, dan dalam pertandingan latihan, aku selalu menjadi sasaran serangan, baik dari teman sekelas maupun dari junior. Akibatnya, aku sering menjadi bahan ejekan.

 

Karena hal itu, aku hampir tidak memiliki teman dekat, baik di dalam tim maupun di kelas. Aku tidak sampai mengalami perundungan, tetapi di mana pun aku berada, aku selalu sendirian.

 

Teman-teman yang dulu dekat denganku di SD kini memiliki kelompok mereka sendiri, dan mereka tidak lagi menunjukkan minat padaku.

 

“...Apa yang harus aku tulis di surat ini?” gumamku pelan.

 

Aku ingin menceritakan tentang diriku di sekolah, tetapi membayangkan memberitahu Shii-chan tentang keadaan menyedihkan ini membuatku ragu. Aku, yang dulu selalu dianggap sebagai “kakak yang dapat diandalkan,” kini berubah menjadi siswa yang menjalani kehidupan sekolah yang suram hanya karena berada di lingkungan yang lebih ramai. Bagaimana mungkin aku bisa jujur tentang hal ini? Apalagi pada gadis yang selalu kusukai sejak kecil.

 

Sejak saat itulah, bagian suratku yang membahas tentang “teman” atau “klub” perlahan menghilang, digantikan dengan cerita tentang “belajar,” “hobi,” atau hal-hal tentang “keluarga,” yang sebelumnya jarang kubicarakan. Aku mulai mengurangi cerita tentang diriku, dengan sengaja.

 

Dengan begitu, aku terus mencoba mengelak dan merancang surat yang tidak akan membuat Shii-chan khawatir. Namun, ketika aku memasuki masa SMA, bahkan satu-satunya hal yang bisa kubanggakan—“belajar”—mulai menjadi tidak stabil.

 

Metode belajar yang kugunakan di SMP tidak lagi efektif, atau mungkin karena aku tidak pandai dalam menyusun strategi belajar. Setiap tahun, peringkatku di sekolah semakin menurun, dari dua digit menjadi tiga digit, hingga akhirnya di bawah rata-rata.

 

Ketika peringkatku turun drastis, masa depanku menjadi semakin tidak pasti.

 

“—Riku, tadi saat pertemuan dengan guru, beliau bertanya lagi tentang pilihan universitas. Bagaimana kalau kita ubah ke universitas swasta di dekat sini saja? Dengan nilai yang sekarang, mungkin kamu masih bisa masuk,” saran ibuku.

 

“Tidak, aku ingin tetap seperti ini. Biarkan aku mencoba. ...Aku akan berusaha.”

 

Tempat kuliah impianku saat ini adalah universitas negeri terbaik di prefektur. Di sekolahku, hanya sekitar sepuluh hingga lima belas orang dari seluruh angkatan yang berhasil diterima di sana. Melihat nilainya yang sekarang, tentu saja itu terdengar mustahil, tetapi aku tetap menolak usulan dari guruku dan orang tuaku.

 

Aku ingin memiliki sesuatu yang bisa kubanggakan, walaupun hanya satu hal. Di luar tubuh yang sehat, dalam hal olahraga, penampilan, atau prestasi lainnya, aku berada di rata-rata atau bahkan di bawahnya.

 

Satu-satunya hal yang bisa kuraih dan kugenggam adalah pendidikan. Jika aku bekerja keras dan berhasil, mungkin aku akan mendapatkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri untuk akhirnya mengungkapkan perasaanku kepada sahabat masa kecilku.

 

Aku berhasil membujuk orang tuaku dengan syarat bahwa aku juga harus mendaftar di universitas swasta sebagai cadangan. Setelah itu, aku semakin giat belajar. Sementara teman-teman sibuk bermain atau berkencan, aku tetap fokus di meja belajarku, berusaha sekuat tenaga.

 

Aku tidak suka belajar. Sejujurnya, aku lebih suka bermain, bersantai dengan membaca komik atau bermain game. Namun, lebih dari itu, aku ingin mendapatkan pujian dari sahabat masa kecilku. Aku ingin mendengar dia berkata, “Hebat, kamu berhasil. Selamat, ya. Kamu memang kakak kebanggaan yang luar biasa.”

 

Aku ingin memperlihatkan sisi diriku yang keren kepadanya.

 

Berkat tekad kuat dan usahaku yang tak kenal lelah, nilai-nilaiku yang semula terus menurun akhirnya mulai membaik. Pada titik ini, aku sudah hampir pasti diterima di universitas swasta yang menjadi pilihan cadanganku. Jika aku terus berusaha, bukan tidak mungkin aku bisa mencapai target utamaku: diterima di universitas negeri pilihanku. Namun, waktu yang tersisa semakin menipis.

 

     

 

Pov Maehara Maki

“Jadi, begitulah ceritaku sampai sebelum aku melakukan kesalahan besar. Maaf kalau penjelasanku terlalu panjang. Aku ingin meringkasnya, tapi malah jadi kebanyakan cerita.”

 

“Tidak apa-apa, Riku-san. Justru, aku jadi lebih mengerti banyak hal tentang Riku-san.”

 

Mendengarkan sampai di titik ini, aku mulai memahami alasan di balik keputusan Riku-san untuk menolak pengakuan cinta dari Shizuku-san, yang mungkin akan ia jelaskan nanti.

 

Keinginan untuk terlihat baik di depan orang yang kita sukai, serta keengganan menunjukkan sisi lemah, adalah perasaan yang mungkin pernah dialami hampir semua orang.

 

Bahkan aku sendiri, saat ini, sering memikirkan hal yang sama. Semua kerja keras dalam belajar dan olahraga, meskipun alasan utamanya adalah untuk masa depan, pada dasarnya hanyalah agar aku bisa memperlihatkan betapa giatnya aku kepada Umi, berharap mendapatkan pujian atau penghiburan darinya.

 

Saat kita menyukai seseorang, wajar jika pikiran kita dipenuhi hal-hal seperti itu. Kita mungkin merasa rasional, tetapi dari sudut pandang orang luar, kita tampak tidak mampu membuat penilaian yang objektif.

 

“Nilai-nilaiku mulai membaik sekitar bulan Desember, saat aku duduk di kelas tiga SMA. Waktu itu, ujian masuk universitas tinggal satu bulan lagi. Orang tuaku sempat bilang tidak apa-apa kalau aku harus mengulang setahun, tapi aku menolak. Aku tahu jika mengulang, aku harus meminta bantuan keuangan dari nenekku, dan yang lebih penting, aku merasa malu jika harus melaporkan hal itu pada Shizuku.”

 

Jika saja Riku-san memiliki teman sebaya yang bisa diajak berdiskusi, mungkin hasil akhirnya akan berbeda. Namun, seperti yang telah ia sebutkan sebelumnya, Riku-san hampir tidak memiliki teman dekat selain Shizuku-san. Hal ini membuatnya lebih banyak merenung sendiri, yang pada akhirnya mempersempit pandangannya.

 

Seperti yang Riku-san katakan, dia benar-benar terjebak dalam pusaran masalahnya sendiri.

 

“...Jadi, tak lama setelah itu, kau akhirnya melakukan kesalahan besar?”

 

“Ya. Aku sudah lebih tenang sekarang, jadi mari lanjutkan ceritanya. Tenang saja, ceritaku hampir selesai. Ini tidak akan lama.”

 

Meskipun mendengar kisah ini mungkin akan membuatku merasa tidak nyaman, aku tahu bahwa jika aku tidak mendengarkan sampai akhir, aku tidak akan bisa memberikan dukungan penuh kepada Riku-san. Bagaimanapun, cerita tentang masa lalu Riku-san hanyalah pendahuluan—bagian utama dari percakapan ini baru akan dimulai.

 

     

 

Pov Asanagi Riku

Pada bulan Desember, tepat sebulan sebelum musim ujian dimulai, sebuah surat datang dari Shii-chan seperti biasa.

 

‘Rik-kun, tahun ini kamu ujian, tapi kamu akan pulang saat akhir tahun, kan? Aku ingin menyemangatimu secara langsung, jadi tolong beritahu aku kapan kamu pulang. Aku akan meluangkan waktu untukmu.

 

PS: Kamu juga harus membalas suratku sekali-kali, ya. Akhir-akhir ini hanya aku yang terus menulis. Jadi, Rik-kun, tolong balas, ya.’

 

Di akhir surat, dia menulis, “Dari sahabat masa kecilmu yang berharga,” dan kata-kata itu membuat hatiku terasa sesak.

 

Sejak pertemuan orang tua-guru di musim gugur lalu, surat yang kutulis tak pernah selesai, dan sudah hampir tiga bulan berlalu sejak aku berhenti membalas surat-suratnya.

 

Beberapa kali aku berpikir untuk mengungkapkan semuanya—tentang betapa tidak menyenangkannya sekolah, tentang aku tidak punya teman yang bisa kupercaya, bahkan tentang bagaimana hobiku kini terpaksa kusisihkan demi belajar.

 

Namun, setiap kali melihat surat yang penuh dengan emosi negatif, aku tersadar, merobek kertas itu, dan memulai dari awal lagi.

 

Berbeda jauh dariku, Shii-chan tampaknya menikmati masa-masa sekolahnya dengan penuh keceriaan. Meskipun dia setahun lebih muda dariku, dia cukup cerdas dan punya kemampuan akademik yang sangat baik.

 

Menurut gurunya, dia hampir pasti akan diterima di universitas manapun yang dia inginkan, selama nilainya tetap seperti sekarang—itulah yang ia tulis di suratnya. Kesenjangan antara kami terasa begitu menyakitkan hingga aku hampir menangis.

 

“...Ibu, tentang akhir tahun ini...”

 

“Hm? Tahun ini ayahmu sibuk dengan pekerjaan, dan kamu kan juga sedang ujian, Riku. Umi juga sudah berjanji akan bermain dengan teman-temannya, jadi aku pikir kita akan menghabiskan waktu akhir tahun dengan santai di rumah saja... Oh, atau kamu sudah berjanji untuk bertemu Shizuku-chan?”

 

“Bukan, bukan begitu...”

 

“Oh, jadi kamu malu, ya? Belajar memang penting, tapi menurut Ibu, sesekali bertemu Shizuku-chan untuk menyegarkan pikiran juga tidak ada salahnya. Akhir-akhir ini, kamu terlihat sangat tegang. Ibu akan hubungi nenek, jadi jangan khawatir.”

 

“Ah... iya, tolong ya, Bu.”

 

Sebenarnya, aku tidak terlalu ingin bertemu dengannya. Namun, karena belum membalas suratnya dan tidak ingin membuatnya semakin khawatir, aku merasa tidak enak untuk menolak.

 

Ibuku tampaknya salah paham, mengira kami sudah seperti sepasang kekasih, padahal sama sekali tidak seperti itu. Aku merasa tidak sebanding dengan Shii-chan.

 

Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah nenek hanya untuk satu malam, dan waktu berlalu dengan cepat hingga tahun baru pun tiba.

 

Meskipun aku tidak terlalu ingin bertemu, saat hari pertemuan semakin dekat, aku tidak bisa menghindari perasaan gugup.

 

Meski sudah lama tidak pulang, alih-alih memikirkan nenek, aku justru sibuk memperhatikan penampilanku di depan cermin. Aku hanya ingin terlihat sedikit lebih baik di hadapan gadis yang kusukai.

 

Nenek, yang memperhatikan kegugupanku, hanya bisa menghela napas, namun tidak mengatakan apapun. Meskipun makanan hampir tidak bisa kutelan karena gugup, aku berusaha memaksanya masuk ke perut. Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi, sedikit lebih awal dari waktu yang dijanjikan.

 

“Nenek, selamat malam! Eh, maaf tiba-tiba, tapi... Rik-kun ada di rumah, kan?”

 

“Oh, dia ada, tapi dia bertingkah agak aneh. Hei, Riku! Tamu untukmu! Ini Shizuku-chan. Berhenti mengutak-atik ponimu dan cepat sambut dia!”

 

“Berisik, Nek... Aku tahu!”

 

Suara nyaring nenek terdengar di seluruh rumah. Aku tahu perilakuku aneh, tapi nenek benar-benar membongkar rahasiaku di depan teman masa kecilku. Dengan pipi yang terasa panas karena malu, aku berjalan untuk menyambut Shii-chan yang telah tumbuh dewasa.

 

“Sudah lama tidak ketemu, Rik-kun. Sepertinya kamu tumbuh lebih tinggi dibandingkan terakhir kali kita bertemu. Nambah satu meter, ya?”

 

“Mana mungkin. Aku bukan manusia ajaib. Cuma lima sentimeter, kok. Sejak musim panas tahun lalu.”

 

“Itu masih lumayan juga. Aku? Bahkan satu milimeter pun tidak bertambah... Berat badan sih naik terus.”

 

Shizuku-chan, yang sudah lama tidak kutemui, tampak semakin cantik. Meski dia mengeluh tentang berat badannya, dari sudut mana pun aku melihat, dia adalah seorang gadis yang cantik.

 

Kulitnya mulus tanpa noda, matanya besar dan bulat, bibirnya kecil dan berbentuk indah, serta rambut hitam panjangnya berkilau. Meskipun dia tidak pernah cerita, aku yakin pasti ada beberapa pria yang mencoba mendekatinya.

 

Seiring berjalannya waktu, pesona Shii-chan semakin meningkat, membuatku merasa dia semakin jauh dari jangkauanku.

 

“Shii-chan, rambutmu... dibiarkan panjang ya?”

 

“Oh, ini? Iya, teman-temanku bilang aku lebih cocok dengan rambut panjang, jadi aku mencobanya. Sekarang aku harus mengikatnya jadi ponytail karena aturan sekolah... menurutmu, cocok tidak?”

 

“Ah, iya. Sepertinya... cocok, sih. Aku tidak terlalu paham soal begituan, tapi kelihatannya... cantik.”

 

“B-benarkah? Terima kasih... ehehe.”

 

Kecanggungan membuat percakapan kami terdengar lebih kaku dari biasanya. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan, banyak permintaan maaf yang ingin kusampaikan, tapi kebahagiaan bertemu lagi setelah sekian lama membuatku kesulitan mengungkapkannya. Sebelum bertemu, aku sempat merasa enggan, namun saat melihatnya, semua perasaan itu hilang begitu saja.

 

“Rik-kun, ehm... meskipun dingin, bagaimana kalau kita ngobrol di luar? Seperti dulu, kita bisa jalan-jalan keliling kota.”

 

“Ya, kalau Shii-chan mau, aku juga tidak masalah... Nek, aku mau keluar sebentar dengan Shii-chan.”

 

“Baiklah. Jangan lupa antar Shizuku-chan ke penginapan, ya. Meskipun mungkin tidak ada siapa-siapa yang berkeliaran, tetap hati-hati di jalanan malam.”

 

“Iya, aku tahu. ...Kalau begitu, kami pergi dulu.”

 

Setelah memberitahu nenek bahwa kami tidak akan pulang terlambat, aku dan Shii-chan pun melangkah keluar rumah.

 

Saat malam semakin larut, suhu terus menurun dan langit yang gelap mulai menurunkan salju ringan.

 

Jika ini di kota, pemandangan tersebut mungkin akan terlihat indah dengan kilauan cahaya kota dan lampu-lampu hias, namun di daerah pegunungan seperti tempat kami, salju seperti ini sudah menjadi pemandangan biasa, tidak ada yang terlalu istimewa.

 

“...Kalau jalan seperti ini, aku jadi ingat masa lalu. Saat jalanan tertutup salju putih, kita berdua bergandengan tangan, meninggalkan jejak kaki.”

 

“Ya, aku ingat. Waktu itu, kamu selalu jatuh sedikit saja kalau aku lengah, lalu menangis keras. Nenek sering salah paham, mengira aku jahat sama kamu, dan aku sering dimarahi.”

 

“Itu sebabnya, setiap musim dingin, kita pasti bergandengan tangan, tak peduli cuacanya. Ah... rasanya nostalgia sekali.”

 

Shii-chan menunduk sedikit, menatap tanganku, lalu memandangku dengan tatapan lembut dari bawah. Cara dia melihatku seperti itu membuatku tak bisa menolak.

 

“...Kalau begitu, mungkin kita bisa bergandengan tangan lagi. Lagipula... dingin, dan tangan kita bisa jadi lebih hangat.”

 

“Benar juga. Mungkin lebih hangat dibanding hanya menyimpan tangan di saku.”

 

Dengan alasan yang terdengar masuk akal, kami pun saling menggenggam tangan. Sentuhan tangan Shii-chan yang sudah lama tidak kurasakan terasa sangat hangat dan membawa kenangan lama. Meski sudah bertahun-tahun, perasaan saat menggenggam tangan teman masa kecilku ini tidak berubah sama sekali.

 

“......”

 

“......”

 

Kami berjalan perlahan di jalan yang diterangi oleh beberapa lampu jalan. Hanya dengan berpegangan tangan, jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.

 

Sudah beberapa tahun sejak aku meninggalkan kota ini, sejak kami menangis saat harus perpisahan karena aku harus pindah. Kini, kami berdua telah tumbuh dewasa, mengetahui banyak hal, dan lebih menyadari satu sama lain sebagai ‘lawan jenis.’

 

Jika dulu kami mandi bersama saat masih di taman kanak-kanak, kini hanya berpegangan tangan saja sudah membuat wajahku terasa panas.

 

“Rik-kun, ujian masuk universitas sudah dekat, ya. Mungkin aku tak seharusnya menanyakannya, tapi... bagaimana persiapan belajarmu? Aku tahu kamu mengincar sekolah negeri, tapi kamu juga ikut ujian masuk universitas swasta, kan?”

 

“Ya. Sebenarnya aku hanya mau fokus ke universitas negeri, tapi orang tuaku terus mendesak untuk ikut ujian swasta juga. Padahal, meski lolos di universitas swasta, aku tidak akan masuk kesana.”

 

“Hehe, meskipun kamu berpikir begitu, wajar saja kalau ayah dan ibumu khawatir. Anggap saja ujian sekolah swasta sebagai simulasi sebelum ujian sebenarnya.”

 

“Mudah-mudahan jadi latihan yang berguna.”

 

Sebenarnya, tekanan untuk ujian sudah membuatku nyaris terpuruk, namun di depan Shii-chan, aku tetap berpura-pura santai dan melontarkan kata-kata penuh percaya diri.

 

Padahal, meski ujian universitas swasta hanya cadangan, dengan kemampuanku sekarang, aku tidak merasa tenang sama sekali.

 

“...Lagian, tahun depan kamu juga akan ada di posisi yang sama, kan? Apa kamu yakin tidak perlu khawatir dengan ujianmu sendiri?”

 

“Hehe, kamu pasti berpikir begitu, ya? Tapi coba lihat ini.”

 

“Hm? Ini hasil ujian simulasi nasional?”

 

Shii-chan mengeluarkan selembar kertas dari saku mantelnya. Kertas itu menunjukkan hasil ujian simulasi nasional yang baru-baru ini diumumkan. Aku juga ikut ujian tersebut, dan hasilnya cukup menyakitkan bagiku.

 

“...Ini benar-benar hasilmu? Bukan milik temanmu?”

 

“Hah, Rik-kun! Kamu meragukanku? Lihat nama yang tertulis di sana. ‘Shimizu Shizuku,’ nama teman masa kecilmu yang sangat kamu sayangi.”

 

“Teman masa kecil yang sangat kusayangi... Bukankah itu memalukan untuk diucapkan sendiri? Meski aku tidak benar-benar meragukannya.”

 

Saat kulihat lebih teliti, nilai-nilai di kertas itu menunjukkan bahwa Shii-chan mendapatkan hampir 90% di semua mata pelajaran—beberapa bahkan mendekati nilai sempurna.

 

Dalam ujian simulasi yang terkenal sulit ini, hasil tersebut sangat mengesankan. Tentu saja, semua pilihan universitasnya diberi peringkat ‘A,’ termasuk universitas pilihanku, di mana aku hanya bisa meraih peringkat ‘D’ atau lebih rendah, bahkan jika aku berusaha semaksimal mungkin.

 

Pada saat itu, sesuatu yang selama ini terpendam di dalam hatiku mulai muncul ke permukaan, seperti rasa iri yang menjijikkan.

 

“Rik-kun... sebenarnya aku juga ingin masuk ke universitas yang sama denganmu. Dengan nilai-nilai seperti ini, sepertinya aku bisa mendapatkan beasiswa penuh, setidaknya itulah yang dikatakan guruku.”

 

“...Begitu ya. Itu... kabar bagus.”

 

“Ya. Meskipun selain biaya kuliah aku harus bekerja paruh waktu untuk menutup kekurangannya, tapi kalau melihat masa depan, itu pasti pilihan yang lebih baik... Dan lagi, kamu juga akan ada di sana, kan?”

 

“Begitu ya…”

 

Di mata Shii-chan, masa depan yang cerah pasti sudah tergambar dengan jelas, dan seiring dengan kemampuannya sekarang, itu pasti akan menjadi kenyataan. Namun, yang terlintas di pikiranku hanyalah bayangan lain.

 

Saat ini, aku tidak memiliki kemampuan ataupun kelayakan untuk tetap berada di sisinya. Maret nanti, setelah ujian, dia pasti akan melihatku dengan tatapan iba, karena aku gagal.

 

Dan mungkin dia akan merasa kecewa.

 

──Pembohong.

 

──Kamu bilang ingin masuk universitas yang sama, tapi gagal total.

 

──Rik-kun, kamu payah.

 

──Memalukan. Kenapa aku selama ini mengagumimu?

 

Tidak, Shii-chan bukanlah tipe orang yang akan mengatakan hal-hal seperti itu. Bahkan jika aku gagal dalam ujian nanti, dia pasti akan menghiburku. Kalau pun aku harus mengulang tahun, dia pasti akan mengatakan sesuatu yang positif, seperti, “Kalau begitu, kita bisa kuliah bersama selama empat tahun.”

 

Jadi, kalau aku jujur sekarang, masih ada waktu untuk memperbaikinya.

 

“Shii-chan…”

 

“Hm? Ada apa, Rik-kun?”

 

“Aku... sebenarnya...”

 

Katakan. Keluarkan semuanya dan bebaskan dirimu. Buanglah harga dirimu yang tidak berguna, ungkapkan semua kekhawatiranmu, serta perasaan cintamu terhadap teman masa kecilmu ini. Jika aku melakukannya sekarang, semuanya mungkin masih bisa diperbaiki.

 

Yang kubutuhkan bukanlah pendidikan atau prestasi yang bisa dibanggakan. Yang kuinginkan adalah satu-satunya orang yang paling berarti, yang saat ini berdiri tepat di hadapanku.

 

“...Rik-kun?”

 

“Tidak, maaf. Tidak ada apa-apa.”

 

“Eh? Kalau kamu bilang begitu, justru aku jadi penasaran, deh. Kelihatannya kamu juga tidak bersemangat... Kalau ada yang bisa kubantu, jangan ragu untuk bilang, ya?”

 

“Tidak apa-apa, aku hanya merasa sedikit cemas karena ujian sudah dekat. Begitu selesai, pasti perasaanku akan lebih baik.”

 

“Benarkah? Kalau begitu, syukurlah.”

 

Namun, di saat terakhir, sisa harga diriku yang tersisa menghalangi langkahku.

 

...Tidak apa-apa. Masih ada waktu sebelum ujian. Meski sulit, masih ada sedikit peluang. Dalam ujian ini, penting untuk tidak menyerah sampai akhir.

 

Aku akan menyatakan perasaanku setelah mendapatkan hasil yang memuaskan, setelah aku bisa mengembalikan kepercayaan diriku. Jika aku melakukannya dengan kondisi yang lebih baik daripada sekarang, Shii-chan mungkin akan menerimaku. Meskipun saat ini kami tidak sepadan, suatu saat nanti kami akan.

 

Namun, pada akhirnya, ‘suatu saat nanti’ itu tidak pernah datang. Bahkan setelah lulus dari sekolah, setelah bekerja, hingga saat ini.

 

Ketika aku menyadari kesalahan fatalku, semuanya sudah terlambat.

 

     

 

Pov Maehara Maki

“...Haaah…”

 

Setelah selesai bercerita, Riku-san menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.

 

Setelah mendengarkan ceritanya, aku langsung teringat pada Umi. Mereka sangat mirip—menyimpan semua masalah sendiri tanpa bercerita pada orang terdekatnya, sampai akhirnya memikul semuanya sendirian hingga mencapai batas.

 

“Yah, untuk sementara, cerita masa laluku sampai di sini.”

 

“Tapi, sepertinya kamu belum selesai menjawab pengakuan cinta dari Shizuku-san, kan?”

 

“Ah, tentang itu... Sebenarnya, aku tidak ingat banyak. Menurut cerita Shizuku kemarin, aku hanya terus-menerus meminta maaf. Yang kuingat dengan jelas adalah keesokan paginya. Kata nenek, wajahku seperti zombie waktu itu.”

 

Sejak hari itu, hubungan mereka berdua perlahan memburuk dan akhirnya mereka tidak lagi saling menghubungi.

 

Itulah kesalahan yang dilakukan Riku-san sekitar sepuluh tahun lalu, yang menjadi awal dari situasi tidak menyenangkan yang dia hadapi saat ini.

 

Setelah gagal masuk ke universitas impiannya, Riku-san akhirnya diterima di universitas swasta cadangan dan memulai kehidupan kuliahnya.

 

Meskipun sudah menjadi mahasiswa, kehidupannya tidak banyak berubah. Ia tetap duduk di pojok kelas sendirian, mengikuti perkuliahan, lalu pulang ke rumah. Rutinitas yang sama berulang setiap hari.

 

Namun, berkat usahanya dalam belajar yang tidak pernah putus asa, Riku-san mendapatkan nilai yang cukup baik selama kuliah, sehingga ia tidak mengalami banyak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Meskipun jalur yang diambilnya bukan yang ia harapkan sejak awal, pada akhirnya, ia berhasil mendapatkan profesi yang sama dengan Daichi-san.

 

Riku-san berusaha melupakan masa lalunya dan mulai fokus pada pekerjaannya. Namun, seakan takdir sudah tertulis, Riku-san kembali terperosok dalam kesulitan. Lingkungan kerja yang baru dan penuh tekanan membuat tubuhnya sakit.

 

Meski ia tidak mengalami masalah dalam hubungan sosial, ketidakmampuannya dalam berkomunikasi, mirip seperti yang kualami, membuatnya sulit beradaptasi. Akhirnya, setelah menahan semua tekanan dan kegagalan sendirian, suatu hari, ketika bangun tidur, tubuhnya tidak dapat bergerak.

 

Orang yang menyarankan agar ia berhenti bekerja adalah Daichi-san sendiri.

 

“Itulah kisah hidupku hingga saat ini. Mungkin ada beberapa bagian yang aku singkat, tapi intinya, hidupku sebenarnya tak ada yang istimewa. Kamu mungkin menghormatiku, tapi sebenarnya, aku hanyalah manusia yang dangkal. Bahkan kepada satu-satunya gadis yang kusukai, aku tak mampu mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya... Seperti yang dikatakan adikku, aku memang kakak yang bodoh dan tak berguna.”

 

Meskipun aku hanya mendengarkan dalam diam, jika Umi mendengar cerita ini, ia mungkin akan marah besar. Aku sendiri bisa memahami, betapa menyedihkannya masa lalu Riku-san. Namun sekarang, ia sedang berusaha bangkit.

 

Ia menyingkirkan rasa malunya dan mengajukan pertanyaan tentang cinta kepada seseorang yang usianya terpaut hampir sepuluh tahun dengannya. Ya, ini adalah konsultasi tentang cinta. Dan inilah inti dari cerita ini.

 

“Meski begitu, Riku-san masih sangat mencintai Shizuku-san, bukan? Meski kamu awalnya berniat untuk menyerah setelah bicara sampai pagi, kenyataannya, perasaanmu malah kembali menyala.”

 

“Ya, benar sekali.”

 

“Untuk memastikan, aku ingin menanyakan lagi. Riku-san, apakah kamu masih...”

 

“Ya, aku masih sangat mencintainya... Maafkan aku.”

 

Dengan suara yang terdengar sangat berat, Riku-san akhirnya mengungkapkan perasaannya padaku. Aku tidak punya waktu untuk mendengar kisah dari sudut pandang Shizuku-san, tapi melihat situasi yang dihadapi Shizuku-san saat ini, aku yakin dia juga mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya.

 

Sama seperti Riku-san, Shizuku-san pun mungkin terjebak dalam lubang yang sama.

 

“Mungkin karena pengaruh alkohol juga, tapi saat melihat Shizuku menangis, aku hanya ingin berada di sisinya. Meski aku sendiri yang menolak pengakuannya dulu, aku tahu betapa munafiknya ini terdengar... Maki, bisa tolong pukul aku sekali?”

 

“Yah, mari kita tenang dulu. Aku mengerti perasaanmu.”

 

Apa yang seharusnya menjadi cerita lucu atau keluhan sementara, kini malah menjadi api yang kembali menyala di dalam hatinya. Mengingat betapa dalam perasaan cinta yang dulu ia miliki, mungkin hasilnya memang seperti ini.

 

Orang dewasa pun terkadang bisa bersikap egois, meski biasanya mereka pandai menyembunyikannya. Aku sendiri sudah mengalaminya secara langsung sekitar enam bulan lalu.

 

“Maki, menurutmu apa yang harus kulakukan? Kamu dan Umi mungkin akan mengatakan, ‘Kalau kamu suka, sebaiknya segera nyatakan perasaanmu,’ dan aku juga berpikir begitu... Tapi, Shizuku...”

 

“Ya, Shizuku-san sudah punya Reiji-kun.”

 

Dan di sinilah Riku-san kembali dihadapkan pada kenyataan pahit yang sudah berkali-kali ia hadapi.

 

Dari sudut pandang seorang anak, seperti halnya aku dulu, ketika pertama kali melihat Minato-san, rekan kerja ayah yang tampak seperti kekasih barunya, perasaanku juga tidak menyenangkan. Meski ayah dan ibu sudah bercerai, aku tahu bahwa ibulah yang paling dicintai ayah. Tetapi sekarang, ayah bersama orang lain.

 

Situasinya mungkin sedikit berbeda, tapi Reiji-kun, yang pintar, pasti akan merasakan hal yang sama.

 

Lalu, apakah sebaiknya menyerah saja? Tentu saja, Riku-san tidak mau menyerah begitu saja, itulah sebabnya dia bertanya padaku.

 

Di antara perasaan cinta masa kecil dan akal sehat yang dimilikinya sebagai orang dewasa, Riku-san terus berjuang dengan batinnya.

 

Aku ingin sekali membantu Riku-san. Meskipun Umi mungkin akan menganggapku terlalu baik hati, Riku-san bukanlah orang asing bagiku. Dia adalah bagian dari keluargaku yang berharga, orang yang sangat kuperhatikan.

 

“...Riku-san, sebenarnya—”

 

“...Ah.”

 

“Maafkan aku.”

 

Begitu aku mengucapkan kata-kata itu, aku menundukkan kepala kepada Riku-san. Itulah jawabanku atas konsultasi ini.

 

“Begitu ya. Ya, itu benar.”

 

“Ya. Maaf sudah meminta bantuan padaku, tetapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang paling Riku-san butuhkan saat ini. Meski sedikit pengalaman dalam urusan cinta ada padaku, aku tetap seorang anak yang belum pernah terjun ke dunia luar seperti Riku-san dan Shizuku-san.”

 

Apakah ia memilih untuk menjaga hubungan sebagai ‘kawan lama’ atau menyatakan perasaannya meskipun semuanya bisa hancur? Ini jelas merupakan keputusan yang sangat serius, dan aku tidak mampu memikul tanggung jawab sebesar itu saat ini.

 

“Oleh karena itu, aku rasa Riku-san harus mencari jawaban itu sendiri. Waktu untuk check-out tidak lama lagi, tetapi dalam waktu tersisa itu, pikirkanlah dan temukan titik terang yang bisa membuat Riku-san merasa puas.”

 

Setelah mendengarnya, Riku-san tersenyum tipis dan mengangguk. Meskipun ini bukan solusi yang fundamental, wajahnya terlihat jauh lebih cerah daripada sebelum kami berbicara.

 

“Baiklah. Ya, ini memang masalah yang rumit, apalagi untuk seseorang yang tidak terlibat, seperti kamu. Terima kasih telah mendengarkan, aku sangat menghargainya.”

 

“Tentu saja. Terima kasih sudah mempercayakan hal ini padaku.”

 

“Haha, aku mengharapkan setidaknya satu pukulan darimu... Tapi ya, ini juga wajar untukmu. Sekarang aku sudah merasa lebih baik, jadi aku akan naik lebih dulu.”

 

“Ya... Ah, Riku-san, tunggu sebentar.”

 

Ketika aku memanggil Riku-san yang hendak keluar dari pemandian umum, dia menoleh dengan wajah yang tampak tidak senang, mirip dengan saat kami di rumah Asanagi. Meskipun dia sudah menyelesaikan urusannya, reaksinya yang dingin membuatku hampir tertawa. Inilah sosok Riku-san.

 

“Ada apa? Apakah kamu benar-benar ingin memukulku sekarang?”

 

“Tidak, aku bukan tipe yang suka berkonfrontasi. Bukan itu, tapi aku ingin mengucapkan satu hal padamu.”

 

“Itu... Apakah itu saran?”

 

“Cara penerimanya terserah padamu, tetapi... maaf, aku tidak bisa bertanggung jawab atas itu.”

 

Meskipun aku masih belajar tentang hubungan manusia, ada satu hal yang bisa kusampaikan kepada Riku-san. Apa yang dia lakukan selanjutnya adalah urusannya.

 

“Hmm... jadi, apa itu?”

 

“Ya. Mungkin ini akan membuatmu tersenyum sinis, tetapi—”

 

───────

 

Dengan tegas, aku sudah menyampaikan perasaanku yang jujur kepada Riku-san. Sembari memandang pemandangan luar yang sudah cerah melalui jendela pemandian umum, kami akhirnya tiba di pagi hari terakhir perjalanan kami.

 

Setelah sedikit tertinggal, aku keluar dari pemandian umum dan kembali ke kamar. Di sana, Umi sudah bangun dan berpakaian.

 

“Maki, sepertinya kamu menghabiskan waktu yang cukup lama di toilet, ya?”

 

“...Maafkan aku.”

 

“Ah, benar. Aku tahu kamu keluar kamar bersama kakak, jadi aku tahu bukan hanya kesalahanmu. Tapi... aku khawatir, tahu?”

 

“Benar. Aku benar-benar minta maaf. Itu tidak akan terulang lagi.”

 

Setelah kembali ke kamar, Umi langsung memberikan ceramah panjang lebar. Meski aku pergi untuk mendengarkan cerita Riku-san, aku tidak bisa mengungkapkan yang sebenarnya, jadi aku hanya bisa menundukkan kepala dengan tulus.

 

Dia mencubit pipiku dan memberi jentikan yang cukup keras... pokoknya, aku diomeli habis-habisan.

 

“Ngomong-ngomong, di mana Riku-san? Aku kira dia sudah kembali lebih dulu ke kamar.”

 

“Kakak? Aku tidak melihatnya, tetapi mungkin dia sedang berjalan-jalan di luar. Aku tidak tahu dia melakukan apa dan di mana, tapi, ya, dia pasti akan kembali sebelum waktu check-out,”

 

“Semoga saja...”

 

Dari apa yang bisa kulihat di luar jendela, mobil masih ada di parkiran, jadi kemungkinan Riku-san setelah keluar dari pemandian umum, sedang berjalan-jalan sendirian di sekitar penginapan. Jika ada aku dan Umi, mungkin dia tidak bisa berpikir dengan tenang.

 

Karena waktu sarapan sudah dekat, aku segera menyiapkan barang-barang untuk pulang dan pergi ke ruang sarapan di lantai satu bersama Umi. Ketika kami tiba, seseorang yang seharusnya tidak ada di tempat itu mendekati kami.

 

Shizuku-san, yang seharusnya dibawa Riku-san kembali ke kamar setelah kami minum semalam, kini mengenakan seragam pelayan dan terlihat bersemangat melayani.

 

“Selamat pagi, Maehara-kun, Umi-chan. Tidur nyenyak semalam?”

 

“Berkat Shizuku-san... Ngomong-ngomong, Shizuku-san tidak seharusnya mulai bekerja dari siang hari?” tanyaku. “Aku dengar semalam kalian cukup meriah.”

 

“Ah, ya... Seharusnya begitu, tapi Reiji tetap masuk TK, dan aku juga tidak bisa tidur. Tapi tidak apa-apa, aku sudah terbiasa kerja seperti ini di perusahaan sebelumnya,” jawabnya.

 

“Rasanya itu tidak baik dalam berbagai aspek...”

 

Meskipun Shizuku-san hampir tidak tidur semalam, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Entah dia menyembunyikannya dengan makeup atau memang hanya berpura-pura kuat, dia terlihat jauh lebih bertenaga dibandingkan Riku-san yang tampak kelelahan.

 

Atau mungkin dia sudah bisa mengeluarkan semua masalah yang dia hadapi dan merasa lebih baik setelahnya. Namun, isi hati Shizuku-san masih menjadi misteri bagi kami semua.

 

“...Terima kasih banyak, kalian berdua. Baik untuk Reiji maupun untuk Rik-kun... Mengenai Rik-kun, aku berpikir mungkin aku terlalu mengurusi urusan orang lain, tapi berkat kalian, aku bisa kembali ke masa lalu dan berbicara dengan baik lagi, jadi itu bagus.”

 

“...Maaf, karena kakakku yang bodoh ini merepotkanmu,”

 

“Tidak, seharusnya aku yang meminta maaf. Aku selalu mementingkan diriku sendiri, tidak menyadari betapa sulitnya yang dialami Rik-kun dan tanpa sengaja melukainya... Sebaliknya, aku seharusnya bersyukur masih bisa berteman dengannya.”

 

Jika dibiarkan, hubungan mereka mungkin akan selamanya terjebak dalam status “hanya teman masa kecil.” Aku tidak berpikir itu buruk. Setahun sekali atau dua kali, kami bisa bertemu di rumah Mizore-san, minum, dan mengenang masa lalu—itu pun sudah cukup nyaman.

 

Namun, dari sudut pandang Shizuku-san, dia mungkin tidak bisa memilih jalan itu. Jika dia menginginkan lebih dari sekadar hubungan pertemanan, dia harus menghadapi tantangan yang sangat sulit, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi Riku-san.

 

Shizuku-san tidak bisa melangkah lebih jauh.

 

...Jadi, jika dia benar-benar ingin melanjutkan jalan bersamanya ke depan.

 

“—Shizuku, bisa bicara sebentar?”

 

Ketika Shizuku-san meletakkan sarapan kami di meja dan bersiap kembali ke tempatnya, suara Riku-san memanggilnya dari pintu masuk. Sepertinya dia sudah menemukan keputusannya.

 

“Akhirnya datang... Kakak bodoh.”

 

“Tenang saja... Sepertinya dia sudah siap, jadi kita hanya perlu mengawasinya,”

 

Karena kurang tidur, wajah Riku-san terlihat lelah. Rambutnya setengah kering, dan ada kantung mata tipis di bawah matanya... Rasanya seperti melihat diriku di masa lalu, tetapi saat ini, saat dia menghadapi Shizuku-san, dia terlihat lebih gagah dan dapat diandalkan daripada sebelumnya.

 

Dia menunjukkan sosok “kakak” yang selama ini aku pikirkan.

 

“Rik-kun... Oh, ngomong-ngomong, kamu juga mau sarapan kan? Aku akan segera ambilkan, tunggu bersama Umi-chan,”

 

“Tidak, tidak masalah jika tidak sarapan. Yang kuinginkan adalah berbicara denganmu... Ini hal yang penting.”

 

“...!”

 

Begitu Riku-san berbicara, mata Shizuku-san yang tadinya sedikit gelap tiba-tiba bersinar cerah. Melihat perubahan itu, aku dan Umi saling bertukar pandang dan tersenyum kecil.

 

Ternyata, mereka hanya mencari alasan untuk menjauh, tetapi pada akhirnya, perasaan itu memang sudah ada sejak awal. Meskipun sempat terpisah dan menjalani jalan masing-masing, mereka pada akhirnya kembali saling tertarik.

 

Orang dewasa memang merepotkan.

 

Bagaimanapun, yang tersisa hanyalah bagaimana cara membuat Shizuku-san membuka hatinya. Jika ada yang bisa melakukannya, itu pasti Riku-san.

 

Karena ada orang lain yang memperhatikan, kami memutuskan untuk menunggu hingga sarapan selesai sebelum mengatur pertemuan khusus untuk mereka berdua.

 

Setelah berpamitan dengan kamar tempat kami menginap selama dua hari, kami keluar dari lobi lantai satu dan menuju tempat parkir di mana mobil keluarga Asanagi berada. Di depan mobil, sudah ada dua orang “teman masa kecil” yang saling berhadapan.

 

“Reiji, Ibu akan berbicara dengan orang ini sekarang, jadi bisakah kamu menunggu di tempat Maehara-kun... maksudku, di tempat Maki-nii? Bus penjemput akan segera datang, tapi Ibu pasti akan selesai sebelum itu.”

 

“Iya.”

 

Reiji melepaskan tangan Shizuku-san dengan mudah, lalu berlari ke arahku dan langsung memelukku. Dalam satu atau dua hari ini, dia sudah menjadi sangat dekat denganku. Tapi karena kami mungkin akan berhubungan dalam waktu yang lama, aku akan terus menjaga hubungan baik dengannya.

 

Mizore-san, Shizuku-san, Reiji-kun, dan Riku-san. Hanya dalam tiga hari, jumlah orang yang penting bagiku telah bertambah banyak.

 

“Maki-nii?”

 

“Hm? Ada apa, Reiji-kun?”

 

“Apakah Ibu suka orang itu?”

 

“Hehe, bagaimana ya? Kalau Ibumu bilang suka, apa yang akan kamu lakukan?”

 

“…Aku nggak tahu.”

 

“Begitu ya... Wajar saja.”

 

Apa yang dirasakan Reiji-kun masih akan terlihat nanti. Suatu hari, Shizuku-san pasti akan menceritakan semuanya padanya. Ada kemungkinan Reiji-kun tidak akan menyukai Riku-san.

 

Namun, apapun yang terjadi, Riku-san pasti punya rencana.

 

Di tengah kicauan burung dari kejauhan, Riku-san membuka mulutnya.

 

“Shizuku, tentang... pembicaraan itu…”

 

“Y-ya. Pembicaraan penting… apa itu?”

 

“Ini... lebih seperti permintaan.”

 

“Permintaan?”

 

“Iya. Bisakah aku bekerja di ‘Shimizu’? Pekerjaan apapun, bahkan hanya sebagai pembantu, atau magang di bawah ayahmu, aku akan menerimanya.”

 

“Huh?”

 

Jawaban itu tampaknya tidak seperti yang diharapkan Shizuku-san, dia menunduk sebentar. Kami juga menunjukkan reaksi yang serupa, tapi dengan suasana yang sudah serius, Riku-san tidak mungkin menghancurkan momen ini.

 

“Seperti yang aku bilang kemarin, aku merasa sudah waktunya aku bekerja... Yah, meskipun aku tidak tahu apakah ‘Shimizu’ sedang membuka lowongan atau tidak.”

 

“Kami selalu kekurangan tenaga, baik itu di resepsionis atau sebagai magang koki. Satu orang tambahan akan sangat membantu... Tapi, apakah itu saja pembicaraan pentingmu?”

 

“Iya. Aku hanya ingin bekerja. Bersamamu.”

 

“…!”

 

Menangkap maksud sebenarnya dari Riku-san, mata Shizuku-san mulai berkaca-kaca.

 

Riku-san, semangatlah. Hanya sedikit lagi.

 

“Shizuku... Tidak, Shii-chan. Aku sudah bilang berkali-kali, tapi aku sungguh, sungguh minta maaf. Saat itu, apa yang aku katakan sama sekali bukan perasaanku yang sebenarnya. Aku tidak ingin kita tetap hanya sebagai teman masa kecil. Aku benar-benar menginjak-injak perasaanmu... dan aku memperlakukanmu dengan sangat buruk.”

 

“Ya, kamu memang bodoh, Rik-kun. Bodoh, bodoh! Kamu tahu seberapa terluka aku saat itu? Selama lebih dari seminggu aku tidak bisa makan makanan favoritku. Aku tiba-tiba menangis tanpa alasan, dan membuat teman-temanku khawatir. Kenapa? Kenapa kamu tidak menerimaku? Kalau saat itu kita jadi pacar, aku pasti sudah bisa menghilangkan semua masalahmu! Mungkin kita bahkan bisa masuk universitas yang sama. Kenapa, Rik-kun? Bodoh. Menyebalkan. Hilang saja kau!”

 

“Shii-chan, maaf. Maaf...”

 

Dengan air mata yang menetes, Shizuku-san memukul dada Riku-san dengan lemah.

 

Jika saja mereka bisa jujur dengan perasaan masing-masing tanpa menyembunyikan harga diri yang tak perlu, mungkin semuanya tidak akan menjadi serumit ini.

 

Hanya satu kesalahan kecil... dan bahkan dua orang yang sudah saling kenal sejak kecil bisa berakhir seperti ini.

 

“…Tapi, aku ini lebih bodoh lagi. Saat sedang patah hati, hanya karena sedikit diperlakukan baik, aku malah terpikat pada orang lain, dan pada akhirnya… aku…”

 

“Kamu tidak perlu melanjutkannya. Cukup… sudah cukup.”

 

“Maafkan aku. Rik-kun, aku minta maaf…”

 

Dua orang yang hampir memasuki usia tiga puluh tahun itu, menangis tanpa peduli pada orang-orang di sekitar. Meskipun mereka sudah tidak saling berhubungan selama lebih dari sepuluh tahun, mereka berdua tidak pernah bisa melupakan satu sama lain.

 

Waktu berlalu, dan mereka telah menjadi dewasa. Shizuku-san bahkan sudah memiliki anak yang harus dijaganya. Sekarang, mereka tidak bisa kembali ke masa lalu dan memulai semuanya dari awal.

 

Namun, jika keduanya masih memiliki perasaan satu sama lain...

 

Saat Shizuku-san mulai tenang, Riku-san membuka mulutnya.

 

“Aku tidak akan bilang ‘Mari kita kembali seperti dulu’ atau ‘Mari kita pacaran.’ Itu terlalu egois dan tidak sopan untukmu dan juga untuk Reiji-kun... Jadi, aku ingin kamu melihatku mulai sekarang. Bukan sebagai teman masa kecil, tapi sebagai rekan kerja yang bekerja di tempat yang sama. Lihat apakah aku layak di mata kamu dan Reiji-kun.”

 

“…Rik-kun, apakah kamu benar-benar tidak apa-apa dengan itu? Memang benar ada lowongan, tapi tempat kami gajinya rendah dibandingkan dengan tempat lain, dan jika kamu magang di bawah ayahku, hampir tidak ada waktu libur. Pagi hari sibuk dengan belanja bahan dan persiapan, dan saat musim ramai, pekerjaan bisa berlangsung sampai larut malam... Sebagai anaknya, aku harus bilang ini, tempat ini tidak terlalu aku rekomendasikan.”

 

Jika Shizuku-san saja merasa kewalahan, pekerjaan itu pasti akan sangat berat bagi Riku-san, terutama karena bidang pekerjaan ini berbeda jauh dari pekerjaannya sebelumnya. Mungkin saja pekerjaan ini akan lebih berat.

 

Namun, Riku-san yang sudah mengambil keputusan, mengangguk tanpa ragu.

 

“Tidak apa-apa. Kebetulan di kantor ketenagakerjaan, mereka baru saja bilang ‘Saat ini kami belum bisa menawarkan pekerjaan untukmu.’ Ini kesempatan yang pas untuk memperbaiki mental dan fisikku yang sudah melemah... Aku, mungkin, jauh lebih tidak cekatan dan payah dari yang kamu kira. Aku yakin di awal-awal, aku akan sangat merepotkanmu.”

 

“Hehe, aku rasa begitu. Aku akan sangat kerepotan harus mendukungmu. Di rumah, aku harus merawat Reiji, dan di tempat kerja, aku harus mengawasi rekan baru yang tidak becus… Mungkin pada akhirnya aku akan benar-benar menyerah padamu. Apakah itu benar-benar tidak masalah bagimu?”

 

“Kalau itu terjadi, aku tidak masalah. Sejak awal, memang ini yang ingin kubicarakan. Bukan tentang kembali ke masa lalu dan mengulang semuanya, tapi memulai yang baru... Mungkin aku sudah terlambat untuk memulai, tapi ini adalah jawabanku.”

 

Dia ingin membuang hubungan lama mereka dan meminta Shizuku-san untuk melihat “Asanagi Riku” yang baru, dari nol. Itulah kesimpulan yang dicapai Riku-san setelah berjuang keras dengan pikirannya.

 

Memikirkan masa lalunya dengan Shizuku-san, situasi saat ini, dan akhirnya juga mempertimbangkan perasaannya yang sebenarnya.

 

Menurutku, ini adalah pilihan yang sangat berputar-putar. Meskipun ini tempat yang dia kenal, pekerjaan ini benar-benar baru baginya, dan tidak ada yang tahu berapa lama dia akan terbiasa. Ada juga masalah apakah dia bisa menjalin hubungan baik dengan Reiji-kun.

 

Mungkin ada cara yang lebih mudah. Tapi aku tidak membenci Riku-san yang memilih cara yang sulit ini.

 

Ini adalah jawaban yang tulus dan lurus dari seorang Riku-san yang telah menjadi orang dewasa yang baik.

 

“…Sungguh, kakak bodoh.”

 

Di sebelahku, Umi berbisik. Meskipun kata-katanya terdengar menghina, senyuman lembut di wajahnya yang menunjukkan air mata tipis memperlihatkan betapa pedulinya dia pada keluarganya.

 

“Rasanya aneh mengatakannya sekarang, tapi... kalau tidak diungkapkan, dia akan tetap pengecut seperti sebelumnya, jadi aku akan jujur dengan perasaanku pada Shii-chan.”

 

“Ah─”

 

Riku-san merangkul Shizuku-san dengan lembut, dan kali ini, dia mengungkapkan perasaan yang tidak bisa dia sampaikan pada malam musim dingin itu.

 

“Shii-chan, sejak kecil, aku selalu mencintaimu... Aku sangat mencintaimu.”

 

“…Uwaaahhh.”

 

Kata-kata terakhir dari Riku-san membuat emosi Shizuku-san yang selama ini dia tahan akhirnya meledak.

 

Air mata mulai mengalir dari matanya yang indah, dan tanpa kusadari, aku dan Umi juga mulai mengusap hidung kami, terharu oleh momen tersebut.

 

“Maafkan aku, Shii-chan. Kalau saja aku mengatakannya dulu, kita tidak akan seperti ini sekarang.”

 

“Benar, Rik-kun memang bodoh... Tapi, apa kamu benar-benar yakin denganku? Aku sudah tidak muda lagi, aku sudah menjadi seorang janda, dan bahkan punya anak... Kalau kamu mau mundur, sekaranglah saatnya. Hidupmu ke depannya akan sepenuhnya didedikasikan untuk kami. Apa kamu tetap tidak keberatan?”

 

“Tidak apa-apa. Aku sudah memutuskan, dan sebenarnya, sejak awal memang ingin begitu. Baik itu belajar, atau bekerja... aku bisa bertahan karena tahu bahwa Shii-chan melihatku dari suatu tempat. Meski pekerjaanku sebelumnya membuat tubuhku hancur... tapi, kali ini pasti akan baik-baik saja.”

 

“...Itu karena aku ada di sini?”

 

“Iya. Juga karena Reiji-kun. Aku tidak bisa lagi bermalas-malasan seperti dulu di depan kalian.”

 

Dengan kata lain, dia telah memutuskan untuk menerima mereka berdua sepenuhnya.

 

Sekarang, Riku-san tampak tak kalah bisa diandalkan dibandingkan dengan Daichi-san.

 

Sosok Riku-san yang dulu menghabiskan malamnya bermain game di kamar, sepertinya telah pergi entah ke mana.

 

Meskipun perubahan ini terjadi di depan orang yang dia cintai, aku merasa ini terlalu drastis... Namun, aku sadar bahwa aku juga mirip dengannya.

 

Di depan Umi, aku juga bisa berusaha lebih keras dari biasanya.

 

Ternyata, baik aku maupun Riku-san adalah orang yang cukup sederhana.

 

Setelah banyak liku-liku sejak tiba di sini, semuanya tampaknya akan berakhir dengan damai — kurasa. Namun, saat itulah Reiji-kun, yang melihat perkembangan situasi dari dekat, menarik lengan bajuku.

 

“...Kakak, busnya datang.”

 

“Hah? Oh─”

 

Saat aku menoleh ke arah klakson ringan yang baru saja berbunyi, aku melihat bus sekolah yang datang menjemput Reiji-kun sudah berada di depan pintu masuk penginapan.

 

Tepat pada waktunya, batas waktu telah tiba.

 

“! Oh tidak, aku harus segera mengantar Reiji─”

 

“Ah, kami yang akan mengantar Reiji-kun bersama Maki. Shizuku-san, kamu bisa tinggal sebentar lagi untuk menjaga kakak bodohku disana.”

 

“Apa? Tapi─”

 

“Shizuku-san, wajahmu sekarang berantakan karena air mata. Makeup-mu juga luntur, dan matamu sangat merah... Jika kamu keluar seperti ini, semua orang malah akan khawatir.”

 

“Ah... um, betapa memalukannya diriku... Rik-kun, um, kamu bawa saputangan atau tisu? Aku buru-buru ganti baju tadi, jadi aku lupa membawa dari kamar.”

 

“Ah, iya. Ini, saputangannya.”

 

“Terima kasih... Hehe.”

 

Shizuku-san, yang tersadar dari kegugupannya, buru-buru menyeka air matanya, sementara Riku-san menatapnya dengan senyum kecil.

 

Mereka terlihat seperti dua teman masa kecil yang kembali seperti dulu.

 

Melihat mereka, aku merasa yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada lagi ganjalan di antara mereka.

 

“Reiji-kun, kalau begitu, ayo kita pergi bersama.”

 

“Ayo, Reiji-kun.”

 

“...Iya.”

 

Setelah menatap ibunya sejenak, Reiji-kun meraih tangan kami dan berjalan menuju bus sekolah. Guru pengawas yang melihat kami, sekelompok siswa SMA dan seorang anak kecil, tampak sedikit terkejut, tetapi segera mengerti setelah melihat Shizuku-san di belakang kami.

 

“Maki-nii.”

 

“Apa?”

 

“Ibu menangis.”

 

“Iya. Tapi dia menangis bukan karena sedih atau kesepian. Dia menangis karena sangat bahagia.”

 

“Kalau senang, kenapa menangis?”

 

“Begitulah. Saat sudah dewasa, kita bisa menangis karena banyak hal. Kadang-kadang, aku juga begitu.”

 

“Hmm... orang dewasa memang cengeng, ya.”

 

“Mungkin. Lebih cengeng dari kamu.”

 

“...Semangat, ya.”

 

“Iya, aku akan semangat. Terima kasih, Reiji-kun. Sampai jumpa.”

 

“Sampai jumpa. Aku senang kalau nanti bisa berteman dengan Onee-chan juga.”

 

“...Hmm.”

 

Dengan anggukan kecil, Reiji-kun naik ke bus. Meskipun dia mungkin tidak membenci Umi, entah kenapa dia tampak mirip denganku dan Riku-san.

 

Jadi, kupikir dia juga akan bisa berteman baik dengan Riku-san. Mereka memiliki hobi yang sama, yaitu bermain game.

 

Setelah aku dan Umi melambai untuk mengantar bus sekolah pergi, mobil yang dikendarai Riku-san mendekat.

 

“Aku sudah memberi kalian kesempatan untuk berdua, tapi kenapa tidak memanfaatkan untuk bermesraan? Apa kamu setidaknya sudah memberinya ciuman?”

 

“Kita bukan pasangan bodoh seperti kalian, mana mungkin aku melakukan hal semacam itu di tempat umum. ...Hal seperti itu akan kulakukan saat semuanya sudah siap.”

 

“Ribet banget... Makanya, Shizuku-san sampai menangis karena kamu, dasar kakak yang payah.”

 

“Kamu ini berisik sekali. Sudahlah, cepat kita jemput ibu. Kita juga harus memberitahu ibu tentang semua yang terjadi tadi. ...Dan, nanti juga dengan ayah.”

 

Meski situasinya sudah sedikit mereda, tantangan sebenarnya baru akan dimulai. Dengan keputusan besar yang diambil, Riku-san harus bertanggung jawab atasnya mulai sekarang.

 

Bagi Riku-san, dan juga bagi keluarga Asanagi yang lain, hari ini adalah awal yang baru.

 

Meskipun menjelang musim panas ini pasti akan menjadi sibuk, mereka pasti akan bisa menghadapinya. Karena sekarang, Riku-san tidak sendirian lagi. Dia punya keluarganya, aku, dan yang terpenting, dia punya Shizuku-san.

 

Jika kami semua bergandengan tangan dan saling mendukung, apapun yang terjadi pasti bisa kami atasi.

 

“Nee, Maki, ngomong-ngomong...”

 

“Ada apa, Umi?”

 

“Aku bisa membayangkan kalau kamu yang mendorong kakakku yang plin-plan itu. Tapi, aku penasaran, kamu pakai trik atau sihir apa sampai berhasil meyakinkan si kepala batu itu?”

 

“Oh, aku juga penasaran. Maehara-kun, untuk pelajaran ke depannya, boleh dong berbagi tips ke kakak ini?”

 

“Shizuku-san, ternyata belum kembali ke pekerjaannya, ya... Yah, sebenarnya aku tidak mengatakan sesuatu yang besar, jadi bukan rahasia juga.”

 

Saat Riku-san sibuk memasukkan barang-barang kami ke dalam mobil, aku diam-diam memberi tahu mereka berdua apa yang terakhir kali aku katakan kepada Riku-san sebagai saran.

 

“Aku hanya mengatakan satu kalimat saja. Kupikir itu akan cukup meyakinkan kalau aku yang mengatakannya.”

 

Sebagai seorang ‘anak’ yang masih SMA, tentunya aku tidak merasa pantas memberi tahu Riku-san, ‘orang dewasa’, soal cinta.

 

Namun, kalau ada satu hal yang bisa kukatakan, hanya satu hal saja yang menurutku pantas.

 

“──Bersama orang yang kamu cintai, setiap hari terasa menyenangkan.”














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !