Bab 2
Bunga yang Terlambat Mekar
Pov Yazaki Misa
Hari ini adalah hari dimana aku
keluar bersama mereka berdua sejak kami pergi ke pertunjukan kembang api.
Karena liburan musim panas hampir
berakhir, mungkin ini akan menjadi perjalanan terakhir di musim panas ini.
Meskipun aku masih bisa bertemu
dengan mereka setelah sekolah dimulai lagi, entah kenapa aku merasa sedikit
sedih.
Tahun lalu adalah masa yang
membosankan. Aku sangat ingin kembali ke kelas secepat mungkin. Namun, tahun
ini sangat menyenangkan sehingga aku merasakan hal yang berbeda.
Setelah bersiap-siap untuk pergi
dan menyadari masih ada waktu luang, aku memutuskan untuk bersantai sejenak,
lalu tiba-tiba ada pesan masuk di ponselku.
“Apa?”
Aku tanpa sadar bersuara membaca
isi pesan itu. Ternyata, Haru sedang sakit.
Aku segera membalas pesan
tersebut. Aku menawarkan diri untuk menjenguknya karena orang tuanya sedang
bekerja, tetapi dia menolak karena khawatir aku akan tertular. Dengan begitu,
rencana hari ini sepenuhnya dibatalkan.
Aku mematikan layar ponselku dan
melihat pantulan diriku di cermin yang ada di kamar.
Ini adalah pakaian baru yang baru
saja kubeli ketika aku pergi bersama sepupuku, Saki, beberapa hari yang lalu.
Saat itu, aku benar-benar memilih
pakaian ini sambil membayangkan bagaimana reaksinya nanti.
Itulah mengapa aku sangat
menantikan untuk mengenakan pakaian ini hari ini. Tetapi sekarang, rencana
untuk bertemu dengannya telah dibatalkan.
Karena tidak akan pergi keluar, seharusnya
aku mengganti pakaian ini dengan pakaian santai di rumah agar tidak kusut,
tetapi aku merasa enggan untuk melakukannya.
...Haruskah aku mencoba
menghubunginya?
Meskipun rencana untuk pergi
bertiga telah batal, aku masih bisa pergi keluar berdua dengannya. Bagaimanapun
juga, kami memang sudah berencana untuk keluar hari ini, jadi seharusnya dia
masih punya waktu luang.
“…Tidak, ini tidak benar.”
Aku mematikan layar ponselku
lagi. Aku tidak bisa menikmatinya sendiri sementara dia sedang sakit.
Aku merasa lega bahwa aku bisa
menahan diri untuk tidak menghubunginya. Namun, di dalam hati, aku merasa ada
kekosongan yang tertinggal. Aku mencari-cari sesuatu yang bisa mengisi
kekosongan itu, lalu pandanganku tertuju pada sesuatu di sebelah bantal di
tempat tidurku.
“…Ah.”
Di sana ada sebuah boneka yang
menyerupai karakter kucing. Aku tidak tahu banyak tentang karakter itu, tetapi
aku sangat menyukainya, dan ketika berada di dekatnya, hatiku terasa lebih
tenang.
Aku perlahan berjalan ke sisi
tempat tidur dan memeluk boneka itu erat-erat di dadaku.
Meskipun boneka itu tidak hidup,
saat aku memeluknya seperti ini, aku bisa merasakan detak jantungku sendiri
yang seakan-akan dibalas, seolah-olah itu adalah detak jantungnya…detak jantung
orang yang kusayangi. Perasaan itu sangat nyaman.
Musim panas ini, aku benar-benar
merasakan detak jantungnya.
Pertama kali adalah saat kami
pergi ke kolam renang dan meluncur di seluncuran air bersama. Dia memelukku
dari belakang, dan saat itu, aku merasa tenang dengan detak jantungnya yang
kurasakan melalui punggungku.
Kedua kalinya adalah setelah
festival kembang api. Ketika Haru pergi dan aku hanya berdua saja dengannya.
Aku mendekatinya dan merasakan detak jantungnya, kali ini dari depan, sambil
memeluk boneka ini.
Detak jantungnya saat itu begitu
cepat hingga membuatku merasa sangat sayang padanya. Ya, seperti yang kurasakan
sekarang.
“…Panas sekali, ya.”
Aku merasakan peningkatan suhu
tubuh dan segera melepaskan pelukanku pada boneka itu. Meskipun terasa
seolah-olah hatiku menjadi dingin lagi, aku tidak ingin membiarkan keringat
menempel pada boneka itu.
Dengan tujuan baru untuk berganti
pakaian yang lebih sejuk, akhirnya aku berhasil mengganti pakaianku dengan
pakaian santai.
Meskipun aku bisa duduk di meja
dan mulai melakukan persiapan untuk semester baru, aku merasa tidak akan bisa
berkonsentrasi dalam keadaan seperti ini. Sebagai gantinya, aku duduk di ujung
tempat tidur dan sekali lagi memeluk boneka itu erat-erat.
Bayangan diriku yang terpantul di
cermin terlihat seperti Saki ketika dia masih kecil, dan aku tersenyum masam
melihat penampilan yang tampak tidak seperti diriku sendiri.
Kemudian, aku teringat ketika
Saki mengunjungi kamar ini sepulang berbelanja. Dia memeluk boneka ini sambil
berkata, “Imutnya~”. Saat itu, aku hampir berteriak dan secara refleks
mengulurkan tanganku, lalu terdiam di tempat. Saki menatapku dengan pandangan
aneh.
“Kamu milikku, bukan?”
Aku memeluk boneka itu erat-erat
di dadaku. Ketika melakukannya, aku bisa merasakan detak jantung yang lebih
kuat dari sebelumnya, membuatku merasa tenang karena dia seakan berada di sini.
Setelah beberapa lama, aku
melihat jam dan terkejut karena waktu berlalu lebih cepat dari yang kukira.
Meskipun aku ingin terus berada
dalam keadaan seperti ini, keinginan untuk melakukan persiapan pelajaran lebih
kuat. Aku ingin siap menyambut semester baru, agar bisa menjadi tempat
bergantung bagi mereka lagi.
Dengan tekad yang bulat, aku
meletakkan boneka itu di atas tempat tidur untuk berdiri. Namun, perasaan
seolah masih bisa mendengar detak jantungnya tetap terasa di dadaku. Bahkan
setelah beralih ke meja belajar, aku masih tenggelam dalam perasaan nyaman itu
untuk sementara waktu.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
Beberapa hari telah berlalu sejak
dimulainya semester baru.
Setelah ujian tugas pasca liburan
musim panas sudah selesai dan pelajaran kembali berjalan normal. Kehidupan
sehari-hari di sekolah pun kembali seperti biasa.
Kami bertiga masih tetap
berkumpul dan berbincang-bincang setiap kali waktu istirahat tiba.
“Apakah karena kita baru bertemu
lagi setelah liburan musim panas? Rasanya semua orang terlihat lebih keren,
ya~,” kata Haru sambil melihat sekeliling kelas.
“Benar juga,” jawab Seko-kun yang
sependapat dengan Haru sambil melihat sekilas ke arah teman sekelas kami.
Melihat ekspresi wajahnya, aku
juga memiliki kesan yang sama.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa
jika kamu tidak bertemu dengan seorang pria selama tiga hari, perhatikanlah
perubahan pada dirinya. Mungkin tidak aneh jika Seko-kun, yang tidak bisa
kutemui lagi sejak hari itu, tiba-tiba tampak lebih dewasa.
Teman perempuannya yang berdiri
di sampingnya juga tampak berubah dalam waktu yang singkat.
Kata yang paling tepat untuk
menggambarkannya adalah bahwa ia terlihat semakin anggun.
Jika hanya Seko-kun yang berubah,
mungkin aku tidak akan merasa apa-apa. Tapi jika dia juga berubah, perasaanku
menjadi berat di bagian dada.
“Yah, tapi...”
Seko-kun menoleh ke arahku, dan
mata kami bertemu.
“Di kelas ini, Yazaki yang paling
terlihat dewasa, ya.”
'Mungkin karena kamu terlihat tenang',
lanjutnya sambil bergumam. Aku mendengarnya dengan jelas meski suaranya kecil,
dan tidak bisa menahan senyumku.
Seko-kun masih terus memujiku.
Dari pengamatannya yang sederhana hingga hal-hal yang dia pikirkan tentangku.
Dia selalu menyampaikannya dengan tulus kepadaku.
Pagi ini, ketika dia tiba di
kelas setelah berangkat sekolah, dia datang kepadaku dan memberiku pujian.
‘Rasa malas di pagi hari langsung
hilang begitu melihatmu, Yazaki. Kamu sungguh cantik hari ini!’
Itu adalah kebiasaan yang terus
dilakukannya sejak musim semi tahun ini. Namun...
“Misa juga seorang kakak, ya.
Mungkin itu sebabnya kamu terlihat lebih dewasa.”
“Eh, Yazaki punya adik?”
“Ya, tapi dia itu sepupuku, bukan
adik kandung. Tapi, aku menganggapnya seperti adik kandungku sendiri.”
“Begitu ya. Ternyata masih ada
hal tentang Yazaki yang belum kuketahui.”
Seko-kun menunjukkan ekspresi
kesal karena merasa masih ada hal tentang diriku yang belum dia ketahui.
Melihat wajahnya yang seperti itu membuat jantungku berdebar.
“...Seko-kun, aku ingin kamu
lebih mengenalku.”
Tanpa sadar, kata-kata itu
terucap dari mulutku.
Aku tidak tahu mengapa aku
mengatakan hal seperti itu, dan dalam hati aku merasa panik meskipun berusaha
tetap tenang. Aku tahu, jika dia mengetahui perasaanku yang sebenarnya saat
ini, hal itu bisa menyebabkan masalah yang lebih besar. Kata-kata yang baru
saja keluar dari mulutku bertentangan dengan niatku yang sebenarnya.
“Ah, eh... a-aku akan berusaha.”
Dia menjawab dengan nada formal
yang kadang-kadang keluar, sambil memalingkan wajahnya yang merah padam.
Meskipun reaksinya itu membuatku merasa gemas, aku yakin wajahku saat ini
juga...
“...Jangan sampai jadi stalker,
ya, Seko.”
“S-siapa yang akan jadi stalker!
Aku akan memperdalam hubungan dengan cara yang sah.”
“Cara yang sah? Itu terdengar
sedikit mencurigakan.”
“Itu hanya prasangka terhadap
kata-kata saja.”
Seperti biasa, keduanya mulai
berdebat. Meskipun orang-orang di sekitar tampaknya merasa aneh melihat mereka
selalu bersama, bagiku, mereka justru terlihat telah membangun hubungan yang
nyaman tanpa rasa canggung.
Saat aku melihat mereka lagi,
rasanya jarak di antara mereka menjadi lebih dekat daripada sebelumnya. Aku
bisa merasakan suhu tubuhku yang sebelumnya meningkat, tiba-tiba menurun.
“Ngomong-ngomong, Haru, bagaimana
hasil ujian tugasmu?”
Aku buru-buru mengalihkan
pembicaraan ke topik baru.
“Ugh...”
Haru menoleh padaku dengan
ekspresi masam. Meski sahabatku menunjukkan wajah seperti itu, sedikit rasa
hangat yang sempat hilang kembali lagi padaku karena melihat jarak di antara
mereka yang semakin jauh.
“Aku nggak terlalu yakin sih...
tapi, setidaknya aku yakin tidak mendapat nilai merah... ya, kan?”
“Hehe. Sepertinya hasilnya akan
menarik.”
“Ugh. Kalau hasilnya sudah
keluar, kamu bisa bantu aku menjelaskan bagian yang nggak aku mengerti?”
“Tentu saja.”
“Yatta! Terima kasih, Misa!”
Sambil mengucapkan terima kasih,
Haru memelukku.
Ketika aku sekilas melirik ke
arah Seko-kun, pandangan kami bertemu.
“Ah... bolehkah aku juga meminta
tolong? Mungkin aku tidak mendapat nilai merah, tapi aku tidak puas dengan
hasilnya.”
Dengan nada sedikit ragu,
Seko-kun bertanya, dan aku tersenyum sambil menjawab, “Tentu saja.”
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
“Senang sekali akhirnya kita bisa
memutuskan acara!”
Di perjalanan pulang di bawah
hujan, Haru mengatakan itu sambil tersenyum manis.
Hari ini, dalam LHR terakhir (Long
Homeroom), kami akhirnya memutuskan acara kelas untuk festival budaya. Sebagian
besar teman sekelas tampaknya puas dengan hasil keputusan tersebut. Semua ini
berkat saran yang diajukan oleh Seko-kun saat itu.
Iya, semua ini karena Seko-kun
ada di sana. Karena dia, aku masih bisa tersenyum saat ini.
“Rumah hantu, ya. Sepertinya
persiapannya akan cukup sulit.”
“…Iya. Mulai dari membuat
dekorasi, menyiapkan kostum, hingga pengaturan personel. Ada banyak hal yang
perlu dipikirkan.”
“Hmm, kalau mendengar itu,
ternyata festival budaya tidak hanya sekadar seru ya. Tapi, karena Misa yang
akan memimpinnya, aku merasa tenang. Aku yakin tidak akan ada yang gagal!”
“Terima kasih. Aku senang mendengarnya.”
“Persiapan dimulai hari Senin,
kan? Gimana ya, apa aku harus membantu sebelum latihan untuk festival
olahraga?”
Aku merasa jantungku berdebar
mendengar tawaran dari Seko-kun.
“Apa aku bisa memintamu…?”
Saat aku akan mengatakan itu,
“T-Tapi, Seko harus fokus ke
latihan. Keberhasilan festival budaya juga bergantung pada festival olahraga.
Untuk sekarang, kita serahkan saja pada Misa.”
Kata-kata Haru memotong ucapanku,
dan suaraku tenggelam dalam suara hujan yang menghantam payung di atas
kepalaku.
“…Yah, kamu ada benarnya juga
sih.”
“Benar sekali. Kalau kamu ingin
membantu Misa, prioritas kita adalah meraih hasil di festival olahraga. Iya
kan, Misa?”
“…Iya. Seperti yang Haru bilang.”
Aku mengintip wajah Seko-kun dari
bawah payung yang meneteskan air.
“Di sini sudah aman. …Kamu fokus
saja pada latihan festival olahraga, ya, Seko-kun.”
Aku berusaha menunjukkan ekspresi
yang ingin dia lihat dan mengatakannya dengan tegas.
“…Baiklah.”
Seko-kun sempat menunjukkan
ekspresi yang rumit, tapi segera setelah itu, dia tersenyum kembali padaku.
“Kalau begitu, semoga minggu
depan cuaca buruk ini juga berakhir.”
“Katanya besok atau lusa akan
berhenti, itu yang dibilang ibuku.”
“Oh, baguslah. Hayakawa saja
sudah mulai menggerutu, pasti kamu juga sudah ingin bergerak lagi, kan,
Hinata?”
“Ah… iya. Tapi, aku sebenarnya
juga suka hujan… hehe.”
Haru tersenyum malu-malu.
Rasanya, jarak antara Seko-kun dan Haru semakin dekat.
“Besok kita tetap jadi ke
karaoke, kan?”
Aku cepat-cepat mengajukan topik
lain. Seko-kun terkejut sebentar, lalu menjawab, “Ah, iya.”
“Berjalan di tengah hujan juga
tidak menyenangkan, jadi karaoke yang langsung terhubung dengan stasiun adalah
pilihan yang aman.”
“Benar juga. Mari kita lakukan
itu.”
“Dari segi keuangan, karaoke juga
pilihan yang bagus. Dengan free time dan minuman sepuasnya hanya seribu yen,
benar-benar penyelamat bagi pelajar!”
“Oh, Haru, kamu sedang tidak
punya banyak uang?”
“Aku banyak bermain selama
liburan musim panas. Meski kita bermain bersama, kalian berdua masih punya
uang?”
“Aku… masih punya uang yang
tersimpan karena sebelumnya tidak pernah punya kesempatan untuk
menggunakannya.”
“Aku juga begitu.”
“Ah… haha. Tapi punya uang lebih
memang menyenangkan ya!”
Mungkin karena ada kesan suram
dalam pernyataan kami, Haru berusaha memberikan dukungan sekuat tenaga.
Ketika aku menoleh ke arah
Seko-kun, dia juga memandang ke arahku, dan kami saling bertukar senyum.
Meskipun topiknya tidak begitu
cerah, mengetahui bahwa aku memiliki kesamaan dengannya membuat hatiku terasa
lebih ringan.
“Oh, sepertinya aku harus
berpisah di sini.”
Ketika aku sadar, kami sudah tiba
di persimpangan jalan kecil di dekat taman. Seko-kun akan pulang.
“Sampai jumpa, Seko.”
“…Iya. Sampai jumpa.”
Haru lebih dulu mengucapkan
selamat tinggal. Kini, tinggal aku yang harus berpamitan.
“…………”
Aku terdiam. Kata-kata perpisahan
tidak keluar.
Benarkah dia akan benar-benar
pulang? Aku, hari ini pun belum mendapatkannya. Sesuatu yang aku inginkan sejak
hari itu.
“Yazaki.”
Kata-kata selanjutnya──
“Sampai jumpa besok, ya.”
“…Iya. Sampai jumpa besok.”
Benarkah cuaca akan membaik besok
atau lusa?
Hujan semakin deras menghantam
payungku. Seiring dengan itu, payungku semakin menutupi wajahku, turun hingga
menutupi pandanganku.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
Terkadang, aku teringat masa
lalu.
Saat itu, tidak ada seorang pun
di sekitarku, udara yang menyentuh pipiku terasa dingin, namun jauh di sana,
semua orang terlihat hangat. Itulah hari-hariku.
Aku selalu merasa kesepian. Bukan
karena aku menyukai kesendirian. Sebaliknya, aku ingin… seperti orang-orang di
sekitarku, menikmati hidup dan tertawa.
Keinginan untuk berubah membuatku
memilih melanjutkan pendidikan dari SD swasta yang menawarkan pendidikan lanjutan
hingga SMA, ke SMP negeri.
Kemudian, agar bisa lebih aktif
berinteraksi dengan teman sekelas, aku mencalonkan diri sebagai ketua kelas.
Tugas ketua kelas bervariasi,
mulai dari tugas kecil yang diminta oleh guru, hingga mengatur keseluruhan
kelas. Ketika acara sekolah mendekat, aku sering ditugaskan untuk memimpin
persiapan dan rapat.
Aku dapat menyelesaikan
tugas-tugas tersebut dengan mudah. Awalnya, anak laki-laki yang juga menjadi
ketua kelas bekerja bersamaku, namun entah sejak kapan dia mulai tidak muncul
lagi di sampingku.
Aku sempat bertanya-tanya
mengapa, tetapi tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang ada di depan mata, jadi
aku berusaha untuk tidak memikirkannya dan terus bekerja. Jujur saja, meskipun
sendirian, pekerjaan itu bisa aku selesaikan tanpa masalah.
“Yazaki, kamu terlihat seperti
seseorang yang bisa hidup sendiri.”
Ketika aku berhasil menyelesaikan
sebuah acara sekolah seorang diri, seorang teman sekelas memberikan pujian yang
bercampur dengan kata-kata tersebut. Mungkin itu adalah sebuah pujian, namun,
kata-kata itu meninggalkan luka kecil dan mendalam di hatiku.
Setelah itu, masih ada yang
berbicara denganku, tetapi sikap mereka berbeda dari yang mereka tunjukkan
kepada teman-teman sekelas lainnya, seolah-olah mereka bersikap canggung.
Beberapa di antara mereka bahkan memperlakukan aku seperti tamu istimewa, dan
tidak ada yang melihatku sebagai teman sejajar.
Merasa tidak bisa menyesuaikan
diri di lingkungan baru yang aku masuki demi berubah, aku mulai menyerah untuk
berinteraksi dengan teman sekelas. Itu terjadi menjelang akhir tahun pertama di
SMP.
Saat itu, aku merasa diriku sudah
benar-benar tenggelam dalam kegelapan. Bukan hanya menyerah pada hubungan
sosial, aku juga menjadi sedikit agresif. Sekarang, hal itu terasa seperti
bagian dari sejarah kelamku.
Aku pikir aku akan lulus tanpa
ada perubahan apapun, hingga tiba di tahun ketiga.
Di sanalah aku bertemu dengan
Seko-kun.
Kemudian, saat masuk SMA, aku
bertemu dengan Haru, dan dia juga selalu berada di sampingku.
Hari-hari yang dulu pernah aku
tinggalkan, di mana aku bisa tertawa bersama teman-teman, sekarang bisa aku
nikmati kembali.
“Maafkan aku, Yazaki-san!”
Di dalam kelas yang kosong, hanya
ada aku dan Takahashi-kun yang tersisa untuk mempersiapkan festival budaya.
Tiba-tiba, Takahashi-kun mengatupkan kedua tangannya dan meminta maaf.
“Aku ikut klub musik, dan kami
berencana untuk tampil band saat festival budaya. Tapi tiba-tiba aku diminta
untuk membantu band senior, dan aku harus berlatih keras mulai sekarang agar
bisa siap. Jadi, bisakah aku menyerahkan pekerjaan ini padamu, Yazaki-san?
Tolong, ya!”
Setelah menyampaikan alasannya,
Takahashi-kun membungkukkan kepala dengan penuh harap. Dari caranya berbicara,
aku bisa mengerti bahwa dia benar-benar terdesak.
Meski dia yang berada dalam
situasi sulit karena seniornya, dia tetap berbicara dengan tulus padaku.
Pekerjaan ini sepertinya bisa aku selesaikan sendiri, jadi aku bersiap untuk
menyetujuinya. Namun, sebelum aku sempat membuka mulut,
“Lagipula, aku yakin tanpa aku, Yazaki-san
pasti bisa mengatasinya! Bahkan mungkin akan lebih baik jika aku tidak ada,
kan?”
Mungkin dia mengatakannya untuk
membuat negosiasi lebih mudah. Ketika aku melihat wajahnya, aku menyadari bahwa
dia tidak memiliki niat buruk, hanya ekspresi penuh rasa bersalah.
Aku menarik napas dalam-dalam
satu atau dua kali, lalu perlahan mengeluarkan kata-kata.
“…Aku mengerti situasimu. Jika
begitu, prioritaskan saja kegiatan klubmu.”
“Benarkah!? Terima kasih banyak!”
Dengan senyum di wajahnya,
Takahashi-kun keluar dari kelas. Sepertinya dia langsung menuju klubnya.
Kelas menjadi sunyi. Hanya suara
dari luar yang bisa aku dengar.
Ini terasa seperti deja vu. Aku
sadar bahwa aku tidak berubah sejak saat itu.
Tanpa mereka, aku sendirian.
Itulah kenyataan yang ada.
Dengan harap-harap cemas, aku
memandang keluar jendela kelas. Aku segera menemukan sosoknya.
Dia baru saja mulai berlari,
mengayunkan lengannya dengan semangat. Aku terus mengamati sosoknya.
Aku tahu bahwa dia bukanlah orang
yang sangat menyukai olahraga. Sebenarnya, aku tidak ingat pernah melihatnya
berusaha sekuat itu dalam acara olahraga di SMP dulu.
Jadi, mengapa dia terlihat begitu
gigih kali ini?
…Alasan yang terpikirkan
membuatku sedikit malu, namun juga merasa semangat.
Aku kembali memusatkan perhatian
ke dalam kelas, mengambil tumpukan dokumen dari tas, dan menyusunnya di atas
meja.
Jika kami memenangkan lomba
olahraga, kami akan mendapatkan fasilitas terbaik untuk acara budaya. Dalam
situasi itu, kesuksesan acara akan tergantung pada isinya.
Aku belum pernah memasuki rumah
hantu sebelumnya, tetapi aku harus merencanakannya berdasarkan dokumen yang aku
kumpulkan.
Aku yakin, dia juga menaruh
harapan padaku.
Dan aku tidak ingin mengecewakan
harapan itu.
Aku mulai menyalin beberapa
informasi dari dokumen-dokumen yang ada ke dalam buku catatan. Pengaturan
panggung yang pernah ada di masa lalu, kostum dan properti yang diperlukan,
serta biaya yang mungkin dikeluarkan meskipun tidak disebutkan secara eksplisit.
Aku mencatat hal-hal yang bisa dijadikan referensi untuk acara kami... lalu
tanganku berhenti.
Aku tahu persis apa yang
seharusnya aku lakukan sekarang. Namun, aku tidak bisa berkonsentrasi pada
tugas di depan mataku.
Suara-suara dari luar terus
mengganggu pikiranku, memaksaku untuk kembali melihat ke luar.
Seko-kun masih berlatih dengan
giat. Sesekali, dia dibimbing oleh anak laki-laki berpengalaman dari kelas,
bersama dengan Oda-kun.
Tidak jauh dari sana, anak-anak
perempuan sedang berlatih, dengan Hayakawa-san dan Haru di tengah-tengah
mereka.
Aku kembali memandang ke dalam
kelas, menyadari sekali lagi bahwa tidak ada orang lain di sini selain aku.
Aku tahu. Mereka semua memiliki
tugas masing-masing, begitu juga dengan diriku, dan kami semua hanya melakukan
apa yang harus kami lakukan. Aku memahaminya di kepala, tetapi...
Rasanya menyedihkan. Perasaan
yang sudah sangat aku kenal ini kembali bersarang di hatiku.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
Karena harus pulang sebelum pukul
18:30, banyak siswa yang mulai berjalan menuju gerbang sekolah saat waktu
semakin mendekat. Aku berdiri di depan gerbang, mengamati mereka yang berjalan pulang.
“Misa, maaf membuatmu menunggu!”
Di antara para siswa yang pulang,
muncul Haru. Di belakangnya, ada juga Seko-kun.
“Maaf, Yazaki. Sudah membuatmu
menunggu.”
“Kalian harus ganti baju, kan?
Jangan khawatir.”
Lagi pula… aku ingin pulang
bersama kalian. Menunggu sebentar bukanlah masalah bagiku.
Kami berjalan pulang bersama di
jalan yang biasa kami lalui. Hal yang sama seperti biasanya. Namun, hanya
dengan itu, hatiku terasa lebih ringan.
“Hayakawa-san sudah cepat dari
dulu, tapi setelah lama tidak berlari bersama, aku terkejut melihat dia menjadi
jauh lebih cepat.”
“Dia masih terus berlatih
atletik, kan?”
“Iya. Memang sulit mengalahkan
seorang atlet aktif.”
“Tapi di akhir-akhir tadi,
sepertinya Hinata juga memberikan perlawanan yang cukup baik?”
“…Iya.”
Haru mengangguk pada kata-kata
Seko-kun, kemudian menundukkan kepala. Wajahnya, yang tampak memerah, terlihat
semakin merah di bawah sinar matahari yang mulai terbenam.
“…Seko-kun, kamu memperhatikan
keadaan Haru, ya?”
“Y-ya. Aku penasaran seperti apa
kemampuan dua andalan kita.”
“…Begitu, ya. Memang tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa dua orang itu adalah kunci kemenangan kita.”
Aku merespons seolah-olah
meyakinkan diriku sendiri. Seko-kun menunjukkan ekspresi lega.
Aku merasa sedikit tersisih dari
percakapan mereka. Padahal aku juga satu kelas dengan mereka.
Mungkin aku hanya sedang merasa
sensitif. Seiring berjalannya waktu, perasaan ini akan hilang, atau setidaknya
begitulah yang coba kupercaya. Namun, entah kenapa, ada rasa cemas yang
membuatku tidak tenang.
“Aku tidak terlalu yakin, tapi
aku akan berusaha semampuku untuk menang… sambil tetap beristirahat, tentunya.”
Seko-kun yang menerima tatapan
dari Haru, merespons dengan singkat, “Ya, benar.”
Tidak ada yang salah dengan apa
yang dikatakan Haru. Namun, hatiku tetap merasa gelisah, bahkan lebih dari
sebelumnya.
“Lalu, bagaimana denganmu, Yazaki?
Persiapannya, apakah berjalan lancar?”
Seko-kun mengalihkan topik dari
festival olahraga ke festival budaya, berbicara kepadaku melalui Haru.
Seketika, hatiku terasa ringan.
…Kalau aku mengatakan bahwa
Takahashi-kun meninggalkan tugas komite untuk fokus pada kegiatan klubnya,
apakah Seko-kun akan datang membantuku? Mengingat betapa baiknya dia, mungkin
dia akan menawarkan diri untuk membantuku jika aku tampak kesulitan, meskipun
harus melewatkan latihan.
“…Tidak apa-apa. Masih dalam
tahap perencanaan, jadi belum ada pekerjaan besar yang perlu dikerjakan. Tidak
ada kendala berarti.”
Memang benar, tidak ada masalah
dalam progresnya. Aku hanya ingin dia ada di sini bersamaku. Tapi dia juga
punya hal-hal yang harus dilakukan dan dia benar-benar berusaha keras. Aku
tidak bisa memaksanya memenuhi keinginanku yang egois.
Setelah mendengarku, Seko-kun
menatap wajahku selama beberapa saat, kemudian berbisik, “Begitu ya.”
“Seko, kenapa sih kamu khawatir?
Ini kan Misa yang kita bicarakan. Percayakan saja padanya!”
“…Ya, benar. Ngomong-ngomong,
kita belum memutuskan apa yang akan kita lakukan besok, kan?”
“Besok? Bukannya kita sekolah
seperti biasa?”
“Kamu tidak tahu? Besok kan Hari
Equinox Musim Gugur, jadi kita libur sekolah.”
“Eh, apa!? Benarkah!?”
Saat aku mengangguk, Haru tampak
jelas mulai panik. Sepertinya dia benar-benar tidak tahu.
“A-apa yang harus kulakukan? Aku
sama sekali tidak punya uang saku untuk digunakan besok.”
“Oh... Kalau begitu, kita
habiskan waktu masing-masing saja besok.”
“Eh...”
Aku tanpa sadar mengeluarkan
suara. Aku pikir kami akan menghabiskan waktu bersama lagi besok.
Sebelumnya, aku pernah mampir ke
rumah Haru, tapi itu adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya, kami
menghabiskan waktu bermain di luar. Karena itu, diperlukan uang yang cukup
untuk benar-benar menikmati waktu kami, jadi aku mengerti keputusan Seko-kun.
Kami bisa saja berkumpul di rumah
salah satu dari kami, tapi Seko-kun cenderung menghindari hal itu. Selain itu,
meminta izin sehari sebelumnya mungkin akan merepotkan keluarga pemilik rumah.
Haru juga tampak tidak puas, tapi
karena merasa itu salahnya, dia akhirnya menyerah dan berkata, “Ya, benar.”
Kami tiba di persimpangan dengan
taman kecil, dan tanpa memberiku kata-kata yang bisa memenuhi hatiku, Seko-kun
pun pulang.
Setelah berpisah dengan Haru, aku
memasuki rumah yang masih kosong. Keheningan yang biasanya sudah terbiasa kali
ini terasa begitu menyiksa.
Aku ingin mendengar suara apa
pun. Saat itulah ponsel di dalam tasku berbunyi.
“Ada masalah dengan persiapan
festival budaya?”
Sekarang, dadaku berdegup
kencang. Suara detaknya begitu keras, memenuhi suasana yang sepi.
“Seko-kun…”
Aku memeluk ponselku erat-erat
sambil menyebut nama Seko-kun, yang mengirim pesan itu.
Isi pesannya sama dengan
pertanyaan yang dia ajukan tadi. Aku segera mengerti maksudnya.
Dengan tangan yang bergetar, dan
jantung yang berdetak kencang, aku mulai mengetik pesan balasan.
“Sebenarnya, aku belum pernah
pergi ke rumah hantu, jadi aku tidak bisa membayangkan dengan jelas.”
“Karena itu, aku berpikir untuk
pergi ke rumah hantu di taman bermain besok.”
“Haru sedang tidak punya uang,
jadi aku tidak bisa mengajaknya, tapi aku merasa sedikit khawatir jika pergi
sendiri.”
“Seko-kun,”
“Bisakah kamu pergi bersamaku?”
“Tidak masalah, kan?”
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
“Cukup ramai, ya,”
Seko-kun duduk di sampingku dan
mengutarakan pikirannya. Aku setuju dengan anggukan dan berkata, “Iya, memang
begitu.”
Hari ini adalah hari libur
nasional, jadi taman hiburan yang kami kunjungi dipadati pengunjung.
“Padahal di kereta tadi sepi,”
lanjutnya.
“Itu mungkin karena waktunya
juga,”
“Benar juga,”
Sekarang sudah lewat pukul satu
siang. Kami bertemu di stasiun terdekat dan naik kereta sekitar satu jam yang
lalu. Saat itu, tepat di tengah waktu makan siang, jadi tidak banyak orang yang
menggunakan kereta.
Taman hiburan yang kami kunjungi
hari ini menawarkan dua jenis tiket: satu dengan biaya masuk dan akses tak
terbatas ke atraksi, dan satu lagi adalah tiket “Afternoon Pass” yang hanya
bisa digunakan mulai pukul satu siang, dengan harga lebih terjangkau. Karena
tujuan kami hanya mengunjungi rumah hantu dan kami tidak berencana untuk
menghabiskan banyak waktu di sana, kami memilih tiket yang lebih murah ini.
Kami menuju loket tiket, dan
Seko-kun membeli tiket untuk kami berdua.
“Afternoon Pass dua lembar,
tolong,” kata Seko-kun kepada petugas.
Untuk bisa masuk, kami
masing-masing membutuhkan satu tiket, jadi kami membeli dua tiket.
Karena hari ini hanya aku dan
Seko-kun yang pergi bersama.
“Nih, ini tiketmu,” kata Seko-kun
sambil menyerahkan tiket.
“Terima kasih,”
“Sama-sama. Meskipun, sebenarnya
itu tiket yang kamu beli sendiri.”
“Aku tentu saja akan membayar
tiketku sendiri. Bahkan, aku yang seharusnya membayar tiketmu karena kamu
bersedia menemani urusanku hari ini.”
“Ah, itu terlalu berlebihan. Aku
masih punya harga diri, tahu... Lagipula, aku akan merasa bersalah jika kamu
yang membayarnya,” jawabnya dengan sedikit ragu.
Aku memahami maksud di balik
kata-katanya dan memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan. “Ya, benar,”
jawabku singkat.
Biasanya, ada orang ketiga yang
selalu bersama kami, tapi hari ini aku memutuskan untuk tidak memberitahunya.
Bukan karena ingin mengecualikannya, tapi aku merasa ini lebih baik untuk semua
pihak. Aku yakin Seko-kun juga tidak memberitahunya.
Kami lalu menunjukkan tiket kami
kepada staf dan masuk ke taman hiburan. Di dalam, banyak sekali atraksi yang
menarik perhatian, tetapi Seko-kun memimpin jalanku langsung menuju rumah
hantu.
“Itu sepertinya rumah hantu yang
kita cari,” kata Seko-kun sambil menunjuk sebuah bangunan tua yang tampak
seperti rumah sakit yang sudah ditinggalkan. Di depannya, banyak orang yang mengantri.
“Ramainya! Ini memang hanya ada
di musim panas, kan?”
“Iya. Karena hanya ada selama
musim panas, rumah hantu ini akan segera ditutup,”
“Begitu, jadi ini semacam gelombang
terakhir sebelum ditutup, ya.”
Sambil mengobrol, kami mendekati
antrean dan melihat papan petunjuk yang menunjukkan waktu tunggu.
“Sepertinya kita harus menunggu
sekitar satu jam... Maaf, ya,”
“Tidak apa-apa. Sekarang sudah
mulai dingin, jadi menunggu selama itu tidak masalah. Yuk, kita mengantri.”
Kami berdiri di belakang antrean.
Dari posisiku, aku bahkan tidak bisa melihat ujung antrean, jadi aku ragu
apakah kami benar-benar akan bisa masuk dalam satu jam.
Satu jam hanyalah perkiraan, dan
kemungkinan besar kami harus menunggu lebih lama dari itu. Namun, secara
diam-diam, aku justru senang dengan situasi ini.
Tujuan utama kami hari ini adalah
untuk melihat rumah hantu, dan dari sikap Seko-kun, aku bisa menebak bahwa
setelah kami selesai melihat rumah hantu, kami akan langsung pulang.
Namun, semakin lama kami harus
menunggu sebelum masuk, semakin lama aku bisa berada di samping Seko-kun.
“Sebenarnya, ini pertama kalinya
aku datang ke taman hiburan ini,” kata Seko-kun tiba-tiba.
“Benarkah? Tapi, kamu tadi bisa
menuntun kita ke sini dengan begitu lancar.”
“Ya, aku sudah mencari tahu rute
dari gerbang ke rumah hantu semalam. Jadi aku sudah punya gambaran di kepala.”
“Terima kasih, Seko-kun. Sampai
melakukan itu untukku.”
“Ah, tidak masalah. Lagipula, aku
berpikir pasti ada yang perlu ditunjukkan jalannya.”
“Hm? Apa maksudmu?”
“Ah, tidak, bukan apa-apa. Eh,
antrean sudah bergerak, kita juga harus maju.”
Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan,
tapi mengikuti sarannya, aku maju mendekat untuk mengurangi jarak di antara
kami.
Berbicara dengan Seko-kun seperti
ini mengingatkanku pada masa SMP. Kami sering mengobrol di kelas, meskipun dulu
tidak pernah bertemu di luar sekolah pada hari libur. Hari ini adalah kali
kedua kami pergi bersama, pertama kalinya sejak masuk SMA. Waktu itu, kami
keluar untuk membeli hadiah ulang tahun untuk seseorang yang dekat dengan kami.
Saat itu, orang tersebut masih
menjadi penghubung di antara kami, jadi meskipun kami pergi bersama, itu tidak
benar-benar hanya berdua. Tapi hari ini berbeda, benar-benar hanya kami berdua.
Saat aku menyadarinya, aku mulai
merasa sedikit gugup. Namun, bukan stres yang tidak nyaman, melainkan perasaan
manis dan hangat. Rasanya seperti sesuatu yang sangat berharga yang ingin aku
jaga erat-erat.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
“—dan begitu, Oda tiba-tiba
meledak,” kata Seko-kun saat kami terus berbicara tentang hal-hal sepele.
“Hehe, benar-benar terjadi
seperti itu?”
Aku tertawa kecil.
Ketika kami sedang asyik
mengobrol, seorang petugas di bagian depan antrean memanggil kami, “Terima
kasih telah menunggu. Apakah kalian berdua?”
Waktu terasa berlalu begitu cepat
ketika aku bersama Seko-kun. Ketika melihat jam, ternyata sudah lebih dari satu
jam sejak kami mulai mengantre.
“Ya, kami berdua,” jawab Seko-kun
sambil mengangkat dua jari. Seketika, perasaanku menjadi semakin tegang.
Aku menarik napas dalam-dalam
untuk menenangkan diri. Alasan mengapa aku mengajak Seko-kun hari ini bukanlah
sekadar kebetulan. Meskipun sudah memiliki banyak referensi, aku tetap merasa
bahwa pengalaman langsung lebih baik daripada sekadar mendengar. Oleh karena
itu, aku ingin melihat rumah hantu yang asli.
Tentu, dengan anggaran yang kami
miliki, kami tidak bisa meniru semuanya, tetapi aku ingin mengambil inspirasi
sebanyak mungkin. Aku mengeluarkan buku catatan dan pena dari tas, bersiap
mencatat, dan menunjukkan tiket yang kami beli tadi kepada petugas yang
kemudian mengarahkan kami masuk.
“Begitu masuk, kalian akan
menemukan sebuah lorong di depan. Harap ikuti lorong tersebut. Selain itu,
karena ada kabut beracun di dalam, berada terlalu lama di sana bisa sangat
berbahaya, jadi jangan berhenti terlalu lama, ya,” kata petugas itu saat mengarahkan
kami dan memberikan beberapa peringatan.
Aku paham bahwa meskipun
peringatan ini disampaikan dengan suasana yang sesuai, mereka adalah instruksi
penting dari pihak taman hiburan.
“Baiklah... Semoga kalian bisa
kembali dengan selamat,” ucap petugas itu dengan nada yang menakutkan sebelum
menutup pintu berat di belakang kami.
Di dalam, desain bangunan ini
meniru suasana rumah sakit yang sudah lama terbengkalai. Yang pertama kami
lihat adalah ruang penerimaan dengan sofa kulit yang robek, tandu yang
tergeletak sembarangan, dan lampu merah yang menerangi dinding—semua ini menunjukkan
bahwa tempat ini sudah lama kehilangan fungsi sebagai rumah sakit dan kini
menjadi tempat penuh dengan dendam dan kebencian.
Suasananya sangat berbeda dengan
dunia luar, seolah-olah kami telah masuk ke dalam dimensi lain.
Begitu masuk, aku segera
menemukan banyak hal yang bisa dipelajari. Dalam kegelapan, aku mulai mencatat
dengan bantuan cahaya redup yang ada.
“Ini... luar biasa,” bisik
Seko-kun kagum di sebelahku. Tapi dia tidak tampak ketakutan.
“Seko-kun, kamu tidak takut
dengan hal-hal horor?”
“Sepertinya tidak. Setidaknya,
aku senang tidak mempermalukan diriku di depan Yazaki.”
“Oh, sayang sekali, ya,” jawabku
sambil tersenyum.
“Eh...” Seko-kun tampak bingung
dengan ucapanku, tapi aku justru merasa dia semakin lucu.
“Sepertinya Yazaki juga tidak
takut, ya.”
“Benar. Aku lebih terpesona
dengan efek dan tata letaknya.”
“Oh, jadi pandanganmu sudah
seperti orang yang bekerja di belakang layar.”
Apakah kami benar-benar menikmati
rumah hantu ini? Tanpa menunjukkan tanda-tanda ketakutan, kami terus maju.
Setelah melewati ruang
penerimaan, kami memasuki lorong dengan deretan kamar di kedua sisinya. Salah
satu pintu kamar terbuka, dan di dalamnya ada tempat tidur putih dengan selimut
yang tampak seperti ada sesuatu di bawahnya.
Aku merasa penasaran dan
memperhatikan lebih dekat, tiba-tiba, sesuatu di bawah selimut itu bergerak
dengan cepat, membentuk sosok manusia.
Ah, jadi mereka sengaja
menciptakan ketidaknyamanan untuk menarik perhatian dan memastikan jebakan
mereka tidak terlewatkan.
Sambil berjalan, aku mencatat
temuan baru ini di buku catatanku.
“Ah, Yazaki, di situ—“
“Eh, kya!”
Mungkin karena terlalu fokus
mencatat, aku tidak menyadari adanya undakan kecil di depanku. Aku terpeleset,
merasakan seolah-olah tubuhku melayang di udara. Namun, sesaat kemudian,
perasaan aman menyelimuti diriku.
Aku terlambat menyadari bahwa
Seko-kun telah menangkapku dengan lengannya.
“Kamu... baik-baik saja?”
tanyanya dengan khawatir.
“I-Iya,”
Berkat Seko-kun yang menahanku,
aku tidak sampai jatuh, dan aku tidak mengalami cedera apapun. Namun, detak
jantungku terasa semakin cepat.
“Syukurlah. Maaf, aku akan segera
melepaskanmu.”
Dengan nada penuh penyesalan,
Seko-kun melepaskanku dan memeriksa lantai di bawah kami.
“Dalam kegelapan, undakan seperti
ini bisa berbahaya. Meskipun di kelas kita tidak ada undakan seperti ini,
sebaiknya kita tetap berhati-hati dan tidak meletakkan barang-barang di lantai.
Yazaki, boleh aku pinjam catatanmu sebentar?”
Seko-kun menunjuk ke arah buku
catatan dan pena yang ada di tanganku.
Aku tidak punya alasan untuk
menolak, jadi aku menyerahkannya padanya. Seko-kun mulai menulis sesuatu di
buku catatan, mungkin mencatat hal-hal yang baru saja ia sadari.
“Sudah selesai,” katanya sambil
menutup buku catatan itu. Setelah menatap buku catatan itu sejenak, ia berbalik
ke arahku.
“Mulai sekarang, bagaimana kalau
kita coba merasakan ini dari sudut pandang pengunjung?”
“Sudut pandang pengunjung?”
“Iya. Aku tahu Yazaki mungkin
sedang memperhatikan efek dan teknik yang digunakan, tapi mencoba mengalaminya
dari sudut pandang pengunjung juga penting. Dengan begitu, mungkin kita bisa
menyadari hal-hal seperti yang tadi.”
Seko-kun menepuk lantai dengan
ringan.
Apa yang dia katakan memang masuk
akal. Bagaimanapun juga, pengunjung yang akan mengalami ini, jadi melihatnya
dari sudut pandang mereka bisa membantu kita merasakan baik atau buruknya
secara langsung.
“Benar, sepertinya itu ide yang
bagus.”
Mendengar jawabanku, Seko-kun
tersenyum lebar dan mengembalikan buku catatan serta pena kepadaku.
“Mungkin akan lebih baik kalau
kamu menyimpannya. Dengan begitu, kamu bisa lebih merasakan pengalaman ini
sebagai pengunjung. Kalau kamu terus mencatat, perhatianmu bisa terganggu. Aku
akan mencoba mengingat hal-hal yang aku perhatikan.”
Itu adalah saran yang wajar, tapi
aku merasakan kehangatan di dadaku ketika menyadari niat tersembunyi di balik
kata-katanya.
“Baiklah, aku akan melakukan
itu.”
Aku menerima sarannya dan
menyimpan buku catatan ke dalam tas. Aku yakin, dengan ini, aku tidak akan
tersandung lagi.
Seperti yang dikatakan Seko-kun,
begitu aku berhenti fokus pada mencatat, pengalaman ini terasa berbeda. Ruangan
masih gelap, dengan peralatan dan dekorasi yang terlihat usang dan menyeramkan,
sementara suara-suara aneh kadang-kadang terdengar dari kejauhan.
“......”
Yang tadinya tidak membuatku
takut, kini mulai terasa...
“Baiklah, mari kita nikmati rumah
hantu ini sepenuhnya... eh?”
Aku mendengar suara bingung
Seko-kun dari dekat. Napasnya, detak jantungnya, terdengar jelas.
Karena, sekarang aku memeluk
lengannya.
“Y-Yazaki-san?”
“Mengapa tiba-tiba panggilanmu
jadi terasa asing?”
“Uhm, aku hanya mencoba
menyeimbangkan diri...” jawabnya dengan nada gugup.
“Tidak... tidak suka, kan?”
“Ti-tidak, tentu saja tidak...
Eh? Yazaki, kamu gemetaran?”
Seko-kun menyadari adanya
perubahan pada tubuhku. Karena kami saling bersentuhan, itu tidak bisa
dihindari. Namun, menyadari bahwa dia telah memperhatikan dan bahwa aku
memeluknya dengan erat membuatku merasa malu.
“...Mungkinkah setelah mengubah
pikiran, kamu jadi tidak tenang lagi?”
Seko-kun menganalisis situasiku
dengan tepat, menambah rasa malu yang kurasakan. Secara alami, pipiku
menggembung.
“Seko-kun, kamu nakal ya.”
“Ma-maaf. Tapi, ini
sebenarnya...”
“Hormon kebahagiaan.”
“Hah?”
“Seperti yang kamu katakan, saat
ini aku merasa begitu takut hingga tidak bisa bergerak dengan benar. Tapi, aku
tidak ingin tetap berada di sini lebih lama lagi. Sebenarnya, aku ingin keluar
dari sini secepat mungkin. Jadi, agar bisa berjalan dan mengurangi stres, aku
perlu merangsang otak untuk mengeluarkan hormon kebahagiaan, oksitosin.”
Aku berbicara dengan cepat, dan
Seko-kun tampak tertekan oleh kecepatan dan intensitasku, tetapi kemudian dia
berkata, “Na-naruhodo,” dan tampaknya mengerti.
“...Sebenarnya, ini efektif?”
Ketika Seko-kun bertanya, aku
memeriksa lagi situasiku.
...Sejak tadi, jantungku berdebar
sangat kencang. Tapi, ini bukan stres yang buruk, karena rasa cemas dan takutku
telah hilang... malah, aku merasa tenang.
“Iya, efeknya tampaknya sangat
besar.”
Aku menjawab, mempererat
pelukanku pada lengannya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang juga menjadi
lebih kuat.
“Jantungmu berdebar kencang. Apa
mungkin Seko-kun juga jadi takut?”
“Ti-tidak, sebenarnya aku tidak
takut, sih...”
Aku sempat merasa sedikit senang,
mengira dia juga takut, tetapi perasaan itu segera menghilang saat dia
menyangkalnya.
Namun, dia melanjutkan dengan
berkata,
“...Tapi karena Yazaki memelukku
seperti ini, aku jadi gugup.”
Melihat Seko-kun yang memalingkan
wajahnya dengan canggung, perasaan sayangku padanya semakin bertambah. Hatiku
terasa melompat-lompat dengan perasaan yang tidak sesuai dengan suasana tempat
ini.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
Ketika kami keluar dari bangunan,
langit masih siang sehingga suasana terlihat terang, dan aku merasa lega.
Namun, bersamaan dengan itu, sesuatu yang benar-benar memberiku rasa tenang pun
menjauh dariku.
Seko-kun, yang berdiri sedikit
terpisah dari tempatku berdiri, melihat sekelilingnya lalu menunjuk sesuatu
sebelum menoleh padaku.
“Kita sudah berdiri sejak datang
ke sini, bagaimana kalau kita istirahat sebentar di bangku itu?”
“Istirahat... iya, baiklah.”
Aku mengangguk setuju dengan
usulan Seko-kun, dan kami berdua menuju bangku kosong dan duduk. Kelelahan di
kakiku perlahan mulai mereda.
“Namun, rumah hantu tadi
benar-benar luar biasa. Seperti yang bisa diharapkan dari para profesional, aku
tidak menyangka mereka begitu detail dalam segala aspek.”
“Iya. Dari pengaturan latar
hingga penciptaan suasana, dan juga pemilihan waktu untuk membuat aksi,
semuanya dirancang dengan sangat teliti. Aku benar-benar terkesan.”
“Dan berkat itu, kamu benar-benar
ketakutan tadi.”
“...Sepertinya, hari ini Seko-kun
agak nakal ya.”
“Haha, yah, ini sebagai balasan
karena aku sering diolok-olok. Kamu juga banyak berteriak tadi, jadi aku akan
beli minuman di mesin penjual otomatis sana. Mau minum apa?”
“Kamu mau pergi sendiri? Biar aku
ikut.”
“Nggak apa-apa, kamu duduk saja.
Kalau kita berdua pergi, nanti tempat duduk kita diambil orang.”
Seko-kun berdiri dan berkata akan
membeli minuman dengan acuh tak acuh. Namun, tanpa sadar aku sudah memegang
ujung bajunya.
“Tunggu. Aku tidak butuh minuman.
Jadi...,”
Aku hampir saja mengucapkan
kata-kata itu.
Seko-kun menatapku dengan penuh
perhatian, seolah menunggu aku menyelesaikan kalimatku. Namun, ketika dia
menyadari bahwa aku tidak akan melanjutkan, dia mengangguk dan berkata,
“Baiklah,” lalu duduk kembali.
Kami duduk dalam keheningan,
menghadap ke depan. Meski suasana di antara kami dipenuhi dengan ketegangan
yang samar, ada juga rasa nyaman yang mengiringinya.
...Sungguh, aku senang telah
mengajak Seko-kun hari ini. Selain berhasil melakukan riset di rumah hantu, aku
juga merasa bahwa jika aku menghabiskan hari ini sendirian, aku mungkin akan
tenggelam dalam perasaan murung.
Meskipun aku baru bisa bertemu
dengannya saat siang, waktu pagi yang kuhabiskan untuk bersiap-siap juga terasa
memuaskan, dan sejak bertemu dengannya, hatiku selalu melambung.
...Namun, semua ini akan segera
berakhir. Tujuan dari perjalanan kami kali ini sudah tercapai. Sekarang, yang
tersisa hanya pulang.
Meski besok kami akan bertemu
lagi di sekolah, dan tidak hanya Seko-kun, tapi juga teman-teman lainnya, entah
kenapa aku tidak ingin pulang. Perasaan itu menguasai diriku.
Kenapa? Aku bertanya pada diriku
sendiri dalam hati, tapi jawabannya masih samar.
“Oh!”
Saat aku sedang tenggelam dalam
pikiranku, Seko-kun tiba-tiba berseru seolah-olah dia menemukan sesuatu.
Aku mengikuti arah pandangannya.
Di sana, ada seorang wanita dewasa dan seorang gadis kecil yang mengenakan
pakaian seperti gaun. Gadis kecil itu menempel erat pada wanita tersebut, dan
aku bisa menebak bahwa mereka adalah ibu dan anak.
Namun, alasan Seko-kun
memperhatikan mereka adalah karena tatapan gadis kecil itu.
“Gadis itu terus menatap kita.”
Iya, seperti yang Seko-kun
katakan, gadis kecil itu terus menatap ke arah kami sambil bersembunyi di balik
kaki ibunya.
“Apakah dia ingin duduk di sini?”
“Tidak, aku rasa dia sedang
melihatmu, Yazaki.”
“Melihatku?”
“Iya. Dia menemukan seorang kakak
yang cantik dan mempesona.”
Cantik. Seko-kun sudah beberapa
kali memujiku dengan kata itu, dan setiap kali, hatiku selalu melambung. Dan
entah mengapa, aku benar-benar percaya bahwa kata-katanya itu benar.
“Yazaki, cobalah melambaikan
tangan kepada gadis kecil itu. Akan lebih baik jika kamu tersenyum juga.”
Aku mengikuti sarannya dan
memberikan senyuman kecil sambil melambaikan tangan ke arah gadis kecil itu.
“──!”
Mata gadis kecil itu membesar dan
bersinar cerah... kemudian, dia keluar dari balik bayangan ibunya.
“Tunggu! Jangan lari!”
Mengabaikan peringatan dari
ibunya, gadis kecil itu berlari kecil menuju ke arah kami. Dalam sekejap, gadis
kecil yang sebelumnya terasa begitu jauh kini sudah berada tepat di depan kami.
Dengan mata besarnya, dia menatapku ke atas dan bertanya,
“Apakah kakak ini seorang putri?”
Pertanyaannya yang tak terduga
membuatku terkesiap.
“Eh!?”
Aku secara refleks mengeluarkan
suara kaget, lalu segera menutup mulutku dengan tangan.
“Ahaha,” Seko-kun yang duduk di
sampingku berusaha menahan tawa yang mulai naik ke permukaan. “Aku sudah menduganya,”
gumamnya, sebelum turun dari bangku dan jongkok untuk sejajar dengan pandangan
gadis kecil itu.
“Kamu sangat cerdas, ya. Kakak
ini memang seorang putri. Tapi sekarang dia sedang menyamar... dia diam-diam
keluar dari istana, jadi ini rahasia, ya.”
Seko-kun mengucapkan itu sambil
menempatkan jari telunjuknya di depan bibir. Gadis kecil itu yang polos dan
penuh kepercayaan, mengangguk cepat-cepat. Kemudian, dia menatapku dengan
tatapan penuh kekaguman, seperti sedang berada di hadapan idolanya.
Setelah itu, gadis kecil itu
mulai banyak bicara kepadaku. Dia bertanya dari mana aku berasal, dan bagaimana
caranya agar dia bisa menjadi seperti diriku. Dengan matanya yang penuh
harapan, aku menjawab semua pertanyaannya semampuku.
Kemudian, kami berbicara lebih
banyak lagi. Kami duduk berdampingan dan menikmati percakapan kami untuk
beberapa waktu.
“Bye-bye, Onee-san! Dan Onii-chan
juga!”
“Haha. Sampai jumpa.”
“Ya, sampai jumpa.”
Dengan ibunya yang menundukkan
kepala sebagai tanda hormat dan menggandeng tangannya, gadis kecil itu
melambaikan tangan untuk perpisahan, dan kami pun membalas lambaian itu.
“Ya ampun, dia benar-benar
menganggapmu sebagai seorang putri, Yazaki.”
“Jangan bilang seperti itu,
jangan memberikan harapan palsu pada anak kecil.”
“Haha, tapi kamu juga ikut bercanda
tadi, kan?”
“Itu karena... ya, aku tidak
ingin merusak mimpi anak itu.”
Ketika aku mencoba membela diri,
Seko-kun yang sudah duduk kembali di sampingku hanya tersenyum lembut.
“Kamu memang baik hati, Yazaki.”
“Ah, itu hal yang biasa saja.”
“Hmm, mungkin begitu, tapi aku
rasa di tengah-tengah tadi, gadis kecil itu mulai menyadari sisi lembut Yazaki
dan terpesona. Dia jadi sangat akrab denganmu,”
“Itu karena aku sedang
berpura-pura menjadi seorang putri,”
“Itu mungkin salah satunya, tapi
aku pikir gadis kecil itu menanyakanmu pertanyaan itu karena dia terpesona
padamu sebagai pribadi. ‘Bagaimana caranya bisa menjadi seperti Kakak?’ Itu
bukan pertanyaan yang muncul kalau dia tidak merasa tertarik padamu. Dan pada
akhirnya, dia bahkan berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan putri,”
“Ah...”
Kata-kata Seko-kun membuatku
sadar. Aku tidak tahu apakah gadis kecil itu benar-benar tertarik padaku, tapi
memang benar bahwa kami akhirnya menjadi dekat. Lalu, mengapa gadis kecil yang
sebelumnya terasa begitu jauh itu tiba-tiba datang ke sisiku? Apa yang
memicunya?
“Nee, Seko-kun,”
“Ya? Ada apa?”
“Kenapa kamu menyuruhku
melambaikan tangan? Kenapa kamu berpikir itu akan membuat gadis kecil itu
terbuka padaku?” tanyaku, penasaran dengan Seko-kun yang seolah-olah tahu apa
yang akan terjadi sebelumnya.
Seko-kun tersenyum masam,
menghadap ke depan, dan menjawab sambil memandang ke kejauhan,
“Sejujurnya, aku tidak
benar-benar yakin. Hanya saja, aku tahu bahwa dengan sedikit usaha, hubungan
antar manusia bisa berubah drastis. Aku sendiri berhasil berteman dengan Oda
dan Maniwa dengan cara yang sama, dan sekarang, aku juga bisa berada di sini denganmu
di taman hiburan ini.”
Kata-kata Seko-kun yang penuh
perasaan itu meresap ke dalam hatiku.
“Lalu, apa lagi ya? Mungkin
karena aku yakin pesonamu yang berlimpah akan tersampaikan begitu ada sedikit
interaksi. Aku cukup percaya diri akan hal itu,” lanjutnya sambil tersenyum
cerah kepadaku. Senyum itu menggerakkan hatiku.
Betapa bodohnya diriku. Aku
berharap bisa berubah seperti Seko-kun yang telah berhasil berubah, namun aku
gagal melihat siapa dia sebenarnya. Petunjuknya sudah ada di depan mataku. Aku
merasa harus menjadi seperti orang lain—seperti gadis kecil itu. Namun di dalam
hati, aku sudah menyerah, berpikir bahwa itu tidak mungkin bagiku.
Tapi Seko-kun menunjukkan
kepadaku bahwa aku bisa tetap menjadi diriku sendiri. Yang diperlukan hanyalah
sedikit tindakan. Misalnya, bergantung pada dirinya—
“Bisakah kamu mendengarkan...
tentang kekhawatiranku? Tentang sisi diriku yang lemah dan memalukan?” tanyaku
dengan pelan.
Sebelum aku menyadarinya,
kata-kata kelemahanku keluar dari mulutku. Namun aku tidak menyesal.
“Justru aku ingin mendengarnya.
Karena aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Yazaki,” jawabnya sambil
tersenyum seolah-olah dia telah menunggu untuk mendengar masalahku.
Lalu, aku mulai bercerita.
Tentang bagaimana orang-orang menjauh dariku tanpa alasan yang jelas, bagaimana
aku mencoba berubah dengan mengganti lingkungan ketika masuk SMP, tapi tetap
tidak berhasil. Seko-kun mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali
memberikan tanggapan singkat.
“Aku rasa, sebagian besar teman
sekelas kita mungkin masih salah paham tentangmu, tapi melalui festival budaya,
aku yakin mereka akan mulai melihat banyak pesona yang kamu miliki. Setiap
orang mungkin membutuhkan waktu dan momen yang berbeda untuk menyadarinya, tapi
aku yakin itu akan terjadi,” katanya sambil menatapku dengan penuh keyakinan.
Pasti, jika kata-kata ini datang
dari orang lain, mungkin tidak akan berpengaruh. Tapi karena ini dari dirinya—orang
yang begitu memperhatikanku, yang begitu memahami diriku—kata-katanya jadi
begitu bermakna.
“Lalu, ini adalah ceritaku yang
memalukan,” katanya tiba-tiba.
“Ceritamu, Seko-kun?”
“Ya... Sejujurnya, aku sangat
senang jika pesonamu dikenal oleh banyak orang. Tapi di sisi lain, aku juga
merasa tidak ingin hal itu terjadi. Perasaan ingin menguasai yang rendahan ini.
Perasaan yang sungguh kecil dan memalukan, bukan?” katanya sambil menunjukkan
ekspresi pahit, seolah-olah ia sedang menyalahkan dirinya sendiri.
Di sisi lain, hatiku justru
merasa bahagia. Aku akhirnya menyadari alasan mengapa dia merasa memiliki
perasaan posesif terhadapku, meskipun dia tidak pernah mengatakan itu secara
langsung.
Aku juga mengetahui banyak
tentang pesonanya. Bagaimana dia selalu memperhatikan hal-hal kecil, bagaimana
dia tidak bisa berbohong, bagaimana dia biasanya berpura-pura tenang tetapi
kadang-kadang tertawa dengan polos, bagaimana dia sering memalingkan wajah saat
aku menggoda, bagaimana dia merasa malu dan ingin kabur ketika aku mencoba
mengucapkan terima kasih, bagaimana dia sebenarnya sangat kompetitif, dan
betapa tampannya dia ketika sedang serius memperhatikan pelajaran.
Dan yang paling penting, dia
mengenal sisi diriku yang tidak kuketahui sebelumnya. Dia selalu memujiku dan
menyampaikannya dengan kata-kata yang jelas.
Jika ada orang lain yang
mengetahui pesonanya, atau jika dia bersikap ramah kepada orang lain selain
aku...
“──Ah!”
Sebuah rasa sakit yang tajam
menusuk dadaku. Nafasku terasa sesak, seolah-olah perasaan ini ingin
menghancurkanku.
Jadi... Ini yang sebenarnya
kurasakan. Aku akhirnya mengerti. Betapa bodohnya diriku.
“Keinginan seperti itu adalah
sesuatu yang semua orang rasakan. Jadi, kurasa itu hal yang wajar,” kataku
menenangkan.
“Haha, mendengar itu membuatku
merasa lebih baik. Tapi, ini aneh. Seharusnya aku yang mendengarkanmu, bukan
sebaliknya,”
“Fufu... Kalau begitu, mungkin
aku bisa meminta sedikit penghiburan lagi,”
“Apa!?”
Aku bergeser ke samping, mengisi
ruang kosong di antara kami, hingga jarak kami benar-benar nol.
Bahu kiri ku bersentuhan dengan
bahu kanannya.
“Y-Yazaki?”
Mengabaikan kebingungannya, aku
menyandarkan kepalaku di bahu kanannya. Aku bisa merasakan reaksi tubuhnya yang
terkejut.
“Apakah ini mungkin...”
“Ya, ini adalah hormon
kebahagiaan,”
“Mengapa menyandarkan kepala di
bahuku?”
“Karena semakin luas permukaan
yang bersentuhan, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan,”
“...Mengerti,” katanya,
sepertinya menerima penjelasanku. Setelah itu, dia tidak mengatakan apa-apa
lagi, hanya menatap ke kejauhan.
Dengan begini, saat aku
bersentuhan dengannya, aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang tumbuh di
dalam diriku. Kehangatannya terasa, suaranya terdengar, dan keberadaannya bisa
kurasakan.
Jantungku berdebar kencang di
dalam dadaku.
“Seko-kun, apakah kamu punya
rencana setelah ini?”
“Eh? Tidak, aku tidak punya,”
“Begitu ya. Kalau begitu,
bagaimana kalau kita makan di restoran di sana? Aku belum makan siang, jadi
ingin mengisi perut sedikit,”
“Oh, oke. Aku juga belum makan,
jadi aku setuju,”
“Fufu, syukurlah. Setelah itu,
hmm... bagaimana kalau kita naik itu bersama-sama?” usulku sambil menunjuk ke
arah bianglala.
“Eh, bianglala!? Bukankah kamu
lebih takut ketinggian dibanding aku, Yazaki?”
“Tidak apa-apa. Aku sudah
belajar, kalau aku begini, aku akan baik-baik saja. Itu pelajaran yang aku
dapatkan di musim panas sebelumnya,”
“Oh... jadi begitu,”
“Atau mungkin kamu keberatan?”
“Tidak, sama sekali tidak! Aku
akan menemanimu dengan senang hati...”
“Fufu, apa itu tadi?”
Satu setengah tahun yang lalu,
sejak aku bertemu denganmu, aku merasa bahwa aku tidak bisa berubah sama
sekali.
Namun, ada satu hal yang akhirnya
kusadari telah berubah.
Rasa sakit di dada tadi dan
degupan jantung yang semakin kencang ini adalah perasaan yang sudah kukenal
sejak lama.
Aku sudah terlanjur jatuh cinta
padamu, hingga aku tak bisa mengembalikannya lagi.
Copyright Archive Novel All Right Reserved ©
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.