BAB 2
Hanya Karena Miyagi Bilang, Aku Ikut Aja
Sesuatu mulai berubah.
Setelah ujian tengah
semester selesai dan hari dimana Miyagi menyentuh telingaku, aku merasakan itu.
Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja.
Setelah itu, aku beberapa
kali dipanggil, tapi tidak ada perubahan besar di antara kami. Festival
olahraga juga selesai, dan hari-hari berlalu dengan damai.
Menciumnya tidak membuat
situasi menjadi canggung, dan tidak juga berhenti dipanggil hanya karena dia
menjilat telingaku.
Membosankan.
Tidak menarik.
Situasi tidak berubah
sampai menjadi tidak nyaman. Mungkin di lubuk hatiku, aku berharap sesuatu akan
berubah setelah ciuman itu.
Aku merasa kehilangan
semangat.
Tidak ada gairah.
Miyagi menjilat
telingaku. Bukan berarti aku ingin dia melakukannya lagi, tapi aku penasaran
apa yang dia pikirkan saat melakukan itu. Namun, aku tidak pernah bertanya
kenapa dia sampai menjilat telingaku, jadi alasan di balik tindakannya tetap
menjadi misteri.
Setelah itu, Miyagi tidak
pernah memberi perintah seperti menyuruhku menjilat jari atau kaki. Dia tidak
menjilat telingaku lagi. Dia hanya memberikan perintah yang monoton sebagai
ganti lima ribu yen.
Aku tidak menginginkan
sesuatu yang menegangkan terjadi, tapi aku sudah bosan dengan tugas rumah dan
membaca manga.
Tapi, yah.
Ada sedikit perubahan.
Meja menjadi baru dan
sedikit lebih besar sehingga lebih mudah untuk membuka buku teks. Itu berarti
sekarang aku bisa duduk di sampingnya dan belajar, dan sekarang Miyagi tengah
mengerjakan PR di sampingku. Tapi, dia tidak terlihat terlalu senang.
Seperti cuaca yang tidak
menentu di musim hujan, mood Miyagi juga tidak menentu.
"Ini salah."
Aku menunjuk satu tempat
di buku catatan Miyagi dengan pena.
Sepertinya dia tidak
terlalu pandai dalam bahasa Inggris dan ada beberapa kesalahan lain, tapi untuk
saat ini aku hanya menunjukkan satu. Namun, dia melihatku dengan ekspresi yang
tidak terlalu bersemangat.
"Kamu tidak perlu
bilang itu salah kalau aku tidak bertanya."
"Jadi, kamu mau
biarkan saja seperti ini?"
"...Tidak
juga."
Miyagi mengerutkan dahi
dan mulai menghapus tulisan di bukunya. Penghapus yang dia gunakan adalah yang
baru, bukan yang aku kembalikan di ruang persiapan musik.
──Dia
sengaja menggunakan penghapus yang berbeda,
itu agak jahat.
Aku mengalihkan pandangan
ke buku catatanku sendiri.
"Jawabannya
apa?"
Miyagi, yang seharusnya
serius mengerjakan PR, meminta solusi cepat untuk kesalahannya.
"Pikirkan
sendiri."
"Aku tidak tahu
caranya."
"Kamu hanya tidak
mau mencoba. Ayo, kerjakan dengan benar."
"Perintah, ajarin
aku jawabannya."
Buku teks dan catatan
Miyagi terdorong ke arahku.
Melihatnya yang tidak
bersemangat, aku pikir mungkin dia tidak berencana untuk belajar bersamaku,
tapi aku tidak berniat untuk pindah tempat.
"Kamu ingin aku
mengajari atau mengerjakannya?"
"Itu dia.
Kerjakan."
"Ya, ya."
Sepertinya, terakhir kali
juga seperti ini. Miyagi yang melemparkan PRnya ke tengah-tengah, membiarkanku
menyelesaikannya sementara dia membaca manga. Aku menarik buku catatan ke
arahku dan mengambil
penghapus dari Miyagi.
Soalnya sendiri tidak
begitu sulit.
Kalau Miyagi serius, dia
pasti bisa menyelesaikannya dengan mudah. Tapi di hadapan perintah, semua
asumsi itu tidak berguna, dan aku menghapus bagian yang salah dan menulis
jawaban yang benar di kertas lain agar Miyagi bisa menyalinnya.
"Sudah hampir
setahun ya?"
Aku mulai mengerjakan
masalah baru sambil bertanya kepada Miyagi.
"Apa?"
"Sejak aku mulai
datang ke kamar Miyagi."
"Oh, begitu?"
Dia menjawab tanpa
terlihat tertarik.
"Dari awal Juli,
jadi sebentar lagi setahun."
Aku ingat dengan jelas
alasan aku mulai datang ke kamar Miyagi, meskipun kami hampir tidak pernah
berbicara sebagai teman sekelas.
Jika dikatakan Miyagi
muncul seperti penyelamat di hadapanku yang lupa dompet dan membayarkan uang,
itu bisa jadi cerita yang indah.
Tapi pada kenyataannya,
dia memaksa aku untuk menerima uang lima ribu yen di kasir toko buku, dan
ketika aku mencoba mengembalikan kembalian, dia berkata untuk membuangnya
karena dia tidak butuh, jadi itu bukanlah cerita yang bagus.
Pada hari itu, aku
menganggap Miyagi orang yang menyusahkan, dan sekarang pun, aku masih berpikir
begitu.
"Mengapa kamu
membayar uang itu waktu itu?"
"Karena teman
sekelas sedang kesulitan, jadi aku pikir aku harus membantu."
"Benarkah?"
"Bohong. Karena aku
punya uang lima ribu yen di dompet."
"Jadi jika yang ada
di dompetmu hanya seribu yen, kamu tidak akan membayar?"
"Mungkin."
"Pasti itu juga
bohong. Apa sebenarnya alasannya?"
"Saat itu aku sedang
ingin melakukannya. Hanya itu saja.”
Entah dia mengalihkan
topik atau memang itu kenyataannya, tapi Miyagi memutuskan untuk tidak
melanjutkan pembicaraan dan bangkit berdiri. Lalu, dia mengambil dua buku manga
dari rak buku dan berbaring di tempat tidur.
Aku dengan cepat
menyelesaikan pekerjaan rumahku, dan membalikkan badan untuk menepuk-nepuk
samping perut Miyagi.
"Pergi sedikit ke
sana dong."
"Kenapa?"
"Itu kan
tempatku."
"Ini bukan tempat
Sendai-san, tapi tempat tidurku. Sempit jadi jangan kesini."
Miyagi menjawab dengan
acuh tak acuh sambil merebut tempat di tengah tempat tidur.
Memang benar itu tempat
tidur Miyagi dan bukan milikku. Tapi, setiap kali aku diundang ke kamar ini,
aku selalu menggunakan tempat tidur itu, jadi aku pikir aku punya hak untuk
meminta setengah wilayahnya.
"Ayo lah, minggir
sedikit."
"Tidak mau."
"Dasar pelit
Miyagi."
Aku mencoba mendorong
samping perutnya, bukan hanya menepuk, untuk memperluas wilayahku. Tapi, Miyagi
menolak tanpa menyentuhku.
"Sendai-san,
berhenti yang menyebalkan itu."
Belakangan ini, Miyagi
terkadang menunjukkan wajah yang agak gelisah. Itu adalah salah satu perubahan
kecil sejak kami berciuman, dan sekarang dia menunjukkan wajah itu.
Aku bukan orang yang
tidak pernah terluka, dan aku punya bagian sensitifku. Ekspresi Miyagi
kadang-kadang benar-benar menusukku dengan cukup dalam.
Aku naik ke tempat tidur
dan mendorong tubuhnya untuk membuat ruang lebih luas. Namun, dia tidak
menyerahkan wilayahnya, malah bangkit.
"Sendai-san. Lepas
dasimu."
Dia berkata tiba-tiba
dengan wajah tanpa ekspresi sambil menatap dasiku.
Ini bukan ekspresi yang
baik.
Miyagi seperti ini
biasanya sedang memikirkan sesuatu yang tidak baik.
"Kenapa?"
"Cepat lepas
saja."
Meski aku bertanya,
jawaban tidak pernah kembali, tapi aku tahu ini adalah perintah. Aku
menghentikan perlawanan sia-sia dan dengan patuh melepas dasiku.
"Sudah puas?"
"Iya. Pinjam itu
dong."
"Dasiku?"
"Iya, dasimu."
Suara Miyagi tidak
berubah dari saat aku mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku punya firasat
buruk. Meski begitu, aku memberikan dasiku kepada Miyagi.
"Palingkan
badanmu."
Saat aku memalingkan
badan sesuai perintah, tangan Miyagi menangkap pergelangan tanganku sambil
berkata, "Tanganmu, kesini."
Dengan hanya itu, aku
bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku menghela napas agar
Miyagi tidak mendengar, lalu memutar tanganku ke belakang. Segera, aku
merasakan sensasi kain melilit erat di pergelangan tanganku. Dan itu sangat
kuat.
"Hey, sakit
tau."
Perasaan pergelangan
tangan yang terikat kuat sampai aku bisa mengeluh. Jika diikat tanpa
memperhatikan kekuatan, bekasnya akan tertinggal. Seragamku adalah lengan
pendek, dan jika ada bekas seperti itu di pergelangan tangan, itu akan sangat
mencolok.
"Miyagi."
Aku memanggil namanya
dengan tegas, dan dasi di pergelangan tanganku semakin mengerat.
"Jangan sampai ada
bekasnya ya."
Aku menyampaikan perasaan
yang tidak akan membiarkan lebih dari itu, dan dasi itu sedikit mengendur.
Kemudian, aku merasakan sensasi simpul yang dibuat.
"Dasar Miyagi,
pervert. Ini kayak yang di manga itu, kan?”
Di rak buku itu, ada
berbagai jenis manga, mulai dari yang bertema gadis pemalu hingga manga aksi
shounen yang penuh semangat. Ada juga buku yang menonjolkan unsur erotis, dan
aku yakin di antaranya ada manga dengan skenario di mana sang tokoh utama diikat
oleh pacarnya yang dominan menggunakan dasi.
"Mau seperti di
manga-manga itu, Sendai-san?"
"Tentu saja
tidak."
"Kalau begitu, duduk
saja di sana selama satu jam tanpa aku lakukan apa-apa seperti dalam
manga."
"Eh, apa? Kamu mau
melakukan 'play ignore'?"
"……Kamu sebenarnya
mau aku lakukan sesuatu, kan?"
Suara yang terdengar
seperti sudah siap untuk melakukan sesuatu itu datang dari belakang.
"Sendai-san, kamu
ini 'hentai'."
Bersamaan dengan suara
itu, aku merasakan hembusan napas di leherku, dan di saat berikutnya, aku
tergigit di bahu dari atas blus.
"Itu sakit
tau!"
Di dalam diri Miyagi,
sepertinya tidak ada istilah 'mengatur kekuatan'.
Maka, meskipun aku
bersuara, giginya tetap menggigit bahu.
"Aku tidak pernah
bilang ingin kamu melakukan itu."
Biasanya, aku akan
mendorong dahi Miyagi untuk menghindari rasa sakit. Namun, hari ini aku tidak
bisa melakukan itu karena pergelangan tangan aku terikat. Aku tidak bisa
membalikkan badan karena aku mungkin akan kehilangan keseimbangan, jadi aku
hanya bisa mengeluarkan suara.
"Miyagi!"
Setelah aku memanggil
namanya dengan keras, akhirnya aku dibebaskan dari rasa sakit itu.
"Aku bilang jangan
bikin bekas. Kamu boleh menggigit tapi atur kekuatannya."
"Kalau di sana kan
tidak terlihat, jadi tidak apa-apa kan?"
"Itu bukan
masalahnya."
"Kalau begitu, turun
dari tempat tidur dan duduk di lantai."
Aku tidak mau.
Meskipun aku bisa saja
mengatakan itu, aku tahu aku akan dipaksa turun dari tempat tidur. Lagipula,
Miyagi jenis orang yang tampaknya tidak akan ragu-ragu untuk mendorong orang
lain.
Lebih baik aku turun
dengan sukarela daripada dipaksa.
Tanpa berkata apa-apa,
aku duduk di lantai seperti yang dikatakan, dan Miyagi mulai melepas kaos
kakinya.
"Sendai-san. Kamu
tahu apa yang akan aku perintahkan selanjutnya, kan?"
Sambil menatap ke atas ke
arahku, Miyagi berkata dan menendang bahu yang mungkin telah meninggalkan bekas
gigitan.
"Kamu mau aku
menjilat kaki, kan?"
Aku sudah cukup lama
berhubungan dengan Miyagi, dan jika aku membandingkan dengan masa lalu, aku
bisa segera mengerti apa yang ingin dia katakan.
"Kalau kamu sudah
tahu, lakukan saja."
Miyagi yang memandang ke
bawah ke arahku itu berkata dengan suara yang terdengar seperti sedang
menikmati. Aku lebih suka dia dalam mood yang cerah daripada mood yang buruk
seperti cuaca mendung, tapi saat ini aku tidak bisa merasa senang.
Itu karena aku tahu ini
tidak akan berakhir dengan baik. Tidak ada satu kenangan pun di mana Miyagi
dalam mood baik dan sesuatu yang baik terjadi padaku dalam situasi seperti ini.
Aku melihat ke arah kaki
Miyagi yang sudah turun ke lantai.
Aku tidak keberatan
menjilat kakinya.
Itu sudah aku lakukan
berkali-kali sebelumnya.
Hanya saja, menjilat
sambil tangan terikat itu sulit. Aku tidak bisa membawa kaki ke posisi yang
tepat seperti biasanya.
"Angkat kakimu
sedikit."
"Tidak mau.”
Aku mendapat jawaban yang
singkat dan jelas.
Itu artinya dia tidak mau
bekerja sama, dan menurutku itu cukup jahat.
Aku harus mengikuti
perintahnya seperti ini.
Tanpa pilihan lain, aku
menempelkan ujung lidahku ke lututnya.
Lutut juga bagian dari
kaki, toh.
Namun, sepertinya Miyagi
tidak puas.
"Mulailah dari ujung
kaki," suara itu turun dari atas.
"Dalam keadaan
ini?"
"Dalam keadaan itu.
Sendai-san, kamu suka mengikuti apa yang aku perintahkan, kan?"
Bukan karena aku suka
mengikuti perintahnya. Tapi mengatakan itu juga tidak ada gunanya. Pilihan yang
bisa aku ambil hanya mengikuti perintahnya atau mengembalikan lima ribu yen dan
meninggalkan ruangan ini.
Aku menatap Miyagi.
Dia tidak bergerak seinci
pun.
Untuk mengikuti
perintahnya, aku harus mendekatkan diri ke kaki Miyagi.
"Sendai-san,"
Dengan sedikit tendangan
di lututnya, dia seakan mendesakku, dan aku perlahan mengalihkan pandanganku
dari Miyagi.
Pemilik ruangan ini hanya
manja dan tidak sopan padaku. Dia berkata hal-hal yang tidak akan dia katakan
pada orang lain tanpa ragu. Dan aku, yang tahu itu dan masih memilih untuk
mengikuti Miyagi, pasti sudah gila.
Ini cukup memalukan.
Sambil berpikir seolah
itu urusan orang lain, aku menjilati ujung kakinya seperti menjilati lantai.
"Sendai-san yang
seperti itu juga bagus.”
Mendengar suara yang
tampaknya senang itu, yang tidak bisa kubayangkan sama dengan orang yang sedang
belajar, membuatku sedikit kesal. Ini bukan posisi yang nyaman, dan aku merasa
kesakitan. Namun, tanpa memilih untuk mengembalikan lima ribu yen, aku menjilati
dari ujung jari sampai punggung kaki.
Setelah menjilat sampai
pergelangan kaki dan menekan bibirku padanya, kakinya ditarik. Aku mengejarnya
dengan ujung lidahku ke punggung kaki, tapi kali ini Miyagi juga menekan
kakinya.
Aku hanya bisa berpikir
dia menertawakanku.
"Miyagi,"
gantinya mengeluh, aku memanggil namanya.
Entah dia tidak suka itu,
Miyagi menyelipkan kakinya di bawah daguku, menggunakan punggung kakinya untuk
mengangkat wajahku.
"Apa?"
Miyagi berkata dengan
senyum dan memandangku.
"Jangan gerakkan
kakimu."
"Aku yang berhak
memberi perintah, bukan kamu, Sendai-san."
Kata-kata Miyagi tidak
salah.
Tapi, kenapa aku harus
mendengarkan perkataannya sampai harus dalam posisi seperti ini?
Meski aku sendiri yang
memilih untuk taat padanya, ada bagian diriku yang merasa tidak puas.
"Lanjutkan
dong."
Sebelum aku sempat
mengeluh, Miyagi sudah memberikan perintahnya.
Kakinya kembali ke
lantai, dan aku sekali lagi menempelkan bibirku ke punggung kakinya.
Diperintah dan patuh.
Itu telah menjadi terlalu
normal, dan meskipun aku merasa kesal, tubuhku bergerak.
Aku menjilati jarinya,
menyentuh kulit halusnya dengan bibirku.
Mengikuti tulang yang aku
rasakan samar dengan ujung lidahku, aku menggigit pergelangan kakinya dengan
lembut, dan tubuh Miyagi bergerak sedikit. Aku mengulangi gigitan lembut dan
menjilati betisnya.
Menjilat, menggigit,
menempelkan bibir.
Ada bagian dari diriku
yang berpikir, jika saja tempat yang aku sentuh adalah bibirnya.
Seperti saat berciuman,
aku perlahan menyentuh lututnya dengan bibirku.
Setelah beberapa kali
menempelkan bibirku, aku menghisapnya dengan kuat, dan Miyagi berkata dengan
kasar.
"Sudah cukup."
"Kenapa?"
"Karena Sendai-san
menjijikkan."
"Apa maksudmu?"
"Itu artinya
menjijikkan."
Dengan suara monoton
Miyagi, aku menggigit lututnya dengan cukup kuat sampai meninggalkan bekas
gigi. Meski tulangnya terasa, aku tidak peduli. Ketika aku benar-benar
menggigit, Miyagi menggerakkan kakinya.
"Sendai-san, itu
sakit. Berhenti."
Ketika dia berkata dengan
nada keras, aku memandangnya.
"Aku hanya berusaha
tidak menjijikkan."
"Jangan lakukan hal
yang tidak kuperintahkan."
"Jadi, jangan
lakukan apa pun selain menjilat?"
"Itu benar, tapi
sudah cukup."
Perintahnya berakhir di
situ, dia tidak mengatakannya secara eksplisit, tapi aku bisa mendengar
suaranya yang tidak peduli. Namun, tanganku yang diikat tidak dilepaskan.
"Lepaskan dasiku
dong."
"Kamu bisa tetap
dengan penampilan itu."
"Tapi aku tidak bisa
pulang kalau begitu."
Lima ribu yen itu bukan
untuk menahan seluruh hariku.
Hanya untuk beberapa jam,
aku harus mendengarkan perintah Miyagi. "Selamanya" tidak cukup waktu
untuk menahan, jadi permintaanku untuk melepas dasi seharusnya diterima, dan
tidak ada alasan untuk menolak. Itu yang seharusnya. Namun, Miyagi tidak
melepaskan dasiku.
"Kalau begitu tidak
usah pulang. Bagaimana kalau aku memelihara kamu? Aku akan memberimu
makan."
Dia berkata itu dengan
nada yang tidak terdengar seperti lelucon, dia berkata itu dengan nada yang
tidak terdengar seperti lelucon.
"Berhenti bicara
yang tidak-tidak dan lepaskan ini."
"Tapi, mintalah
dengan lebih baik."
Meskipun tampaknya tidak
terlalu tertarik, lelucon yang tidak menyenangkan itu tidak begitu saja ditarik
kembali.
Seolah mengatakan
"ayo cepat", Miyagi dengan ringan menendang lututku.
Meskipun aku menatap
matanya yang memandang ke bawah, aku tidak bisa membaca emosinya.
Aku harus menundukkan
kepalaku dan memohon pada Miyagi.
Seandainya aku bisa
melakukannya sekarang juga, tapi aku tidak bisa meminta dengan baik
"tolong lepaskan dasiku" pada Miyagi saat ini. Itu karena, sedikit,
tidak, cukup banyak aku tidak suka sikapnya.
"Kamu ingin terus
seperti ini?"
Seolah tidak berniat
melepasnya sampai aku memohon, ia menggenggam kerah blusku. Meskipun tidak
dengan segala kekuatan, aku ditarik dan tubuhku terbawa mendekat ke Miyagi.
Aku menatapnya dengan
tajam karena perlakuannya yang agak kasar.
"Lepaskan. Itu sudah
terlalu berlebihan."
Aku mengeluh dengan keras
dan seolah kehilangan minat, ia melepaskan tangannya dan aku kehilangan
keseimbangan. Aku tidak sampai jatuh, tapi aku ingin mengeluh lagi karena
perlakuannya yang kasar, namun sebelum aku berkata apa-apa, Miyagi bertanya.
"Sendai-san, kamu
ingin aku melakukan apa padamu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku pikir mungkin
kamu punya perintah yang ingin diberikan padaku."
"Tidak mungkin aku
punya hal seperti itu."
Aku tidak di sini karena
ingin diperintah, dan bukan karena aku ingin lima ribu yen, tetapi juga bukan
karena aku ingin Miyagi melakukan sesuatu untukku.
"Lalu, sejauh mana
kamu mengizinkanku?"
Pertanyaannya tidak
diucapkan, tapi aku tahu ia menanyakan tentang "isi perintah".
Setelah semena-mena
begini sekarang tiba-tiba dia bertanya?
Aku tidak tahu apa yang
terjadi sehingga dia bertanya sesuatu seperti itu, tapi itu bukan pertanyaan
yang diajukan setelah hampir setahun.
"Sejauh mana?
Berikan perintah dalam batas-batas kewajaran dong."
"Perintahku tadi,
dalam batas kewajaran?”
Aku terikat dan harus
menjilat lantai seperti menjilati kaki. Aku masih terikat hingga sekarang.
Meskipun aku menerima kenyataan itu, aku tidak memiliki standar seperti itu.
"Kamu tidak menolak
berarti kamu setuju, kan?" kata Miyagi.
Itu hanya itu, bukan
standar. Aku tidak akan pernah melakukannya jika orang lain yang menyuruh, dan
aku tidak akan pernah bergaul dengan orang yang menyuruh seperti itu.
Tapi, aku tidak ingin
sengaja mengatakan hal seperti itu pada Miyagi.
"Itu cara bertanya
yang jahat, kan?" kataku.
"Sendai-san juga
suka bertanya dengan cara yang jahat kan?" kata Miyagi dengan nada yang
agak merajuk.
Aku tidak berniat
menyangkal kata-katanya.
Aku sengaja melakukan
itu.
Aku menikmati melihat
Miyagi panik.
Tapi, jika aku yang
melakukannya tidak apa-apa, tapi jika Miyagi yang melakukannya, itu membuatku
kesal.
Dengan kata lain,
begitulah adanya.
Menanyakan sesuatu untuk
membuat orang lain kesulitan adalah keahlianku, dan yang seharusnya bingung
adalah Miyagi. Jadi, aku tanya balik pada Miyagi.
"Apa yang ingin kamu
lakukan padaku, Miyagi?"
"......Tidak perlu
kukatakan."
Dia tidak berniat
menjawab, tapi sepertinya ada sesuatu yang ingin dia lakukan.
Aku mengerti itu, tapi
aku tidak tahu lebih dari itu. Aku ingin tahu, tapi itu bukan sesuatu yang
harus aku kejar, dan bukan topik yang harus aku dalami lebih jauh.
Begitu, kataku dengan
nada yang seolah-olah itu jawaban tapi tidak memiliki arti apa-apa sambil
menatap Miyagi. Lalu, aku mencoba bergerak untuk membebaskan pergelangan tangan
yang terikat, tapi dasi yang mengikat hanya membuat pergelangan tanganku sakit.
Kekuatan mengikat pergelangan tangan sedikit dilonggarkan dengan permintaan
untuk tidak meninggalkan bekas, tapi itu hanya sedikit, sehingga tidak
mengherankan jika dasi yang mengikat pergelangan tangan meninggalkan bekas.
"Berdirilah,"
kata Miyagi dengan nada yang kasar.
"Eh?"
"Kamu ingin aku
melonggarkan dasi kan?"
"Sulit berdiri
sambil terikat begini."
Lengan itu ternyata juga
memiliki peran dalam menjaga keseimbangan, dan saat terikat, gerakan sederhana
seperti berdiri dan duduk terasa sulit. Aku bisa berdiri sekarang, tapi tidak
heran jika aku akan terjatuh dan itu sedikit menakutkan.
"Kalau begitu,
jangan bergerak,"
Ketika dia berkata
begitu, Miyagi turun dari tempat tidur dengan cepat dan segera berjalan ke
belakangku. Tak lama kemudian, kain yang menekan pergelangan tanganku
dilepaskan, dan aku mendapatkan kembali kebebasanku. Meskipun begitu, lenganku
tidak bergerak seperti yang kubayangkan dan aku mengayunkannya dengan
frustrasi. Aku merasa sedikit lebih baik karena sirkulasi darahku tampaknya
membaik, dan aku berdiri. Aku duduk di tempat tidur, dan Miyagi duduk di
sebelahku sambil memegang lenganku.
"Tunjukkan
padaku."
Sebelum aku berkata baik,
dia memandangi pergelangan tanganku dengan seksama, seolah-olah dia telah
menjadi detektif yang mencari bukti.
"Tidak ada
bekasnya," gumam Miyagi.
Lalu dia menyentuh bagian
yang tadi diikat dengan dasi. Seolah-olah ada bekas di sana, ujung jarinya
dengan lembut mengelus kulitku. Jarinya bergerak perlahan menuju telapak
tanganku, dan seolah merespons, sensasi di lenganku mulai kembali.
Stimulus yang diberikan
oleh ujung jari Miyagi semakin jelas, dan aku mengibaskan tangannya.
"Kamu memang berniat
meninggalkan bekas saat mengikat aku, kan?"
"Tidak, aku bilang
bagus karena tidak meninggalkan bekas."
Tapi, itu tidak terdengar
seperti itu.
Sentuhan yang baru saja
dia berikan, nada bicaranya, semua itu seolah mengatakan sebaliknya, seolah dia
berharap bekas itu ada.
"Atau, kamu ingin
bekasnya tertinggal?"
"Tidak mungkin aku
mau bekas itu tertinggal. Kalau bekas terikat di pergelangan tanganku
tertinggal, bagaimana aku di sekolah?"
"Makanya, aku tidak
meninggalkan bekas."
Miyagi berkata dengan
nada yang terdengar pasrah, kemudian menendang kakiku. Setelah beberapa kali
menendang kakiku seperti masih ada kata yang belum terucap, dia tiba-tiba
teringat manga yang ditinggalkannya dan meraihnya. Aku merebut manga itu dari
tangannya sebelum dia menyentuhnya, dan bertanya padanya.
"Aku ingin bertanya
satu hal."
"Apa?"
Sambil memandang komik di
tanganku dengan tatapan kesal, Miyagi menjawab.
"Kalau aku memberi
perintah seperti tadi, kamu akan patuh?"
"Tidak mungkin aku
akan patuh."
"Ya, aku tahu."
Aku sudah tahu itu.
Aku tahu bahwa Miyagi
tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.
Aku memberinya uang dan
memerintahnya, tetapi dia tidak akan menjilat kaki orang lain. Aku mengerti
bahwa dia menemukan makna dalam menyuruhku melakukan hal-hal yang tidak akan
dia lakukan sendiri. Itu tidak menyenangkan bagiku, tapi karena itu adalah janji
untuk menuruti kata-kata, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Aku tidak seaneh
Sendai-san."
"Ah, Miyagi lebih
aneh, kan? Kamu senang memberi perintah seperti itu pada orang lain."
"Aku tidak senang
sama sekali.”
Tapi aku tetap merasa
terhibur.
Meskipun aku mengeluh,
aku tetap menuruti apa yang dia perintahkan dan dia terdengar senang.
Aku tidak bermaksud
menjilat dengan cara yang tidak pantas, tapi pasti terasa cukup menghibur bagi
dia untuk melakukannya.
"Benar juga ya. Kamu
makan malam di sini, kan?"
Miyagi merebut komik dari
tanganku dan mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku makan,
tapi..."
Aku pikir lebih
bermanfaat membicarakan tentang makan malam daripada melanjutkan percakapan
yang tidak produktif tentang siapa yang lebih aneh. Namun, aku sedikit tidak
puas karena percakapan kami tiba-tiba terputus. Tapi Miyagi, seolah tidak
terjadi apa-apa, berdiri dan meletakkan komik kembali ke rak bukunya, lalu
berjalan keluar dari kamar.
Tidak ada sepatah kata
pun?
Yah, tidak apa-apa.
Aku bangkit dan mengikuti
Miyagi. Ketika aku masuk ke ruang tamu, biasanya Miyagi sudah menyiapkan
makanan instan atau lauk pauk yang dibeli, tapi kali ini dia sudah duduk di
meja.
"Sendai-san, buatkan
sesuatu dong."
Kata-katanya terdengar
seperti tidak percaya.
Sekali waktu, aku pernah
membuat ayam goreng.
Kami sudah sering makan
malam bersama, tapi dia selalu menolak ketikaku meminta untuk memasak, dan aku
tidak pernah mendengar dia memintaku untuk melakukannya.
"Nasi sudah
masak?"
"Udah."
"Ada apa saja di
kulkas?"
Aku punya hal lain yang
ingin aku katakan, tapi jika aku mengucapkannya, Miyagi pasti akan dengan mudah
menarik kembali kata-katanya. Jadi, aku tidak berkata apa-apa dan langsung
menuju ke kulkas.
"Ada telur."
Ketika aku membuka
kulkas, seperti yang dikatakan Miyagi, di dalamnya ada telur.
Tidak ada yang lain yang
menarik perhatian.
Telur mata sapi, telur
dadar, omelet.
Meski aku bisa memasak,
aku tidak berniat menjadi koki, jadi resep yang terlintas di pikiranku ketika
melihat telur hanya sebatas itu.
Apa yang harus aku
lakukan ya?
Sambil mengambil telur
dari kulkas, aku memutuskan.
Aku memutuskan untuk
membuat telur dadar manis, dan memecahkan telur ke dalam mangkuk. Miyagi
mungkin lebih suka yang asin, tapi aku tidak berniat menanyakan. Sepertinya
tidak ada penggorengan telur dadar, jadi aku menyalakan kompor dan menuangkan
cairan kuning ke dalam wajan bulat. Sampai di sini, tidak butuh waktu lama
untuk telur dadar menjadi matang. Bentuknya menjadi sedikit aneh karena dibuat
dengan wajan bulat dan sedikit gosong, tapi terlihat lezat.
"Sudah jadi."
Aku meletakkan telur
dadar dan nasi di depan Miyagi. Terlihat sedikit sederhana untuk makan malam,
tapi tidak ada lagi yang bisa disajikan, jadi tidak apa-apa.
"Selamat
makan."
Miyagi dengan sopan
mengucapkan selamat makan dan mengambil sumpitnya.
Seolah tidak terjadi
apa-apa di kamar tadi, makan malam berlangsung seperti biasa, dan meskipun aku
sudah diperlakukan dengan cukup buruk hari ini, itu tidak berubah. Aku juga
duduk di sebelahnya dan mulai makan telur dadar.
Ini tidak masuk akal.
Miyagi yang telah
mengikatku dan menendang kaki, hanya diam dan makan telur dadarnya, dan aku
yang telah menuruti perintah bodoh itu pun makan telur dadar.
Mungkin Miyagi berpikir
bahwa dia bisa melakukan apa saja padaku dan aku akan memaafkannya.
Ada transaksi uang dan
ada aturan.
Perintah hari ini
seharusnya sudah terlalu jauh, tapi aku masih makan malam bersamanya, Aku juga
tidak kalah parahnya.
"Harusnya kamu
bilang kalau enak."
Aku menyela kesunyian
Miyagi yang terus makan dengan serius.
"Boleh juga kalau
mau buat lagi nanti."
Berbeda dengan waktu itu
ketika aku membuat ayam goreng.
Waktu itu dia bilang
enak. Tapi hari ini, dia tidak terlalu ekspresif.
Ah, mungkin dia memang
sedang bersikap jujur karena dia bilang aku boleh membuatnya lagi nanti.
"Kalau aku niat,
nanti aku buat lagi."
Aku mencoba menjawab
seadanya sambil memasukkan telur dadar manis ke dalam mulutku.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.