Story About Buying My Classmate Chap 1 v4

Costos Obscurus
0

BAB 1:

Ini Bukan Permintaan untuk Sendai-san

 

 

Desember tiba bukan berarti ada yang berubah secara dramatis. Seperti biasa, masih ada tes, dan aku terus mengundang Sendai-san ke kamar ini.

 

Hari ini juga, dia menurut perintahku dan pulang tanpa menanyakan hasil tes akhir semester yang baru saja berlangsung di awal bulan. Jadi, Sendai-san tidak tahu kalau hasil tesku jauh lebih baik dari yang dia bayangkan. Bukan berarti aku ingin dia tahu hasil tesku, tapi lucu juga, dia yang saat tes tengah semester minta lihat hasilnya, sekarang malah sama sekali tidak menanyakannya pada tes akhir semester.

 

Awalnya Sendai-san yang sampai memanggilku ke ruang persiapan musik untuk berbicara tentang universitas, tidak menyentuh sama sekali tentang hasil tes akhir semester itu membuatku merasa ada yang tidak beres.

 

Dia yang ingin tahu universitas mana yang akan aku masuki, bahkan sampai bilang agar kita mencoba masuk universitas yang sama, seharusnya sedikit peduli dengan hasilnya. Berbicara tentang kita makan bersama jika masuk universitas yang sama atau yang dekat, entah itu konkret atau abstrak, tampaknya tidak seperti orang yang akan bertingkah seperti itu.

 

Tapi, buat aku untuk sengaja memberitahu tentang nilaiku juga terasa aneh, dan aku tidak berencana untuk memberitahukannya.

 

Jadi, dengan Sendai-san yang tidak bertanya tentang hasilnya dan aku yang tidak berniat memberitahunya, sepertinya kita berada di halaman yang sama. Itu berarti, tidak ada masalah sama sekali.

 

Pada dasarnya, hanya aku yang merasa aneh karena dia tidak bertanya tentang hasil tes, biasanya orang tidak akan bertanya tentang hal seperti itu, dan tidak seharusnya menjadi masalah besar. Mungkin Sendai-san hanya tertarik dengan hasil tes tengah semester sebagai keinginan sesaat, dan tidak terlalu peduli dengan tes akhir semester.

 

Itu seharusnya, dan itu sudah cukup baik.

 

Mungkin, aku terlalu membesar-besarkan soal hasil tes.

 

Mungkin, pasti begitu.

 

Aku membereskan kertas tes yang terbentang di atas meja tulis dan menaikkan suhu AC satu derajat.

 

Malamnya sunyi, suara hembusan angin dari AC terasa sangat nyaring di telinga. Di kamar yang hanya aku di dalamnya, suara kecil pun terdengar besar.

 

Aku mengambil kalender meja.

 

Sudah masuk Desember, dan itu menjadi lembar terakhir, yang tanpa perlu dilihat lagi sudah terpakai lebih dari setengah. Tahun ini tersisa sekitar dua minggu lagi, dan setengah dari itu adalah liburan musim dingin.

 

Aku menghela napas dan membalikkan kalender itu.

 

Hari ini cerah sejak pagi, dan sekarang pun tidak hujan.

 

Tidak ada siapa pun di rumah, tapi aku sudah terbiasa sendirian. Setelah sekolah, Sendai-san datang ke kamar ini, dan menjadi hal yang biasa jika tidak ada siapa pun di malam hari.

 

Aku mengambil ponselku dan berbaring di tempat tidur.

 

Liburan musim dingin sudah sangat dekat. Sebelum itu ada Natal, kota penuh warna, dan orang-orang tampak gembira saat berjalan. Ami juga terlihat senang karena akan bertemu dengan pacarnya di Natal, seolah bisa melupakan ujian hanya untuk hari itu.

 

Aku sedikit tidak menyukai suasana itu.

 

Aku juga punya rencana, Natal aku akan menghabiskannya seperti tahun lalu bersama Maika.

 

Tapi, itu saja. Tidak ada pertukaran hadiah, hanya menghabiskan waktu seperti biasa. Meskipun begitu, seharusnya menyenangkan jika pergi bersama Maika, dan aku juga menantikannya.

 

Tapi, tidak sebanyak tahun lalu.

 

Aku tahu alasannya.

 

Setelah Natal berakhir, tidak ada rencana berarti yang tersisa.

 

Ayah seperti biasa hampir tidak pernah pulang, dan tidak ada janji dengan Sendai-san. Berbeda dengan liburan musim panas yang aturannya kami ubah, jadwal liburan musim dingin ini kosong, dan itu membuatku merasa tidak puas.

 

Aku melihat layar ponsel dengan lamban.

 

Sendai-san, yang menganggap aku penakut, tidak menelepon. Terakhir kali dia menelepon adalah karena hujan dan angin yang sangat buruk, dan aku tahu malam tanpa telepon adalah malam yang biasa.

 

Kalau hujan turun lagi.

 

Aku mulai memikirkan hal itu, lalu membalikkan ponsel dan meletakkannya di samping bantal.

 

"──Hazuki"

 

Tanpa sadar, aku mengucapkannya.

 

Bahkan jika aku lulus di universitas yang sama dengan Maika, aku tidak akan bisa bertemu dengan Sendai-san seperti sekarang. Hak untuk memerintahnya akan hilang bersamaan dengan upacara kelulusan. Meski aku menciptakan alasan untuk bertemu, kita tidak bisa bersama sepanjang waktu. Ke mana pun aku pergi, hubungan kita akan berubah.

 

Tapi, sekarang ini bertemu sangatlah mudah, dan membuat alasan untuk bertemu pun lebih gampang.

 

Bahkan jika itu liburan musim dingin.

 

Aku dan Sendai-san tidak cukup dekat untuk bertemu di Natal, tapi kami cukup dekat untuk belajar bersama.

 

Jadi, aku pikir tidak masalah jika kami belajar bersama selama liburan musim dingin, seperti saat liburan musim panas.

 

Aturan tentang tidak bertemu di hari libur, seolah tidak ada. Kami sudah melanggar aturan itu selama liburan musim panas, jadi tidak perlu menjaganya selama liburan musim dingin. Meskipun liburan musim dingin singkat karena ujian yang mendekat, aku yakin bisa mencari waktu untuk bertemu sekali atau dua kali. Mengingat liburan musim panas, sepertinya pertemuan seperti itu akan diperbolehkan.

 

Namun, Sendai-san tidak mengatakan apa-apa.

 

Liburan musim dingin akan segera tiba, tapi dia tidak bilang mau mengajar atau bertemu. Dia hanya melakukan hal-hal aneh seperti memeluk tiba-tiba atau menggenggam tangan, tapi dia tidak mengatakan hal-hal yang sepertinya akan dia katakan, dan pergi begitu saja.

 

Aku meraih buaya dari ujung tempat tidurku, yang tergeletak di lantai.

 

Aku mengelus buaya itu dan menggenggam tangannya.

 

Tangan yang lembut itu, jelas berbeda dari tangan manusia.

 

Buaya penutup tisu yang kuberikan kepada Sendai-san untuk dipegangnya tidak bergerak, dan juga tidak menggenggam balik.

 

Tentu saja, aku merasa itu membosankan.

 

Ini hanya penutup tisu.

 

Bukan Sendai-san.

 

Aku tahu itu, tapi aku tetap mengelus ujung hidungnya dan mendekatkan bibirku.

 

Aku menghembuskan napas dan meletakkannya kembali di lantai sebelum menyentuh buaya itu.

 

Tidak peduli seberapa banyak aku menggenggam tangan buaya atau mendekatkan bibirku, itu tidak akan berubah menjadi sesuatu yang lain, tapi karena Sendai-san, peran buaya itu berubah dan aku merasa frustrasi.

 

Semua benda di ruangan ini terlalu dekat dengan Sendai-san, dan itu membuat pikiranku teralihkan padanya. Akibatnya, pikiran yang ingin aku tenggelamkan muncul kembali di kepalaku.

 

Andai saja.

 

Andai saja aku bilang ingin diajari selama liburan musim dingin, apakah Sendai-san akan mengajarku seperti selama liburan musim panas?

 

Seharusnya, itu yang harus Sendai-san katakan.

 

Jika dia bilang aku harus mendaftar di universitas yang sama atau yang dekat, itu seharusnya jadi tanggung jawabnya. Pada dasarnya, semua keinginan untuk menyentuh Sendai-san, ingin bertemu selama liburan musim dingin, semua itu karena dia, jadi dia harus bertanggung jawab.

 

Aku mengambil ponselku dan merangkak ke dalam selimut.

 

Aku menampilkan nama Sendai-san di layar ponselku.

 

Tanpa ini, jadwalku selama liburan musim dingin akan kosong.

 

Aku tidak ragu untuk melanggar aturan, tapi aku ragu Sendai-san akan dengan mudah mengatakan 'iya' jika aku meminta diajari. Bahkan jika aku menawarkan lima ribu yen untuk mengajari, aku merasa dia akan menolak.

 

Lima ribu yen sebagai kompensasi perintah kehilangan kekuatannya.

 

Mungkin, aku harus menawarkan sesuatu sebagai tawaran.

 

Misalnya...

 

Aku mulai berpikir, dan sebelum bisa menyelesaikannya, aku menambahkan beban pada "misalnya" itu dan menenggelamkannya ke dalam laut pikiranku.

 

"Aah, sungguh merepotkan."

 

Aku mengeluarkan segala isi kepala bersamaan dengan suaraku. Tidak ada alasan untuk menelpon sekarang, juga tidak ada yang ingin dibicarakan. Masih ada sedikit waktu sebelum liburan musim dingin. Tak perlu terburu-buru. Aku menggulung diri sambil memegang ponselku.

 

◇◇◇

 

Hasil ujian akhir sudah keluar, dan meskipun liburan musim dingin semakin dekat, suasana kelas tidak seceria saat liburan musim panas. Pembicaraan yang terasa berat bagi siswa yang akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi semakin banyak, namun selama masih ada sekolah, aku bisa memanggil Sendai-san.

 

Alasan ada atau tidak, tidak masalah.

Dulu aku memanggilnya saat ada hal yang tidak menyenangkan, tapi sekarang itu tidak lagi relevan. Aku memanggil Sendai-san kapanpun aku ingin.

 

Hari ini juga, tidak ada alasan khusus tapi aku

memanggil Sendai-san.

 

Meski begitu, aku rasa patut dipuji karena memilih tanggal 23 Desember sebagai hari terakhir kita bertemu di semester ini, menghindari tanggal 24 dan 25.

 

Mungkin Sendai-san punya janji satu atau dua untuk Natal, dan aku juga punya janji dengan Maika. Aku pikir sebaiknya menghindari hari yang akan dikenang, jadi aku memilih hari ini.

 

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Sendai-san.

 

 

 

Aku kembali ke kamar dengan membawa piring yang berisi dua cangkir teh dan beberapa kue, lalu meletakkannya di atas meja. Setelah duduk di sebelah Sendai-san, yang telah melepas blazernya dan membuka dua kancing atas blusnya seperti biasa, dia menunjuk ke arah kue yang berbentuk kotak namun tidak seragam dan bertanya,

 

"Ini apa?"

 

"Fudge."

 

"Fudge?"

 

"Kue dari Inggris. Ayahku yang bawa pulang."

 

"Enak?"

 

Sendai-san tampak memperhatikan fudge tanpa segera memakannya, karena ini adalah sesuatu yang belum pernah dia coba sebelumnya.

"Katanya sih terbuat dari gumpalan mentega, gula, dan susu."

 

"Eh, itu, kalorinya gak ngeri tuh?"

 

"Mungkin, ngeri. Kemarin aku coba, manis banget."

 

Bongkahan berwarna cokelat itu sangat mirip dengan karamel, namun ketika dimasukkan ke dalam mulut, ia hancur dengan lembut dan rasanya sepuluh kali lebih manis daripada karamel. Tapi, tidak hanya manis, aroma susu yang kental membuatku ingin makan lebih banyak lagi.

 

"Makanya, hari ini aku minum teh."

Sandai-san tampaknya mengerti.

 

"Seharusnya teh barley?"

 

"Aku sih oke-oke saja asal bukan minuman bersoda, tapi Miyagi selalu minum soda, jadi aku pikir ini akan jadi sesuatu yang unik."

Sambil mengambil satu fudge, dia berkata,

 

"Jarang-jarang loh kamu menyuguhkan kue. Ini semacam Natal yang lebih awal?"

 

"Bukan begitu. Aku keluarkan karena memang ada di rumah."

 

"Oh begitu."

 

Aku pikir dia akan menggoda, tapi tidak, Sendai-san memakan fudge itu dalam satu gigitan. Setelah menelannya, dia mengangkat alisnya dan berkata,

 

"Enak sih, tapi kalau makan banyak-banyak pasti bakalan nyesel."

 

Sendai-san minum teanya yang sudah dingin sedikit.

 

Cangkir teh yang isiannya sudah berkurang sepertiga ditaruh kembali di atas meja, tangannya kembali mengarah ke fudge. Namun, tangannya tidak jadi mengambil bongkahan yang mirip karamel itu dan kembali ke cangkir.

 

"Sendai-san. Buka mulutmu."

 

Aku menunjukkan fudge dengan mengambilnya.

 

"Perintah?"

 

"Iya."

 

Setelah aku mengiyakan bahwa itu adalah perintah, Sendai-san dengan rasa terpaksa membuka mulutnya, dan aku mendekatkan kue yang aku pegang itu.

 

Bongkahan cokelat itu kusentuhkan ke bibirnya, dan sekalian, ujung jariku juga menyentuh bibirnya sedikit. Sensasi lembut itu sedikit terasa.

 

Aku sudah beberapa kali menyentuh kulitnya bersama dengan kalung yang aku berikan.

 

Bibirnya, lebih lembut daripada kulitnya yang halus.

 

Aku ingin merasakan kelembutan itu lebih lama lagi, tapi aku memasukkan bongkahan kue yang penuh dengan gula itu ke dalam mulut Sendai-san.

 

"Manis."

 

Kata-kata yang tanpa sengaja keluar dari mulutku kemarin, diulang oleh Sendai-san sambil mengunyah kue itu. Aku menunggu sampai fudge di mulutnya habis sebelum mengambil satu lagi.

 

"Ini juga."

 

Ketika aku menekan ke bibir, Sendai-san dengan patuh membuka mulutnya. Aku memasukkan permen berwarna karamel ke dalam mulutnya, dan dengan ujung jari, aku mengusap bibirnya lebih lambat dari sebelumnya. Bibir Sendai-san tertutup, dan meskipun tidak melepaskan jari, ia memegang pergelangan tanganku.

 

"Miyagi juga makan dong."

 

Sebelum aku sempat mengerti apakah Sendai-san telah menelan makanan di dalam mulutnya, ia berkata dan melepaskan pergelangan tanganku. Ketika ia hendak meraih fudge, aku lebih cepat mengambil satu potong permen coklat itu.

 

"Aku makan sendiri."

 

Aku makan cukup banyak kemarin, dan hari ini sebelum Sendai-san datang, aku sudah makan tiga potong, jadi bukan karena aku ingin makan fudge. Ini seolah-olah aku menyajikannya untuknya. Tapi, aku tidak ingin mengatakan alasan aku menyiapkan permen ini, dan meskipun aku bilang tidak mau, Sendai-san pasti akan memaksaku untuk makan, jadi aku memasukkan permen manis itu ke dalam mulutku sendiri.

 

"Manis."

 

Setelah mengucapkan kata yang sama yang baru saja didengar, aku meminum teh. Sendai-san berkata dengan suara rendah.

 

"Miyagi, kamu akan pergi kemana dengan Utsunomiya saat Natal?"

 

"Memangnya, Sendai-san akan pergi dengan Ibaraki-san?"

 

"Homina punya kencan. Aku seharusnya bilang aku akan belajar, tapi aku punya rencana untuk keluar sedikit dengan teman lain."

 

"Oh, begitu."

 

Aku hanya bisa memberikan jawaban yang seolah-olah tidak ada lagi yang bisa dibicarakan, dan percakapan kami pun seakan berakhir. Sendai-san menyingkirkan cangkirnya ke pinggir meja dan mulai menyusun buku pelajarannya. Ini berarti tidak ada lagi yang bisa dibicarakan, dan aku menjadi tidak bisa berkata apa-apa.

 

Hari ini akan berakhir, dan sampai liburan musim dingin selesai, kami tidak akan bertemu lagi. Sendai-san pasti tahu itu. Tapi, dia tidak pernah menanyakan tentang liburan musim dingin. Dia selalu ikut campur tentang cara menghabiskan liburan musim panas di akhir semester, jadi rasanya aneh jika dia tidak menanyakannya.

 

Dari sebelah, hanya terdengar suara lembaran buku pelajaran yang dibalik dan suara pena yang berlari di atas kertas.

 

Aku menyesap tehku.

 

Sendai-san akhirnya tidak mengatakan akan menjadi tutor seperti selama liburan musim panas, dan sepertinya hari ini juga tidak akan mengatakannya.

 

Aku berdiri dan duduk di tempat tidur.

 

Aku tidak yakin bisa berbicara sambil melihat wajahnya.

 

"…Sendai-san, kamu ngapain selama liburan musim dingin?"

 

Ketika aku bertanya, suaraku terdengar lebih kecil dari yang kubayangkan, dan itu membuatku merasa tidak enak.

 

"Belajar."

 

Tanpa menoleh, Sendai-san memberikan jawaban yang terdengar sangat biasa.

 

Itu memang seharusnya.

 

Ujian sudah dekat, dan tidak ada waktu untuk bermain.

 

Jika ada waktu untuk mengajar orang lain, seharusnya digunakan untuk belajar sendiri. Aku tahu itu, tapi aku tidak ingin percakapan ini berakhir.

 

"Kamu nggak ada kegiatan lain?"

 

"Tidak ada sih. Paling cuma pergi ke kuil untuk tahun baru bersama Homina dan yang lain."

 

Tiba-tiba saja, nama yang nggak pengen aku dengar pas lagi ngomongin liburan musim dingin muncul dari mulut Sendai-san.

 

─ Kalau ada waktu buat pergi ke kuil pertama tahun baru sama Ibaraki-san.

 

Kalau ada waktu gitu, aku pikir nggak ada salahnya juga buat sedikit meluangkan waktu buatku.

 

"Sendai-san. Kesini, duduk di sebelahku."

 

"Di sebelah?"

 

Sendai-san menoleh.

 

"Iya, di sebelah. Nggak denger?"

 

"Denger sih, tapi tiba-tiba ngomongin hal yang aneh dari cerita liburan musim dingin. Jadi, itu perintah?"

 

"Perintah."

 

Dengan tegas aku berkata, dan dengan wajah terpaksa, Sendai-san berdiri dan duduk di sebelahku. Jantungku berdegup kencang merasakan kehangatan tubuh Sendai-san yang kini lebih dekat.

 

Ruangan yang seharusnya nyaman, tiba-tiba terasa panas, dan aku jadi ingin menurunkan suhu AC.

 

"Sudah duduk, terus?"

 

"Mata, tutup."

 

"Kenapa?"

 

Perintah untuk menutup mata diabaikan, dan Sendai-san menatapku dengan tajam.

 

Aku jadi mengalihkan pandangan, dan mataku tertangkap pada kalung berbentuk bulan kecil yang berkilau di dada seragamnya.

 

"Kalau nggak mau nutup, ya sudah."

 

Aku berkata sambil terus melihat kalung yang kuperintahkan untuk dipakai sampai lulus.

 

"Jangan setengah-setengah dalam memberi perintah."

 

"Apa maksudmu dengan 'setengah-setengah'?"

 

"Bilang aja kalau mau ciuman, suruh aku nutup mata."

 

Dia tidak puas.

 

Hanya ada ketidakpuasan.

Walaupun yang akan aku lakukan pada Sendai-san yang sudah menutup mata ini adalah ciuman, dan tidak salah lagi, cara dia bicara seakan-akan aku yang sangat ingin menciumnya.

 

Tapi, itu bukan masalahnya.

 

Ciuman yang akan aku lakukan sekarang bukan karena aku yang ingin melakukannya, tapi karena Sendai-san yang selalu ingin dicium. Jadi, kata-katanya itu salah.

 

"Kamu mau ciuman, kan, Miyagi?"

 

Sendai-san berkata seolah-olah sudah memutuskan, lalu menggenggam tanganku, dan aku mengangkat pandanganku.

 

"Bukan. ...Tapi, mata tetap ditutup."

 

Ciuman ini harus terjadi hari ini.

 

Kalau bukan sekarang, nanti akan sampai setelah liburan musim dingin, dan itu tidak akan berarti sama sekali.

 

Mengambil kembali tangan yang telah digenggam, aku menangkap blus milik Sendai-san. Alih-alih memberi perintah, aku menariknya secara lembut, dan dia menutup matanya.

 

Aku perlahan mendekatkan wajahku.

 

Meskipun selama liburan musim panas aku telah menciumnya tak terhitung kali, sekarang rasanya seperti ini adalah ciuman pertama, membuatku gugup.

 

Jantungku berdetak seolah-olah tiga kali lebih keras dari biasanya.

 

Sebelum menutup mata, aku melihat Sendai-san.

 

Dalam diam, aku berpikir dia sangat cantik.

 

Alisnya yang terbentuk dengan baik, bulu mata yang tidak terlalu panjang tapi lebih panjang daripada milikku. Bibir yang sering mengejekku itu mengkilap, dan aku tahu rasanya lembut saat disentuh. Sensasi dari sentuhan jari masih terasa. Meski aku lebih suka ia menatapku dengan mata terbuka, kalau ia membuka matanya sekarang juga akan merepotkan.

 

Jadi, sebelum Sendai-san membuka matanya, aku

menciumnya.

 

Ketika bibir kami bertemu dengan lembut, sensasi yang terasa lebih jelas daripada saat disentuh dengan jari.

 

Lembut, hangat, dan hanya dengan menyentuhnya membuatku merasa baik.

 

Aku ingin lebih dekat dengan Sendai-san.

 

Tapi, karena kita tidak bisa terus-menerus bersama, aku melepaskan ciuman itu. Kemudian, aku menyembunyikan wajahku di bahunya.

"...Selama liburan musim dingin, ajarin aku belajar ya."

 

Aku tidak bisa mengatakannya dengan suara keras, tapi aku mengatakan hal yang ingin aku katakan hari ini.

 

Aku tidak berpikir ciumanku memiliki nilai sebesar itu, tapi Sendai-san telah beberapa kali ingin dicium, jadi ini seharusnya cukup sebagai barang tukar.

 

"Kita kan punya aturan untuk tidak bertemu selama liburan," kata suara di telingaku. Tapi, apa yang dia katakan berbeda dari apa yang aku pikirkan.

 

"Aturan itu bahkan Sendai-san sendiri melanggarnya."

 

"Jadi, Miyagi juga ingin melanggarnya?"

 

Sendai-san menarik rambutku dengan lembut.

 

"Bukan begitu."

 

"Jadi, ini permintaan untuk aku?"

"Bukan."

 

"Jadi... ciuman tadi bukan perintah ataupun permintaan, tapi sebagai barang tukar?"

 

Dia tahu jawabannya, tapi Sendai-san bertanya dengan sengaja. Aku tidak suka itu.

 

"Kalau tidak suka, tidak apa-apa."

 

"Aku tidak bilang tidak suka. Hanya saja, kalau sebagai barang tukar, harusnya ciuman yang lebih layak."

 

Kata Sendai-san, lalu dia memelukku yang masih menempelkan dahi ke bahunya.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !